Sekali Lagi, Zahra
“Ra, lihat deh, ada kiriman, nih dari tante Ratna, gaun buat kamu.”
Aku yang masih berjibaku dengan gundah di hati, terperanjat oleh mama yang tiba-tiba masuk ke kamar. Dengan wajah sumringah, ia menyodoriku sebuah kotak besar berwarna coklat tua di tangan.
Sedang aku? Sungguh masih tampak lusuh. Baju tidur masih menempel erat di tubuhku sejak semalam. Setumpuk berkas seorang pasien yang harus aku analisa pun masih berserak di ranjang. Pagi ini, mama harus rela menemuiku seberantakan ini.
“Astaghfirullah, Zahra, apa-apaan, sih, kamu?” Mama yang beberapa menit lalu tampak berbinar, seketika mengerutkan urat-urat di wajahnya. Bingkisan yang tadi ia sodorkan pun diletakkannya begitu saja di meja rias kamarku. Tangannya mulai terampil merapikan lembaran kertas yang berserak di ranjang.
“Apa ini? Berantakan begini!” Mama masih terdengar berseru-seru di telingaku. Namun, bukannya mengangkat tubuh, aku malah makin bermanja-manja dengan selimutku.
“Zahra! Ayo, bangun! Kayak anak kecil saja kamu.” Mama menarik paksa selimut yang masih erat memelukku.
“Ah, Mama!” rengekan tiba-tiba melompat dari bibirku.
“Ayo, bangun! Bagaimana kalau kamu sudah menikah nanti? Masa iya suamimu harus bangunin kamu kayak gini?”
Astaghfirullah, menikah? Mengapa sepagi ini aku disambut dengan kata menikah? Kembali kutarik selimut. Kali ini bahkan menutup rapat seluruh tubuh dan wajahku.
“MasyaAllah, Zahra! Anak ini, ya!” Mama kembali berseru-seru.
Mungkin, andai bisa kulihat wajahnya, pasti mama sedang kesal melihatku. Pagi ini memang tidak seperti pagi-pagi biasanya. Selepas sholat Shubuh tadi, aku bergegas menuju kamar. Analisa data pasien, alasanku.
Padahal, aku ingin mencari cara untuk melupakan hari ini. rasanya, aku ingin tidur saja sepanjang hari ini. kalau perlu, aku skip saja hari ini.
“Zahra, mama nggak mau tahu, ya. Pokoknya, kamu harus segera bangun. Mama maunya, nanti malam kamu terlihat segar. Ngerti kamu?”
“Iya, Ma, iya.” Kujawab saja sekenanya seruan mama dari balik selimut.
Pertemuan nanti malam memaksaku untuk sulit mengendalikan hati.
“Allahumma la sahla illa ma ja’altahu sahla wa anta taj’alul hazna iza syi’ta sahla”
(Wahai Allah, tiada kemudahan melainkan apa yang Engkau jadikan mudah dan perkara yang susah Engkau jadikan mudah apabila Engkau mengkehendakinya)
Beberapa kali kurapalkan doa itu, tapi tetap saja bayangan kegundahan ini menyergap diri. Apa yang nanti harus aku katakan? Apakah aku harus mengiyakan saja perjodohan ini? sedang nama Ali dan Abu terus saja berkeliaran di kepalaku.
Di balik selimut yang masih betah memeluk tubuhku, aku mengintip kotak cokelat tua yang ditinggalkan mama di meja rias. Gaun dari tante Ratna, kata mama tadi, calon mertuaku.
“Ya, Allah,” teriakku dari balik selimut. Kubenamkan lagi wajahku dalam lembut bulu-bulu selimut. Mengapa harus secepat ini aku lalui usiaku.
***
Ini bukan kali pertama Zahra gundah hendak bertemu tante Ratna. Sebelumnya, momen bertemu sahabat mamanya itu adalah hal yang biasa saja untuk Zahra. Namun, sejak mama merencanakan sebuah pertunangan, momen yang awalnya biasa saja, cukup memaksa Zahra senam jantung.
Memang, seharusnya, Zahra sudah tahu siapa calon tunangannya itu. Tetapi, karena anak tante Ratna sekolah di luar negeri, maka mereka belum pernah bertemu sebelumnya. Ditambah lagi, mama dan tante Ratna rapat kompak menyembunyikan identitas lelaki calon pendamping Zahra.
“MasyaAllah, Zahra! masih tidur, kamu?” Mama kembali menghampiri Zahra yang masih nyaman dalam pelukan hangat selimut bulu. “Zahra! Bangun, Sayang!”
Meski sebenarnya mama tahu bahwa anak gadisnya itu sedang berpura-pura, ia tetap mengguncang-guncang tubuh Zahra yang meringkuk damai. “Sekali lagi nggak bangun, mama siram, nih!”
“Ah, Mama anarkis, deh!”
“Eeeeee, lagian kamu, dibangunin susah banget, tumben.” Mama buru-buru menarik selimut merah yang tetap saja betah memeluk tubuh Zahra. “Ayo, bangun! Cepetan siap-siap! Keburu siang, Sayang.”
“Lah, Mama aneh, deh.”
“Aneh gimana? Anak gadis mama ini loh yang aneh.”
“Undangan dinner-nya jam berapa, sih, Mama sayang? Ntar malam, kan?”
Mama yang tadinya sibuk melipat selimut memalingkan wajahnya ke Zahra. bahkan, ia pun sempat mengernyitkan dahi.
“Sayang, mama kan udah bilang tadi, lupa?”
“Apa sih, Ma?” Giliran Zahra yang mengernyitkan dahi tanda penuh tanya.
“Makanya, buruan bangun, mandi, biar fresh, nggak galfok mulu.”
Ekspresi wajah mama makin gregetan. Ia mengangkat kedua telapak tangan ke atas, mengibas ruang udara kamar Zahra, lalu mengelus lembut kepala Zahra. “Biar pikiran kamu juga segar, Sayang.”
“Hanya itu, Ma?”
“Astaghfirullah, Zahra! kamu mau Mama marah?”
“Loh? Emang Mama bisa marah?”
“Eh, malah nantangin. Kamu mau lihat Mama marah?”
Perempuan paruh baya dengan wajah teduh itu pun berusaha berakting di depan anak gadisnya. Mama membanting kasar selimut yang telah rapi ia lipat. Ia menggulung lengan gamis abu muda yang sedang dikenakannya. Lalu, mantap berkacak pinggang.
Melihat ekspresi Mama, Zahra pun buru-buru bangkit dari ranjangnya.
“Loh! Loh! Mama kok diseriusin gini, sih? Ra cuma bercanda, Ma.”
“Apa kamu bilang?”
“Iya, iya, sabar, dong, Ma, sabar.” Zahra berusaha menjaga tubuhnya untuk lebih cepat berdiri dan meninggalkan ranjang ternyamannya itu.
“Nah, gitu dong, itu baru anak mama.” Suara mama sedikit melembut. “Gimana acting mama barusan? Udah pas belum dapat peran antagonis di FTv?” kata mama seraya mengedipkan sebelah matanya.
“Apa, Ma? Acting?”
“Iya, Ra, yang barusan.” Mama berseru.
“Oh, jadi, yang barusan itu tadi, Mama cuma … .”
“Iya, Ra, iya.” Mama terus menggores senyum. Ada tawa lebar yang sepertinya sedang ia tahan. “Itu tadi yang marah-marah. Gimana?”
“Ah, Mama, kirain marah beneran.”
Alih-alih membereskan ranjangnya yang masih berantakan, Zahra malah kembali menenggelamkan tubuh di antara kasur empuk yang masih enggan ia tinggalkan.
“Aduh, Ra, Mama capek ya, bilangin kamu.” Kali ini mama kembali memasang wajah kesal. “Sekarang mama serius, nggak lagi acting. Tiga puluh menit kamu nggak turun, Mama bakal … .”
“Apa, Ma? Kok diem?”
“Pokoknya cepetan!”
Mama melangkah meninggalkan Zahra yang masih nyaman di ranjang. Sesekali, ia menggosok kedua matanya dengan tangan kanan. Sungguh, baru kali ini Zahra merasa berat memulai hari.
Sedang mama, sudah tidak lagi menengok ke arah Zahra. bahkan, mama pun tidak menutup pintu kamar. Sengaja, mungkin, agar anak gadisnya itu mau turun dari kenyamanan ranjang, sekadar untuk menutup pintu kamar.
***
“Ingat! Islam tidak pernah melarang untuk jatuh cinta. Manusia semulia Nabi pun mengalami jatuh cinta. Karena Allah memang menciptakan cinta sebagai fitrah manusia. Namun, yang harus jadi perhatian adalah bagaimana manusia menempatkan cinta itu. Sebagai muslimah, sudah menjadi kewajiban kita untuk menjaga diri dan kehormatan. Maka, saat muslimah jatuh cinta, … .”
Sesaat, ustadzah dengan gamis cokelat tua dan khimar warna senada itu menghentikan ceramahnya.
“Adakah muslimah di sini yang belum pernah jatuh cinta?”
Ia malah melanjutkan dengan pertanyaan. Seketika, seisi ruangan riuh.
“Ra, nama lo tuh yang disebut.” Meme, sahabat Zahra, mulai nyeletuk lagi, saat ia mendengar beberapa teman perempuan menyebut nama Zahra. Meme terus menyenggol siku Zahra yang kali ini menopang dagu.
“Ssssttt, berisik, ih, Meme,” jawab Zahra sembari memperbaiki hijabnya.
“Eh, lo serius banget, sih, Ra.”
“Ntar lagi selese tuh tausyah-nya.”
“Baiklah anak-anak, ada yang ingin bertanya, mungkin?” Ustadzah cantik itu kembali melempar tanya. “Kalau sudah nggak ada, ustadzah akhiri kajian kita siang ini.”
“Saya, Ustadzah.”
Belum selesai kalimat ustadzah itu diakhiri, suara Zahra memecah keriuhan. Beberapa pasang mata langsung mengarahkan pandang ke sumber suara.
“Iya, Zahra, apa yang ingin kamu tanyakan, Sayang?”
“Hmmm, begini, Ustadzah,” jawab Zahra sembari mengangkat posisi duduk simpuhnya. “Bagaimana jika seorang muslimah jatuh cinta, tapi ia cuek pada pria yang dicintainya?”
Zahra menjeda kalimatnya. Ada napas panjang yang sengaja ia hela.
“Apakah berdosa, Ustadzah? Padahal, muslimah itu tidak berniat memutus silaturahim.”
“Bagus sekali, Zahra.” Ustadzah cantik itu menerima pertanyaan Zahra. “Muslimah itu tidak berdosa, Sayang. Seperti yang ustadzah katakan tadi, menghindar untuk menjaga cintanya dari maksiat itu bukan dosa. Mencintai dalam diam itu lebih baik. Apalagi, jika muslimat itu tetap meminta pada Allah, Maha Pencipta Cinta, untuk menjaga cintanya agar tetap pada pria yang sama.”
“Terima kasih, Ustadzah.” Zahra memberi senyum tanpa memedulikan beberapa bibir yang nyinyir karena pertanyaan itu.
“Ah, muna lo, Ra. Mana ada cewek yang nggak pengen pacaran?” Mandy, gadis tercantik di sekolah itu memaki.
“Iya, nih, Zahra. Takut dibilang nggak laku kali dia.” Satu lagi siswi menyatakan pendapatnya. Meski setengah berbisik, tapi suara kedua gadis itu terdengar telinga Zahra.
“Eh, Ra, beneran lo lagi jatuh cinta?” Meme kembali mengganggu Zahra. Kali ini, Zahra sibuk membereskan catatan kecil yang sedari tadi dipegangnya.
“Apaan, sih, Me?”
“Pertanyaan lo tadi, kisah nyata, kan?”
“Kisah inspiratif,” jawab Zahra sekenanya. “Yuk, ah, pulang.” Zahra meninggalkan Meme yang masih geming di karpet Musala.
“Lah, Ra, tungguin gue, dong.” Meme buru-buru menyusul langkah Zahra. meninggalkan Musala menuju parkiran sekolah.
Tidak ada sepatah kata pun menyela langkah Zahra. bibir mungil yang biasanya penuh celoteh mendadak terdiam. Sepertinya, content tausyah siang ini cukup mengaduk isi kepala Zahra.
“Me, gue nggak jadi pulang bareng lo, yak.”
“Loh? Kenapa, Ra?”
“Hm, nggak pa pa kok. Baru inget aja, gue ada janji jemput mama di rumah teman mama, tante Ratna.”
“Ra, lo makin aneh, deh.”
“Aneh apanya, sih, Me? See you tomorrow, yak. Assalamualaikum.”
Tanpa menunggu jawaban salam dari Meme, Zahra pun segera berlalu, makin menjauh meninggalkan Meme yang masih terpaku.
***
“Jika inginnya kuberpaling, maka tak mungkin kumenyapamu. Pun jika ingin ku meninggalkan, maka tak kuamini sebuah pertemua.”
Astaghfirullah, apa yang sedang aku pikirkan ini? Kenapa aku tiba-tiba mengingat tausyiah siang itu? Dan aku mengingatmu lagi, Abu? Astagfirullah, kenapa nama kamu yang aku sebut? Kenapa tiba-tiba nama itu yang terlintas di kepalaku?
Ya Allah, bantu aku. Berilah aku petunjuk tentang anak tante Ratna yang diinginkan mama untukku.
Matahari makin angkuh meningggi. Sedang Zahra masih menatap bayangan wajahnya di cermin. Pantulan bayangan itu jelas menggambarkan garis kegalauan. Bahkan, hijab yang telah ia siapkan, hanya mampu terdiam dalam pangkuannya.
“Aduh, Zahra, kok belum siap-siap juga, sih?” Mama kembali menyelinap ke dalam kamar Zahra.
“Hm, Mama, kok nggak ketuh pintu dulu sih, tumben.”
“Pintu kamar kamu terbuka, tuh. Mama pikir, kamunya udah ready, Sayang.”
“Kok kepala Zahra mendadak pusing, ya, Ma?”
“Lah, coba mama lihat,” kata mama sambil menempelkan punggung tangannya pada kening Zahra. “Ah, nggak demam kok.”
“Tapi pusing, Ma,” rajuk Zahra.