Read More >>"> Dia Dia Dia (Dia Dia Dia) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dia Dia Dia
MENU
About Us  

Pagi ini pandanganku nggak lekas beranjak dari lukisan di dinding kamarku. Lukisan yang mempunyai arti yang sangat dalam bagiku, dan mengingatkanku pada seseorang yang telah pergi sebelum dia tahu isi hatiku. Alhamdulillah, Panitia perlombaan melukis mengijinkanku menyimpan lukisan ini, walaupun sewaktu-waktu Panitia berhak meminjamnya. Karena itu aku sangat bersyukur.

Baru kali ini aku merasakan sesuatu yang berbeda saat memandang lukisanku. Apakah ini karena Dia atau karena dirinya? Sama seperti diriku, mungkin dirinya juga nggak akan pernah menyangka awal dan akhir dari perkenalan kita berdua, tapi aku yakin dirinya akan berkata “Dia Yang lebih berhak menentukan yang akan terjadi.” Ya, kini kuyakin semua karena Dia. Dia yang nggak pernah kukenal dan Dia yang nggak pernah kulihat.

Jika kuingat perjalananku hingga saat ini selesai mengikuti perlombaan melukis, sungguh membuatku nggak percaya. Hampir putus asa diriku saat itu. Persiapan yang kurencanakan ternyata nggak berjalan sesuai rencana saat satu persatu masalah mulai berdatangan, seakan menghimpit laju arahku melangkah. Ternyata Dia yang selama ini nggak kukenal telah membukakan hatiku, saat seseorang yang menjadi kekasih-Nya datang padaku, berani mengatakan yang membuat resah para pelukis, termasuk diriku. Hingga perdebatan antara kami meruncing, menimbulkan kebencian dalam hatiku pada dirinya dan kepada Dia.

Namun baru kusadari ternyata Dia lebih berhak memiliki kehendak terhadap makhluk-Nya. Dia lebih berhak menjadikan diriku seperti apa. Dia yang lebih tahu aku harus berbuat apa.

Singkat kata seperti yang kuyakini selama ini sebelum aku mengenal-Nya, sejatinya Dia yang telah menjelaskan tentang keindahan makhluk, keindahan semesta alam dan keindahan saat melukis. Namun yang baru kuyakini saat ini adalah bagaimana supaya aku bisa mendapatkan kepuasan saat melihat keindahan itu. Karena itu Dia menakdirkan aku berjumpa dan berdebat dengan seseorang yang kini telah pergi selamanya, menghadap-Nya. Aku yakin Dia lebih menyayanginya. Namun, semoga Dia juga menyayangi diriku yang penuh dosa ini dan selalu menuntun langkahku.

Langit pagi di hari Senin ini seakan berbicara padaku saat aku memadangnya. Ketenangan yang kurasa semakin dalam bercampur dengan kesedihan bila aku mengingat dirinya. Namun, kurasa Tuhan nggak mengijinkanku berlama-lama meratapi kesedihan saat suara Ibu terdengar memanggilku.

Selesai sarapan, rutinitas kembali seperti biasa, mengantar Subhan dan Sani ke Sekolah. Hanya saja aku merasa diriku saat ini lebih menghargai orang lain, termasuk diri. Setelah mengantar Subhan dan Sani vespa merah kembali melaju ke sekolah SMU Nusantara 1. Memasuki pintu gerbang sekolah, vespa merah menepi sejenak dengan mesin bergemuruh. Saat itulah aku tersenyum melihat Pak Wandi yang sedang sibuk di depan pintu gerbang. Kemudian aku turun dari vespa merah sembari mengeluarkan apel merah jambu dari dalam tas. Bagiku Pak Wandi berhak menerima apel ini. Dia selalu mengingat namaku yang nggak pernah menghargainya.

Selesai memberikan apel merah jambu pada Pak Wandi vespa merah kembali melaju. Dari tempat parkir aku berjalan dengan sorot mata terpaku pada satu titik. Menyusul kemudian bel Upacara hari Senin berbunyi. Akhirnya sebelum menuju kelas aku langsung menuju lapangan Upacara, dan memilih meletakkan tas milikku di belakang barisan 11.7. Saat dalam perjalanan itulah aku melihat Pak Sam memarkir motornya di tempat parkir khusus Guru. Tergesa aku mendatanginya, kemudian sejenak menganggukkan kepala di hadapannya. Setelah itu aku menyodorkan apel merah jambu pada Pak Sama yang baik hati, karena selalu membentakku selama ini. Setidaknya aku tahu kalau Pak Sam yang selalu tegas dan marah lebih perduli pada anak didiknya.

Selesai mengikuti Upacara hari Senin aku menuju kelas, seperti semua siswa/siswi lainnya. Sejenak kualihkan kedua mata ini saat terdengar suara siswa/siswi yang keras melewati diriku. Saat itulah aku melihat Elin di depan empat temannya yang pernah mem-bully dirinya. Aku nggak tahu apa yang akan mereka lakukan pada Elin dengan tatapan mereka yang tajam, namun sepertinya aku harus berbuat tegas pada mereka.

Tergesa aku mempercepat langkahku mendekati mereka. Tegas aku berkata “Kalian mau apa lagi? Aku udah tahu tentang kalian. Apa kalian mau aku laporkan ke Kepala sekolah? Atau ke Polisi, biar kalian dikeluarkan dari sekolah dan masuk penjara. Karena nggak ada tempat yang bisa buat kalian jera, selain dua pilihan tadi.”

Sembari memandangku wajah keempat siswi itu terlihat menegang. Tegas aku melanjutkan “Jangan kalian lakukan lagi kejahatan kalian pada semua teman-teman kalian. Apa pun alasan kalian, kalian nggak berhak membenci Elin, begitu juga pada teman yang lain. Dan kamu Elin, jangan menyerah pada mereka. Buktikan kalau kamu bisa lebih baik dari keempat teman kamu ini.”

Tanpa berkata aku mengambil satu apel dan memberikannya pada Elin. Barulah setelah itu aku kembali berjalan meninggalkan Elin dan keempat temannya yang masih terpaku memandangku. Saat itulah hatiku berbisik tegas “Semoga mereka bisa belajar dari Riska dan keempat temannya yang dikeluarkan sama pihak sekolah, karena terbukti mem-bully Elok dan mereka berempat.”

 Namun tiba-tiba aku menghentikan saat teringat perkataan Hisyam tentang perubahan jadwal di jam pertama hari Senin ini. Olahraga menjadi jam pertama menggantikan Psikologi. Sepertinya aku mau lari-lari saja, daripada ikut pemanasan. Santai aku berjalan menuju ke kursi taman di depan labolatorium, namun tiba-tiba langkahku kembali terhenti saat sorot mataku terpaku pada kursi taman. Saat itulah bayangan Alfian tiba-tiba hadir di otakku, hingga perlahan menggetarkan hatiku. Menyusul kemudian kedua bola mataku melemah, hampir jatuh air mataku, namun kucoba menahannya.

Setelah kembali melangkah aku duduk pelan di kursi taman. Sejenak aku menoleh ke kanan, melihat ruang kosong di sampingku. Setelah aku mengeluarkan dari tas toples persegi panjang berisi dua apel merah jambu atau apel bangkok yang masih segar, soalnya saat di rumah aku selalu menyimpannya di kulkas. Pelan aku membuka toples, maka terlihatlah dua apel yang bersanding di dalam toples.

“Alfian. Harusnya kita makan apel ini.”

Setelah menghela nafas aku mengambil buku kecil kumpulan puisiku dan bulpen dari dalam tas. Kubuka lembaran kosong dengan hati yang bergetar hebat. Saat itulah tiba-tiba air mataku jatuh dan mengalir di pipiku. Sigap tangan ini menghapusnya. Ternyata malah menetes lagi, tapi sigap tangan ini kembali menghapusnya. Aku merasa bingung dengan diriku, belum pernah aku seperti ini.

“Afian, seperti katamu, Dia lebih berhak terhadap makhluk-Nya. Dia yang membuat kita berjumpa, Dia yang sudah membuat kita saling mengenal, Dia yang sudah memisahkan kita untuk sementara, dan Dia yang sudah menyadarkanku” Bisik hatiku.

Setelah itu tanganku mulai bergerak di atas kertas putih, menuntun penaku sembari sesekali memandang langit pagi. Hingga beberapa bait selesai, kemudian lengkaplah cuarahan hati dan otakku di kertas putih ini, puisi berjudul “Dia Dia Dia.”

“Bagai Pinus besar yang menjulang ke angkasa di tempat paling tinggi.”

“Tak hirau dengan aneka yang sejajar atau menyaingimu.”

“Hanya mengakar kuat pada bumi, dan hanya memandang ke langit tinggi.”

“Besar dan kuat kau tampak, hingga tak goyah dengan badai yang menerpamu.”

“Hingga dirimu merasa sampai pada pintu langit.”

“Dan merasa mendengar berita langit.”

“Pinus itulah diriku.”

“Berganti waktu kaulalui sendiri di atas langit yang megah, hingga kesombongan meracuni dirimu.”

“Berganti waktu kaulalui berpijak di bumi, hingga tak sadar bukan akarmulah yang membuatmu tegar dan kuat, tetapi bumi tempatmu berpijak yang mencengkrammu.”

“Dan Berganti waktu pula kaulalui sendiri, hingga semakin tajam rasa tak hirau dengan yang menjadikanmu tumbuh mengakar kuat di bumi hingga sampai ke langit megah.”

“Kau itulah diriku.”

“Saat langit berganti. Hanya terpaku di bawah langit yang memerah, tanpa tahu siapa yang sudah merubahnya.”

“Galaksi!”

“Pikirku, dirimu yang paling megah dan paling indah, meliputi hamparan semesta.”

“Surya!”

“Kupikir, diriku sama dengan dirimu yang angkuh dengan sinarmu yang menghangatkan hingga membakar hamparan semesta.”

“Semesta!”

“Batinku, dirimu beruntung memiliki diriku, yang setia memuja keindahanmu.”

 “Bintang!”

“Lamunku, engkau hanya sendiri atau hanya bersama gugusan sejenismu di langit pekat. Dan hanya menghasilkan warna yang seragam.”

“Terkaku, engkau tercipta untuk disentuh dengan akalku.”

“Pinus yang angkuh, itulah diriku.”

“Hingga Dia mengetuk hatiku. Bukan dengan terpaan angin dingin yang tak banyak berkata, bukan pula dengan bisikan burung-burung yang lewat ataupun hinggap.”

“Namun, dengan yang tiba-tiba hadir yang kukira akan menyaingiku, yaitu Pinus lain yang serupa tapi tak sama dengan diriku.”

“Pinus itulah, dirinya. Yang memintaku untuk menunduk pada Sang Pencipta Galaksi, Surya, Semesta dan Bintang.”

“Nyatanya, yang kudengar di pintu langit tak pernah ada. Dan yang kudengar di liang bumi juga tak pernah ada.”

”Nyatanya, yang kulihat di pintu langit tak seperti yang kulihat selama ini. Bahkan mereka lebih indah dari tangkapan akalku.”

“Semuanya hanya ilusi yang merasuki hatiku. Menjadikan akalku salah menerka.”

“Apa yang kudengar, ternyata tak pernah kupilah. Hingga menggiringku pada keyakinan yang salah. Keyakinan yang jauh dari diri-Nya.”

“Apa yang kulihat, sejatinya hanya paparan dari Dia. Warna-warna yang cantik di langit karena kepandain-Nya yang tak terbatas, dan bukan hanya satu macam.”

“Apa yang ada di mataku, sejatinya tak pernah indah tanpa Dia. Keindahan yang hakiki hanya melelahkan mata yang memandangnya, karena tak ada satupun cela. ”

“Apa yang terlukis indah dalam otakku, sejatinya tak pernah kekal tanpa Dia. Sewaktu-waktu Yang Maha kekal bisa menghapusnya, lenyap tak berbekas.”

“Yang selama ini membuncah dalam hasratku hanyalah ego, yang menjauhkanku dari Dia.”

 “Kini kusadari; Aku salah. Salah memainkan egoku, hingga tak kurasa diri-Nya di dekatku.”

“Dan ternyata;

“Bukan semesta yang mengajari diriku.”

“Bukan langkahku yang menegarkanku.”

“Bukan kesendirian yang selalu menemani diriku.”

“Bukan ketenangan yang telah melembutkan hatiku.”

“Bukan kelelahan yang menjadi pelajaran bagiku.”

“Tetapi,”

“Dia lah yang selama ini kulupakan.”

“Dia lah yang selama ini kuabaikan.”

“Dia lah yang selalu setia menanti diriku.”

“Dia lah yang tak pernah lelah berbisik.”

“Dan Dia lah yang telah mengirimkan kekasihnya untuk menggetarkan hatiku.”

“Hingga Dia Dia Dia menyelipkan rasa sesal dan cinta ke dalam hatiku.”

“Dia Dia Dia; merubah diriku, meluluhkan hatiku dan melembutkannya.”

                                                                                Zifan Alfanisa

Tiba-tiba seseorang duduk di sampingku. Maka aku menoleh, melihat siapa yang datang. Sedikit terkejut aku mengucap  “Elok.”

Elok pun tersenyum memandangku, namun ternyata itu nggak membuatku membalas senyumnya. Bukan karena aku membencinya seperti dulu, tetapi mendadak bayangan Alfian hadir di kedua mata Elok saat menatapku. Membuat dadaku terasa berat, seakan terhimpit kesedihan kehilangan orang yang sudah mencuri hatiku.

Setelah itu tangan Elok merogoh saku bajunya, mengeluarkan jam tangan, dan memberikannya padaku. Membuatku sangat terkejut sembari melihat jam tangan hitam, jam tanganku yang hilang. Pelan Elok berkata “Aku minta maaf, aku baru memberikan jam ini. Kak Fiyan menemukannya di masjid. Sebenarnya Kak Fiyan udah lama memintaku mengembalikan jam tangan ini, tapi....aku ragu, dan selalu menundanya. Aku minta maaf.”

Namun penjelasannya nggak membuat senyum di wajahku cepat kurasa. Kenapa bisa seperti ini? Sempurna sekali rencana-Nya untuk menyadarkanku yang keras kepala dan nggak mau mengenal-Nya selama ini.

Sembari tersenyum Elok meletakkan jam tangan di telapak tanganku. Saat itulah kedua mataku kembali melihat lekat-lekat jam tangan yang selama ini hilang. Seakan ingin menahan air mata aku cepat mengalihkan pandanganku pada langit pagi dengan hati yang bergetar sedih. Alfian, kamu memang pantas mendapat cinta-Nya. Dan pantaskah diriku bila kini aku merindukanmu? Dan jujur nggak mau kehilangan dirimu. Namun apa dayaku, karena Dia Dia Dia yang lebih berhak atas dirimu.

TAMAT

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • YoonCahya

    Fighting^^

    Comment on chapter Kenapa Begini!
Similar Tags
Strawberry Doughnuts
537      361     1     
Romance
[Update tiap tengah malam] [Pending] Nadya gak seksi, tinggi juga kurang. Tapi kalo liat matanya bikin deg-degan. Aku menyukainya tapi ternyata dia udah ada yang punya. Gak lama, aku gak sengaja ketemu cewek lain di sosmed. Ternyata dia teman satu kelas Nadya, namanya Ntik. Kita sering bertukar pesan.Walaupun begitu kita sulit sekali untuk bertemu. Awalnya aku gak terlalu merhatiin dia...
Koma
15893      2667     5     
Romance
Sello berpikir bisa menaklukkan Vanda. Nyatanya, hal itu sama halnya menaklukkan gunung tinggi dengan medan yang berbahaya. Tidak hanya sulit,Vanda terang-terangan menolaknya. Di sisi lain, Lara, gadis objek perundungan Sello, diam-diam memendam perasaan padanya. Namun mengungkapkan perasaan pada Sello sama saja dengan bunuh diri. Lantas ia pun memanfaatkan rencana Sello yang tak masuk akal untuk...
Benang Merah, Cangkir Kopi, dan Setangan Leher
197      157     0     
Romance
Pernahkah kamu membaca sebuah kisah di mana seorang dosen merangkap menjadi dokter? Atau kisah dua orang sahabat yang saling cinta namun ternyata mereka berdua ialah adik kakak? Bosankah kalian dengan kisah seperti itu? Mungkin di awal, kalian akan merasa bahwa kisah ini sama seprti yang telah disebutkan di atas. Tapi maaf, banyak perbedaan yang terdapat di dalamnya. Hanin dan Salwa, dua ma...
Letter hopes
809      454     1     
Romance
Karena satu-satunya hal yang bisa dilaukan Ana untuk tetap bertahan adalah dengan berharap, meskipun ia pun tak pernah tau hingga kapan harapan itu bisa menahannya untuk tetap dapat bertahan.
Persapa : Antara Cinta dan Janji
6675      1629     5     
Fantasy
Janji adalah hal yang harus ditepati, lebih baik hidup penuh hinaan daripada tidak menepati janji. Itu adalah sumpah seorang persapa. "Aku akan membalaskan dendam keluargaku". Adalah janji yang Aris ucapkan saat mengetahui seluruh keluarganya dibantai oleh keluarga Bangsawan. Tiga tahun berlalu semenjak Aris mengetaui keluarganya dibantai dan saat ini dia berada di akademi persa...
Cinta Aja Nggak Cukup!
4660      1499     8     
Romance
Pernah denger soal 'Triangular theory of love' milik Robert Sternberg? The one that mentions consummate love are built upon three aspects: intimacy, passion, and commitment? No? Biar gue sederhanakan: Ini cerita tentang gue--Earlene--dan Gian dalam berusaha mewujudkan sebuah 'consummate love' (padahal waktu jalaninnya aja nggak tau ada istilah semacam itu!). Apa sih 'consummate love'? Penting...
Peringatan!!!
1913      819     5     
Horror
Jangan pernah abaikan setiap peringatan yang ada di dekatmu...
Di Balik Jeruji Penjara Suci
10096      2134     5     
Inspirational
Sebuah konfrontasi antara hati dan kenyataan sangat berbeda. Sepenggal jalan hidup yang dipijak Lufita Safira membawanya ke lubang pemikiran panjang. Sisi kehidupan lain yang ia temui di perantauan membuatnya semakin mengerti arti kehidupan. Akankah ia menemukan titik puncak perjalanannya itu?
The Black Envelope
2380      838     2     
Mystery
Berawal dari kecelakaan sepuluh tahun silam. Menyeret sembilan orang yang saling berkaitan untuk membayarkan apa yang mereka perbuatan. Nyawa, dendam, air mata, pengorbanan dan kekecewaan harus mereka bayar lunas.
Petrichor
5101      1199     2     
Romance
Candramawa takdir membuat Rebecca terbangun dari komanya selama dua tahun dan kini ia terlibat skandal dengan seorang artis yang tengah berada pada pupularitasnya. Sebenarnya apa alasan candramawa takdir untuk mempertemukan mereka? Benarkah mereka pernah terlibat dimasa lalu? Dan sebenarnya apa yang terjadi di masa lalu?