Read More >>"> Dia Dia Dia (Peradaban dan Budaya) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dia Dia Dia
MENU
About Us  

Bel panjang satu kali berbunyi setelah Ketua Panitia mengumumkan tema pada perlombaan melukis kali ini, yaitu Peradaban dan Budaya. Sigap peserta yang berada satu ruangan denganku di ruang B bergerak, mengambil pensil dan menggoreskannya di kanvas putih. Namun diriku masih terpaku, memandang kavas putih lekat-lekat. Bukan karena diriku kehabisan ide untuk melukis dengan tema “Peradaban dan Budaya”, tetapi aku harus memilih dari beberapa ide yang terlintas di kepalaku. Dan perkataan Alfian tentang melukis menjadi alasan utama yang mengharuskan aku lebih berhati-hati.

Dalam perlombaan melukis di balai seni rupa Jakarta Selatan pada hari ini terbagi menjadi du ruangan, ruangan A dan ruangan B. Di ruang B ini ada lima deret, dan setiap deret ada 12 kanvas. Saat ini aku duduk di depan kanvas nomor 31. Waktu yang diberikan untuk melukis pada peserta lomba adalah 3 jam. Perlombaan akan sudah dimulai setelah tanda bel satu kali dan akan di akhiri dengan tanda bel tiga kali. Di setiap ruangan ada delapan pengawas lapangan yang akan mengawasi dan menilai para peserta lomba. Dan nilai akhir hasil lukisan akan mendapat poin lebih besar. Panitia juga menyiapkan jam cukup besar di ruangan, supaya peserta lomba bisa menggunakan waktu seefisien mungkin untuk melukis.

Tanpa kusadari waktu semakin berlalu saat tersadar dengan suara keras dari luar ruangan ini. Menyusul kemudian suara kucing mengeong, yang sepertinya menurutku bukan suara kucing sungguhan. Hingga membuat Panitia di dalam ruangan ini sigap keluar ruangan, melihat yang terjadi. Saat itulah aku baru tersadar, mungkin itu suara Dizam yang menirukan suara kucing. Mungkin Dizam kesal karena sedari tadi aku hanya menghabiskan waktu untuk melamun, memikirkan dan merasakan kepergian Alfian. Dizam memang sengaja mengantarku pada hari minggu ini ke balai seni rupa untuk mengikuti perlombaan melukis.

Sembari membuang nafas aku mengalihkan sorot mataku pada jam dinding di ruangan ini. Dan ternyata membuatku sedikit terkejut, aku sudah membuang waktuku beberapa menit. Tanpa banyak berpikir lagi sigap tanganku bergerak menggoreskan pensil di atas kanvas berukuran 60 x 60, kanvas yang besar untuk ukuran sebuah perlombaan. Saat itulah senyum di wajahku mulai kurasa, saat otakku menangkap apa yang sedang diukir oleh tanganku tentang peradaban dan budaya. Seperti kata Alfian “Jangan melukis makhluk bernyawa. Kalau terpaksa melukisnya kamu samarkan wujudnya, sehingga nggak terlihat sebagai makhluk bernyawa yang utuh. Dan jangan melukis wajah.”

Hingga beberapa waktu berlalu akhirnya terbentuklah sebuah gambar dengan goresan pensil di atas kanvas putih ini. Setelah itu tanganku mengeluarkan cat minyak ke atas palet. Kemudian kutambahkan pengencer cat minyak, supaya catnya nggak terlalu keras saat akan digunakan ke atas kanvas. Barisan kuas lukis segala ukuran berderet di wadah kuas dan barisan pisau palet juga berderet kotak kecil. Tangan kananku mengambil kuas salah satu ukuran sementara tangan kiriku memegang palet dengan warna-warna cat. Saat itulah aku mulai melukis, menuangkan warna-warna cat di atas  gambar sketsa di kavas putih.

Warna-warna kucampur dan menghasilkan warna yang kuinginkan. Sangat teliti dan hati-hati. Saat ini aku juga mencoba mengurangi kesalahan, supaya nggak terlalu boros menggunakan cat minyak. Hingga semakin lama suasana ruangan ini terasa sunyi sejenak, saat menyisakan suara detak jam saat semua peserta memainkan warna-warna di atas kanvas putih. Saat itulah akhirnya perlahan semakin terlihat bentuk gambar yang kuinginkan.

Terlihat para pengawas lomba berjalan sembari mengawasi dan menilai kami. Saat itulah aku merasa ada seseorang yang berdiri cukup lama di belakangku, namun aku nggak perduli dan tetap serius menggoreskan warna-warna cat di kanvas putih. Hingga waktu di ruangan ini menyisakan 15 menit saat jam di dinding menunjukkan 2 jam lewat 15 menit. Dengan sedikit rembesan keringat tanganku bergerak lebih cepat, saat berkutat dengan warna. Terkadang tanganku sigap berganti-ganti kuas sesuai ukuran yang kuinginkan. Sesekali juga aku meratakan cat minyak di kanvas dengan pisau palet, juga berganti-ganti sesuai ukuran yang dibutuhkan. Sementara itu para Peserta lomba semakin sibuk sembari sesekali melihat jam di ruangan.

“Ayo Zifan, sedikit lagi.” Ucapku pelan sembari menatap tajam setiap goresan cat minyak lewat kuas lukis dan tanganku berganti-ganti kuas bahkan pisau palet.

Sementara itu sebagian peserta lomba sudah menyelesaikan lukisan mereka, sebagian masih sibuk melukis, sebagian menghela nafas dan sebagian menggelengkan kepala.

“Selesai, subhanallah....” Ucapku pelan sembari tersenyum dengan hati lega.

Namun mendadak aku tersadar, hingga membuatku terdiam membatu, memikirkan perkataanku tadi saat aku mengucap “Subhanallah.”

Nggak lama kemudian bel berbunyi tiga kali. Menyusul kemudian suara “Harap segera letakkan alat lukis anda. Anda bisa membereskan peralatan melukis, kecuali kanvas. Dan anda bisa segera meninggalkan ruangan ini, kami akan mengumumkan pemenang lomba hari ini satu jam dari sekarang. Terima kasih.”

Setelah merapikan peralatan melukis kami Peserta lomba segera keluar ruangan. Saat itulah Dizam menghampiriku, memberiku sebotol air mineral. Setelah itu kami duduk di ruang tunggu.

“Aku yakin kamu pasti menang.”

Sebelum membalas sejenak aku tersenyum kecil. Kemudian berkata “Kamu nggak boleh ngomong gitu, karena itu sombong.”

Ternyata membuat Dizam terkejut, lalu mengangguk-angguk sembari tersenyum. “Kalau boleh tahu apa temanya tadi?”

Peradaban dan budaya”. Suaraku datar.

Sigap kening Dizam merapat sembari mengangguk-angguk pelan dan kembali bertanya “Lalu....apa yang kamu pikirkan?”

Pelan aku menghela nafas, kemudian tersenyum kecil dan berkata “Aku melukis apa yang kutahu dari lingkungan di sekitarku, dari keadaan masyarakat di negeri kita, dan dari alam yang  mulai dilupakan manusia.”

“Aku masih belum mengerti.”

Saat itulah senyum di wajahku bertambah lebar, lalu berkata “Nanti kamu akan tahu kalau juri sudah selesai menilai. Karena kudengar hasil lukisan bisa dibawa pulang peserta lomba, kecuali juara pertama, kedua dan ketiga. Karena itu berdoalah supaya aku nggak mendapat juara.”

Ternyata membuat kening Dizam semakin merapat sembari menatapku. Sedikit tegas aku menyela “Nanti lukisannya kamu taruh di rumah kamu.”

“Yang benar Zifan, kamu mau ngasih aku lukisanmu?”

“Cuma satu hari.” Aku tersenyum kecil.

“Aku senang walau cuma satu hari, tapi aku ingin kamu menang. Aku yakin kamu menang. Kalo aku nggak mendapat lukisanmu nggak apa-apa yang penting kamu menang.”

Membuat keningku berkerut tipis, menoleh pada Dizam yang tersenyum. Namun aku cepat mengalihkan sorot mataku dan berkata “Tapi....aku ingin lukisanku. Dan aku nggak berharap jadi pemenang.”

“Pasti lukisanmu sangat istimewa.”

Kali ini aku nggak membalas. Entahlah kenapa aku sangat ingin menyimpan dan memandang lukisan itu di dinding kamarku. Baru kali ini aku melukis sesuatu yang berbeda dengan lukisanku sebelumnya. Seperti kata Alfian, aku nggak menggambar utuh makhluk bernyawa dan aku nggak menggambar alam sepenuhnya.

Hingga satu jam yang diberikan Panitia untuk istirahat berlalu. Saat itulah semua peserta masuk ke dalam satu ruangan di ruang A. Di ruangan ini ternyata hanya ada deretan kursi untuk peserta, 10 deret kursi dan setiap deretnya ada 12 kursi. Sementara itu di depan podium terlihat tiga lukisan yang ditutup kain hitam. Saat ini aku duduk di deretan kelima dari depan, kursi ke delapan.

Ucapan-ucapan kecil dari para peserta lomba di ruangan ini masih saling terlempar. Hanya sebagian kcil yang memilih diam dengan wajah tegang. Namun aku yakin mereka semua pasti penasaran dan gelisah menanti. Aku bersyukur kali ini bisa duduk santai nggak setegang peserta lomba lainnya. Aku merasa sangat rileks sembari menyandarkan tubuh dan menyedekapkan kedua tangan di dada. Entahlah, mungkin karena kali ini aku nggak mau dan nggak berharap menjadi pemenang lomba melukis, nggak seperti perlombaan-perlombaan yang pernah kuikuti.

“Selamat pagi menjelang siang.” Ucap Ketua Panitia sembari tersenyum.

“Siang......” Peserta lomba hampir bersamaan.

“Ini saat-saat yang anda nanti, pemenang lomba melukis tingkat pelajar se-DKI. Kami sudah mengantongi tiga pemenang, juara satu, dua dan tiga. Untuk juara satu akan langsung masuk sepuluh besar pada perlombaan melukis tingkat Pelajar Nasional tahun ini.”

Saat itulah terlintas di kepala dan hatiku tentang harapan. Aku berharap bukan aku yang menjadi pemenang. Karena aku ingin membawa pulang lukisanku. Itu karena lukisan pemenang lomba akan diminta panitia.

“Pemenang lomba melukis tingkat pelajar, juara kedua diraih Sultan dari SMU 89 Jakarta Pusat.”

Membuat ruangan ini bergemuruh keras saat Peserta lomba bertepuk tangan. Setelah itu pemenang juara kedua maju ke depan, menerima piala dan hadiah uang 3 juta rupiah. Selanjutnya Ketua Panitia kembali berkata “Pemenang lomba melukis tingkat pelajar, juara ketiga diraih oleh Kumalasari dari SMU 107 Jakarta Barat.”

Sigap ruangan ini kembali bergemuruh dengan suara bertepuk tangan saat pemenang juara ketiga maju ke depan, menerima piala dan hadiah uang 2 juta rupiah. Namun tiba-tiba rasa gelisah menyerangku, hingga membuat wajahku menegang. Saat itulah hatiku berkatas keras “Aku nggak mau jadi pemenang juara pertama, lukisan pemenang akan diminta panitia. Aku nggak mau lukisanku yang sekarang diminta Panitia.”

Namun sisi hatiku yang lain berbisik lebih keras “Zifan. Belum tentu kamu yang menang, kamu kepedean amat sih! Santai aja.”

Akhirnya otot-otot di wajahku sedikit mengendor. Menyusul kemudian rasa lega masuk ke dalam hati. Saat itulah sebelum melanjutkan perkataan, Ketua panitia  tersenyum sembari memandang para peserta lomba “Hari ini saya sangat bahagia, saya mendapat juara pertama yang sangat spesial bagi saya dan para juri lainnya. Dan yang lebih spesial lagi adalah goresan lukisannya, sempurna, penuh teknik, juga sangat teliti dan mempunyai daya imajinasi yang kuat dan bagus, kepekaan yang sangat bagus. Dia bukan wajah baru di dunia melukis. Dan yang saya tahu ini bukan pertama kalinya dia memenangkan perlombaan melukis. Walaupun baru kali ini dia mengikuti lomba melukis di Jakarta, tapi dia membuktikan bahwa dia memang pantas menjadi pemenang. Saya beserta dewan juri lainnya mengakui itu.”

Sejenak Ketua panitia terdiam saat menghela nafas. Namun saat itu juga wajahku kurasa kembali menegang. Menyusul kurasa jantungku semakin keras berdetak, saat otakku mencoba menerka juara pertama lomba melukis. Aku berharap bukan aku. Aku nggak perduli jika aku harus kalah, yang penting aku nggak mau mendapat juara pertama. Lukisan itu nggak boleh diambil panitia, karena lukisan itu mengingatkanku pada Alfian.

Aku melukis sebuah surau kecil atau mushola dengan nuansa sejuk dan hijau mengelilinginya. Surau dari bantalan-bantalan kayu yang kental dengan nuansa kuno atau adat di sebuah desa. Di depan surau aku gambar permainan anak-anak jaman dulu, congkak atau dakon yang di gambar di atas tanah dengan batu-batu kecil di sampingnya dan permainan gobak sodor yang di gambar di atas tanah. Di belakang surau aku nggak melukis gunung, seperti kebanyakan pemandangan di desa selalu dilatari gunung, dan kebanyakan pelukis selalu melukisnya, tapi aku melukis gedung-gedung bertingkat. Gedung-gedung yang megah itu menjadi latar dari surau kecil. Dan anak-anak kecil dalam lukisan itu terlihat berlarian ke surau. Dengan wajah ceria mereka meninggalkan kesenangan mereka bermain congkak dan gobak sodor. Sementara itu seseorang menunggu di atas surau. Seperti kata Alfian, aku nggak menggambar utuh makhluk bernyawa, nggak tampak wajahnya. Dan hilir mudik manusia aku gambar nggak utuh, nggak terlihat jelas wajah mereka dan kusamarkan. Mereka terlihat di belakang surau, di bawah gedung-gedung megah dan tinggi. Di sudut kanan surau aku lukis sebuah sungai kecil yang airnya deras. Sungai itu mengalir dari gedung-gedung megah dan air sungai yang deras itu berwarna kemerahan. Pesan dari lukisan ini adalah budaya yang dilupakan manusia dewasa, saat kecil mereka berduyun-duyun ke surau, belajar agama bersama, bermain dan tertawa bersama, bahagia bersama dan saling menghargai. Saat dewasa, mereka melupakan jati diri mereka. Sikap yang kaku, nggak bersahabat dan saling mengalahkan. Peradaban yang selalu meruncing seiring berkembangnya jaman, dan budaya desa yang perlahan dilupakan, keakraban dan keramahtamahan.

“Juara pertama lomba melukis tingkat pelajar se-DKI adalah......Zifan Alfanisa dari sekolah SMU Nusantara 1 Jakarta Selatan.”

Apa aku nggak salah dengar? Dengan jantung yang terus berdetak cepat, hingga serasa mau copot. Kenapa harus diriku?

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • YoonCahya

    Fighting^^

    Comment on chapter Kenapa Begini!
Similar Tags
Strawberry Doughnuts
537      361     1     
Romance
[Update tiap tengah malam] [Pending] Nadya gak seksi, tinggi juga kurang. Tapi kalo liat matanya bikin deg-degan. Aku menyukainya tapi ternyata dia udah ada yang punya. Gak lama, aku gak sengaja ketemu cewek lain di sosmed. Ternyata dia teman satu kelas Nadya, namanya Ntik. Kita sering bertukar pesan.Walaupun begitu kita sulit sekali untuk bertemu. Awalnya aku gak terlalu merhatiin dia...
Koma
15893      2667     5     
Romance
Sello berpikir bisa menaklukkan Vanda. Nyatanya, hal itu sama halnya menaklukkan gunung tinggi dengan medan yang berbahaya. Tidak hanya sulit,Vanda terang-terangan menolaknya. Di sisi lain, Lara, gadis objek perundungan Sello, diam-diam memendam perasaan padanya. Namun mengungkapkan perasaan pada Sello sama saja dengan bunuh diri. Lantas ia pun memanfaatkan rencana Sello yang tak masuk akal untuk...
Benang Merah, Cangkir Kopi, dan Setangan Leher
197      157     0     
Romance
Pernahkah kamu membaca sebuah kisah di mana seorang dosen merangkap menjadi dokter? Atau kisah dua orang sahabat yang saling cinta namun ternyata mereka berdua ialah adik kakak? Bosankah kalian dengan kisah seperti itu? Mungkin di awal, kalian akan merasa bahwa kisah ini sama seprti yang telah disebutkan di atas. Tapi maaf, banyak perbedaan yang terdapat di dalamnya. Hanin dan Salwa, dua ma...
Letter hopes
809      454     1     
Romance
Karena satu-satunya hal yang bisa dilaukan Ana untuk tetap bertahan adalah dengan berharap, meskipun ia pun tak pernah tau hingga kapan harapan itu bisa menahannya untuk tetap dapat bertahan.
Persapa : Antara Cinta dan Janji
6675      1629     5     
Fantasy
Janji adalah hal yang harus ditepati, lebih baik hidup penuh hinaan daripada tidak menepati janji. Itu adalah sumpah seorang persapa. "Aku akan membalaskan dendam keluargaku". Adalah janji yang Aris ucapkan saat mengetahui seluruh keluarganya dibantai oleh keluarga Bangsawan. Tiga tahun berlalu semenjak Aris mengetaui keluarganya dibantai dan saat ini dia berada di akademi persa...
Cinta Aja Nggak Cukup!
4660      1499     8     
Romance
Pernah denger soal 'Triangular theory of love' milik Robert Sternberg? The one that mentions consummate love are built upon three aspects: intimacy, passion, and commitment? No? Biar gue sederhanakan: Ini cerita tentang gue--Earlene--dan Gian dalam berusaha mewujudkan sebuah 'consummate love' (padahal waktu jalaninnya aja nggak tau ada istilah semacam itu!). Apa sih 'consummate love'? Penting...
Peringatan!!!
1913      819     5     
Horror
Jangan pernah abaikan setiap peringatan yang ada di dekatmu...
Di Balik Jeruji Penjara Suci
10096      2134     5     
Inspirational
Sebuah konfrontasi antara hati dan kenyataan sangat berbeda. Sepenggal jalan hidup yang dipijak Lufita Safira membawanya ke lubang pemikiran panjang. Sisi kehidupan lain yang ia temui di perantauan membuatnya semakin mengerti arti kehidupan. Akankah ia menemukan titik puncak perjalanannya itu?
The Black Envelope
2380      838     2     
Mystery
Berawal dari kecelakaan sepuluh tahun silam. Menyeret sembilan orang yang saling berkaitan untuk membayarkan apa yang mereka perbuatan. Nyawa, dendam, air mata, pengorbanan dan kekecewaan harus mereka bayar lunas.
Petrichor
5101      1199     2     
Romance
Candramawa takdir membuat Rebecca terbangun dari komanya selama dua tahun dan kini ia terlibat skandal dengan seorang artis yang tengah berada pada pupularitasnya. Sebenarnya apa alasan candramawa takdir untuk mempertemukan mereka? Benarkah mereka pernah terlibat dimasa lalu? Dan sebenarnya apa yang terjadi di masa lalu?