Read More >>"> Dia Dia Dia (Rapat di SMP) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dia Dia Dia
MENU
About Us  

Selesai sarapan bersama keluarga kecilku, aku mengambil wadah bekal warna merah dan botol minum warna merah di meja, sebagai ganti uang jajan yang distop Ibu. Hukuman yang lagi-lagi kuterima dari Ibu. Santai aku keluar rumah, lalu membuka pintu pagar. Sebelum keluar pagar aku menghidupkan vespa, sejenak memanaskan mesin. Sementara Sani dan Subhan sudah berdiri di sampingku.

“Kak sudah belum?” Tanya Subhan.

“Iya sebentar, mesinnya masih belum panas.”

“Dipanaskan pakai apa Kak?” Subhan mengerutkan dahi.

Sejenak aku tersenyum kecil, kemudian tanganku menunjuk lubang hidungku seraya berkata “Nih pake upil Kak Zifan.”

Membuat Sani yang di samping Subhan tersenyum lebar, hampir tertawa. Sedangkan Subhan hanya menggaruk kepala dengan kening merapat. Sembari tersenyum Sani berkata pada Subhan “Mesin vespanya yang dipanaskan, dan pakai bensin. Vespa dihidupkan terus sampai mesin vespa panas, kalau sudah panas baru dipakai jalan”

“Oooo gitu....” Subhan mengangguk-angguk dengan kening merapat.

“Tapi aku belum ngerti Kak.” Sahut Subhan.

“Udah nanti aja tanyanya..., sama Sani. Sekarang kita berangkat.” Aku sudah naik vespa. Menyusul kemudian Subhan sigap duduk di belakangku dan Sani di paling belakang.

Akhirnya vespa merah ini melaju pelan di jalan gang sembari berkali-kali menekan klakson, mencoba membubarkan keramaian di jalan ini. Setelah itu vespa belok ke gang sebelah. Hingga nggak lama kemudian di depan sekolah SD kami berhenti. Sigap Subhan turun, kemudian mencium tangan Sani dan tanganku. Setelah itu Subhan cepat berlari masuk halaman sekolah. Sejenak kedua mataku memperhatikan Subhan yang berlari dan disambut teman-temannya, lalu sembari tertawa mareka masuk ke dalam kelas. Tanpa sadar menghadirkan senyum tipis di wajahku, melihat dunia anak-anak yang selalu ceria tanpa masalah.

Dengan kening merapat Sani berkata keras “Kak Zifan ayo berangkat.”

“Oh iya iya, kenapa Kakak jadi diam di sini.....” Aku memutar gas. Vespa merah pun melaju sedang di jalanan.

“Kak, yang agak cepat dong....” Suara Sani keras.

“Apa? Kakak nggak dengar.” Aku berteriak. Sigap Sani menunjukkan jam di tangannya ke depan wajahku.

Sejenak aku menoleh dan melihat jam tangan yang melingkar di tangan Sani, lalu berkata “Oooh itu...santai aja kamu nggak akan telat, paling Kak Zifan yang telat.”

Vespa merah ini terus melaju menyalip angkot-angkot yang berjalan pelan dan berkali-kali disalip dengan mobil dan motor yang melaju lebih cepat. Setelah belok kiri vespa ini meluncur lurus lagi. Hingga akhirnya vespa merah ini berhenti di depan sekolah SMP. Kemudian sigap Sani turun, lalu cepat melepas helem.

“Helemnya kamu bawa aja.” Aku putar balik vespa dan melaju lagi.

“Eh Kak, tunggu.” Suara Sani keras.

Membuatku mendadak menarik rem tangan, hingga vespa merah ini berhenti mendadak dengan mesin bergemuruh. Tegas aku menoleh dan bertanya “Apalagi?”

Sigap Sani menghampiriku dan menyodorkan helem padaku seraya berkata “Ini helemnya dikaitkan di depan aja, masak Sani bawa helem.”

“Dari kemarin kan kamu selalu bawa helem, kenapa sekarang nggak mau?”

“Ya soalnya Kak Zifan selalu langsung pergi, jadi Sani nggak sempat kasihkan helemnya ke Kak Zifan.”

Dengan berat aku menghela nafas, menahan kesal dalam hati. Kemudian tegas berkata “Ya udah, mana helemnya.”

Sani pun tersenyum lebar, lalu memberikan helem padaku. Terlihat tiga siswi SMP berjalan tergesa menghampiri Sani, sementara aku mengaitkan helem di vespa.

“Hei Umi, Ayu, Lala.” Sani menyapa sembari tersenyum.

“Sani, mana orang tua kamu?”

“Memangnya kenapa Umi?”

“Kan kelas 3 ada pertemuan orang tua, kamu nggak lupa sama undangannya kan?”

“Undangan?” Sani mengulang.

“Iya, memangnya Ketua kelas nggak ngasih kamu undangan?”

“Nggak tuh.” Sani menggelengkan kepala.

Selesai mengaitkan helem, sejenak aku menoleh, melihat Sani yang masih berbincang dengan ketiga temannya di tepi jalan. Keras aku berkata “Eh Sani, cepet masuk! Jangan ngobrol di jalan.”

“Oh iya Kak.”

Pelan tanganku memutar gas, hingga vespa merah ini kembali melaju perlahan.

“Kak Zifan...tunggu....” Suara Sani keras. Hingga membuatku lagi-lagi menarik rem tangan dengan tiba-tiba. Sejenak aku membuang nafas, kemudian tegas menoleh dan melihat Sani berlari mendekatiku.

“Ada apa lagi sih?” Suaraku keras. Dengan kerutan di kening Sani berdiri di samping kiri. Sementara aku karena kesal hanya menghela nafas, saat itu juga sorot mataku bergeser melihat ketiga teman Sani agak jauh di belakang Sani.

Setelah itu pandanganku kembali pada Sani. Tegas aku bertanya “Ada apa? Kakak udah telat nih.”

“Kak. Tolong Sani ya?” Sani memelas, tapi aku nggak segera menjawab sembari melempar pandanganku pada bangunan sekolah SMP. Kemudian tegas aku memandang wajah Sani yang lemas.

“Apalagi?”

“Sani benar-benar lupa kalau hari ini semua orang tua kelas 3 ada pertemuan dengan Kepala sekolah untuk membahas ujian akhir nanti. Sebenarnya ada undangan, tapi Sani nggak menerima undangannya, mungkin Ketua kelas lupa.”

Sejenak Sani nggak berkata, kemudian wajahnya bertambah lemas. “Sani minta tolong Kak Zifan yang mewakili orang tua, mau ya Kak?”

Lemas aku menghela nafas dan nggak menjawab. Sigap Sani menelungkupkan kedua tangan di depan dada, lalu berkata “Ayolah Kak...nanti kalo Kak Zifan perlu sesuatu, pasti Sani tolong.”

“Trus sekolah Kak Zifan gimana? Kakak bolos dong? Walaupun Kak Zifan sering berantem, gonta-ganti sekolah dan sering telat, tapi Kak Zifan nggak pernah bolos. Dan nanti Kakak dimarahin Ibu sama Ayah.”

“Rapatnya nggak lama Kak Zifan...paling sampe jam 9, setelah ikut rapat Kak Zifan bisa ke sekolah. Nanti Kak Zifan bisa minta surat keterangan dari sekolah Sani, kalau Kak Zifan menghadiri rapat orang tua kelas 3 SMP.”

“Haaa....ya sama aja...jam 9 baru selesai rapat! Berapa mata pelajaran yang ketinggalan di sekolah.” Aku tegas.

“Yaaa mudah-mudahan sebelum jam 9 selesai rapatnya.” Sani pelan.

Saat itulah mendadak aku terdiam dengan hembusan nafas yang berat. Otakku juga memikirkan perkataan Sani, tentu dengan kerutan di kening yang kurasa semakin tebal. “Ya udah, tapi nanti kamu yang bilang Ibu sama Ayah, kalau Kak Zifan ikut rapat di sekolah kamu.”

“Iya Kak. Makasih Kak Zifan, tapi jangan cemberut dong...eh Kak, nanti ada konsumsinya lho.”

“Kak Zifan belum laper.” Suaraku tegas.

“Ya udah kalo gitu, nanti buat Sani aja.”

“Eh, ya nggak bisa gitu dong.”

“Ya udah Kak, ayo putar balik vespanya dan langsung masukkan aja ke halaman sekolah.” Kata Sani sambil tersenyum.

“Iya-iya.” Setelah itu aku memutar balik vespa merah, lalu masuk ke halaman sekolah.

 Setelah memarkir vepsa di halaman Sekolah, sejenak aku berdiri di samping vespa sembari memandang ke sekeliling. Nggak lama kemudian Sani dan ketiga temannya tergesa menghampiriku.

“Kak Zifan, kenalkan mereka teman-teman Zifan. Yang pakai kerudung namanya Umi, yang rambutnya panjang, Ayu dan yang pakai kerudung satunya, Lala.”

Serentak Ketiga teman Sani tersenyum. Sedangkan aku hanya sejenak mengangguk dengan wajah datar. “Di mana rapatnya?”

“Di aula Kak.”

“Orang tua Umi, Ayu dan Lala udah datang. Mereka di aula.”

“Haaa...jadi kumpul sama Ibu-Ibu, ya udah Kak Zifan ke sana.”

Akhirnya Sani dan ketiga temannya pergi ke kelas. Sedangkan aku balik badan, kemudian melangkah, tapi aku lupa bertanya letak aulanya di sebelah mana. Sigap aku kembali balik badan dan bertanya “Eh auuu....”

Haaa.... ternyata Sani dan ketiga temannya udah nggak ada. Lemas aku pun menghela nafas sembari menggelengkan kepala. Kemudian sejenak sorot mataku meneliti ke sekeliling sekolah.

“Aulanya di mana?” Aku menggaruk kepala dengan topi merah di kepalaku.

Saat itu tanpa sengaja pandanganku tertuju pada seorang cowok yang memakai seragam putih abu masuk ke halaman sekolah SMP ini, seperti diriku. Lagi-lagi membuat keningku merapat seraya terus memperhatikan cowok itu, hingga dia memarkir sepedah gowesnya di samping vespa merah.

Pelan aku berkata “Sepertinya aku pernah lihat cowok itu, di mana ya?”

Setelah dia turun dari sepedah gowes, sepedah gunung yang jarang dipakai anak sekolah jaman sekarang, sejenak dia memperhatikan vespa merah, terlihat sangat teliti. Setelah itu dia kembali berjalan ke arahku, sementara aku sigap balik badan. Aku nggak mau dibilang genit karena sok memperhatikan cowok. Setelah itu aku cepat berjalan, tapi ternyata aku malah bingung mau berjalan ke mana. Hingga akhirnya aku bertanya pada seorang siswa SMP.

“Dek, letak aula sekolah ini di mana?”

Dengan kening merapat dia nggak segera menjawab, tapi memandangku teliti. Membuat wajahku semakin tegas dengan kening nggak kalah tebal darinya. Tegas aku berkata dengan suara tinggi “He! Lihat apa sih! Masih anak cabe udah lihat-lihat, belajar dulu yang bener! Di mana aulanya!”

Ternyata membuat siswa SMP di hadapanku terkejut dan panik dengan wajah menegang sembari berkata terbata-bata “Oh. I..i..iya Kak di sana di ruangan paling belakang, dari sini lurus aja trus belok ke kiri nanti ketemu kantin sekolah, belok lagi ke kiri. Ruangannya yang paling pojok.”

“Ya udah makasih, cuci tuh otakmu! Jangan lihat cewek terlalu lama! Anak SMP jaman sekarang dewasa sebelum waktunya, dasar! Mau jadi apa kalo udah gede.” Suaraku tegas.

Tanpa membalas siswa di hadapanku cuma terperangah kaget. Setelah itu aku berjalan lurus pergi ke aula, lalu belok kiri dan berjalan lagi hingga bertemu kantin. Sejenak aku berhenti berjalan di depan kantin sambil melihat ke sekeliling, lalu aku balik badan, tapi aku terkejut karena seseorang menabrakku.

“Oh maaf, kamu nggak apa-apa kan?”

“Haaa....kalau jalan lihat-lihat dong.” Aku kesal. Menyusul akhirnya mata kami bertemu, cukup lama. Mungkin ini seperti sinetron-sinetron yang lebay, tapi keadian ini bukan sinetron, dan aku bukan artis!

“Zifan?”

“Ahmm...A....” Aku mencoba mengingat namanya.

“Alfian.” Alfian memotong sembari tersenyum.

“Alfian?” Aku mengulang nggak percaya dengan kening berkerut. Sejenak aku terdiam sembari melempar pandanganku pada kantin yang kosong, kemudian kedua mataku memeriksa seragam yang dikenakannya. Barulah setelah itu aku mengangguk pelan.

“Jadi kamu masih SMA?” Tanyau seolah nggak percaya dengan kening merapat. Tapi Alfian nggak menjawab, dia malah tersenyum lebar.

“Dan...kamu yang pernah nabrak aku waktu di rumah sakit kan?”

Lagi-lagi Alfian tersenyum, bahkan lebih lebar. Sejenak dia menghela nafas, lalu bilang “Ternyata dunia itu nggak selebar daun kelor.”

Dengan berat aku menghela nafas tanpa menatapnya, tapi hanya mengangguk-angguk pelan. Tegas aku berkata “Aku nggak pernah lihat daun kelor, jadi diganti aja sama daun pisang atau daun cabe!”

Ternyata Alfian malah tersenyum semakin lebar, mengabaikanku yang nggak tersenyum. Mungkin dia pikir perkataanku tadi cuma lelucon, tapi itu kenyataan aku memang nggak tahu daun kelor, yang kutahu daun pisang atau daun cabe!

“Tapi kenapa kamu di sini? Kamu nggak lagi memata-matai aku kan?” Aku mengerutkan dahi.

“Aku mau menghadiri rapat. Rapat orang tua kelas 3 SMP, adikku sekolah di sini.”

“Mmmm gitu, ya udah aku duluan.” Di ujung perkataan aku berjalan.

“Eh tunggu, kamu belum cerita kenapa kamu di sini?” Alfian cepat berjalan di sampingku.

“Sama sepertimu.” Suaraku datar.

“Jadi kamu punya adik juga?” Alfian menatapku seraya tersenyum.

Sejenak aku menghela nafas, lalu menjawab malas tanpa menoleh “Iyaaa.”

Akhirnya Aku dan dan Alfian berjalan bersama menuju aula sekolah ini. Haaa benar-benar nggak pernah ada di benakku bisa bertemu sama dia di sini, kalau aku orang yang suka ceplas-ceplos aku akan bertanya “Apakah ini mimpi? Aku bertemu sama orang yang menabrakku di hari pertama kedatanganku di Jakarta, lalu dia menabraku lagi di sini, dan mungkin nanti akan membuatku kesal dengan perkataannya. Kuharap kita nggak pernah bertemu lagi setelah hari ini!”

Saat ini Alfian masih selalu bertanya sembari sesekali memandangku dan tersenyum. Sementara wajahku yang tetap datar tetap nggak memandangnya, cuma menjawab iya atau enggak dari setiap pertanyaan Alfian. Hingga akhirnya kami berdua menemukan aula sekolah ini di mana terlihat di depan aula sudah banyak orang yang sepertinya orang tua siswa/siswi kelas 3 SMP. Setelah menunggu sejenak, akhirnya pintu aula pun dibuka dan semua orang tua dipersilahkan masuk dan duduk di kursi yang sudah disiapkan, begitu juga aku yang langsung duduk di kursi depan dan sigap Alfian duduk di sampingku.

Sesaat kemudian Kepala sekolah masuk ke dalam aula dan rapat pun dimulai. Dalam rapat ini Kepala sekolah mengingatkan orang tua untuk mengawasi anak-anaknya dan membantu mereka untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian akhir nasional. Semua kelas 3 SMP di sekolah akan mendapat pelajaran tambahan berupa latihan-latihan soal dan pembahasannya, sebagai persiapan menghadapi ujian akhir nasional.

Ternyata rapat ini berjalan lama dan benar kata Sani, ada pembagian konsumsi. Setelah itu Kepala sekolah menjelaskan biaya yang harus dilunasi sebelum ujian akhir. Peserta rapat pun mendapat rincian biaya yang ditulis dalam selembar kertas. Hingga akhirnya rapat selesai jam 9. Setelah semua peserta rapat meninggalkan aula, aku langsung pergi ke ruang tata usaha. Begitu juga Alfian yang sigap mengikuti. Di ruang tata usaha kami berdua meminta surat keterangan mengikuti rapat, sebagai bukti ke sekolah kami bahwa kami datang terlambat. Setelah itu aku dan Alfian berjalan ke tempat parkir. Sigap aku memakai helem dan Alfian naik sepedah gowes.

“Zifan, aku duluan. Wassalammualaikum.” Alfian tersenyum sambil menoleh padaku.

“Iyaaa waalakumsalam.” Di ujung perkataan suaraku tegas.

Setelah itu Alfian ngegowes sepedah gunung keluar dari pintu gerbang sekolah. Setelah naik vespa dan menyalakannya, aku meluncur perlahan. Keluar dari pintu gerbang sorot mataku bergerak mencari Alfian, tapi ternyata aku nggak menemukannya.

“Cepat amat ngegowes sepedahnya.” Aku pelan dan heran sembari melaju dengan vespa merah.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • YoonCahya

    Fighting^^

    Comment on chapter Kenapa Begini!
Similar Tags
Strawberry Doughnuts
537      361     1     
Romance
[Update tiap tengah malam] [Pending] Nadya gak seksi, tinggi juga kurang. Tapi kalo liat matanya bikin deg-degan. Aku menyukainya tapi ternyata dia udah ada yang punya. Gak lama, aku gak sengaja ketemu cewek lain di sosmed. Ternyata dia teman satu kelas Nadya, namanya Ntik. Kita sering bertukar pesan.Walaupun begitu kita sulit sekali untuk bertemu. Awalnya aku gak terlalu merhatiin dia...
Koma
15893      2667     5     
Romance
Sello berpikir bisa menaklukkan Vanda. Nyatanya, hal itu sama halnya menaklukkan gunung tinggi dengan medan yang berbahaya. Tidak hanya sulit,Vanda terang-terangan menolaknya. Di sisi lain, Lara, gadis objek perundungan Sello, diam-diam memendam perasaan padanya. Namun mengungkapkan perasaan pada Sello sama saja dengan bunuh diri. Lantas ia pun memanfaatkan rencana Sello yang tak masuk akal untuk...
Benang Merah, Cangkir Kopi, dan Setangan Leher
197      157     0     
Romance
Pernahkah kamu membaca sebuah kisah di mana seorang dosen merangkap menjadi dokter? Atau kisah dua orang sahabat yang saling cinta namun ternyata mereka berdua ialah adik kakak? Bosankah kalian dengan kisah seperti itu? Mungkin di awal, kalian akan merasa bahwa kisah ini sama seprti yang telah disebutkan di atas. Tapi maaf, banyak perbedaan yang terdapat di dalamnya. Hanin dan Salwa, dua ma...
Letter hopes
809      454     1     
Romance
Karena satu-satunya hal yang bisa dilaukan Ana untuk tetap bertahan adalah dengan berharap, meskipun ia pun tak pernah tau hingga kapan harapan itu bisa menahannya untuk tetap dapat bertahan.
Persapa : Antara Cinta dan Janji
6675      1629     5     
Fantasy
Janji adalah hal yang harus ditepati, lebih baik hidup penuh hinaan daripada tidak menepati janji. Itu adalah sumpah seorang persapa. "Aku akan membalaskan dendam keluargaku". Adalah janji yang Aris ucapkan saat mengetahui seluruh keluarganya dibantai oleh keluarga Bangsawan. Tiga tahun berlalu semenjak Aris mengetaui keluarganya dibantai dan saat ini dia berada di akademi persa...
Cinta Aja Nggak Cukup!
4660      1499     8     
Romance
Pernah denger soal 'Triangular theory of love' milik Robert Sternberg? The one that mentions consummate love are built upon three aspects: intimacy, passion, and commitment? No? Biar gue sederhanakan: Ini cerita tentang gue--Earlene--dan Gian dalam berusaha mewujudkan sebuah 'consummate love' (padahal waktu jalaninnya aja nggak tau ada istilah semacam itu!). Apa sih 'consummate love'? Penting...
Peringatan!!!
1913      819     5     
Horror
Jangan pernah abaikan setiap peringatan yang ada di dekatmu...
Di Balik Jeruji Penjara Suci
10096      2134     5     
Inspirational
Sebuah konfrontasi antara hati dan kenyataan sangat berbeda. Sepenggal jalan hidup yang dipijak Lufita Safira membawanya ke lubang pemikiran panjang. Sisi kehidupan lain yang ia temui di perantauan membuatnya semakin mengerti arti kehidupan. Akankah ia menemukan titik puncak perjalanannya itu?
The Black Envelope
2380      838     2     
Mystery
Berawal dari kecelakaan sepuluh tahun silam. Menyeret sembilan orang yang saling berkaitan untuk membayarkan apa yang mereka perbuatan. Nyawa, dendam, air mata, pengorbanan dan kekecewaan harus mereka bayar lunas.
Petrichor
5101      1199     2     
Romance
Candramawa takdir membuat Rebecca terbangun dari komanya selama dua tahun dan kini ia terlibat skandal dengan seorang artis yang tengah berada pada pupularitasnya. Sebenarnya apa alasan candramawa takdir untuk mempertemukan mereka? Benarkah mereka pernah terlibat dimasa lalu? Dan sebenarnya apa yang terjadi di masa lalu?