Read More >>"> Dia Dia Dia (Jam Tangan) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dia Dia Dia
MENU
About Us  

Nggak lama setelah bel panjang pulang sekolah berbunyi  siswa/siswi di sekolah ini terlihat berhamburan di luar kelas. Begitu juga dengan siswa/siswi kelas ini yang pergi tergesa keluar kelas. Hisyam yang juga tergesa memasukkan bukunya berkata “Zifan, aku duluan.”

Sigap setelah itu Hisyam pergi tergesa keluar kelas. Sementara itu di depan meja guru terlihat Elok menoleh dan sejenak memandangku, setelah itu barulah Elok keluar kelas. Menyusul kemudian aku bangkit sembari membuang nafas, berjalan keluar kelas, kemudian menyusuri di lorong kelas 11 yang udah sepi. Mendadak langkahku terhenti tepat di depan mading saat kedua mataku nggak sengaja menangkap sebuah tulisan “Melukis.” Entahlah kenapa aku selalu tertarik dengan kata sederhana itu, yang bagiku sempurna “Melukis.”

 

Lomba Melukis Tingkat Pelajar

Balai seni rupa Jakarta Selatan kembali menggelar lomba lukis tingkat pelajar se DKI. Perlombaan kali ini lebih bergengsi, karena selain mendapat hadiah yang gede, pemenang lomba juga akan mengikuti perlombaan melukis tingkat pelajar Nasional. Bagi juara pertama akan langsung masuk 10 besar perlobaan melukis tingkat Nasional.

Syarat-syarat;

1. Warga negara Indonesia.

2. Status pelajar SMA/SMP, menunjukkan kartu pelajar pada panitia saat mendaftar.

3. Media yang digunakan kanvas. Kanvas disediakan panitia, kecuali cat minyak dan kuas.

4. Tema melukis ditentukan panitia.

5. Pendaftaran dilakukan satu minggu sebelum lomba di panitia lomba di balai seni rupa Jakarta Selatan. Biaya pendaftaran 100.000,-

Acara lomba akan digelar satu bulan lagi, pada tanggal 21 mei 2015.

Keterangan:

-Pendaftaran paling lambat dua hari sebelum perlombaan melukis.

                          Ketua Panitia lomba

                                Yanuar

Lomba yang sangat menarik karena aku suka melukis. Tanpa berlama-lama tanganku merogoh tas, mengambil buku dan bulpen. Kemudian aku mencatat besar-besar tanggal perlombaan melukis. Setelah kumasukkan kembali buku dan bulpen ke dalam tas, santai aku balik badan seraya kedua sorot mataku bergerak. Saat itulah mendadak pandanganku berhenti bergerak pada empat cewek kelas 10 dan Elin, anak cewek yang diancam tadi pagi.

Dengan tergesa keempat temannya membawa Elin yang ada di tengah-tengah mereka. Setelah itu mereka lenyap di arah jalan yang menuju belakang sekolah. Keningku sedikit merapat saat terlintas di otakku apa yang akan terjadi di belakang sekolah. Namun perkataan keras hatiku memutuskannya “Kenapa sih kamu Zifan jadi kepo seperti ini, itu masalah mereka! Bukan urusanmu. Cepat pulang!”

Akhirnya aku kembali berjalan ke tempat parkir sekolah. Di samping vespa merah mendadak aku terdiam sementara otakku menyelidiki yang tadi kulihat. Namun lagi-lagi hatiku berkata keras “Zifan, kenapa sih kamu ini mikirin mereka. Kalau si Elin di-bully sama keempat temennya, itu bukan urusanmu. Salahnya si Elin, mau aja dikerjain mereka. Nggak ada usaha membela diri.”

Setelah menghidupkan vespa dan naik ke atas vespa merah aku segera memutar gas, hingga vespa ini meluncur meninggalkan sekolah. Keluar dari gerbang sekolah lagi-lagi Pak Wandi menyapaku keras, membuatku heran karena ternyata Pak Wandi yang sudah berumur hapal dengan wajahku, hanya gara-gara telat di awal masuk ke sekolah ini. Saat itu juga aku melihat Elok berdiri di tepi jalan di depan sekolah, seolah menanti yang akan menjemputnya pulang. Dan untuk kesekian kalinya pandangan kami seolah dingin, tanpa perkataan.

Di bawah langit biru dan panas matahari vespa merah ini masih melaju di tengah keramaian kendaraan roda empat dan roda dua. Di perempatan jalan vespa merah ini dan kendaraan lain berhenti saat lampu merah menyala. Saat itulah Karbon Monoksida menjadi racun di lampu merah. Sigap aku  merogoh sapu tangan di baju, lalu melepas helem, dan memakai sapu tangan untuk menutup mulut dan hidungku. Setelah itu cepat aku memakai helem lagi bersamaan lampu hijau menyala. Sigap perlahan semua kendaraan melaju. Vespa merah ini juga cepat mengikuti, melaju perlahan. Aku udah lumayan hapal daerah-daerah di Jakarta Selatan dan jalan-jalannya, kalau aku lupa jalan tinggal buka google map di handphone. Cukup gampang.

Akhirnya yang kucari terlihat juga, sebuah toko buku di kiri jalan. Vespa merah pun belok ke halaman yang lumayan luas dari toko buku ini. Setelah memarkir vespa dan menguncinya, aku melepas helem. Kemudian aku membuka sapu tangan yang menutup mulut dan hidung sembari berjalan masuk ke dalam toko buku,  menitipkan tas pada tempat penitipan tas di dalam toko. Sembari santai berjalan kedua mataku memandang buku-buku di deretan rak. Aku terus berjalan ke tempat alat-alat tulis di lantai bawah sambil melihat barang-barang di rak. Beberapa barang yang kucari ada di sini, tapi nggak semua. Ada beberapa alat lukis yang nggak kutemukan.

Dengan kening berkerut tipis aku merogoh saku rok dan melihat uang yang kubawa. Perlahan keningku semakin rapat saat melihat uang yang kupunya. Uangku memang cukup untuk membeli semua alat yang kubutuhkan, tapi aku nggak bisa membeli kanvas. Masih kurang kalo ditambah kanvas, belum lagi cat minyak di rumah juga tinggal sedikit. Mungkin cuma bisa dipakai sekali melukis, tapi kalau untuk ikut lomba melukis aku perlu cat minyak lagi untuk cadangan, jadi aku perlu cat minyak baru. Trus uang pendaftaran juga belum ada. Mungkin baiknya aku cek lagi alat dan bahan melukis di rumah. Dan di Jakarta ini aku harus mencari alat bahan melukis di toko khusus alat lukis, pasti di sana lebih lengkap dan harganya lebih murah.

Akhirnya aku kembali berjalan, memutari deretan rak di toko ini sembari sesekali berhenti melihat alat-alat lukis yang terpajang. Sejenak kualihkan pandanganku pada orang-orang yang datang ke toko ini, ternyata banyak juga yang datang, hingga membuat toko ini nggak lagi setenang tadi. Tiba-tiba handphone di saku jaket berdering. Sigap aku merogoh saku dan menjawab tanpa melihat layar “Ya.”

“Zifan, kamu masih di mana? Kenapa belum pulang! Ini udah hampir jam 2 siang, kamu udah sholat belum? Jangan sampai kamu nggak sholat.” Suara Ibu tegas dari balik telepon.

“Iya iya, Zifan pulang sekarang.”

“Ibu tunggu di rumah, cepat pulang.”

“Iyaaa.”

Setelah itu telepon terputus. Sejenak aku menghela nafas, kemudian menggerutu pelan “Haaa....Ibu....apa Ibu nggak tahu, kalau anak Ibu ini nanti bakal jadi pelukis terkenal.”

Tapi tiba-tiba aku diam tertegun, kemudian perlahan keningku merapat saat aku berkata “Memang benar? Aku pingin jadi pelukis?”

Dengan berat aku membuang nafas, lalu berkata tegas “Ah....buat apa dipikir sekarang! Yang penting itu sekarang aku suka melukis, sangat suka melukis.”

Setelah itu aku cepat keluar dari toko buku dan menghampiri vespaku, lalu aku memakai jaket dan helem, menghidupkan mesin vespa, kemudian aku pun naik. Pelan vespa merah ini melaju keluar halaman toko buku dan meluncur di jalanan yang lebar dua alur yang ramai. Setelah itu aku belok kiri ke jalan satu jalur. Sesekali aku menoleh dan melihat rumah-rumah dan toko yang berderet di sepanjang jalan yang nggak lebar, kemudian pandanganku tertuju pada sebuah masjid. Seketika itu aku teringat perkataan Ibu di telepon “Kamu sudah sholat belum?! Awas kalau kamu nggak sholat!”

Akhirnya aku menepikan vespa, lalu merogoh jam tangan di saku baju dan sigap sorot mataku meneliti angka di atas jam. Membuatku terkejut dengan yang kulihat seraya berkata agak keras “Waduh! Jam 2 lewat 18 menit, aku belum sholat.”

Sigap aku menambah kecepatan vespa merah ini, walau nggak secepat laju motor di jalan ini. Hingga akhirnya vespa merah belok ke masjid di pinggir jalan. Setelah itu aku cepat turun dan menginjak besi di kolong vespa, kemudian melepas sepatu di depan teras masjid. Sambil sesekali mendongak mencari tempat wudhu aku berjalan tergesa, hingga aku membaca tulisan “Tempat Wudhu Putri.”

Selesai berwudhu aku tergesa masuk ke dalam masjid dan mencari mukena di dalam masjid, tapi ternyata aku nggak menemukannya. Sejenak aku tertegun, kemudian dengan berat menghela nafas. Tegas aku berkata “Masak di masjid segede ini nggak ada mukena!”

Kemudian kedua mataku meneliti ke sekeliling masjid “Mana sepi lagi, marbot masjidnya ke mana....lagi.”

Tiba-tiba aku diam tertegun dengan kening merapat dan sorot mata nggak bergerak. Pelan aku berkata “Eh tapi, marbot masjid kan laki-laki. Dan dia pasti nggak punya mukena, masak aku pakai sarung.”

Membuatku menggelengkan kepala sembari tersenyum kecil, lalu kualihkan sorot mataku pada jam dinding di masjid ini, ternyata sudah jam 2 lewat 25 menit.

“Ya udahlah.” Setelah itu aku balik badan dan melangkah, tapi tiba-tiba langkahku terhenti saat pandanganku tertuju pada Elok yang berdiri di teras masjid.

Seperti biasa saat ini  dia memandangku dingin sembari membawa beberapa mukena yang dilipat rapi. Tanpa menyapaku Elok masuk ke dalam masjid, lalu meletakkan mukena-mukena itu di dalam lemari. Setelah itu dia cepat keluar masjid. Sementara aku masih tertegun dengan kening semakin rapat, memandangnya hingga nggak terlihat.

“Kenapa Elok ada di sini? Apa ada banyak Elok? Dan semua wajahnya sama.”

Dengan berat aku membuang nafas, tanda kalo otakku nggak bisa menjawab pertanyaan hatiku. Tegas aku berkata “Tapi...kebenaran, aku bisa pakai mukenanya.”

Setelah itu aku cepat berjalan mendekati lemari, mengambil salah satu mukena dan memakainya. Akhirnya aku sholat dhuhur. Selesai sholat aku melipat mukena dan memasukkannya ke dalam lemari. Sembari tersenyum tipis aku berkata “Alhamdulillah....daripada nggak sholat, lebih baik telat.”

Santai aku keluar masjid, memakai sepatu dan jaket, kemudian menghampiri vespa dan memakai helem. Setelah itu aku menghidupkan vespa merah, hingga bersuara sangat keras. Sejenak aku tersenyum mendengar kembali suara vespa, kemudian sigap aku naik ke atas vespa, tapi belum aku melaju seseorang memanggilku keras “Tunggu.”

Akhirnya aku nggak jadi memutar gas, tapi sejenak melihat kaca spion, ternyata seorang laki-laki bertubuh ramping, berkulit putih dan tinggi yang memakai baju koko, sarung dan peci putih berjalan mendekatiku dari belakang. Membuat keningku berkerut tipis seraya memandangnya dari kaca spion. Menyusul kemudian hatiku berbisik “Sepertinya aku pernah melihat wajahnya, tapi di mana ya? Aku lupa, atau mungkin cuma orang lewat aja.”

Dengan nafas sedikit tersengal akhirnya dia berdiri di sampingku, kemudian menyodorkan sebuah sapu tangan dan berkata “Maaf, apa ini sapu tangan anda?”

“Oh, sepertinya sih....”

Ternyata keningnya cepat merapat, seraya menatapku. Sigap aku merogoh saku jaket dan rok, mencari sapu tanganku, tapi ternyata aku nggak menemukannya. Setelah itu aku membuka dan melihat isi dalam tas, tapi ternyata sapu tangan hijau muda juga nggak kutemukan. Akhirnya aku memaksa senyum pada laki-laki itu dan berkata “Ehmm benar, itu punya saya.”

Sigap aku mengambil sapu tangan hijau muda dari tangannya, kemudian memasukkannya ke dalam saku jaket. Ternyata membuat laki-laki di sampingku ini tersenyum lebih lebar.

“Oh iya, terima kasih.” Aku memaksa senyum.

“Sama-sama.” Jawabnya sambil tersenyum.

“Ya sudah aku pergi, apa aku harus bayar? Karena sholat di sini.”

“Kenalkan aku Alfian, ehmm marbot masjid di sini, cuma pengganti.” Alfian tersenyum sambil menelungkupkan tangan.

“Ooo.” Ucapku pelan sambil mengangguk. Kemudian kedua mata Alfian sedikit terbuka lebar sembari menatapku, aku pun tersadar kalau aku belum bilang namaku.

“Oh, ehmmm aku....Zifan. Zifan Alfanisa.” Aku mengulurkan tangan, tapi Alfian cepat menelungkupkan kedua tangan. Membuatku sedikit terkejut, lalu cepat menarik tanganku.

“Ya udah aku pulang.” Aku memalingkan wajah sambil memutar kontak vespa.

“Iya waalaikumsalam.” Alfian tersenyum. Dengan kening berkerut aku nggak jadi melaju. Sejenak aku tertegun, lalu mematikan vespa dan menoleh pada Alfian.

“Semua orang Islam itu wajib mengucapkan salam dan menjawab salam, karena salam itu adalah sebuah doa. Ketika seorang muslim mengucap dan menjawab salam, maka para malaikat akan mengaminkannya.” Alfian pelan dengan tutur kata yang rapi dan selalu tersenyum.

“Ooo.” Aku mengangguk, kemudian keningku kembali merapat sementara otakku nggak berhenti berpikir, tapi bukan memikirkan perkataannya, aku memikirkan wajahnya. Ya benar wajahnya itu sepertinya nggak asing buatku, aku merasa pernah melihatnya, tapi aku nggak ingat di mana ya?

“Zifan.” Suara Alfian keras. Membuatku tiba-tiba tersadar seraya mengedipkan kedua mata dan berkata “Oh, jadi aku harus mengucapkan waalaikumsalam sepertimu?”

Ternyata Alfian tersenyum lebar, bahkan hampir tertawa. Membuatku semakin bingung dengan kening berkerut. Setelah itu Alfian menggelangkan kepala sambil menahan tawa, kemudian dia berkata “Benar kata anak-anak sekolah itu, haaa....”

“Benar apanya?” Suaraku agak tinggi dengan kening merapat.

“Oh, nggak apa-apa. Kalau kita mau pergi keluar, kita harus mengucapkan wassalammualaikum. Kalau datang ke suatu tempat atau bertamu, kita harus mengucapkan assalammualaikum. Kalau kita mau ngejawab kedua salam tadi, kita harus mengucapkan waalaikumussalam. Salam kita mempunyai maksud semoga kedamaian dilimpahkan kepadamu diiringi dengan rahmat dari Allah SWT dan juga barakah dari Allah untukmu.” Alfian tersenyum.

“Mmm gitu....itu sih juga tahu.” Suaraku datar dan nggak tersenyum, lalu aku memutar kontak, membuat vespa merah bersuara.

“Ya udah aku cabut.” Aku memutar gas, dan akhirnya vespa merah ini melaju.

“Eh tunggu.” Suara Alfian keras. Membuatku berhenti mendadak, kemudian menoleh dengan wajah tegas.

“Salamnya mana?” Alfian tersenyum. Dengan berat aku membuang nafas, mencoba menahan kesal dalam hati. Sejenak aku menggelengkan kepala, keras aku berkata “Assalammualaikum, eh wassalammualaikum.”

Setelah itu vespa merah ini  melaju, tapi sebelum keluar halaman masjid sejenak kulihat wajah Alfian yang tersenyum seraya menggelengkan kepala dari kaca spion. Membuatku tersenyum tipis bila mengingat kejadian tadi, saat Alfian berpikir aku nggak tahu arti salam. Aku memang sering lupa mengucap salam, tapi bukan berarti aku nggak tahu arti salam.

Akhirnya vespa merah ini melaju di jalan yang nggak seramai tadi, jadi aku bisa memacu vespa lebih cepat, tapi tetap hati-hati. Beberapa kendaraan di jalan ini aku salip dan banyak kendaraan juga menyalip vespa ini, maklum vespa ini usianya udah sangat tua.

Sejurus waktu vespa merah bergemuruh di depan rumah lantai dua. Nggak lama kemudian Ibu cepat keluar rumah dan tanpa gurat senyum berdiri menanti di teras rumah. Setelah turun dari vespa aku membuka pintu pagar, kemudian kumasukan vespa merah ke halaman yang sempit, lalu ke teras rumah. Sigap aku menginjak besi di kolong vespa,  kemudian melepas helem. Setelah mencium tangan Ibu, aku melangkah masuk ke dalam rumah, tapi perkataan Ibu menghentikan langkahku “Zifan. Sini sebentar.”

Lemas aku balik badan dan memandang Ibu dengan wajah datar. Sepertinya Ibu marah nih, mungkin karena aku pulang terlambat. Haaa...Zifan...Zifan....

“Kamu lihat jam tangan kamu, sekarang jam berapa?” Tanya Ibu tegas.

“Iyaaa.” Suaraku lemas sembari merogoh saku baju dan rok. Cukup lama tanganku bergerak di dalam saku rok, tapi aku nggak menemukan jam tangan. Setelah itu aku merogoh saku jaket, tapi aku juga nggak menemukan jam tangan. Sejenak aku tertegun, memikirkan jam tanganku. Sementara Ibu masih tegas menatapku. Setelah itu aku cepat membuka tas dan mencari jam tangan hitam, tapi tiba-tiba aku tertegun dan kaget, karena aku nggak menemukan jam tangan. Ibu pun semakin tegas menatapku dengan kening semakin tebal. Tegas Ibu berkata “Zifan. Apa kamu sudah benar-benar jadi pelupa? Jam tangan itu pasti tempatnya di tangan. Bukan di saku baju, rok, jaket atau di dalam tas.”

Tanpa membalas aku cuma nyengir di hadapan Ibu. Tegas Ibu berkata “Ayo sekarang lepas jaket kamu.”

“Iyaaa.”

Sembari membuka jaket aku menghela nafas, merasakan hal yang biasa dilakukan Ibu, saat Ibu nggak percaya denganku. Tapi... di mana jam tanganku ya? Selama ini aku nggak pernah memakai jam tangan, tapi jam tangan itu selalu kusimpan di saku rok atau di saku baju. Dan sekarang di mana jam tanganku? Setelah membuka jaket aku kembali memeriksa saku jaket, hingga semua saku kugeledah, tapi tetap nggak kutemukan jam tangan milikku.

“Zifan, ke mana jam tangannya?” Ibu tegas sambil memperhatikan kedua tanganku.

“Itu dia.... Zifan juga bingung, kok nggak ada.” Aku terbata-bata.

Sejenak Ibu menghela nafas dengan berat, kemudian menggelengkan kepala. Dengan suara tegas dan tinggi Ibu berkata “Zifan, sudah berapa kali kamu selalu menghilangkan jam tangan? Atau jangan-jangan kamu sengaja membuangnya? Kenapa kamu hilangkan? Kenapa kamu buang?”

Sejenak aku terdiam  dan berpikir, kemudian berkata “Mmm Zifan nggak buang jam tangan itu Bu. Tadi ada kok, tapi....sekarang di mana ya....apa jatuh di jalan? Tapi nggak mungkin jatuh di jalan, trus jatuh di mana ya?”

“Kamu teledor sekali sih! Ayo ingat-ingat jatuh di mana?!” Suara Ibu lebih tinggi.

Aku kembali terdiam seraya melempar pandanganku pada sudut langit-langit. Aku benar-benar nggak merasakan jam tanganku jatuh, trus di mana jam tanganku? Haaa pelan aku membuang nafas dengan berat, kemudian kerkata santai “Ya udahlah Bu, nggak usah diingat-ingat lagi paling juga nggak ketemu. Jakarta ini kan luas dan jam tangan itu kecil, pasti udah diambil orang.”

Seraya menggelengkan kepala, terdengar Ibu menghela nafas panjang, lalu berkata “Zifan...Zifan, sampai kapan kamu akan seperti ini!”

Membuat keningku cepat berkerut rapat, memikirkan perkataan terakhir Ibu, tapi aku nggak segera membalas. Sementara Ibu masih menatapku tegas. Kemudian aku berkata “Ya ini Zifan. Selamanya Zifan ya seperti ini, kalau nggak seperti ini bukan Zifan.”

“Maksud Ibu, kamu itu selalu menganggap enteng masalah dan suka seenaknya. Kamu nggak punya tujuan hidup, dari sekarang belajar dewasa seperti....”

“Seperti Sani.” Aku memotong.

Dengan raut wajah kaku Ibu menggelengkan kepala, lalu berkata tinggi “Pokoknya Ibu nggak mau tahu, kalau jam tangan itu nggak ketemu Ibu nggak akan kasih uang jajan selama satu bulan.”

“Yaaa Ibu....jangan dong....kan Zifan nggak sengaja, Zifan mau makan apa di sekolah? Trus buat bensin gimana?”

“Kamu kan biasa makan di rumah, tapi nanti Ibu siapkan bekal nasi untuk di sekolah. Ibu cuma akan kasih uang bensin, nggak lebih.” Ibu tegas.

Dengan berat aku menghela nafas, kemudian tiba-tiba lemas. “Ya udahlah.”

“Sekarang cepat masuk.” Suara Ibu tegas.

“Iya...”

“Eh tunggu Zifan, tadi kamu sholat dhuhur nggak?” Suara Ibu tegas.

“Iya Bu. Zifan sholat kok.” Suaraku lemas dan pelan.

“Ya sudah sekarang masuk, trus cepat sholat asyar, jangan ditunda-tunda.”

“Iya Bu....” Aku masuk ke dalam rumah.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • YoonCahya

    Fighting^^

    Comment on chapter Kenapa Begini!
Similar Tags
Strawberry Doughnuts
537      361     1     
Romance
[Update tiap tengah malam] [Pending] Nadya gak seksi, tinggi juga kurang. Tapi kalo liat matanya bikin deg-degan. Aku menyukainya tapi ternyata dia udah ada yang punya. Gak lama, aku gak sengaja ketemu cewek lain di sosmed. Ternyata dia teman satu kelas Nadya, namanya Ntik. Kita sering bertukar pesan.Walaupun begitu kita sulit sekali untuk bertemu. Awalnya aku gak terlalu merhatiin dia...
Koma
15893      2667     5     
Romance
Sello berpikir bisa menaklukkan Vanda. Nyatanya, hal itu sama halnya menaklukkan gunung tinggi dengan medan yang berbahaya. Tidak hanya sulit,Vanda terang-terangan menolaknya. Di sisi lain, Lara, gadis objek perundungan Sello, diam-diam memendam perasaan padanya. Namun mengungkapkan perasaan pada Sello sama saja dengan bunuh diri. Lantas ia pun memanfaatkan rencana Sello yang tak masuk akal untuk...
Benang Merah, Cangkir Kopi, dan Setangan Leher
197      157     0     
Romance
Pernahkah kamu membaca sebuah kisah di mana seorang dosen merangkap menjadi dokter? Atau kisah dua orang sahabat yang saling cinta namun ternyata mereka berdua ialah adik kakak? Bosankah kalian dengan kisah seperti itu? Mungkin di awal, kalian akan merasa bahwa kisah ini sama seprti yang telah disebutkan di atas. Tapi maaf, banyak perbedaan yang terdapat di dalamnya. Hanin dan Salwa, dua ma...
Letter hopes
809      454     1     
Romance
Karena satu-satunya hal yang bisa dilaukan Ana untuk tetap bertahan adalah dengan berharap, meskipun ia pun tak pernah tau hingga kapan harapan itu bisa menahannya untuk tetap dapat bertahan.
Persapa : Antara Cinta dan Janji
6675      1629     5     
Fantasy
Janji adalah hal yang harus ditepati, lebih baik hidup penuh hinaan daripada tidak menepati janji. Itu adalah sumpah seorang persapa. "Aku akan membalaskan dendam keluargaku". Adalah janji yang Aris ucapkan saat mengetahui seluruh keluarganya dibantai oleh keluarga Bangsawan. Tiga tahun berlalu semenjak Aris mengetaui keluarganya dibantai dan saat ini dia berada di akademi persa...
Cinta Aja Nggak Cukup!
4660      1499     8     
Romance
Pernah denger soal 'Triangular theory of love' milik Robert Sternberg? The one that mentions consummate love are built upon three aspects: intimacy, passion, and commitment? No? Biar gue sederhanakan: Ini cerita tentang gue--Earlene--dan Gian dalam berusaha mewujudkan sebuah 'consummate love' (padahal waktu jalaninnya aja nggak tau ada istilah semacam itu!). Apa sih 'consummate love'? Penting...
Peringatan!!!
1913      819     5     
Horror
Jangan pernah abaikan setiap peringatan yang ada di dekatmu...
Di Balik Jeruji Penjara Suci
10096      2134     5     
Inspirational
Sebuah konfrontasi antara hati dan kenyataan sangat berbeda. Sepenggal jalan hidup yang dipijak Lufita Safira membawanya ke lubang pemikiran panjang. Sisi kehidupan lain yang ia temui di perantauan membuatnya semakin mengerti arti kehidupan. Akankah ia menemukan titik puncak perjalanannya itu?
The Black Envelope
2380      838     2     
Mystery
Berawal dari kecelakaan sepuluh tahun silam. Menyeret sembilan orang yang saling berkaitan untuk membayarkan apa yang mereka perbuatan. Nyawa, dendam, air mata, pengorbanan dan kekecewaan harus mereka bayar lunas.
Petrichor
5101      1199     2     
Romance
Candramawa takdir membuat Rebecca terbangun dari komanya selama dua tahun dan kini ia terlibat skandal dengan seorang artis yang tengah berada pada pupularitasnya. Sebenarnya apa alasan candramawa takdir untuk mempertemukan mereka? Benarkah mereka pernah terlibat dimasa lalu? Dan sebenarnya apa yang terjadi di masa lalu?