Read More >>"> Dia Dia Dia (Saat Hujan Turun) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dia Dia Dia
MENU
About Us  

Suara bel yang keras membuyarkan alam pikirku sejenak, bersamaan tangan ini berhenti bergerak di atas kertas putih. Sejenak kulihat suasana sekolah ini, terlihatlah siswa/sisiwi berjalan tergesa dan masuk ke dalam kelas-kelas yang berderet. Entahlah, rasanya aku masih betah duduk di sini, malah semakin betah karena sekolah ini menjadi hening tanpa suara-suara dari siswa/siswi sekolah. Setelah itu aku kembali menggerakkan jari-jari tanganku memainkan goresan pensil di atas kertas putih, kertas canson. Saat ini aku memang sedang menggambar sketsa anak kecil yang sedang merengek.

Bagai halilintar di siang bolong, suara seorang laki-laki terdengar keras dan tegas dari sampingku “Hei, kenapa masih di sini?”

Dan seperti biasa, nggak ada bisa membuatku terkejut, bahkan suara halilintar yang keras sekalipun, kecuali suara Ibu. Namun terpaksa tanganku berhenti bergerak di atas kertas putih. Walau sebenarnya nggak mau menanggapi suara itu, tapi rasanya aku menjawab saja. “Aku lebih suka di sini, di kelas berisik.”

“Kamu berdiri sekarang.” Suara laki-laki keras sembari menepuk pundakku.

Setelah kututup buku dan menyelipkan pensil di dalam kantong kecil di atas sampul buku canson, aku bangkit dan berdiri di hadapannya dengan pandangan sedikit tertunduk. Hanya sesekali saja kuarahkan pandanganku pada laki-laki berkumis tipis di hadapanku.

“Kamu tahu siapa saya?!” Tanya laki-laki itu tegas.

“Tidak Pak.” Suaraku datar.

“Kamu tidak kenal?! Semua murid di sini tahu siapa saya. Dan kamu! Kenapa tidak mengenal saya!” Laki-laki itu tegas.

Namun perkataan laki-laki itu nggak merubah wajahku yang datar. Dan seperti biasa saat ini nggak ada yang kurasakan dalam hatiku, mungkin karena aku merasa nggak punya masalah dengannya. Hingga nggak lama kemudian Bu Ida yang akan menuju kelas melihat kami berdua. Tergesa Bu Ida menghampiri, lalu bertanya “Ada masalah apa Pak Sam? Kenapa Bapak marah-marah?”

Tanpa mengurangi ketegasan laki-laki yang dipanggil Pak Sam oleh Bu Ida, Pak Sam menoleh tanpa tersenyum. Kemudian dengan suara tinggi Pak Sam berkata “Saya heran Bu. Saya kan guru paling tegas sama semua siswa/siswi sekolah ini, tapi dia malah tidak kenal saya? Murid macam apa?! Tidak kenal sama gurunya.”

Sejenak Bu Ida tersenyum, lalu bertanya padaku “Zifan, kenapa kamu tidak mengenalkan dirimu pada Pak Sam?”

“Saya tidak punya kesempatan, Pak Sam langsung marah-marah.” Suaraku datar.

“Memangnya siapa dia Bu Ida?” Pak Sam mengerutkan dahi.

“Tuh kan Pak Sam juga tidak mengenal Zifan, kenapa langsung marah-marah? Harusnya Bapak tanya dulu namanya.”

Dengan kening merapat Pak Sam mengangguk-angguk seraya menatapku tegas. Dan  Bu Ida mendahuluiku berkata “Namanya Zifan, pindahan dari Surabaya. Zifan murid baru di sekolah ini.”

“Ooo pantas saja.... dia tidak kenal saya.” Pak Sam manggut-manggut sambil sorot matanya tertuju padaku.

“Saya minta maaf Pak Sam.” Aku menganggukkan kepala sejenak.

“Hmmm....” Pak Sam mengangguk-angguk sambil memandangku.

“Ya sudah Zifan, sekarang kamu masuk kelas.” Suara Bu Ida pelan tapi terdengar.

“Baik Bu.”

Setelah itu aku pergi menuju kelas 11.7, meninggalkan Pak Sam dan Bu Ida. Walau sudah nggak terlihat satupun siswa/siswi di lorong ini, tetapi aku tetap berjalan santai melewati deretan kelas 10, selanjutnya deretan kelas 11. Hingga akhirnya pandanganku mendahului langkahku saat melihat kelas 11.7. Menyusul kemudian kedua telingaku mendengar suara gaduh dari dalam kelas 11.7.

Masuk ke dalam kelas siswa/siswi di kelas ini bertambah ramai dengan celotehan dan suara tawa. Sudah pasti karena guru yang akan mengajar belum datang. Setelah melewati beberapa meja, sampailah aku di bangku paling belakang. Setelah itu aku duduk santai menyandarkan tubuh pada punggung kursi. Tanpa sengaja kedua mata ini tertuju pada cewek berkerudung di depan meja guru yang ternyata sedang menoleh dan memandangku tanpa gurat senyum. Tanpa tersenyum juga aku hanya memandangnya datar.

Rasanya sedari awal kedatanganku ke kelas ini dia selalu menatapku seperti itu. Aku nggak tahu kenapa dia seperti itu, tapi biarlah aku nggak perduli, aku nggak punya urusan sama dia. Perlahan aku membuang nafas sembari mengalihkan pandanganku pada papan tulis, bersamaan siswi di sebelahku menoleh dan menatapku. Sembari mengulurkan tangannya dia berkata “Oh iya kita belum kenalan, namaku...Hisyam.”

Sejenak aku menoleh, lalu menjabat tangannya dan mengangguk pelan tanpa gurat senyum.

“Apa...kamu....” Hisyam mengerutkan dahi.

“Kamu udah tahu namaku kan? Apa harus kuulangi?” Aku memotong datar tanpa memandangnya, setelah itu sejenak aku menoleh dan meilhat wajahnya. Kemudian kulempar kembali pandanganku pada papan tulis.

Ternyata membuat kening berkerut rapat sembari menatapku lebih dekat. Setelah itu Hisam menjauhkan wajahnya dan menghela nafas, lalu berkata “Ya...tapi nggak gitu juga....apa nggak ada kalimat lain?”

Sejenak mengangguk sembari tersenyum tipis aku berkata “Aku paling nggak suka basa-basi dan cari tahu urusan orang, apa itu cukup?”

Di perkataan terakhir aku menoleh pada Hisyam dan sejenak menatapnya. Nggak lama kemudian guru yang akan mengajar yang ternyata Bu Ida masuk ke dalam kelas sembari berkata “Assalammualaikum, selamat pagi anak-anak.”

“Waalaikumsalam, selamat pagi Bu...” Semua siswa/siswi serentak.

“Baik sekarang dibuka bukunya, Ibu akan menerangkan sistem peredaran darah pada manusia.”

Selanjutnya Bu Ida menerangkan di depan kelas, sedangkan semua siswa/siswi di kelas ini serius mendengarkan. Hanya aku yang mendengar sembari tanganku nggak berhenti memainkan bulpen di jari-jari kanan, selalu kuputar dan sesekali aku mencatat. Sejurus waktu dua jam berlalu, bersamaan dengan suara bel yang keras. Setelah mengakhiri penyampaian materi biologi Bu Ida pergi keluar kelas bersamaan kelas ini kembali gaduh. Bahkan bertambah gaduh saat mengetahui bahwa guru berikutnya yang akan mengajar berhalangan datang. Guru piket hanya memberi tugas untuk menyelesaikan LKS. Setelah itu sebagian siswa/siswi kelas ini sibuk mengerjakan LKS, sedangkan sebagian lagi malah asik ngobrol.

Dengan wajah datar aku aku duduk santai sambil tanganku bergerak mengerjakan LKS. Sementara di sampingku, Hisyam masih terus bertanya padaku. Sepertinya dia masih penasaran sama diriku, tapi aku nggak menjawab panjang, aku cuma menjawab iya atau enggak. Saat itulah pandanganku bergerak dan tertuju pada siswi berkerudung di depan meja guru yang ternyata lagi-lagi sedang memandangku dingin. Dengan berat aku membuang nafas, merasakan sepertinya ada siswi yang sedang memata-mataiku di kelas ini. Sedikit menoleh pada Hisyam aku bertanya tanpa mengalihkan sorot mataku dari Elok. Walaupun aku sudah tahu namanya dari yang kudengar tadi padi, tapi aku ingin memastikan saja bahwa dia benar bernama Elok.

“Cewek berkerudung di depan meja guru itu siapa?”

Setelah itu sorot mata Hisyam bergerak, mengikuti arah pandanganku pada temannya yang berkerudung di depan meja guru. Pelan Hisyam berkata “Oooh dia Elok. Dia itu....beda sama kami.”

Tanpa ada ekspresi di wajah aku mengangguk-angguk pelan. Sementara Hisyam yang masih menatapku dengan kening merapat bertanya “Kenapa kamu tanya dia?”

“Nggak apa-apa.” Jawabku datar.

“Apa kamu emang selalu kayak gini?”

Aku nggak menjawab pertanyaan Hisam, tapi aku terus menulis jawaban soal di LKS. Sementara Hisyam masih menatapku dan menanti jawaban. Kemudian dia berkata “Haaa kalau kamu nggak mau jawab nggak apa kok, tapi aku tetep yakin kamu teman yang baik.”

Di akhir perkataan Hisyam tersenyum, tapi wajahku tetap datar tanpa ekspresi dan nggak membalas perkataannya sembari tetap menulis jawaban di LKS. Hingga akhirnya bel panjang berbunyi, pertanda waktu untuk pulang sekolah. Membuat keadaan kelas ini bertambah kacau dengan suara-suara yang keras, menyusul kemudian sebagian siswa/siswi kelas ini cepat berhamburan keluar kelas.

“Zifan, aku duluan ya...” Hisyam tersenyum. Tanpa membalas aku hanya mengangguk pelan sembari tersenyum kecil.

Sigap Hisyam berjalan keluar kelas meninggalkan aku yang masih memasukkan buku ke dalam tas. Saat itulah sejenak pandanganku kualihkan pada Elok yang masih duduk di kursinya, yang ternyata lagi-laki sedang memandangku sembari merapikan buku-buku di dalam tas miliknya.

Selesai memasukkan buku-buku aku berjalan melewatinya menuju pintu kelas, kemudian berjalan di lorong kelas menuju tempat parkir sekolah. Sesampainya di depan tempat parkir langkahku terhenti saat pandanganku meneliti tempat parkir sekolah yang sangat berjubel, penuh sama siswa/siswi sekolah. Membuatku hanya geleng-geleng kepala sembari membuang nafas.

Akhirnya kuputuskan untuk pergi ke taman depan labolatorium. Sesampainya di kursi di taman ini aku duduk santai menyandarkan tubuh pada punggung kursi. Sejenak kualihkan kedua sorot mataku pada langit biru yang ganas, namun semakin terlihat indah. Saat itulah pandangan ini pergi mengembara di langit biru. Kemudian hatiku berbisik “Pelindung yang baik, walau selalu dicemooh.”

 Namun nggak lama awan hitam berbondong-bondong datang,  merubah langit yang sedang kunikmati menjadi gelap. Semakin lama langitpun semakin pekat dengan gelap, hingga nggak terlihat sedikit cahayapun. Saat itulah awan hitam yang semakin tebal sudah berada di atas sekolah ini,  bahkan mungkin di atas Kota ini. Menyusul kemudian perlahan angin dingin bertiup lebih besar. Sigap aku bangkit dari kursi dan cepat berjalan ke tempat parkir, tapi langkahku lagi-lagi terhenti di depan pintu tempat parkir saat kulihat beberapa siswa berdiri di dekat vespa merah seraya memandangi vespa merah, bahkan sorot mata mereka nggak berhenti bergerak meneliti vespa jadul warisan Ayah.

Kesal aku membuang nafas, kemudian merogoh kunci vespa di saku rok. Sembari tersenyum kecil aku menekan tombol di gantungan kunci vespa ini, yang memang kulengkapi dengan remot kecil untuk membunyikan alarm di vespa. Hingga membuat vespa merah tiba-tiba berbunyi keras dan mengagetkan lima siswa di dekatnya. Membuat senyumku bertambah lebar sejenak, lalu cepat mendekati vespa dan memakai helem. Sigap saku naik ke atas vespa, memutar kunci kontak dan memutar gas kuat-kuat bersamaan kutarik rem tangan. Hingga membuat vespa merah ini semakin keras bersuara, mengagetkan lima siswa yang masih memandangku sembaris menutup kedua telinga. Sejenak aku memainkan gas sembari menarik rem tangan, membuat suara vespa ini semakin indah. Tapi ternyata membuat kelima siswa itu perlahan melangkah mundur seraya menutup kedua telinga dan sedikit menunduk. Saat itulah senyumku bertambah lebar, namun aku nggak mau berlama-lami lagi di sini. Akhirnya aku langsung cabut dengan vespa merah.

“Waaah ternyata cewek yang punya vespa itu.....” Siswa cowok pertama masih memandangku.

“Gue baru lihat cewek itu....” Sahut siswa cowok kedua.

“Pasti murid baru.” Siswa cowok ketiga mengangguk.

“Tapi keren juga motornya.” Siswa cowok keempat tersenyum.

“Dan orangnya juga.” Siswa cowok pertama dan kelima hampir bersamaan.

Sejenak senyum di wajahku hadir saat melihat wajah mereka berlima yang memerah dari kaca spion. Hingga akhirnya vespa merah ini melaju keluar pintu gerbang. Saat itulah kulihat Elok sedang berdiri di tepi jalan di depan sekolah, sepertinya sedang menunggu jemputan. Tanpa kuduga Elok kembali memandangku tanpa gurat senyum saat aku akan melewatinya. Sejenak kedua mata dan wajah ini memandangnya datar, hingga aku dan vespa berlalu melewatinya,  melaju di jalan dua arah.

Tiba-tiba saja rintik-rintik air berjatuhan dari langit dan perlahan membasahi jalanan. Tanpa pikir panjang aku menepikan vespa, kemudian kumasukkan tas ke tempat kecil di bawah jok yang sebenarnya tempat untuk menaruh barang atau jas hujan, tapi hari ini aku lupa nggak membawa jas hujan. Setelah itu aku kembali melaju dengan vespa merah di tengah hujan yang masih turun. Ternyata semakin lama hujan yang turun bertambah deras, tapi aku mencoba nggak perduli dan terus melaju. Akhirnya membuat bajuku semakin basah kuyup oleh air hujan. Mau nggak mau aku harus segera menepi. Saat itulah kedua mataku nggak lepas dari tepi jalan, mencari tempat untuk berteduh. Hingga kulihat sebuah ruko yang tutup, yang memiliki atap di terasnya.

Sigap aku menepikan vespa di teras ruko yang tertutup rapat itu. Setelah turun dari vespa kurasa nafasku sedikit tersengal,  kemudian pandanganku meneliti langit hitam yang menjatuhkan butiran-butiran air sangat deras. Sembari  menghela nafas aku melepas helem dan mengaitkannya di vespa. Saat itulah sorot mataku tertuju pada sebuah  meja  dari papan di depan ruko. Membuat senyumku mengembang saat menangkap perkataan hati dan otakku.

Setelah itu aku mengambil tas di bawah jok vespa, kemudian mengeluarkan buku kecil kumpulan puisi-puisi dari alam pikirku. Harusnya di waktu-waktu seperti ini menggambar adalah yang paling kusukai, tapi aku khawatir buku canson akan rusak dan kotor, karena tetesan air hujan dan debu, belum lagi tangan dan bajuku basah. Jadi aku lebih memilih menulis puisi untuk saat ini.

Nggak butuh waktu lama bagitu untuk menulis puisi. Entahlah, terkadang aku nggak mengerti dengan diriku, aku yang tomboy tetapi sangat menyukai melukis dan menulis puisi. Sejenak senyum di wajahku kurasa bertambah lebar, saat mengingat catatan merah dari sifat tomboyku hingga membuatku terdampar di Jakarta. Waktu yang terlalu cepat hingga nggak kurasa akhirnya tanganku selesai menangkap setiap perkataan dalam otakku, menerjemahkannya di atas kertas ini.

Saat hujan turun

Hujan. Hingga saat ini aku selalu bertanya.

Hujan. Hingga saat ini aku selalu memandangmu.

Hujan. Tidakkah kau ingin bertanya? Saat ini,

Saat engkau turun ke bumi,

Saat dirimu jatuh dari langit,

Saat diriku memandangmu,

Dan saat penduduk bumi memandangmu.

Wajah-wajah tanpa gurat senyum bertebaran.

Wajah-wajah dengan gurat kesal memaki dirimu.

Dan wajah-wajah bahagia berterimakasih padamu.

Hujan. Apakah kau selalu seperti ini?

Saat hujan turun, engkau diam, dan tak bicara.

Saat dirimu jatuh ke bumi, engkau menyimpan banyak rahasia.

Hanya sambaran kilat dan halilintar yang terkadang menemani dirimu.

Tidakkah engkau kesepian?

Dan salahkah aku?

Aku kagum pada dirimu. Dan ingin seperti dirimu.

Diam. Tak banyak berkata.

Dan memberi banyak warna pada setiap wajah.

Sejenak aku menghela nafas dengan pandangan kosong, tertuju pada hujan yang turun. Nggak ada rasa bosan saat aku memandangnya, walau dingin semakin beringas menyergapku. Hingga perlahan hujan nggak seganas tadi, sudah agak reda dan nggak selebat tadi, walaupun gerimis masih berjatuhan. Sementara aku masih duduk membuka buku kecil sambil mengamati suasana jalanan yang mulai ramai dengan hilir mudik sepedah motor dan mobil. Setalah itu aku merogoh jam tangan dari saku rok, lalu kedua sorot mataku tertuju pada jam.

“Lama juga, hampir dua jam.” Suaraku pelan.

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • YoonCahya

    Fighting^^

    Comment on chapter Kenapa Begini!
Similar Tags
Strawberry Doughnuts
537      361     1     
Romance
[Update tiap tengah malam] [Pending] Nadya gak seksi, tinggi juga kurang. Tapi kalo liat matanya bikin deg-degan. Aku menyukainya tapi ternyata dia udah ada yang punya. Gak lama, aku gak sengaja ketemu cewek lain di sosmed. Ternyata dia teman satu kelas Nadya, namanya Ntik. Kita sering bertukar pesan.Walaupun begitu kita sulit sekali untuk bertemu. Awalnya aku gak terlalu merhatiin dia...
Koma
15893      2667     5     
Romance
Sello berpikir bisa menaklukkan Vanda. Nyatanya, hal itu sama halnya menaklukkan gunung tinggi dengan medan yang berbahaya. Tidak hanya sulit,Vanda terang-terangan menolaknya. Di sisi lain, Lara, gadis objek perundungan Sello, diam-diam memendam perasaan padanya. Namun mengungkapkan perasaan pada Sello sama saja dengan bunuh diri. Lantas ia pun memanfaatkan rencana Sello yang tak masuk akal untuk...
Benang Merah, Cangkir Kopi, dan Setangan Leher
197      157     0     
Romance
Pernahkah kamu membaca sebuah kisah di mana seorang dosen merangkap menjadi dokter? Atau kisah dua orang sahabat yang saling cinta namun ternyata mereka berdua ialah adik kakak? Bosankah kalian dengan kisah seperti itu? Mungkin di awal, kalian akan merasa bahwa kisah ini sama seprti yang telah disebutkan di atas. Tapi maaf, banyak perbedaan yang terdapat di dalamnya. Hanin dan Salwa, dua ma...
Letter hopes
809      454     1     
Romance
Karena satu-satunya hal yang bisa dilaukan Ana untuk tetap bertahan adalah dengan berharap, meskipun ia pun tak pernah tau hingga kapan harapan itu bisa menahannya untuk tetap dapat bertahan.
Persapa : Antara Cinta dan Janji
6675      1629     5     
Fantasy
Janji adalah hal yang harus ditepati, lebih baik hidup penuh hinaan daripada tidak menepati janji. Itu adalah sumpah seorang persapa. "Aku akan membalaskan dendam keluargaku". Adalah janji yang Aris ucapkan saat mengetahui seluruh keluarganya dibantai oleh keluarga Bangsawan. Tiga tahun berlalu semenjak Aris mengetaui keluarganya dibantai dan saat ini dia berada di akademi persa...
Cinta Aja Nggak Cukup!
4660      1499     8     
Romance
Pernah denger soal 'Triangular theory of love' milik Robert Sternberg? The one that mentions consummate love are built upon three aspects: intimacy, passion, and commitment? No? Biar gue sederhanakan: Ini cerita tentang gue--Earlene--dan Gian dalam berusaha mewujudkan sebuah 'consummate love' (padahal waktu jalaninnya aja nggak tau ada istilah semacam itu!). Apa sih 'consummate love'? Penting...
Peringatan!!!
1913      819     5     
Horror
Jangan pernah abaikan setiap peringatan yang ada di dekatmu...
Di Balik Jeruji Penjara Suci
10096      2134     5     
Inspirational
Sebuah konfrontasi antara hati dan kenyataan sangat berbeda. Sepenggal jalan hidup yang dipijak Lufita Safira membawanya ke lubang pemikiran panjang. Sisi kehidupan lain yang ia temui di perantauan membuatnya semakin mengerti arti kehidupan. Akankah ia menemukan titik puncak perjalanannya itu?
The Black Envelope
2380      838     2     
Mystery
Berawal dari kecelakaan sepuluh tahun silam. Menyeret sembilan orang yang saling berkaitan untuk membayarkan apa yang mereka perbuatan. Nyawa, dendam, air mata, pengorbanan dan kekecewaan harus mereka bayar lunas.
Petrichor
5101      1199     2     
Romance
Candramawa takdir membuat Rebecca terbangun dari komanya selama dua tahun dan kini ia terlibat skandal dengan seorang artis yang tengah berada pada pupularitasnya. Sebenarnya apa alasan candramawa takdir untuk mempertemukan mereka? Benarkah mereka pernah terlibat dimasa lalu? Dan sebenarnya apa yang terjadi di masa lalu?