Read More >>"> Dia Dia Dia (Aku. Zifan Alfanisa) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dia Dia Dia
MENU
About Us  

“.... Hayya alassholah, hayya alassholah. Hayya alalfalah, hayya alalfalah. Assolatuhoiruminannaum, assolatuhoiriuminannaum. Allahuakbar, Allahuakabar....”

Azan subuh yang berkumandang ini seakan memecah telingaku. Mungkin karena rumah ini hanya berselang dua rumah dari mushola, ditambah lagi letak rumah ini di sebuah gang. Kesal aku cepat menutup wajahku dengan guling, kemudian menghela nafas dengan berat. Menyusul kemudian suara-suara berisik mulai terdengar dari jalanan gang di depan rumah ini. Membuatku bertambah kesal dan sigap aku tengkurap di kasur sembari menutup kepalaku dengan guling. Maklum di depan rumah ini memang jalan gang yang lumayan agak lebar dengan rumah-rumah berderet rapi di sepanjang gang, dan rumah ini berada di tengah-tengah dari deretan rumah-rumah. Jadi memang masuk akal sekali kalau ada suara berisik dari jalan pasti langsung kedengeran. Haaa....aku masih nggak mengerti kenapa di Jakarta ini Ibu dan Ayah memilih tinggal daerah gang kecil seperti ini, dan yang lebih aneh lagi Ayah memilih rumah dua lantai yang nggak punya halaman, tapi yang ada cuma teras yang sempit dan nggak ada tanaman satupun di depan rumah.

Ya, hari ini memang akan menjadi hari pertama kami memulai aktivitas di Jakarta, setelah dua hari yang lalu kami baru pindah dari Surabaya dan sibuk beres-beres di rumah baru ini. Ayah yang memutuskan meninggalkan Kota masa kecilnya, alasannya hanya karena aku. Tapi itu bukan berarti aku anak yang paling di sayang Ayah dan Ibu. Malah di keluargaku ini aku adalah anak pertama yang paling sering mendapat omelan dari Ayah dan Ibu. Sedangkan kedua adikku Sani Hafiah yang saat ini kelas 7 SMP dan Subhan An Nur yang sekarang kelas 3 SD paling disayang sama Ayah dan Ibu.

“Dor dor dor dor....” Tiba-tiba aku kembali dikejutkan dengan suara pintu kamar ini, menyusul kemudian suara Ibu keras memanggil “Zifan...bangun. Zifan...Zifan...bangun Nak, sudah subuh.”

Lemas aku menelungkupkan badan, kemudian merapatkan guling yang menutup kepalaku. Menyusul cepat hatiku menggerutu “Apa Ibu nggak tahu ini masih gelap? Masih dingin. Zifan malas kalau harus bangun sepagi ini.”

Seolah tak mendengar perkataanku, pintu kamar ini kembali keras berbunyi, bahkan semakin keras. Menyusul cepat suara Ibu bertambah keras “Zifan...ayo cepat bangun, kamu harus sholat.”

“Haaa....” Sembari menahan kesal dalam dada aku menyingkirkan guling dari wajahku dan bangun duduk di kasur.

Kesal aku kembali berkata “Haaa...Ibu ini kan masih gelap.”

“Kalau kamu nggak sholat subuh Ibu nggak akan kasih uang jajan, dan nanti Ibu buang semua alat lukismu.”

Di ujung perkataan Ibu aku langsung tersentak kaget. Saat itulah aku menghela nafas dengan berat, mencoba menahan kesal dalam dada. Aku memang selalu kalah saat Ibu berkata yang seperti itu, “Membuang semua alat lukismu,” membuatku nggak punya pilihan lain kalau Ibu sudah mengancam seperti itu. Haaa tanpa uang jajan dan tanpa alat lukis, bisa apa aku!

Akhirnya dengan kesal aku membuang bantalku di kasur, kemudian cepat beranjak dari kasur. Lemas aku membuka pintu dan lemas juga berkata “Iyaaa, ini udah bangun.”

“Ayo cepat sholat, nanti keburu siang.” Suara Ibu tegas.

Tanpa membalas aku pergi ke kamar mandi di lantai dua yang terpisah dari kamarku. Setelah buang hajat dan menggosok gigi, aku berwudhu. Kemudian aku kembali ke kamar, melewati Ibu yang masih berdiri di samping pintu kamarku. Rupanya rumah baru ini nggak menyenangkan bagiku, karena rumah baru ini nggak bisa mengubah kebiasaan Ibu yang selalu mengawasiku dan cerewet terhadapku. Selesai sholat subuh dua rakaat, aku cepat melipat mukena, lalu kuletakkan di kursi. Setelah itu aku kembali berbaring di kasur.

“Zifan. Ayo cepet mandi, jangan tidur lagi.” Suara Ibu tegas.

“Aduuuh Ibu, ini kan masih gelap dan airnya pasti dingin.” Jawabku sambil menutup wajah dengan guling.

“Kamu nggak mau sekolah! Hari ini hari pertama kamu sekolah. Di Jakarta itu nggak seperti di Surabaya, di sini kamu harus selalu bangun pagi supaya nggak terlambat. Ayo cepat mandi.”

Lemas aku menyingkirkan guling dari wajahku dan menghela nafas dengan berat seraya bangkit dari kasur, kemudian lemas aku berkata “Iya Bu....”

“Harusnya kamu belajar dari adikmu, begitu azan dia langsung sholat subuh. Abis itu dia bantu Ibu, cuci piringlah, nyapu, ngepel, trus dia mandi. Sani itu nggak semalas kamu, Ibu heran sama kamu Zifan.” Di ujung perkataan Ibu menggelengkan kepala.

“Ya soalnya Ibu lebih sayang sama Sani dan Subhan.” Aku berlalu dari kamar sambil menenteng handuk.

“Pokoknya Ibu nggak mau tahu, kamu harus nganter adik kamu dulu ke sekolah barunya.”

Sigap aku berhenti melangkah dan balik badan, lalu memandang Ibu dan berkata “Yaaa Ibu, nanti Zifan telat dong....”

“Nggak akan telat kalau kamu bica cepat, lagian sekolah adik kamu kan searah dan deket. Pokoknya antarkan adik kamu dulu.”

Sejenak aku membuang nafas dengan berat, kemudian kesal berkata “Iya iya.”

Setelah itu aku cepat masuk ke kamar mandi, mengguyur tubuh ini dan menggosok-gosoknya dengan sabun. Selesai mandi aku kembali masuk kamar, mengganti baju dengan seragam putih abu, kemudian menyisir rambutku yang panjangnya hampir sebahu, lalu mengikatnya dengan ikat rambut. Setelah itu kusiapkan buku-buku dan memasukkannya ke dalam tas. Sejenak kedua mata ini kualihkan pada langit biru di balik jendela kamar, langit yang cerah karena terpaan sinar matahari. Hingga jalan gang ini berubah cepat menjadi lebih ramai dengan hilir mudik manusia dan kendaraan roda dua. Nggak lama teriakan tukang sayur yang membawa gerobak ikut meramaikan. Pagi di hari Senin yang membosankan untukku, tapi menjadi hari yang penuh semangat bagi tukang sayur.

Santai aku turun ke lantai satu dan langsung ke ruang makan yang nggak luas, yang sebenarnya bukan ruang makan, tapi terpaksa dijadikan ruang makan karena nggak ada ruangan lagi untuk menaruh meja makan. Kemudian aku duduk di depan meja makan di samping Sani dan Subhan yang udah duduk lebih dulu. Berikutnya Ibu duduk di depanku dan Ayah duduk di paling Barat, di dekat Ibu. Setelah berdoa bersama kami memulai makan pagi.

 “Zifan, kamu antar Sani dan Subhan ke sekolah mereka.” Kata Ayah tegas.

“Iya Yah.” Suaraku datar.

“Sekarang makan dulu yang kenyang, biar di sekolah nggak cepat lapar.”

“Iya Bu.” Sani dan Subhan serentak. Sementara aku langsung melahap makanan.

Sejurus waktu aku selesai makan dan segera bangkit berdiri, kemudian mencium tangan Ibu dan Ayah. Sani yang juga selesai makan cepat mengikuti. Sambil memakai topi merah dan menggendong tas aku berjalan ke pintu, tapi suara Ibu menghentikan langkahku “Zifan. Tunggu dulu, ibu mau lihat rok kamu.”

Lagi-lagi aku menghela nafas dengan berat sambil berhenti melangkah, lalu aku balik badan dan memandang Ibu. “Apalagi sih Bu....”

Dengan kening sedikit merapat Ibu bangkit berdiri dan berjalan mendekatiku, kemudian teliti memeriksa rok dan baju yang kupakai. Saat itulah keningnya terlihat semakin  tebal. Hah, dari dulu Ibu memang selalu cerewet, dan bertambah cerewet saat melarangku memakai rok di atas lutut dan mengharuskan aku memakai rok sampai batas lutut dan baju nggak boleh terlalu pendek.

Terlihat Ibu mengangguk-angguk pelan saat kerutan di keningnya nggak lagi membekas. Sejenak kulihat Sani dan Subhan tersenyum lebar di belakang Ibu. Sementara Ayah hanya menggelengkan kepala sambil melahap makanan.

 “Apa Ibu udah selesai? Zifan pakai rok yang baru Ibu jahit, bajunya juga. Apa nggak sekalian motor Zifan juga baru?”

“Motor kamu kan masih bagus, masih kuat mesinnya.”

“Bagus apanya Bu, itu motor tahun berapa? Dan sekarang tahun berapa?”

“Eh Zifan. Harusnya kamu bersyukur dong, itu motor antik. Vespa Super-Sprint 90 1965, jadi sudah langka  dan banyak yang nyari motor itu.” Suara Ayah tinggi.

“Trus kenapa nggak Ayah jual aja dan belikan Zifan motor baru yang lebih keren dan cepet larinya.”

“Dijual bagaimana?! Awas ya, kalau kamu sampai macem-macem sama vespa itu.” Ayah tegas.

“Udah-udah, Zifan berangkat sekolah sana. Sani, Subhan kalau kalian sudah selesai makan cepat ikut Kak Zifan.”

“Iya Bu, Subhan makannya belum abis...”

“Ya sudah cepat habiskan.”

Setelah itu aku cepat pergi ke garasi yang nggak luas dan mengeluarkan vespa antik, sebelum pagar rumah. Sejenak aku menghidupkan vespa untuk memanaskan mesinnya sambil sesekali kuputar gasnya. Bagiku suaranya terdengar keren, suara khas vespa walaupun body-nya jadul abis.

Sebelum naik vespa merah ini aku membalik topi di kepalaku. Dari waktu di Surabaya aku sangat suka memakai topi, karena itu aku selalu membawa dua topi ke sekolah, satu topi sekolah dan satu topi warna merah menyala dengan tulisan “zifan alfanisa” di samping kanan dan di sebelah kiri ada tulisan “lifes is art”.

Berikutnya aku memakai helem antik alias jadul, pemberian Ayah sewaktu mewariskan vespanya padaku. Aku nggak tahu, kenapa Ayah suka banget sama yang jadul-jadul! Dan semuanya diberikan padaku, alias diwariskan. Untung aku orang yang sangat menghargai dunia seni, jadi aku masih bisa menerima kalau yang jadul-jadul itu termasuk seni juga, seni dari dunia yang berbeda alias jaman dulu. Tapi...mungkin itu juga yang membatasiku sebagai cewek tomboy. Aku yakin dipikiran semua orang, cewek tomboy itu cewek yang lagaknya kayak cowok abis, baik sikap ataupun penampilan. Dia nggak punya malu, berani tampil over, tingkahnya juga over, gayanya cowok abis. Dan aku memang cewek tomboy, cewek tomboy yang paling males buat ribut sama orang, paling males jadi perhatian, cuek alias masa bodoh dan nggak banyak omong! Tapi ternyata justru itu yang sering menjadi alasan semua orang ingin ngajak ribut sama aku. Sampai akhirnya aku sering dikeluarkan dari sekolah, cuma gara-gara berantem. Karena aku memberi pelajaran yang sangat mahal untuk mereka yang udah cari gara-gara sama aku.

Sigap aku duduk di vespa antik yang memakai jok panjang, jadi jok vespa ini bisa diduduki tiga orang. Setelah itu perlahan vespa merah kupacu keluar pagar rumah. Berikutnya Subhan duduk di tengah, kemudian Sani duduk di paling ujung. Sani itu adik perempuan yang sangat berbeda sama aku. Dia lebih kalem, nggak banyak tingkah, penurut, dan berhijab. Perbedaannya sama aku seperti bumi sama langit, itu yang sering dikatakan Ibu.

Sejenak aku meneliti vespa merah sambil sesekali kuputar gas dan kutarik rem tangan, hingga akhirnya vespa merah bersuara semakin keras. Sebenarnya walaupun model lama aku nggak tega juga kalau harus menjual vespa ini. Mungkin karena aku udah jatuh cinta sama keunikan vespa berwarna merah ini, cuma larinya aja yang nggak bisa ngebut dan body-nya jadul abis. Di samping itu suara vespa ini memang bergemuruh keras khas vespa, tapi nggak berisik seperti suara bajaj, dan aku sangat suka sama suaranya.

Perlahan kuputar gas bersamaan kulepas perlahan rem tangan, membuat vespa merah ini melaju perlahan di jalanan gang. Sesekali aku membunyikan klakson, memberi tanda sama orang-orang yang hampir memenuhi jalan gang ini. Sebelum keluar dari jalan gang kegiatan pertamaku di Jakarta pada pagi ini seperti kata Ibu, aku harus mengantar Subhan ke sekolahnya di gang sebelah. Setelah itu barulah vespa ini melaju di jalan raya, melakukan kegiatan kedua, juga seperti yang Ibu katakan, mengantar Sani ke sekolah SMP yang sekolahnya lumayan jauh. Dari sekolah Sani, aku kembali memacu vespa ke sekolah SMUN Nusantara 1 yang lumayan dekat sama sekolah SMP Sani yang baru. Sebelum pintu gerbang sekolah di depan SMUN Nusantara 1 vespa merah ini menepi di tepi kiri jalan. Sejenak aku memandang sekolah baruku, kemudian memandang anak-anak berseragam putih abu yang berbondong-bondong masuk ke dalam sekolah.

Setelah itu keningku berkerut sambil berucap “Sepertinya...upacara belum dimulai. Mmm ikut upacara nggak ya?”

Kemudian aku merogoh jam tangan di dalam saku rok yang nggak kupakai, soalnya aku paling males pakai jam tangan. Cuma Ibu yang selalu mengingatkanku sekaligus memaksaku memakai jam tangan. Saat melihatku nggak memakai jam tangan Ibu selalu berkata tegas  “Zifan. Jam tangannya dipakai.”

Membuatku selalu tersenyum kecil dan menggelengkan kepala bila mengingat perkataan Ibu itu. Kemudian sorot mataku meneliti jarum jam di jam tangan yang nggak kupakai “Jam 7 kurang tiga belas.” Setelah itu aku kembali memasukkan jam tangan ke saku rok seraya berkata pelan “Haaa ya udahlah aku pergi aja dari sini, nanti kalo udah jam tujuh aku baru balik ke sini. Aku kan masih murid baru, telat dikit juga nggak apa.”

Sejenak aku menoleh ke belakang, lalu kembali memacu vespa di jalan ini melewati sekolah SMU Nusantara 1. Setelah itu Vespa merah ini melaju di jalan yang lebar di jalan Ibu Kota yang selalu ramai, sambil sesekali aku menoleh, melihat banyak kendaraan dan tempat-tempat yang kulalui. Setelah itu pandanganku berhenti pada sebuah rumah sakit di samping kiri jalan yang akan kulalui. Membuat senyum di wajahku perlahan mengembang sembari menepikan vespa, kemudian masuk ke halaman rumah sakit dan memarkir vespa di tempat parkir. Setelah melepas helem dan mengunci vespa, aku berjalan santai dan masuk ke dalam rumah sakit. Sambil terus berjalan kedua mataku nggak berhenti memeriksa dan mengamati, menoleh ke kanan dan ke kiri mencari kantin rumah sakit, tapi aku malah jadi bingung sendiri. Akhirnya aku bertanya sama petugas rumah sakit yang sedang lewat di depanku. “Mas, kalau kantin rumah sakit dimana?”

“Di paling belakang dek. Lurus aja ikutin jalan ini, sampai notok ke belakang.”

“Makasih Mas.”

Seperti kata laki-laki tadi, aku berjalan lurus di jalan ini sambil sesekali menoleh ke kanan dan ke kiri, sejenak mengamati yang kulaui dan melihat orang-orang yang berlalu lalang memandangku. Mungkin mereka heran dengan diriku, aku memakai seragam putih abu tapi malah datang ke rumah sakit sepagi ini, bukan ke sekolah. Haaa... tapi aku nggak perduli dan cuek aja, terserah mereka mau berpikir apa.

Akhirnya di depan kantin rumah sakit ini aku berhenti melangkah. Sejenak sorot mataku bergerak meneliti tempat ini. Menyusuk kemudian senyum kecil di wajahku melintas saat melihat ada kursi dari kayu yang agak panjang di dekat tanaman besar dalam pot. Tanpa pikir panjang aku kembali berjalan menghampiri, kemudian duduk di kursi. Sambil tersenyum aku menghela nafas panjang, kemudian berkata pelan “Akhirnya....dapat tempat yang nyaman dan nggak berisik.”

Sigap tanganku bergerak di dalam tas kemudian menarik buku canson, sebuah buku untuk menggambar sketsa yang nggak besar dan nggak terlalu kecil, beberapa pensil dalam kotak pensil, penghapus dan serutan. Bagiku pensil-pensil ini spesial, karena cuma kupakai untuk menggambar. Setelah kuletakkan tas di sampingku, akhirnya aku duduk santai menyandarkan tubuh pada punggung kursi. Nggak lama kemudian tanganku mulai bergerak di atas kertas canson, melukis sketsa wajah dalam otakku. Sejak kecil aku sangat suka melukis. Melukis apa aja, tapi cuma di media kanvas dan kertas. Kalau di kanvas biasanya aku menggunakan pakai cat minyak dan kalau di kertas, seperti sekarang di kertas canson cuma menggunakan pensil, tapi tiap pensil ada ukurannya dan hasil goresannya pun berbeda, itu yang bagiku spesial. Satu yang aku nggak begitu jago dan nggak kusuka, menggambar karikatur walaupun cuma menggunakan pensil dan di kertas.  

Semakin lama suara-suara kecil di sekitarku semakin terdengar kusut, hingga suaranya membuatku nggak tenang. Sejenak aku menghela nafas, lalu dengan kening berkerut melihat jam di jam tangan, ternyata membuatku terkejut hingga kedua mataku cepat terbuka lebar “Jam 9.” Sigap aku cepat memasukkan buku canson dan pensil ke dalam tas, kemudian aku bangkit dan berjalan tergesa, tapi sialnya di depan pintu masuk rumah sakit ini aku bertabrakan sama seorang cowok yang memakai seragam putih abu, sama sepertiku, hingga tasku terjatuh. Tanpa berkata sigap mengambil tas milikku bersamaan dia juga cepat mengambil tas. Akhirnya kami sama-sama memegang tas, tapi semoga aja nggak ada yang melihat, soalnya yang kami lakukan persis seperti adegan di sinetron, walaupun aku nggak suka sinetron dan nggak pernah lihat tv, tapi sering mendengar dari seisi rumah yang hobinya sama yaitu nonton sinetron.

Setelah itu aku cepat berdiri dan menarik tas milikkuku. Sigap cowok di hadapanku ini juga ikut berdiri, lalu dia berkata “Aku minta maaf.”

“Aku juga. Maaf.” Suaraku datar.

Tanpa berkata lagi aku cepat berjalan menghampiri vespa merah dan cepat memakai helem, lalu menghidupkan vespa. Setelah naik ke atas vespa merah dan memutar kontak aku memacu menuju pintu gerbang rumah sakit, tapi sejenak kedua mataku meneliti cowok tadi yang masih memandangku di depan pintu rumah sakit. Keluar dari halaman rumah sakit aku melaju di jalan Raya yang sudah semakin ramai. Pelan aku berkata seraya tersenyum kecil “Untung vespa ini belum pernah mogok, jadi aku bisa tenang.”

Setelah berjuang melewati jalanan Ibu Kota yang sangat ramai, akhirnya aku sampai juga di depan pintu gerbang sekolah SMU Nusantara 1 yang tertutup. Dengan wajah datar aku mematikan mesin vespa di depan Pak Satpam yang menghentikanku. Kemudian Pak Satpam tegas bertanya “Yang terlambat dilarang masuk. Sekarang sudah jam setengah sepuluh, jam sekolah sudah masuk dari tadi, dan kamu telat dua setengah jam. Kamu ini anak sekolah yang badung, apa kamu nggak punya jam di rumah?! ”

Pelan dan santai aku melepas helem. Sejenak kedua mataku meneliti namanya namanya tertulis besar di baju depan. Setelah itu aku mengulurkan tangan dan berkata dengan wajah datar “Kenalkan Pak Wandi. Nama saya Zifan, Zifan Alfanisa. Saya murid baru di sekolah ini, saya baru pindah dari Surabaya, tadi saya harus mengantar kedua adik saya ke sekolah barunya.”

Tiba-tiba Pak Satpam malah tertawa, lalu menggelengkan kepala tanpa menjabat tanganku. “Eh. Itu tipuan lama, saya tidak percaya. Kamu mau mencoba menipu saya kan?”

Dengan wajah datar aku hanya menghela nafas, kemudian berkata “Kalo nggak percaya, lebih baik Bapak temani saya ke ruang Kepala sekolah.”

Tiba-tiba Pak Satpam berhenti tertawa. Setelah itu keningnya terlihat merapat sembari menelitiku. Dengan suara agak tinggi aku bertanya  “Bagaimana Pak?”

Sesaat kemudian sebuah Avanza hitam terlihat belok, lalu berhenti di depan pintu gerbang sekolah yang tertutup. Setelah mobil itu membunyikan klakson, Pak Wandi menoleh cepat menghampiri mobil itu. Sementara aku masih duduk santai di atas vespa sembari memandang avanza hitam. Nggak lama kemudian avanza hitam membuka kaca jendela samping, lalu laki-laki berkumis tebal melongok dari jendela mobil dan bertanya “Pak Wandi, siapa anak sekolah itu?”

“Lho, bukannya dia siswi di sini Pak Gatot?”

Kemudian laki-laki yang dipanggil Pak Gatot melempar pandangannya padaku dan menelitiku cukup lama. Setelah itu Pak Gatot menggelengkan kepala. “Bukan, saya hapal dengan wajah anak-anak di sekolah ini.”

“Ooooh.” Pak Wandi mengangguk.

“Trus dia kenapa berhenti di situ? Kalau bukan anak sekolah sini?”

“Oh katanya, dia murid baru Pak. Baru pindah dari Surabaya.”

“Ooo gitu? Trus kenapa dia masih di situ? Harusnya kan langsung masuk.”

Pak Wandi nyengir, lalu tersenyum dan berkata  “Saya pikir murid sini yang telat Pak, jadi saya tidak mengijinkan dia masuk.”

Terlihat Pak Gatot menghela nafas, setelah itu berkata “Kalau begitu cepat buka pintu gerbangnya, saya mau masuk.”

“Siap Pak, tapi...murid barunya juga Pak?” Di awal perkataannya Pak Wandi tegas.

“Ya iya, suruh dia masuk dan menghadap ke ruangan saya dulu.”

“Siap Pak.”

Setelah itu Pak Wandi segera membuka pintu gerbang sekolah, dan akhirnya avanza hitam masuk ke halaman sekolah. Sementara Pak Wandi menghampiriku, lalu tersenyum dan berkata “Waduh Neng, Bapak minta maaf. Bapak kira murid sini, sekarang Bapak percaya kalau Neng Zifan murid baru di sekolah ini.”

“Iya Pak nggak apa-apa, saya boleh masuk sekarang?”

“Iya Neng silahkan, eh tapi kata Pak Gatot, Neng Zifan harus menghadap ke ruangannya di ruang Kepala sekolah.”

“Iya Pak.” Aku menghidupkan vespa.

Akhirnya vespa merah ini melaju melewati ke tempat parkir sekolah. Setelah itu sigap Pak Wandi menutup pintu gerbang. Setelah memarkir vespa di tempat parkir aku berjalan santai mencari ruang Kepala sekolah sembari meneliti setiap petunjuk yang ada di sekolah ini, tapi karena aku benar-benar nggak tahu akhirnya kuputuskan bertanya pada tukang kebun sekolah yang sedang merapikan taman. Pak Dayat bilang kalau ruang Kepala sekolah terletak terpisah dengan ruang guru, dan letaknya ada di dekat air mancur di samping Tata Usaha Sekolah. Setelah itu aku berjalan lagi menuju ruang Kepala sekolah, seperti kata Pak Dayat.

Hingga akhirnya aku menemukan ruang Kepala sekolah di dekat air mancur. Di depan ruang kepala sekolah aku berhenti melangkah, kemudian melepas topi, lalu kumasukan ke dalam tas.  Barulah setelah itu aku mengetuk pintu.

“Masuk.” Suara Kepala sekolah dari dalam.

Pelan aku membuka pintu, lalu masuk ke dalam ruangan dan berdiri di depan meja kerja. Kepala sekolah yang duduk di balik meja kerja sejenak memandangku. Ternyata Pak Gatot adalah kepala sekolah di SMU Nusantara 1. Pak Gatot bertanya “Kamu yang bernama Zifan Alfanisa?”

“Benar Pak.”

“Pindahan dari Surabaya?”

“Benar Pak.”

Sejenak Pak Gatot membaca selembar kertas, lalu mengangguk-angguk pelan. “Kamu akan masuk ke kelas 11 7. Kamu sudah tahu kelas kamu?”

“Belum Pak.”

“Kamu akan diantar Bu Ida, Bu Ida guru Biologi kelas 11 dan guru piket hari ini.”

Tanpa berkata aku hanya mengangguk pelan. Nggak lama kemudian seseorang mengetuk ruang kepala sekolah, lalu seorang guru perempuan masuk ke ruangan ini.

“Nah ini Bu Ida. Bu Ida akan mengantar kamu ke kelas 11. 7.”

“Bu Ida, tolong antar Zifan ke kelas 11. 7.”

“Baik Pak. Ayo Zifan.” Bu Ida tersenyum.

Setelah itu Bu Ida berjalan keluar ruangan lebih dulu, kemudian aku mengikuti. Hingga kami berjalan di lorong kelas 10 dengan deretan kelas-kelas, mulai dari 10. 1 sampai 10. 9. Semua pintu kelas-kelas itu terbuka dan memiliki jendela yang juga terbuka saat jam pelajaran berlangsung. Di setiap kelas memiliki dua jendela yang lumayan lebar. Jendela depan di dekat pintu dan jendela belakang di dekat ujung belakang kelas.

Terlihat wajah-wajah serius anak-anak kelas 10  menjadi pemandangan yang selalu terlihat di setiap kelas saat aku dan Bu Ida melintas, walaupun sebagian mereka melihatku. Setelah melewati deretan kelas 11, akhirnya aku dan Bu Ida sampai di depan pintu kelas 11. 7. Sejenak Bu Ida mengetuk pintu, kemudian seorang guru perempuan berhijab di dalam kelas 11.7 menoleh pada Bu Ida.

“Maaf Bu Siwi, saya mengganggu.” Kata Bu Ida sambil tersenyum. Setelah itu Bu Siwi menghampiri Bu Ida. dan tersenyum.

“Ada murid baru. Ini Zifan, pindahan dari Surabaya. Zifan adalah murid berprestasi dan...” Bu Ida nggak melanjutkan perkataannya, tapi sejenak menoleh dan menatapku yang berdiri di sampingnya.

 “Zifan berprestasi dalam melukis. Dia selalu menjadi pemenang di perlombaan melukis tingkat daerah dan nasional, baik mewakili umum dan tingkat sekolah. Benar kan Zifan” Bu Ida melanjutkan, kemudian di akhir perkataan Bu Ida menoleh padaku

“Benar Bu.” Suaraku datar sambil mengangguk pelan. Sejenak Bu Siwi tersenyum memandangku dan aku pun membalas dengan sejenak menganggukkan kepala.

“Zifan. Kamu masuk kelas, Bu Siwi akan mengenalkan kamu dengan teman-teman baru di kelas 11.7.”

“Baik Bu, terima kasih.”

Setelah itu Bu Ida pergi ke kantor guru, sementara aku dan Bu Siwi masuk ke dalam kelas 11.7. Di dalam kelas Bu Siwi berkata padaku “Zifan, sekarang perkenalkan diri kamu pada teman-teman baru kamu.”

Dengan wajah datar aku berdiri di depan kelas dan sejenak memandang seisi kelas ini. Sebagian siswa/siswi terlihat tersenyum, beberapa berwajah datar, beberapa sinis, dan beberapa mengerutkan dahi. Setelah itu sorot mataku tertuju pada tembok belakang kelas.

“Aku. Zifan Alfanisa.” Setelah perkataan pertama aku berhenti sejenak. Setelah itu aku menoleh pada Bu Siwi aku menoleh pada Bu Siwi. “Sudah Bu.”

“Hanya itu? Apa tidak ada yang lain? Yang ingin disampaikan?” Bu Siwi mengerutkan dahi.

“Tidak Bu.” Suaraku datar. Dalam sekejap tiba-tiba seisi kelas ini ramai dengan celotehan-celotehan kecil. Mungkin mereka nggak puas dengan perkenalanku, tapi bagiku itu cukup jelas dan singkat.

Terlihat seorang siswa mengangkat tangan dan bertanya “Bu, saya boleh nanya nggak Bu?”

“Boleh, bagaimana Zifan? Boleh kan Sandi bertanya.” Di akhir perkataan Bu Siwi menoleh padaku.

“Iya Bu.”

“Zifan mau duduk di kursi mana?” Sandi tersenyum.

“Huuuu.” Semua siswa/siswi bersorak. Tanpa menjawab dengan wajah datar aku memandang Sandi.

“Sandi. Kalau mau bertanya yang benar, mau bertanya apa?” Bu Siwi tegas.

“Oh iya Bu.” Sandi nyengir.

“Huuuu.” Semua siswa/siswi bersorak, kemudian sebagian besar mereka tertawa keras. Hingga membuat suasana kelas ini bertambah gaduh.

Akhirnya Bu Siwi menenangkan dengan tegas berkata “Sudah-sudah semuanya diam, ayo Sandi cepat apa yang ingin kamu tanyakan?”

“Mmm saya mau tanya....Ah! Hobi kamu apa sih?” Di akhir perkataan Sandi tersenyum.

“Melukis.” Jawabku singkat tanpa tersenyum.

“Oooooh.” Sebagian siswa/siswi bersorak hampir bersamaan.

“Kalau melukis wajah saya bisa enggak?” Sandi tersenyum. Sontak saja seisi kelas bersorak mendengar pertanyaan Sandi yang terdengar lebay.

Tanpa berkata dan tanpa tersenyum aku membentuk kedua jari telunjuk dan kedua jembol pada tangan kanan dan kiri menjadi bingkai kotak persegi panjang, kemudian kuarahkan bingkai di jariku ini ke wajah Sandi. Setelah itu kupicingkan salah satu mataku, meneliti wajah Sandi dari balik bingkai jari ini, sangat teliti. Sementara itu semua siswa/siswi terlihat mengerutkan dahi melihatku, cuma Sandi tersenyum lebar sambil bergaya. Dia emang narsis abis.

Kuturunkan kedua tanganku sembari membuang nafas dan menggelengkan kepala. Datar aku berkata “Sayang sekali. Wajah anda nggak berkarakter pasti percuma kalo dilukis, karena nggak akan laku.”

Serentak semua siswa/siswi tertawa dan bersorak “Huuuu.”

“Makanya ngaca dulu, pake bedak biar punya karakter.” Celetuk seorang siswi.

“Jadi cewek dong gue....” Sandi mengerutkan dahi.

Ternyata kegaduhan kecil ini membuat Bu Siwi tersenyum dan menggelengkan kepala, menyusul perkataan tegasnya “Sudah-sudah, jangan ramai.”

“Saya boleh duduk Bu?” Aku menoleh pada Bu Siwi.

“Iya silahkan, kamu duduk di....kursi belakang dari deret ke tiga dari Utara. Tidak apa kan kamu di belakang? Badan kamu lumayan tinggi.”

“Iya Bu.”  

Setelah itu aku berjalan santai ke kursi belakang, tapi tiba-tiba saja kulihat seorang siswi mengeluarkan kakinya ke jalan yang akan kulewati di antara deretan meja. Saat itu juga hatiku berbisik “Sepertinya dia mau menjegalku supaya aku jatuh, tapi baiknya aku pura-pura nggak tahu.”

Akhirnya aku cuma tersenyum kecil sembari santai berjalan. Saat itulah hatiku berbisik lagi “Dia belum tahu kakiku ini sering kupakai nendang sansak.”

Saat sudah dekat dengan kakinya, aku menendang keras kakinya. Membuat dia kaget dan merintih kesakitan. Saat itulah senyumku sedikit bertambah lebar mendengarnya mengaduh.

“Awww.” Dia menutup mulutnya dengan tangan.

Sigap Bu Siwi mendongakkan kepala sambil sorot matanya meraba-raba. “Ada yang ingin bertanya lagi?”

“Tidak Bu...” Seisi kelas hampir bersamaan.

 Akhirnya aku duduk di kursi belakang. Kulihat seorang siswi berhijab yang duduk di kursi paling depan tepat di depan meja guru menoleh ke belakang, lalu dia memandangku. Sejenak aku pun memandangnya tanpa gurat senyum, lalu kualihkan sorot mataku pada papan tulis.

Bel istirahat di hari pertama yang sangat kunanti akhirnya terdengar. Setelah guru yang mengajar keluar kelas lebih dulu, menyusul kemudian sebagian siswa/siswi berhamburan keluar kelas, sedangkan beberapa masih di dalam kelas untuk menyelesaikan catatannya. Saat itulah kudengar suasana sudah mulai bising sama suara siswa/siswi sekolah yang sedang istirahat. Kulempar pandanganku melalui jendela kelas ini, dan terlihatlah langit pagi yang nggak sempurna. Pagi yang nggak biasa dengan langit pagi yang mulai menghitam, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan.

Sejenak menghela nafas aku menyandarkan tubuh pada punggung kursi sembari menikmati suasana kelas sangat tenang. Entahlah dari daulu aku begitu menyukai ketenangan. Hingga semburat senyum tipis hadir di ajahku. Kemudian aelan aku mengeluarkan buku bersampul hitam yang lebih mirip agenda cuma ukurannya lebih besar, namanya buku canson, buku yang selalu kubawa dan kupakai untuk menggambar atau membuat sketsa.

Pelan dan hati-hati aku membuka buku canson, karena kertas canson gampang kotor, jadi aku selalu hati-hati dan nggak menyentuhkan tangan atau telapak tangan pada tengah kertas. Saat itulah kedua mataku teliti melihat gambar-gambar yang sudah kubuat. Namun tiba-tiba kelas ini menjadi begitu bising. Membuatku sigap mengalihkan sorot mataku pada suara-suara keras dari beberapa siswi yang barus masuk ke dalam kelas ini. Bagiku suara tawa mereka menjadi pemecah ketenangan di kelas ini, sangat menyebalkan bagiku.

Hatiku yang kesal hanya diwakili oleh wajah dan kedua sorot mataku yang tegas memandang mereka yang duduk di kursi deretan tengah. Ternyata salah satu dari mereka adalah cewek yang kutendang kakinya, dan saat ini dia memandangku tajam. Pelan aku menutup buku sembari membuang nafas. Nggak lama setelah itu keempat temannya keluar kelas sembari tertawa keras, namun dia yang nggak kutahu namanya sejenak memandangku lebih tajam, kemudian dia cepat mengikuti keempat temannya.

Akhirnya suasana kelas ini kembali tenang. Saat itulah kuarahkan kedua mataku mengitari ruang kelas ini. Ternyata cuma ada aku dan seorang cewek di kursi depan, tepat di depan meja guru. Dia cewek berkerudung yang memandangku dingin saat pelajaran tadi. Cewek berkerudung yang sepertinya keturunan Arab. Hmm baguslah kalau seperti ini kan jadi lebih tenang.

Sesaat kemudian terlihat tiga cewek masuk ke dalam kelas ini dan menghampirinya. Salah satu temannya berkata keras “Elok...kita ke kantin yuk....”

“Iya sebentar, aku masukkan buku dulu.”

Setelah itu ketiga temannya duduk menanti di kursi-kursi kosong, di dekat meja guru. Salah satu dari mereka berkata “Eh El. Denger-denger di sekolah kita ada anak baru di kelas 11, kamu udah tahu belum?”

Sembari merapikan buku Elok nggak menjawab, namun setelah itu dia terlihat sejenak menoleh padaku yang duduk di bangku belakang. Sama sepertinya aku hanya kedua mataku yang sejenak mengamati sembari duduk santai dan memainkan bulpen yang selalu kuputar dengan tangan.

“Eh Trias, kenapa sih kamu kepo amat? Nggak usah heboh juga kali...kan cuma anak baru...” Sahut teman di depannya.

“Aku nggak kepo, Hasri. Aku cuma mau ngasih tahu aja.” Suara Trias datar.

“Ngasih tahu ada anak baru....” Hasri memotong, lalu dia tertawa.

Perbincangan ketiga siswi ini apa bisa disebut “Membicarakan orang?” Mereka seenaknya saja membicarakan orang, yang belum mereka tahu dan kenal. Haaa untungnya aku bukan orang yang perduli, jadi saat ini aku sama sekali nggak perduli dengan perbincangan mereka. Setelah memasukan buku canson ke dalam tas kutarik dan kubuka buku kecil, buku kumpulan puisiku. Kemudian kedua sorot mataku meneliti setiap tulisan dalam buku kecilku yang selalu kubawa kemanapun.

“Iya, tapi bukan cuma itu. Anak baru itu denger-denger pindahan dari Surabaya, dan dia itu tomboy banget. Dia pindah ke sini gara-gara sering berantem dan dikeluarin dari sekolah.” Trias menjelaskan.

“Waaaah kayaknya bakal ada preman baru di sekolah kita....benar nggak Ilfi?!” Di akhir perkataan Hasri menoleh pada Ilfi.

“Benar, tapi....baguslah, supaya si cewek-cewek manja dan kecentilan itu nggak buat onar lagi di sekolah.” Ilfi mengangguk.

“Kok bagus sih?” Trias mengerutkan dahi.

“Ya soalnya grupnya si Riska, Elis, Lani, Tara dan Vera sering buat kita kesel. Trus nggak ada yang berani sama mereka dan mereka itu pinter cari muka di depan guru dan Kepala sekolah.” Suara Ilfi tegas. Hasri mengiyakan dan tersenyum.

“Trus apa hubungannya sama anak baru?” Trias bingung.

“Ya....nggak tahu juga sih, tapi...mungkin aja anak baru itu...” Sahut Ilfi.

“Gabung sama kelompoknya si Riska? Cewek-cewek kecentilan?” Hasri memotong.

Trias menghela nafas panjang, kemudian berkata “Itu sih bukan bagus, tapi musibah, darurat dan kacau.”

Sejenak kembali menoleh ke belakang, memandangku tanpa gurat senyum. Saat itulah kedua mataku juga kembali memandangnya dingin. Dalam pikiranku nggak pernah terlintas untuk mengenal mereka, apalagi bicara dengan mereka. Apapun yang mereka perbincangkan tentang diriku, aku nggak perduli.

 “Eh El, lihat siapa?” Trias keras.

“Oh, aku?” Elok menoleh kaget. Saat itulah aku cepat bangkit dari kursi, lalu berjalan melewati mereka yang heran melihatku.

“Eh El, aku kok baru lihat anak tadi?” Trias mengerutkan dahi. Hasri dan Ilfi mengiyakan.

“Yaaa karena dia anak baru.” Elok bangkit dari kursi.

“Ha! Yang bener?” Trias, Hasri dan Ilfi serentak dengan kaget

Melewati pintu kelas sejenak aku berhenti melangkah tepat di depan pintu kelas 11.7, sejenak menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu sejenak menoleh ke belakang, melihat Elok yang masih memandangku dengan wajahnya dingin dan ketiga temannya yang terlihat tegang. Setelah itu aku melakahkan kaki, berjalan menyusuri lorong-lorong kelas di sekolah yang belum kukenal.

Santai aku berjalan walaupun beberapa siswa/siswi yang berpapasan denganku heran memandangku. Di ujung jalan dari lorong ini aku membaca sebuah tulisan “Perpustakaan sekolah”. Setelah itu aku kembali berjalan ke perpustakaan sekolah, tapi langkahku terhenti sebelum pintu masuk perpustakaan. Kemudian pandanganku meneliti suasana di dalam perpustakaan yang ternyata sangat ramai dengan siswa/siwsi walau bukan ramai karena gaduh, tapi perpustakaan ini penuh hingga nggak kulihat ada kursi kosong. Banyak anak sekolah yang sibuk membaca buku dan menulis, sementara beberapa terlihat memilih buku di rak buku. Sejenak aku membuang nafas, kemudian balik badan dan nggak jadi masuk ke perpustakaan.

Akhirnya aku berjalan lagi, memutari sekolah hanya untuk mencari tempat yang nyaman untukku. Sejenak aku berhenti melangkah saat melihat sebuah kursi di depan ruang labolatorim. Tempat yang terlihat sangat nyaman, walau ternyata ada ada beberapa siswi yang sedang berbincang. Namun itu nggak lama, setelah salah satu siswi melihatku, mereka segera pergi. Entahlah apa yang mereka pikirkan saat melihatku, tapi aku nggak mau berpikir buruk. Mungkin mereka nggak nyaman melihat anak baru yang nggak punya teman di sekolah ini. Tapi sudahlah, aku nggak perduli! Yang penting aku nggak berbuat masalah di sekolah baruku ini.

Akhirnya aku melangkahkan kaki pada tempat yang sangat nyaman, tenang dan teduh karena ada beberapa pohon di sekitarnya. Sembari menghela nafas aku duduk santai menyandarkan tubuh pada punggung kursi. Senyumku semakin mengembang saat kuhirup udara yang segar. Setelah itu aku melemar pandanganku pada pada anak-anak sekolah yang berlalu lalang jauh di depanku. Tanpa sadar aku tersenyum kecil saat teringat perbincangan siswa/siswi di dalam kelas 11.7. Perkataan mereka benar, aku, Zifan Alfanisa. Aku baru pindah dari Surabaya, pindah rumah dan pindah sekolah. Dan aku pindah sekolah karena berkelahi di sekolah sebelumnya. Itu alasan Ayah dan Ibu, kenapa kami harus pindah ke Jakarta ini. Mungkin Ayah dan Ibu udah malu karena aku berantem, sudah sering berantem. Yaaa jadi bisa dikatakan aku dikeluarkan dari sekolah, bahkan sudah sering dikeluarkan dari sekolah.

Aku memang cewek tomboy yang suka berbuat seenaknya dan masa bodoh dengan orang-orang di sekitaraku. Tetapi walaupun begitu aku cewek tomboy yang paling malas buat masalah sama orang. Aku cuma berantem sama orang yang membuatku kesal dan marah. Dan tetapi walaupun begitu, aku anak muda yang punya prestasi, ditambah nilai-nilaiku selalu bagus. Aku juga nggak pernah bolos sekolah, walaupun sering telat dan sering gonta-ganti sekolah. Dan yang paling penting, aku jago melukis. Aku sering mengikuti perlombaan melukis dan selalu mendapat juara pertama, walaupun selama ini keluargaku nggak pernah mendukungku. Kalau kutebak mungkin... alasan sekolah ini menerimaku karena aku karena aku punya prestasi, walaupun punya catatan merah.

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • YoonCahya

    Fighting^^

    Comment on chapter Kenapa Begini!
Similar Tags
Strawberry Doughnuts
537      361     1     
Romance
[Update tiap tengah malam] [Pending] Nadya gak seksi, tinggi juga kurang. Tapi kalo liat matanya bikin deg-degan. Aku menyukainya tapi ternyata dia udah ada yang punya. Gak lama, aku gak sengaja ketemu cewek lain di sosmed. Ternyata dia teman satu kelas Nadya, namanya Ntik. Kita sering bertukar pesan.Walaupun begitu kita sulit sekali untuk bertemu. Awalnya aku gak terlalu merhatiin dia...
Koma
15893      2667     5     
Romance
Sello berpikir bisa menaklukkan Vanda. Nyatanya, hal itu sama halnya menaklukkan gunung tinggi dengan medan yang berbahaya. Tidak hanya sulit,Vanda terang-terangan menolaknya. Di sisi lain, Lara, gadis objek perundungan Sello, diam-diam memendam perasaan padanya. Namun mengungkapkan perasaan pada Sello sama saja dengan bunuh diri. Lantas ia pun memanfaatkan rencana Sello yang tak masuk akal untuk...
Benang Merah, Cangkir Kopi, dan Setangan Leher
197      157     0     
Romance
Pernahkah kamu membaca sebuah kisah di mana seorang dosen merangkap menjadi dokter? Atau kisah dua orang sahabat yang saling cinta namun ternyata mereka berdua ialah adik kakak? Bosankah kalian dengan kisah seperti itu? Mungkin di awal, kalian akan merasa bahwa kisah ini sama seprti yang telah disebutkan di atas. Tapi maaf, banyak perbedaan yang terdapat di dalamnya. Hanin dan Salwa, dua ma...
Letter hopes
809      454     1     
Romance
Karena satu-satunya hal yang bisa dilaukan Ana untuk tetap bertahan adalah dengan berharap, meskipun ia pun tak pernah tau hingga kapan harapan itu bisa menahannya untuk tetap dapat bertahan.
Persapa : Antara Cinta dan Janji
6675      1629     5     
Fantasy
Janji adalah hal yang harus ditepati, lebih baik hidup penuh hinaan daripada tidak menepati janji. Itu adalah sumpah seorang persapa. "Aku akan membalaskan dendam keluargaku". Adalah janji yang Aris ucapkan saat mengetahui seluruh keluarganya dibantai oleh keluarga Bangsawan. Tiga tahun berlalu semenjak Aris mengetaui keluarganya dibantai dan saat ini dia berada di akademi persa...
Cinta Aja Nggak Cukup!
4660      1499     8     
Romance
Pernah denger soal 'Triangular theory of love' milik Robert Sternberg? The one that mentions consummate love are built upon three aspects: intimacy, passion, and commitment? No? Biar gue sederhanakan: Ini cerita tentang gue--Earlene--dan Gian dalam berusaha mewujudkan sebuah 'consummate love' (padahal waktu jalaninnya aja nggak tau ada istilah semacam itu!). Apa sih 'consummate love'? Penting...
Peringatan!!!
1913      819     5     
Horror
Jangan pernah abaikan setiap peringatan yang ada di dekatmu...
Di Balik Jeruji Penjara Suci
10096      2134     5     
Inspirational
Sebuah konfrontasi antara hati dan kenyataan sangat berbeda. Sepenggal jalan hidup yang dipijak Lufita Safira membawanya ke lubang pemikiran panjang. Sisi kehidupan lain yang ia temui di perantauan membuatnya semakin mengerti arti kehidupan. Akankah ia menemukan titik puncak perjalanannya itu?
The Black Envelope
2380      838     2     
Mystery
Berawal dari kecelakaan sepuluh tahun silam. Menyeret sembilan orang yang saling berkaitan untuk membayarkan apa yang mereka perbuatan. Nyawa, dendam, air mata, pengorbanan dan kekecewaan harus mereka bayar lunas.
Petrichor
5101      1199     2     
Romance
Candramawa takdir membuat Rebecca terbangun dari komanya selama dua tahun dan kini ia terlibat skandal dengan seorang artis yang tengah berada pada pupularitasnya. Sebenarnya apa alasan candramawa takdir untuk mempertemukan mereka? Benarkah mereka pernah terlibat dimasa lalu? Dan sebenarnya apa yang terjadi di masa lalu?