GLADIRESIK
"Sebagian wanita terlihat cantik dengan rambut panjang."
- Eza Harudi -
***
Satu hari sebelum Festival musik, Feya diwajibkan datang untuk gladiresik. Feya sampai di Aula. Ia celingukan kanan kiri mencari Kaichou-nya. Sejauh mata memandang hanya ada anggota OSIS yang tidak dikenali Feya. Mereka sibuk mendekor, menata lampu, memasang sound, bahkan hilir mudik dengan pamflet di tangan.
Feya menggigit bibir bawahnya. Ragu melangkah masuk ke Aula. Seperti terasing diantara antusiasme orang-orang yang menginginkan keberhasilan festival besok.
Akhirnya, di atas panggung sana Feya mendapati orang yang dicari. Eza, Kaichou-nya, sedang mengetam piano berkaki yang ditaruh di tengah panggung raksasa nan megah. Sesekali ia mengelap peluh di pelipisnya. Konsentrasi penuh ia curahkan pada piano yang akan menjadi alat tempurnya nanti.
Feya memperhatikan dari jauh. Senang bukan main hanya dengan melihat sosok laki-laki berkacamata itu.
Sejurus kemudian Eza menyadari kehadiran Feya. Ia sempat melambaikan tangan dan menampilkan sederet gigi rapi.
Namun Eza tidak beranjak. Gestur tubuhnya memberi isyarat agar Feya menunggu. Sebab Eza kepalang tanggung dengan pekerjaannya. Feya mengangguk tanda setuju. Komunikasi mereka terjalin meski lewat anggukan kepala.
Feya duduk di salah satu kursi. Menunggu Eza menghampirinya. Mengetam piano bukan hal mudah, perlu konsentrasi. Dengan ada dia di dekat Eza, hanya akan membuyarkan pikiran Eza. Sudah betul Feya memilih duduk dan menunggu.
"Feya!" panggil seseorang membuat Feya menoleh padanya. Itu Dhani.
"Udah ke seksi kostum belum? Mereka punya kostummu buat pembukaan besok," dengan baik hati Dhani memberitahu.
"Iya, Dhani senpai!" Feya mengangguk cepat seakan lehernya mau copot.
Dhani memperhatikan Feya lamat-lamat. Gadis ini masih termasuk kriterianya. Bahkan anggukan kepala saja menurut Dhani sangatlah manis dan menggoda.
Bukan Dhani namanya kalau melewatkan kesempatan merayu gadis cantik nan mulus ini. Dhani mengangkat jemarinya, menelusur ke pipi Feya. Ia memanfaatkan kejadian pemukulan kemarin sebagai bahan untuk tebar pesona.
"Duh, pipi lu ga kenapa-kenapa kan, Feya?" ucapnya disertai elusan lembut ke pipi. "Kemarin memarnya parah, loh!"
Feya hanya mematung. Bibirnya tidak mampu berucap karena penyerangan yang tiba-tiba.
Belum juga Dhani mengeluarkan jurus keduanya, yakni menggombal, seorang menekan shutter kamera dan bunyi KLIK tertangkap telinga Dhani dan Feya.
"Hei, ngapain lo?" Dhani protes.
Seorang laki-laki dengan rambut lurusnya menurunkan kamera ke depan dada. Dengan polos menjawab pertanyaan Dhani, si kakak kelasnya.
"Buat dokumentasi, kak!" jawaban seadanya.
Laki-laki bernama Sairudi itu terbiasa membawa-bawa kamera di lingkungan sekolah. Kemampuannya dalam menangkap gambar alias fotografi memang patut diacungi jempol. Tidak salah ia ditunjuk jadi seksi publikasi dan dokumentasi.
"Fotoin yang dekor panggung kek, atau yang lagi nyebar pamflet kek, lah ngapain dokumentasiin gue?" Dhani keberatan.
Ia menghampiri Sairudi untuk merebut kamera. Sinyal Sairudi menyala, alamat kameranya akan dikasari oleh Dhani. Maklum, Dhani di-cap playboy kelas kakap, ia sangat berhati-hati menyembunyikan pacar satu dan yang lain. Hasil jepretan Sairudi hanya akan meruntuhkan apa yang sudah Dhani tanam.
Maka terjadilah kejar-kejaran antar Dhani dan Sairudi. Aula jadi tempat kucing-kucingan mereka. Feya cengengesan. Menganggap mereka lucu.
Sementara itu Eza selesai dengan pekerjaannya. Ia berada di samping Feya saat kejar-mengejar itu dimulai. Eza juga tertawa melihat kelakuan Dhani.
"Kaichou~" lengkingan manja selalu Feya dendangkan bila bibir Eza sudah melengkung ke atas. Selanjutnya pipi Feya akan bersemu dengan mata berbinar. Mirip seperti kucing peliharaan Eza.
"Udah ke bagian kostum?" tanya Eza sambil mengacak rambut Feya. Mukanya memang minta dielus.
"Baru dikasih tahu Dhani senpai tadi," jawab Feya.
"Sana gih, cobain dulu. Takutnya kegedean atau kekecilan."
Feya mengangguk.
Seksi kostum ada di luar aula. Feya berjalan atas perintah Eza. Menyapa anak-anak OSIS bagian kostum dan mengatakan tujuannya.
Cukup lama Feya di sana. Eza masih menunggu di tempat sama. Salah satu kakinya mengetuk lantai, seolah sedang menunggu pacarnya berganti pakaian untuk kencan.
Kemudian Feya kembali. Ia mengenakan gaunnya bermaksud bertanya pendapat pada Eza.
Eza dibuatnya melongo lewat gaun terusan putih polos semata kaki. Lengan panjangnya Feya singsingkan sampai sikut memamerkan kulit putih susu yang kontras dengan gaun.
Tiap langkah Feya dibayangi oleh tatapan Eza tanpa berkedip. Bukan kali pertama Eza dibuat takjub oleh kecantikannya, namun yang satu ini sukses membuat perut Eza bergejolak. Seolah ada kupu-kupu yang terbang menanjak sampai ke pipinya. Wajah Eza bersemu merah. Ia menyembunyikannya dengan mendorong batang kacamata ke arah hidungnya. Ia mesti melakukan itu agar tidak gelagapan saat Feya berada di hadapannya.
"Gimana Kaichou? Bagus ga?" tanya Feya seraya memutar badannya di depan Eza.
Eza berdehem. Memilih menganggukkan kepala sebagai jawaban daripada ketahuan suaranya mendadak sumbang karena pesona Feya mencekik tenggorokannya.
Feya tersenyum puas. Namun Eza mengalihkan pandangan, jangan sampai debaran jantungnya kedengaran Feya, atau pipi bersemu merahnya tertangkap bola mata Feya.
Hening sesaat sebab keduanya canggung karena hal yang tidak mereka mengerti. Untunglah seorang teman memanggil Feya hingga mereka menoleh pada sumber suara.
Itu Sanny. Kedua tangannya penuh oleh tas berwarna pink milik Feya. Ia menghampiri Feya dan Eza dengan mimik muka datar, mengintimidasi.
"Fey, aku mau balik ya, ini tas kamu bawa, di kelas sepi, takutnya dikunci sama ketua kelas," ucap Sanny seraya menyerahkan tas pada pemiliknya.
"Oh, arigatou Sanny-chan!" balas Feya riang. "Aku ganti baju lagi ya, Kaichou?"
Eza mengangguk. Feya berlari ke tempat semula, mengganti lagi gaunnya dengan seragam.
Sementara itu Sanny memperhatikan wajah Eza. Sedari tadi Sanny sudah ada di sana, menyaksikan bagaimana Eza menatap Feya dengan tatapan jatuh cinta. Sanny tidak bodoh untuk mengartikannya.
"Jadi... kamu suka Feya?" tanya Sanny lirih.
Eza menoleh perlahan bersama helaan napas panjang.
Sanny melanjutkan kalimatnya. "Syukurlah, akhirnya kamu bisa menggunakan hatimu dengan benar. Aku kira selamanya kamu ga akan pernah jatuh cinta," Sanny mencibir.
Eza menelan ludah. "Aku udah berubah, Sanny. Seharusnya kamu juga."
"Aku udah banyak berubah. Bodoh kalau aku masih sama seperti sebelumnya."
Eza bergeming. Tatapan Sanny berapi-api. Amarahnya tersulut lagi bila pandangan mereka bertemu. Sama seperti dua tahun lalu.
"Aku hanya titip satu pesan sama kamu, Ketua. Jangan main-main sama Feya. Aku berhutang banyak padanya. Sekali kamu menyakitinya, aku ga akan segan-segan."
Ancaman Sanny menjadi pamungkas percakapan mereka. Sanny memutar badannya, meninggalkan Eza dengan tekukan wajah dimana-mana. Eza menyaksikan punggung itu menjauh. Makin lama makin mengecil lalu menghilang di pintu masuk aula. Eza menghela napas panjang.
"Mana Sanny-chan? Kukira dia mau nunggu aku dulu," mendengar Feya, spontan bibir Eza tersimpul rapi.
"Pulang duluan katanya," ucap Eza tanpa memperlihatkan wajah tegangnya pada Feya. "Ayo Feya kita mulai gladiresiknya."
"Haik, wakatta!!"
Eza mengunci rapat-rapat dialognya dengan Sanny. Ancaman Sanny tidak akan berpengaruh padanya. Sebab Eza tidak mungkin menyakiti Feya.
Detik itu dalam hati ia berjanji, akan menjaga dan menyukai gadis periang di sampingnya ini. Tidak mungkin ia sia-siakan.
***
F I N
Arigatou @dede_pratiwi
Comment on chapter Prolog