THE VOICE I MISSED
"Berapa harga merindukan seseorang? Aku pasti tidak mampu membayarnya."
- Rean Kainand -
***
Feya selalu mengganggu. Setiap saat, ia muncul dengan heboh dan mendendangkan kata-kata dengan bising. Rean-kun! Rean-kun! Energinya tidak pernah habis. Gadis itu dikaruniai tenaga yang tidak masuk akal, terutama di mulutnya.
Awalnya Rean acuh, tapi lama-lama gadis itu semakin menjadi. Suara melengkingnya membuat Rean paranoid. Mengancamnya seperti pertemuan pertama tidak membuahkan hasil. Gadis itu keras kepala. Tidak takut pada Rean yang membentaknya atau melotot tajam tak ingin diganggu. Rean tidak punya pilihan selain menghindar. Dalam radius bermeter-meter suara Feya ditangkap telinganya, Rean akan mencari tempat persembunyian. Meminimalisir pertemuan.
Seperti kali ini, bel istirahat sekolah telah berbunyi dan Feya menunggu Rean di depan kelasnya. Kepala celingukan mencari pria pujaan. Siapa sangka Rean harus repot-repot melompat dari jendela samping mejanya untuk kabur dari Feya.
Berhasil, tidak ketahuan. Namun suara berdebum di lantai menarik perhatian Feya. Langkah kaki gadis itupun kedengaran di telinga Rean, berlari menuju sumber suara. Dengan kata lain menemukan jalan kabur Rean. Rean mempercepat larinya. Berbelok ke lorong kelas XI.
Rean bisa menangkap suara napasnya yang terengah-engah. Ia kesal karena suara jantungnya pun ikut memburu, berdetak seiring langkah kaki. Rean tak tahu lagi, ia asal mendorong pintu ruang UKS yang sepi. Menutup dan mengunci pintu setelah seluruh tubuhnya resmi masuk ruangan. Rean menggelosor di bawah pintu, menyembunyikan sosoknya dari jendela di samping pintu.
Rean mengenali suara langkah kaki Feya. Langkah yang pendek tapi cepat.
TAP! TAP! TAP!
Satu lagi yang berbeda, gadis itu memakai gelang kaki. Gemericingnya membuat Rean ngeri. Seperti lonceng malaikat kematian. Sekali mendekat, ia akan mati.
Feya tidak sadar Rean masuk ke salah satu ruangan. Langkah kakinya terburu-buru dan melewati ruang tempat Rean bersembunyi. Kadang berhenti, berputar, yang pasti semakin menjauh. Feya pergi. Rean bisa bernapas lega sekarang. Ia membenamkan wajah dan mengacak rambutnya.
Rean tidak habis pikir. Gadis Jepang itu sungguh gila. Selalu saja sosoknya ada dimanapun. Dibanding suaranya, yang paling menakutkan adalah tatapan matanya. Sekali ia menatap wajah Rean, ia akan mengunci pandangannya tanpa berkedip dengan bola mata bulat dan besar. Rean merasa aneh dengan tatapan itu. Seperti ada arti tersembunyi. Bukan sekedar tatapan gadis yang sedang jatuh cinta. Lebih dalam dari itu. Dan Rean takut karenanya.
***
Rean tidak sadar di ruangan itu ada orang lain selain dirinya. Bagaimana tidak, orang itu tertutupi tirai mengelilingi ranjang tidur. Ia sedang berbaring saat Rean masuk tadi. Sekarang, karena beberapa hal orang itu terbangun dan membuka tirai di atas ranjangnya.
SREK!!!
Kontan Rean menoleh.
Pupil mata Rean sedikit membesar ketika menyadari yang sedang berbaring itu adalah orang yang dikenalnya. Seorang gadis dengan rambut pirang dan hidung mancung. Wajahnya pucat seperti menahan sakit, kedua tangannya melingkar di perut, sumber sakitnya ada di sana.
Gadis itu melihat Rean juga. Tanpa sepatah katapun ia turun dari ranjang. Membuang muka dan menghampiri pintu. Selama gadis itu berjalan, tatapan Rean tak lepas darinya.
"Minggir!" itu saja kata darinya. Dari gadis dengan papan nama Ariasanny di dada kanannya.
Rean mematung. Bukan apa-apa. Suara gadis itu, meskipun hanya sedikit dan pelan, tapi membuat Rean mati rasa. Karena sejujurnya dari semua suara yang ada di dunia, hanya satu yang Rean sukai. Suara milik gadis yang sekarang berada di hadapannya ini.
Sanny tidak berucap lagi, hanya mendelik. Sanny tahu perihal kesukaan laki-laki ini pada suaranya. Detik itu Sanny membungkam mulutnya. Ia memilih diam. Enggan untuk didengarkan pada pria di masa lalu yang sudah menyakiti hatinya. Untuknya, Sanny lebih memilih bisu. Diam seribu bahasa.
Detik itu Rean memanfaatkannya untuk merekam suara Sanny. Suara degup jantungnya, desahan napas yang tak beraturan. Juga detak jam seakan mengisi kekosongan diantara mereka. Bagaimanapun ia merindukan suara Sanny. Rean merindukan gadis ini.
Alih-alih melakukan sesuatu, Rean hanya bisa menunduk. Teringat lagi kejadian di masa lalu yang membuatnya malu untuk sekedar menatap bola mata Sanny.
Meskipun Rean sangat ingin mendengar suara Sanny, ataupun sangat merindukannya, tapi ia tidak bisa apa-apa. Selain menghindar dari pintu. Mempersilahkan Sanny keluar dari ruangan.
Sanny tetap tidak berucap sampai sosoknya menghilang di ujung lorong. Seperti sengaja sedang menghukum laki-laki yang rapuh ini.
***
F I N
Arigatou @dede_pratiwi
Comment on chapter Prolog