REAN KAINAND
"Dia bisa melihat dunia, tapi tidak bisa menyentuhnya."
- Rean Kainand -
***
Ada yang berbeda dengan Rean. Sejak kecil ia punya kelebihan yang didapat dari ayahnya. Yaitu peka terhadap suara. Ia bisa mendengar dengan jelas suara sekecil atau sejauh apapun.
Meskipun itu seperti bakat untuknya, tapi Rean membenci itu semua. Tak jarang ia memikirkan cara untuk menutup rapat telinganya agar tidak mendengar apapun. Cara seperti memasang headset sudah berkali-kali ia lakukan. Namun yang ia tangkap selanjutnya adalah suara desahan napasnya sendiri, juga degup jantung yang menurutnya lebih mengerikan.
Cara satu-satunya yang aman menurut Rean adalah tidur. Tidak akan ada yang didengarnya saat tertidur. Itulah kenapa di setiap kesempatan Rean selalu memilih untuk tidur.
Dunia terlalu berisik. Terlalu banyak suara yang tak penting. Deru motor di jalanan, suara menguap, suara cekikikan, gesekan sol sepatu ke lantai, ataupun burung gereja yang bercicit. Suara yang sama. Monoton. Membosankan.
Diantara semua suara yang ia dengar, yang paling ia benci adalah ruang musik. Segala sesuatu yang terdengar dari sana membuat Rean sesak. Bukan takut, lebih kepada menekan bagian dada saat sebuah melodi sampai ke gendang telinganya.
Rean tidak mau dan tidak akan pernah mendekat sejengkalpun dari ruangan tersebut. Semua bunyi-bunyi dari sana membuat kepalanya pening, mabuk, terkadang merasa ingin muntah.
Tapi kemarin itu lain. Rean sedang tertidur di gudang olahraga. Sayup-sayup suara nyanyian Feya tertangkap telinganya. Sebisa mungkin Rean menutup telinga, berguling resah ketika telinganya semakin peka hingga jantungnya berdebar cepat. Ia ingin menghentikan sumber suara, tapi kebenciaannya pada ruang musik menghalangi.
Satu yang jadi pilihan, ia harus menghentikan siapapun yang bernyanyi, meski itu artinya ia harus menginjakkan kaki ke tempat yang dibenci.
Langkah kakinya terasa berat, medan gravitasi seolah melarangnya mendekat ruang musik dengan mudah. Nyanyian itu makin membahana, kemudian Rean tertegun saat sadar lagu yang sedang mengalun.
Hitomi wo Tojite. Dari jutaan lagu di dunia yang paling dibencinya adalah lagu itu.
Rean tidak bisa tenang, lagu itu berhasil membawa kenangan buruk yang ingin dia lupakan. Napasnya naik turun, giginya gemetrukan. Rean dilahap amarah.
Dan amarah itu memuncak ketika Rean melihat laki-laki itu yang mengiringi piano.
Ya, Eza...
Ia sangat ingat bagaimana laki-laki itu pernah besar di kepalanya dan menyandang gelar sebagai sahabat. Ia juga ingat pernah mengatakan pada Eza arti lagu itu untuknya. Sekarang laki-laki itu di depan piano sana. Jari-jarinya lincah memainkan musik terlarang untuknya. Juga gadis itu... pastilah Eza yang memintanya bernyanyi.
Sialan!!
Rean membanting pintu, dicarinya kerah baju Eza dan bogeman mentah melayang ke wajah mulus si Ketua OSIS.
Perkelahian itu terjadi. Dua laki-laki yang dulu saling tertawa memainkan tuts demi tuts, kini saling memaki, menghajar, tidak kenal rasa kasihan.
Bagian terburuknya adalah pukulan Rean mengenai Feya. Tidak ada yang lebih buruk dari menghajar seorang wanita. Sangat pengecut.
***
Rean merebahkan diri di kasurnya yang empuk. Kejadian tempo hari menghantui malam-malamnya.
Seseorang mengetuk pintu kamarnya, ketukan kecil tapi bagi Rean seperti sedang menabuh genderang.
"Rean, aku keluar sebentar cari makan. Kamu mau nitip sesuatu enggak?" Irdan, paman yang tinggal serumah dengannya berseru lantang.
"Enggak!" jawab Rean pelan. Ia lupa kalau Irdan tidak sepertinya yang bisa mendengar suara sekecil apapun.
Perlu beberapa kali panggilan dari Irdan sampai Rean mau berteriak mengatakan jawabannya. Irdan mendengar teriakan itu dan pergi.
Rean melanjutkan kegiatan merenung di kamar. Langit-langit kamarnya sekarang mendominasi indera penglihatan. Putih bersih dan membosankan.
Tak lama kemudian handphonenya berbunyi nyaring. Sebuah nada khas dari Whatsapp. Bukan sekali, nada itu bertubi-tubi mencemari telinga Rean.
Rean menghela napas. Nampaknya ia tahu siapa yang melakukan chat sebanyak itu.
Diraihnya handphone, layar menunjukkan chat sebanyak 20 lebih dari nomor tidak dikenal. Namun dari foto profil saja Rean bisa tahu. Si gadis Jepang itu.
"Rean-kun~ konbanwa~"
"Coba tebak aku dapat nomornya dari mana? Haik, Irdan sensei yang kasih aku.. Yatta!!"
"Eeto~ tentang kejadian kemarin, gomen ne... aku ga tahu kalo Rean-kun ga suka lagu itu, harusnya aku ga nyanyi, aku ga mau bikin Rean-kun marah... :(("
"Kalo Rean-kun minta aku diam, aku akan diam... kalo Rean-kun minta aku pergi, aku akan pergi..."
"Asal jangan benci sama aku... aku udah kecanduan Rean-kun. Asalkan bisa lihat Rean-kun setiap hari aja aku udah bahagia."
"Rean-kun ga usah melakukan apapun, cukup berada di sekitarku aja, itu cukup..."
"Ano~ tolong balas chat ku sekali aja, setelah itu aku akan tidur nyenyak."
"Rean-kun... Aitakatta!!"[1]
Cukup lama Rean terdiam. Suara detak jam memburu bersamaan dengan tarikan napasnya. Rean menatap langit-langit kamarnya, menerawang. Pikirannya berlari pada kejadian kemarin siang.
HUF!!!
Rean mengingat lagi wajah gadis Jepang itu. Membayangkan kulit putih susunya diwarnai memar yang pastilah sakit.
Rean menatap layar handphone-nya lagi. Kemudian jari-jarinya menekan huruf demi huruf menjadi kata, dan menekan tombol send...
"HEH!!"
Ada jeda sekian detik sampai layar handphone-nya menampilkan tanda 'sedang menulis.'
Feya_Ryuuna : "Nani?[2] Rean-kun balas chat aku? Kyaaaa~ yokatta ne![3]"
Kainand Rean : "UDAH KUBILANG JANGAN GANGGU!"
Feya_Ryuuna : "Eee~ aku ga mimpi kan, ini beneran Rean-kun? Cubit aku kalo ini bukan mimpi. Kyaaaa~"
Kainand Rean : "Kamu mau aku pukul lagi."
Feya_Ryuuna : "Jangan. Hehehe~ aku maunya disayang bukan dipukul :3"
Kainand Rean : "HOEK!"
Feya_Ryuuna : "Rean-kun... Kenapa ga masuk sekolah? Rean-kun sakit? Mau aku jenguk? Aku bawa obat ya, aku urus deh!"
Kainand Rean : "Aku ga sakit."
Feya_Ryuuna : "Terus kenapa ga masuk?"
Kainand Rean : "Males."
Feya_Ryuuna : "Males sekolah?"
Kainand Rean : "Males ketemu kamu, bego!"
Feya_Ryuuna : "Nani? Kan, aku ga ganggu Rean-kun."
Kainand Rean : "BISA GA SIH SEHARI AJA GA BERISIK."
Feya_Ryuuna : "Oke deh, kalo ketemu Rean-kun aku ga akan berisik."
Kainand Rean : "Aku ga mau ketemu kamu."
Feya_Ryuuna : "Diam-diam deh, asalkan aku lihat Rean-kun."
Kainand Rean : "Kamu gila."
Feya_Ryuuna : "Gila sama Rean-kun. Chuuu~"
Kainand Rean : "BERHENTI CHAT AKU. ATAU AKU BLOKIR."
Feya_Ryuuna : "Eee~ dame... Aku masih mau ngobrol sama Rean-kun, meskipun cuma lewat chat tapi aku seneng."
Kainand Rean : "TERSERAH!!!"
Rean sudah lelah. Lewat satu tombol saja ia leluasa memblokir nomor si gadis Jepang. Ia tidak peduli lagi. Menanggapi gadis berisik itu sama saja menyiksa indera pendengarnya.
Dan malam itu Rean sempurna menutup hari dengan tidur meringkuk seperti bayi dalam kandungan. Ajaib, malam-malam sebelumnya Rean tidak pernah bisa tidur walau cuma sekejap. Suara-suara di masa lalu selalu berhasil membangunkan. Tapi malam ini lain. Ia terlelap dalam buaian mimpi. Di mimpinya ada gadis Jepang itu. Ia sedang tersenyum menawan dan mendendangkan kata yang sama berulang-ulang.
Rean-kun...
***
F I N
Kamus :
[1] Aku kangen
[2] Apa?
[3] Syukurlah!
Arigatou @dede_pratiwi
Comment on chapter Prolog