LOVE AND STUPID
"Cinta dan gila perbandingannya tipis."
- Feya Ryuuna -
***
Buah dari kejadian semalam ialah keharusan Yicky antar-jemput Feya. Tidak ada yang bisa menghentikan Yicky bila emosinya berada di puncak. Mau tidak mau Feya harus menuruti peraturan baru Yicky. Beruntung Feya tidak harus melapor setiap jam, setiap menit. Hanya antar-jemput.
Deru motor Yicky telak berhenti di pelataran gerbang sekolah. Feya turun dan melepas helm-nya. Rambut Feya kusut masai. Tapi langsung rapi kembali saat jari-jarinya digunakan sebagai sisir.
"Ingat, pulangnya gue jemput, " Yicky mengingatkan terus menerus. Feya mulai sebal. Kalimat itu sejak pagi terulang-ulang seperti kaset rusak.
"Iya, iyaaa... Yicky-niichan bawel!"
"Kalau ada apa-apa hubungi nomor gue."
Lagi. Itu kalimat urutan kedua yang masuk nominasi sering diucapkan sedari pagi.
Feya mencium tangan Yicky, berpamitan. Sempat terucap satu dua patah kata perpisahan sebelum Yicky menyalakan mesin dan pergi. Feya menggembungkan pipi. Merasa lelah dengan sikap overprotective kakaknya.
Feya berjalan ke gerbang sekolah. Di sana ia disambut Eza, Kaichou-nya. Ia berdiri mematung nampak sedang menunggu. Eza memberi salam dengan sebuah senyuman yang Feya namai 'senyum seribu watt.'
"Ohayou, Kaichou~" Feya menghampiri dengan senyum terpancar di wajah putihnya.
Bola mata Eza mengarah pada pipi kiri Feya. Tiba-tiba bibir Eza melengkung ke bawah dapati pemandangan yang buat matanya jeri. Eza lantas menyentuh pipi itu. Feya sedikit menghindar. Spontan saja, ia kaget karena Eza terlalu tiba-tiba.
"Udah kamu kompres?" cemas Eza.
"Udah!" jawab Feya singkat. Kedua bola matanya bersinar seolah memberi tanda bahwa keadaannya baik-baik saja.
"Luka kaya gini pasti lama sembuhnya," masih kata Eza.
"Nggak apa-apa, nggak sakit kok!"
"Bohong!"
Eza menekan telunjuknya ke pipi Feya. Feya meringis. Tertangkap basah sedang kesakitan.
"Jangan nolak kalo aku obati."
"Iya, nggak akan kok!" Feya mengalah.
Keduanya tersenyum, tidak sadar kenapa melakukan hal tersebut. Mereka hanya senang bertemu satu sama lain. Menghirup aroma sampo dari rambut keduanya dan menikmati pagi berembun seperti sekarang.
"Itu kakakmu?" Tadi Eza memperhatikan mereka. Satu detikpun matanya tidak lepas dari Feya, sampai tubuh mungil itu menghampirinya, tersenyum kepadanya.
Feya menjawab dengan anggukan kepala. Entah kenapa, di mata Eza anggukan itu berhasil menghipnotisnya. Cantik dan menggemaskan. Rasanya ingin dia miliki.
"Yicky-niichan rese, dia orang tercerewet sedunia," gerutu Feya kesal.
Eza menarik ujung bibirnya. "Wajar sih, semua kakak laki-laki memang akan seperti itu sama adik perempuannya. Kayanya aku juga bakal sama."
"Huh, tsumaranai~" Feya menggembungkan pipi.
Eza selalu suka saat Feya menggumamkan logat Jepang-nya. Lebih manis dari gula, lebih indah dari bunga.
"Kaichou... "
"Ng?"
"Kemarin kan Kaichou kena pukul juga. Emangnya nggak lebam?"
"Nggak tuh!"
"Keras banget loh padahal."
"Segitu mah kecil, aku pernah kena pukul Rean lebih parah dari itu. Rean itu kepalan tangannya emang kaya batu. Keras dan menyakitkan."
"Coba kulihat!"
Feya berjinjit untuk mensejajarkan wajah mereka. Eza mengalah dengan membungkukkan sedikit badannya ke arah Feya. Mata Feya menelusur tiap lekuk-lekuk wajah Eza. Ia bertindak layaknya scanner yang membaca wajah. Feya merasa perlu melepas kacamata Eza yang dianggap sebagai penghalang.
Mata Eza minus, sebagian terlihat buram. Tapi bola mata Feya nampak jelas baginya. Seperti oase di padang pasir. Ataupun keindahan yang tak bisa ia jabarkan secara logis.
"Kaichou..." suara Feya pelan nyaris berbisik.
"Apa?" Eza menggunakan intonasi yang sama. Mata mereka masih bertautan.
"Kaichou ganteng, ya?"
"Baru tahu?"
Bila diperhatikan lebih jauh lagi Feya baru menyadari. Eza memiliki tinggi dan berat badan proporsional. Tatanan rambutnya ala spiky pendek terkesan rapi dan keren. Mata bulatnya dihiasi alis tebal. Hidung mancung serta bibir merah dan ranum.
Feya terlalu fokus pada bibir Eza. Dunianya sempat gelap gulita karena tersedot fatamorgana. Detik ketiga Feya menginjakkan lagi kakinya ke tanah. Di detik itu juga ia menampar bibir Eza tanpa alasan tertentu.
Eza mengaduh. Erangannya cukup membuat mereka berdua tersadar sedang berada di tempat umum, tempat lalu lalang murid-murid juga guru.
"Kok dipukul?"
"Terlalu dekat, tau!" Feya menggerutu seperti bebek manyun.
"Balikin kacamata aku dong," pinta Eza.
"Nggak ah, hari ini nggak usah pake kacamata aja."
"Nggak bisa dong, mataku minus, nanti nggak bisa lihat."
"Tapi nggak buta juga, kan?"
Feya bermain-main sambil menyembunyikan kacamata di belakang tubuhnya. Eza pura-pura kewalahan meski sebenarnya ia senang dengan permainan ini.
"Tangkap aku kalau bisa!" tantang Feya mendapat sambutan berupa gelitikan ringan di perut.
Mereka asyik bermain sampai-sampai tidak sengaja badan Eza menabrak seseorang di belakang tubuhnya. Permainan terhenti. Eza membalikkan badannya, hendak minta maaf. Namun bibirnya mendadak kelu. Tiba-tiba membisu.
"Sanny-chan!" panggil Feya pada orang di belakang tubuh Eza. "Kamu baru sampai?"
Ada canggung antara Eza dan Sanny. Raut wajah Eza berubah, namun tak terbaca oleh Feya karena ia sibuk menggandeng tangan Sanny.
"Ke kelas bareng, yuk!" ajak Feya pada Sanny.
Hening sesaat. Mata Sanny tertaut pada Eza yang tak berkacamata. Tapi laki-laki itu malah membuang tatapan. Menghindar.
"Oh iya, ayo!" kata Sanny kemudian.
Seolah tidak mau tahu ia beringsut pergi dari Eza yang masih melarikan pandangannya ke arah lain. Feya menaruh kacamata ke telapak tangan Eza. Seraya memunculkan senyum itu lagi.
"Ja ne, Kaichou~ "[1]
Eza membalasnya dengan tersenyum. Ia mengangguk lewat kedipan perlahan. Dan Feya menangkap maksudnya itu. Feya dan Sanny pergi.
Eza memakai kacamatanya lagi. Memandang sosok kedua wanita yang jalan berdampingan itu masuk ke lorong sekolah. Tatapannya hampa, nampak kesedihan juga kegundahan.
Eza menghela napas ketika menatap punggung yang semakin menjauh itu. Punggung milik wanita blasteran dengan rambut keemasan. Dulu punggung itu pernah bergetar menahan tangis. Dulu... ia masih lugu dan tidak mengerti betapa rapuhnya seorang wanita. Dan ketika semua kekacauan itu terjadi, Eza dan Sanny terjebak oleh keadaan.
***
"Feya... kamu deket sama ketua ya?" tanya Sanny begitu mereka duduk di bangkunya.
"Kaichou? Iya, kita main bareng buat festival musik nanti. Makanya jadi dekat."
Sanny memperhatikan gestur tubuh Feya, dari mata ke bibir sampai raut wajahnya.
"Kamu suka ketua?" Sanny bertanya hati-hati.
Feya menoleh pada Sanny. Keningnya berkerut, mulutnya mengatup. Sepagi ini Sanny sudah melantur.
"Iie~ bukan Kaichou, tapi Rean-kun!"
"Rean?"
"Haik, itu loh... laki-laki ganteng di kelas XI IPA 2 yang rambutnya pirang."
"Aku tahu siapa Rean. Aku kenal dia dari SMP." Sanny mendengus.
"Waaa sugoi~ Sanny-chan pernah lihat Rean-kun waktu pake seragam SMP dong. Uuhh, Feya juga mau lihat."
Wajah Feya cerah seperti mentari di pagi hari, hal ini berbanding terbalik dengan lebam di pipinya yang suram.
"Rean itu... ga baik buat kamu," kata Sanny tiba-tiba.
Feya mendengar Sanny, dahinya berkerut tak paham.
"Lebih baik kamu menjauh dari Rean, jangan terlibat lebih jauh darinya."
"Ano~ Sanny-chan... Emangnya kenapa sama Rean-kun? Kaichou juga bilang hal sama. Apa Rean-kun segitu menyeramkan ya?"
"Dia bukan cuma seram, dia ga bisa mengontrol emosinya. Kali ini mungkin wajah kamu yang kena pukul, besok ga tahu lagi."
Feya tahu Sanny mengatakan hal tersebut karena khawatir padanya. Dan sama seperti jawabannya pada Kaichou, ia akan tetap menyukai Rean-kun.
"Watashi wa Rean-kun ga hontou ni suki desu."[2]
Feya serius, sorot matanya memancarkan kesungguhan. Sanny hanya menggeleng di hadapan Feya. Ia tahu Rean dan sifatnya, menyukai pria seperti Rean sama saja masuk ke sarang harimau.
"Kamu udah gila, Fey!"
"Perempuan yang jatuh cinta bukannya emang begitu, ya. Cinta dan gila, perbandingannya tipis."
Sanny bungkam. Baru kali itu Sanny kalah berargumen. Apa mau dikata, perbincangan masalah cinta tidak begitu Sanny kuasai. Ia sendiri kaget Feya yang polos bisa berfilsafat. Mengenai cinta pula.
Memang, Feya adalah teman pertama baginya. Sejak gadis itu datang dan memenuhi pikiran Sanny, selama itu juga ia berjanji akan menjaga gadis ini dari rasa sakit hati. Setidaknya ia harus bersiap, sebab menyukai Rean hanya akan berdampak kesengsaraan.
***
F I N
Kamus :
[1] Sampai Nanti
[2] Aku sangat menyukai Rean
Arigatou @dede_pratiwi
Comment on chapter Prolog