IM SORRY
"Biarlah kau suka dia. Tugasku adalah menjagamu lebih baik dari kemarin"
- Eza Harudi -
***
Awal april, kedatangan Feya pertama kali ke Indonesia.
Lembayung senja nampak nyata di langit dengan awan berarak pelan. Feya telah menyerah, pasrah di pinggir trotoar, di depan rumah yang sekarang menjadi milik orang.
Feya bergelung memeluk lututnya. Tidak tahu lagi kemana harus pergi. Berjam-jam sudah dihabiskan mencari alamat rumah keluarganya. Yang ia dapat hanyalah kenyataan bahwa rumah itu sudah ditempati orang lain. Padahal hanya disanalah tempat tujuannya di Indonesia.
Feya menarik napas panjang. Ia belum sembuh benar dari jet lag-nya. Ia terlalu bersemangat untuk bertemu keluarga yang terpisah selama tujuh tahun. Tidak menyangka hasil akhirnya adalah nihil.
Sementara itu, selagi pikirannya berlari kesana kemari, sebuah motor besar menghampirinya. Feya bersikap awas. Ia memikirkan bagian terburuk bahwa pengendara dengan helm full face hendak merampok barangnya. Tapi tidak, orang itu melepas helm-nya kemudian beringsut turun dari motor besar.
Beruntung, seseorang yang Feya kenal. Ia seorang pria dengan tinggi badan mencolok dan rambut dicat keemasan. Pria itu tidak berhenti tersenyum melihat gadis di hadapannya yang masih pangling. Hanya lewat satu gerakan saja Feya bisa langsung mengenalinya. Menyisir rambut dengan tangan, ciri khas-nya sewaktu dulu. Feya melompat girang. Senang bukan main.
Bila tadi Feya bingung akan singgah dimana, sekarang pria yang dipanggil Yicky-niichan[1] olehnya menawarkan untuk tinggal bersama. Maka di sinilah Feya berada, di kediaman Yicky Samriza.
Yicky adalah penyelamat Feya. Ia memposisikan diri sebagai kakak juga ayahnya. Hal ini ia lakukan karena Yicky kenal betul dengan kakak laki-laki Feya, ia temannya sejak kecil, namun menghilang beberapa tahun lalu.
Bukan hanya itu, Yicky bahkan membiayai sekolah Feya, memenuhi kehidupannya, segala hal yang Feya butuhkan akan langsung dikabulkan Yicky.
***
Malam hari, Feya tidak bisa tidur. Ia terlentang di atas kasur dengan pemandangan langit-langit kamar yang menjemukan. Kamar tidak lagi menjadi tempat favorit Feya belakangan ini. Pikirannya selalu jatuh pada sosok Rean Kainand. Lagi dan lagi ia ingin bertemu. Rean sudah menjadi candunya.
Yicky pulang terlambat. Kegiatan sebagai atlet basket nasional membuatnya selalu pulang larut atau bahkan jarang ada di rumah.
Akhirnya, Yicky pulang dengan badan penuh keringat. Ia menjatuhkan tas olahraga bertuliskan Nike ke sofa tempat ia biasa bersantai. Ia menarik kerah kaos oblong untuk menyeka keringat yang mengucur di pelipisnya.
Di dapur, Yicky membuka lemari es dengan terburu-buru. Tangannya mencari air botol yang dingin karena suhu lemari es. Ia meleguknya seperti sudah lama tidak minum. Kesegaran didapatnya seketika.
Jam dinding menunjukkan pukul 11 malam. Yicky tidak peduli lagi, ia ingin segera bertemu air dan mandi. Rambut pirangnya sudah lepek dan terasa berat oleh keringat. Yicky menuju kamar untuk mengambil handuk juga baju ganti.
Kamar Yicky berada di sebelah kamar Feya. Dari jauh Feya mendengar langkah kaki Yicky mendekat ke kamar. Malam itu Feya merasa tidak baik bertemu dengan Yicky, Feya menutup pintu kamar dengan terburu-buru.
BRAK!!
Tentu saja, Yicky menyadari kejanggalan itu. Feya yang biasanya lari dan memeluk bila Yicky pulang, malam ini ia bersembunyi di dalam kamar. Lengkap dengan debuman keras pintu yang jarang ia tutup.
"Oy, Feya! Lu ngapain? Kenapa pintunya ditutup?" Yicky menghampiri pintu, kenopnya ia putar tapi sudah Feya kunci dari dalam.
"Ano~ a-aku lagi ganti baju, Yicky-niichan!" bohong Feya.
Sebenarnya ada alasan khusus kenapa ia tidak mau bertemu Yicky. Wajahnya... karena pukulan Rean tadi sore, pipi kiri Feya lebam dan membiru. Bukan pilihan yang tepat memperlihatkan wajahnya pada Yicky yang notabene bersumbu pendek.
"Keluar dulu Fey, cepetan ganti bajunya!" perintah Yicky setengah memaksa.
"Eee~ Aku mau tidur duluan aja ya, oyasumi!!"[2] kilah Feya lagi.
"Keluar atau gue dobrak pintunya!" Yicky naik pitam. Ia merasa perlu tahu alasan keanehan Feya.
Feya sangat mengenal Yicky, bila ia bilang dobrak, maka Yicky benar-benar akan datang mendobrak. Feya mengedarkan pandangan ke tiap sudut kamarnya, mencari cara untuk menutupi wajah.
Feya meraih syal di atas meja belajar. Mengenakannya seperti kerudung, kemudian ujungnya ia tutupi di wajah seperti cadar. Feya membuka pintu kamarnya ragu-ragu.
Yicky memperhatikan gelagat aneh Feya. Bola matanya melompat ke sana kemari tidak mau bersinggungan dengan Yicky.
Tanpa aba-aba Yicky menarik ujung syal. Hal yang Feya tutupi di wajahnya kini tergambar jelas di mata Yicky. Lalu pria itu berubah kalap. Urat-urat hijau mencuat di pelipisnya.
"Kenapa muka lu? Bilang sama gue siapa yang udah mukul lu!" Yicky setengah berteriak.
"Aku jatuh dari tangga," bohong Feya lagi.
"Lu kira gue bodoh, ga bisa bedain luka jatuh sama habis dihajar. Bilang ga lu siapa yang bikin lu bonyok gini."
Yicky menelusur setiap jengkal wajah Feya. Bukan biru yang biasa, ia bisa tahu bagaimana sakitnya hanya dari warna biru yang pekat.
"Kalo cewe yang mukul, gue bikin cewe itu ga bahagia seumur hidup. Kalo cowo yang mukul, gue bikin dia mampus sekalian," ancam Yicky membuat Feya bergidik ngeri.
"Daijoubu desu.[3] Tinggal dikompres aja kan?"
"Bilang dulu siapa!" Yicky menaikkan nada suaranya satu oktaf.
"Umm..." Feya merengut.
Yicky membuka lebar pintu kamar Feya, badan tinggi besar itu kini telah berada di dekat meja belajar Feya. Rupanya Yicky mengarah ponsel Feya.
"Kalo lu ga bilang, biar gue labrak semua kontak di hape lu," ancam Yicky sambil mengutak atik ponsel yang baru dibelikan seminggu lalu itu.
"Eee~ dame Yicky-niichan![4] Kan mereka ga salah, masa dimarahi semua."
"Bodo amat. Suruh siapa lu ga bilang."
Terjadi perebutan. Feya berjinjit-jinjit meraih ponselnya, sedangkan Yicky leluasa menekan tombol panggilan masuk dan keluar.
Panggilan masuk dan keluar dipenuhi nama Kaichou, Feya memang baru saja menelepon Kaichou, sekedar mengucapkan konbanwa[5]. Setiap malam mereka makin intens dengan percakapan lewat telepon.
Namun Yicky menarik kesimpulan bahwa orang itulah yang membuat wajah mulus Feya berubah warna, atau setidaknya dia tahu sesuatu.
Panggilan tersambung, terdengar suara Eza di seberang telepon. Yicky langsung memberondongnya dengan makian. Yicky tidak berhenti meskipun Feya berkali-kali menggeleng dan bilang bukan Kaichou yang memukulnya.
Yicky dan Eza terlibat percakapan yang cukup serius, dan dari Eza pula Yicky tahu siapa yang memukul Feya. Dia laki-laki. Yicky bersumpah akan mengantarkan laki-laki itu ke liang lahat.
"Bilang sama si brengsek itu, gue akan cari dia sampe kemana pun. Enak aja, gue udah jaga baik-baik muka adik gue, nah dia maen hajar aja sampai bonyok. Gue rontokin juga giginya sekalian," Yicky meledak marah di telepon. Feya hanya bisa menelan ludah. Yicky yang sedang marah sangat menyeramkan.
"Maaf!" desis Eza di dalam telepon.
"Maaf maaf mulu lu, njiirr!" bentak Yicky lagi. "Awas kalo lain kali hal kaya gini keulang lagi, bukan cuma si brengsek itu yang gue cari, lu juga. Paham lu?!"
Sekarang Yicky kehilangan minat meneruskan percakapan dengan Kaichou. Yicky keluar kamar Feya setelah menendang pintu dengan emosi. Ia telah mengantongi satu nama. Rean. Orang itu akan mati ditangannya.
Ponsel digeletakan begitu saja di atas kursi. Feya meraihnya, panggilan masih tersambung.
"Moshi-moshi, Kaichou~"[6]
"Feya?" suara lembut Eza mengaung di telinga Feya. "Kamu ga apa-apa? Kamu langsung pergi tadi, aku ga tahu muka kamu jadi biru."
"Aku ga apa-apa, Kaichou."
"Maaf, Feya!"
"Eee~ bukan salah Kaichou, kok."
"Tetap aja, aku yang bikin Rean emosi dan jadi salah pukul malah ke wajah kamu. Feya, aku benar-benar minta maaf!"
"Udah ah, Kaichou. Ini sih tinggal dikompres sedikit juga sembuh."
"Feya... Aku ke rumahmu ya. Aku obati kamu."
"Eh, dame! Kaichou tadi denger kan, Yicky-niichan lagi marah-marah. Kalo Kaichou kesini nanti kena marah lagi."
"Itu ga seberapa, aku malah lebih pantas dipukul sama kakak kamu."
"Iie,[7] Kaichou. Aku ga suka. Jangan pukul-pukulan lagi. Onegai shimasu!"
"Ga, aku janji hal kaya gini ga akan terulang lagi. Aku nyesel Feya."
Feya bisa merasakan kesungguhan Eza. Suara laki-laki itu membuatnya berkhayal sedang dielus pipi membirunya.
"Feya, aku mohon sama kamu. Tolong berhenti mengejar Rean. Aku akan memperlakukanmu dengan baik, aku akan jaga kamu. Tapi tolong... jauhi Rean." Nada Eza defensif.
"Aku selalu ga bisa mengontrol diri kalo dekat dia, aku ga tahu bakal berbuat apalagi kalo ada di sekitar dia. Aku ga mau menghindar dari kamu Feya. Jujur, aku suka kamu. Tapi aku ga bisa nerima kamu yang suka sama Rean. Aku ga rela."
"Kaichou..." Feya memotong ucapan Eza di telepon. "Aku ga bisa berhenti suka sama Rean-kun, ada hal yang ga bisa aku jelasin ke Kaichou. Aku tuh udah tergila-gila sama wajahnya Rean. Ga mau yang lain."
"Kenapa harus wajah Rean, aku kurang ganteng buat kamu?"
"Bukan masalah gantengnya, Kaichou!"
"Terus apa?"
"Aku ga bisa jelasin." Feya menghela napas. Tangannya meremas ponsel yang kini berada di telinga. "Jadi berhenti minta aku jauhi Rean-kun, itu ga mungkin."
"Jadi ga mungkin juga kamu terima aku?"
"Mungkin, asalkan Kaichou mau terima aku suka sama Rean-kun."
"Feya... "
"Kaichou... Kalo aku berhenti suka sama Rean-kun, sama artinya aku berhenti napas."
"...."
"Gomen ne, bisa kita udahan bahas ini. Kita istirahat aja yu, tidur."
"Oke, besok aku temui kamu pagi-pagi. Semoga aja kamu berubah pikiran."
"Engga akan pernah, Kaichou!"
Percakapan mereka telah usai. Feya menatap dirinya di cermin, melihat lebam di pipinya lalu menyentuh pelan-pelan.
Hari itu, Feya mengundang imajinasi kalau pipinya sedang dielus oleh Rean. Cenut-cenutnya ia anggap sebagai kecupan dari Rean.
Lagi, angannya menggila. Sekarang ia membayangkan Rean sedang di hadapannya, menatapnya bersama senyuman. Feya menarik ujung bibirnya, menyentuh udara dimana ada bayangan Rean di sana.
"Anata ga ireba nanimo iranai."[8]
***
F I N
Kamus :
[1] Panggilan akrab untuk kakak laki-laki
[2] Selamat tidur
[3] Gak apa-apa
[4] Jangan
[5] Selamat Malam
[6] Halo (panggilan dalam telepon)
[7] Enggak
[8] Kalau ada kamu, aku tak butuh apapun
Arigatou @dede_pratiwi
Comment on chapter Prolog