DON’T BE NOISY
"Please don’t be noisy"
- Rean Kainand -
***
Mata dan kepala Rean berat. Bangku yang keras sekejap bisa ia sulap jadi bantalan empuk. Rean tahu ini bukan posisi nyaman, tapi rasa kantuknya sangat luar biasa. Lima menit saja ia ingin bisa terlelap tidur.
Tapi... seorang memukul kepalanya dengan gulungan kertas tebal. Mau tidak mau kegiatan tidurnya terganggu.
Dengan sinis ia lihat si pengganggu itu. Sedang berdiri tegap, tangannya berkacak pinggang. Gulungan kertas yang dipegangnya jadi barang bukti atas senut-senut di kepala Rean.
"Kau datang ke sekolah untuk belajar atau tidur?" nadanya sarkatis.
"..."
Itu gurunya. Guru musiknya, pak Irdan.
"Apa disetiap pelajaran kau selalu tidur seperti ini?" lanjut pak Irdan. Rean membisu. Bukan karena kehabisan kata-kata untuk menimpali tapi lebih kepada ia belum sadar betul dari kantuknya.
"Daripada aku melihatmu tidur di pelajaranku, lebih baik kau keluar!" pak Irdan membentang tangan kanannya, menunjuk pintu keluar dan berisyarat untuk mengusir.
Semua mata mengarah padanya. Mereka dapat tontonan menarik dari pak Irdan yang menggerutu marah dan wajah Rean yang kusut masai.
Rean menghela napas untuk kemudian keluar kelas seperti yang diperintahkan.
Tidak banyak yang dilakukan teman-teman sekelasnya, selain terdiam seperti habis disiram air es.
Yang paling prihatin adalah Eza, ketua kelas sekaligus ketua OSIS. Padahal ia yang paling dekat dengan tempat duduk Rean, bisa saja ia membangunkan Rean sebelum insiden amukan pak guru terjadi. Apalah daya, ia selalu tidak bisa melakukan apa-apa untuk Rean.
Keran air berada dekat lapangan basket. Rean berada di sana. Sesaat ia mendengar langkah kaki, suara air mengalir dari keran, juga kecipaknya saat mengenai muka.
Rean sadar ada seorang siswi sedang mencuci muka seperti dirinya. Ia telah selesai, suara keran mendominasi.
KRIET! KRIET!
Suaranya membuat Rean linu.
Nampaknya siswi itu sadar dengan reaksi tidak nyaman yang Rean tunjukan barusan. Siswi itu menoleh. Bola matanya dipenuhi wajah Rean. Terus saja dipandangi sampai Rean berhenti membasahi wajahnya.
Kini Rean menoleh pada siswi tersebut, ia sedang tercengang. Mata melotot sebentar lagi akan jatuh ke tanah.
"Rean-kun!" desisnya.
Rean mematikan keran, sejurus kemudian melenggang pergi dari siswi berambut gelombang tersebut.
Siswi itu berseru. "Matte!"[1] Kemudian menghalangi langkah kaki Rean. Matanya masih melotot menapaki tiap lekuk wajah Rean.
"Ano~ Rean-kun, kamu..." ia menggantung kalimatnya. Rean mengernyitkan kening.
"Anata wa kiseki desu." Rean diam. "Maksudku... kamu keajaiban." Siswi itu memilih kata keajaiban sebagai perumpamaan tampan dan sebagainya.
Rean terganggu, tentu saja. Apalagi mengatakan keajaiban. Gombalan paling menyedihkan.
Rean tidak merasa harus menggubris. Dilewatinya bahu siswi tersebut. Meski hal itu membuat ia dikejar lagi dan lagi olehnya.
"Namaku Feya Ryuuna. Kelas X-3. Umur 16 tahun. Golongan darah O." Siswi itu memperkenalkan diri sembari membayangi langkah kaki Rean.
"Rean-kun... aku boleh suka Rean-kun? Aku ga minta disukai balik kok, cuma biarkan aku melihat Rean-kun setiap hari. Ya, ya, ya?"
Rean mengabaikan perkataan yang memberondong di punggungnya. Suara decitan sol sepatu dari siswi itu berhasil membuat urat di pelipis Rean muncul. Sekarang ia benci suara tinggi dari siswi yang mengaku namanya Feya. Seperti nyamuk. Melengking. Suara yang mengganggu.
Feya tidak berhenti. Kata-katanya semakin tidak masuk akal.
"Selama ini aku lihat Rean-kun dari jauh, tapi... lihat Rean-kun dari dekat ternyata lebih menarik ya. Chou kawai!!”[2]
Rean habis kesabaran, ia berbalik badan dengan gusar.
"HEH!" Bentak Rean. "Mau sampai kapan kamu ikuti aku?"
Itu suara pertama yang Feya dengar dari mulut Rean. Spontan Feya mengatup mulutnya, terbelalak kaget.
"Pergi sana!" Rean menebarkan kebencian di setiap tekanan nadanya.
Tanpa menunggu reaksi Feya, Rean melengos ke dalam kelasnya. Feya masih mematung di depan kelas. Dadanya berdebar hebat.
Coba tebak, apa yang Feya lakukan kemudian?
Ia tersenyum. Seringai yang menggambarkan bahwa ia senang dengan teriakan Rean. Menandakan kehadirannya telah dianggap.
***
Eza sudah memutuskan untuk bermain bersama Feya di acara opening nanti. Mereka sudah menunjuk lagu First Love sebagai penampilan di atas panggung.
Sepulang sekolah mereka berlatih menyesuaikan nada. Feya bukan penyanyi ulung, dia tidak hapal not piano ataupun ritme, ia hanya tahu menyanyi. Atas bimbingan pak Irdan-lah, ia bisa mengimbangi permainan piawai Eza.
"Aaa~ gomen, aku pasti menyusahkan ya. Harusnya bukan aku yang ditunjuk jadi pengisi acara," Feya merengut. Ia mengkeret di pinggir kursi piano tempat Eza mengotak-atik nada.
"Bagus kok Feya, aku suka!" puji Eza tulus.
Mendengar akhir kalimat Kaichou-nya, Feya terhipnotis untuk tersenyum. Entah sejak kapan mereka jadi terbuka untuk saling ucapkan kata-kata cinta. Padahal Feya selalu bersikukuh tentang Rean.
"Kaichou~ ada lagu yang disukai ga?" Feya bertanya dengan nada riang.
"Ada."
"Apa?"
"Kalo aku bilang, mau ga kamu nyanyikan?"
"Asal lagu Jepang. Aku ga terlalu hapal lagu Indonesia soalnya, cuma beberapa."
"Emang lagu Jepang, kok!"
"Hontou ka? Lagu apa?"
"Hitomi wo Tojite dari Ken Hirai."
Mata Feya berbinar. Ia tahu lagu itu, kebetulan sekali mereka punya lagu favorit yang sama.
"Eee~ massaka?[3] Tahu ga, waktu di Jepang ada pengamen ganteng yang nyanyi lagu itu. Sugoi~ karena dia aku jadi suka lagu itu."
Eza mengulum senyum, ekspresi Feya yang meledak-ledak selalu menarik perhatiannya.
"Berarti tahu lagu itu, dong. Aku mau dengar kamu nyanyi," pinta Eza.
Feya mengangguk. Ia berdehem sebagai tanda bersiap-siap.
Eza menyentuh tuts piano. Lagu itu seperti earworm untuknya. Sangat mudah memainkan nada dari lagu yang ia suka sedari kecil.
Asa mezameru tabi ni
kimi no nukegara ga
yoko ni iru
Nukumori wo kanjita
itsu mo no senaka ga tsumetai
Nigiwarai wo yamete
omoi kaaten wo akeyou
Mabushi sugiru asahi
boku to mainichi no oikakekko da
Kemudian, tiba-tiba saja seseorang dari arah luar ruang musik merangsek masuk. Feya ataupun Eza tidak begitu menyadari kedatangannya.
Kedua tangan orang itu mengepal, urat-urat hijau mencuat di balik pelipis putihnya. Tanpa tendeng aling-aling laki-laki dengan mata amber itu menyambar kerah baju Eza. Bogeman mentah mendarat di pipi mulus Eza.
Eza terjatuh ke bawah kursi. Pukulan keras darinya membuat kacamata Eza lepas, jatuh ke lantai.
Feya yang menyaksikan spontan berteriak. Kekacauan terjadi di depan matanya.
"Kaichou!" teriak Feya sembari menutup mulutnya dengan kedua tangan.
"Udah kubilang jangan pernah memainkan lagu itu lagi di sekitarku, kamu mengejekku?!" laki-laki yang Feya kenal baik itu mulai berteriak, memaki.
"Rean-kun!" Feya memanggil lemah. Tidak mengerti maksud kemarahannya.
Eza bangkit dan mengelus-elus pipinya yang nyeri.
"Apa-apan kamu, sejak kapan lagu ini jadi milikmu. Kalo kamu marah, marahlah pada diri sendiri kenapa kau melarikan diri dari musik," timpal Eza kemudian.
"Aku ga terima diceramahi orang macam kamu!"
"Oh, jadi kamu mau aku apakan? Mau aku kasihani? Mau aku minta maaf karena buat kamu begini?"
Kedua orang itu saling bersitegang, tidak ada satu kalimatpun yang Feya mengerti. Berkali-kali matanya berlari pada Eza, lalu pada Rean.
"Kamu tahu, caramu melarikan diri sangat konyol," Eza meludah.
"DIAM KAMU!"
Rean mengambil ancang-ancang untuk menghajar Eza lagi. Namun Feya hendak menangkap lengan Rean. Feya ketinggalan sepersekian detik hingga niatnya menangkap lengan Rean malah jadi terkena pukulan.
BUAK! Kyaaa~
Feya tersungkur, badannya oleng. Eza terbelalak. Dengan sigap ia menangkap tubuh Feya. Kekhawatirannya muncul daripada saat ia yang kena pukul.
"Feya?" Eza berteriak cemas. Giginya gemetrukan kini. Eza resmi tersulut amarah. Ia mencari Rean hingga terjadilah aksi pukul berbalas pukul.
Bersyukur ada beberapa orang di luar ruang musik yang mendapati perkelahian mereka. Dhani salah satunya. Ia melerai dua laki-laki yang ia tahu pernah saling dekat di SMP dulu.
Dhani menarik tubuh Eza ke belakang, sedangkan Rean diamankan oleh tiga orang lainnya.
"Stop! Stop! Za, tenang! Ga biasanya lu berantem," Dhani mendominasi. Dua orang itu masih saja mencari peluang agar bisa memukul lagi. Dhani adalah penengah yang ulung. Dengan kekuatan penuh ia jauhkan Eza dan Rean.
"Dia yang mulai. Dia pukul Feya. Aku ga terima sampai dia minta maaf sama Feya!" Lagi, Eza berteriak. Melukai Feya sama artinya membangunkan sisi liar dari seorang Eza Harudi.
Bukannya menurut, Rean malah meludah. Ia melepaskan diri dari cengkeraman tiga orang yang memeganginya. Kekuatan tarung Rean bukan main.
"Urus cewemu yang benar," seru Rean. Eza terpancing untuk menghajarnya lagi. Tentu saja Dhani dengan sigap menghentikan. Eza sudah berada dalam kontrolnya.
"Za... udah, mending lu urus Feya. Dan Rean.. lu keluar sekarang juga!" perintah Dhani.
Tanpa dibilangpun Rean keluar dari ruangan tersebut. Semua orang memperhatikannya yang keluar secara sukarela. Begitupun dengan Feya. Sejak awal datang, pandangan Feya selalu jatuh pada Rean.
"Feya, ga apa-apa?" tanya Dhani.
Bukannya menjawab, Feya malah bergegas bangun dan keluar, mengikuti langkah Rean.
Semuanya hanya bisa tercengang, termasuk Eza. Gadis itu, lebih memilih Rean daripadanya.
"Rean-kun!" Feya mengejar dengan langkah kakinya yang pendek.
"Berisik! Jangan ikuti aku!" gerutu Rean kasar.
"Rean-kun baik-baik aja, ga kena pukul kan?"
"Kenapa, kamu mau kupukul lagi?"
"Bukan aku, aku bicara tentang Rean-kun. Jangan pernah lukai wajah itu, onegai shimasu"[4]
"Kamu gila ya?" Rean membentak dengan sangat keras. Tapi Feya tidak ketakutan barang sedikit. Rean kesal.
"Pergi kamu! Jangan pernah muncul lagi di hadapanku. Aku ga suka cewe berisik kaya kamu!"
Saking kesal Rean mendorong bahu Feya. Tidak begitu keras tapi cukup membuat Feya terhenyak.
"Rean-kun, matte... "
"ARRRGGGHHH. Dan berhenti bicara bahasa Jepang di depanku." Rean kalap. Ia melengos dan pergi.
Feya diam menatap punggung Rean yang makin mengecil. Mata Feya berkaca-kaca. Ia memegang dadanya dan bergumam dalam hati.
Oniichan?[5]
***
F I N
Kamus :
[1] Tunggu!
[2] Keren sekali
[3] Serius?
[4] Kumohon
[5] Kakak Laki-laki
Arigatou @dede_pratiwi
Comment on chapter Prolog