Read More >>"> Warna Untuk Pelangi (Perkenalan) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Warna Untuk Pelangi
MENU 0
About Us  

Duk.

Anya mengernyit mendapati sebuah buku yang lumayan tebal, diletakkan begitu saja di atas mejanya. Ralat. Di atas meja Revi, sahabat sekaligus teman sebangkunya.

“Lah? Itu novel?”

Revi tidak menjawab. Ia sibuk merogoh-rogoh isi tasnya, berusaha mencari sebatang pulpen—yang mungkin terselip.

“Lo nyari apaan sih?” tanya Anya kembali.

“Pulpen.”

Anya mendengus. “Ya ampun! Kayak lo duduk sama fakir alat tulis aja! Gue punya banyak kok. Nih! Lo butuh apa? Pulpen, pensil, penghapus, tipe-x, label tip, spidol, stabilo, tuh!” ucapnya seraya memamerkan kotak pensil berwarna pink yang isinya sebagian besar juga berwarna pink. “Buat apa emang?”

Revi menggeleng. “Sayang, ah. Barang-barang lo, kan, mahal semua. Beda sama pulpen gue yang merk-nya cuma Pilot. Cuma seribu lima ratus di Koperasi,” jawabnya, tanpa mengindahkan pertanyaan kedua Anya.

Ah, tanpa dijawab pun Anya pasti sudah bisa menebak jika Revi tengah dihukum. Memangnya apa lagi alasan cewek itu sibuk di jam istirahat pertama? Menyapu dan mengepel adalah hukuman yang biasanya Revi lakukan. Tapi kali ini—akibat nekat meninggalkan kewajiban demi menghampiri cowok asing tadi—hukumannya bertambah. Revi disuruh menulis kalimat “Saya berjanji tidak akan terlambat lagi dan kabur dari hukuman” sebanyak dua lembar buku tulis!

“Astaga, Revi! Gue nggak bakal minta ganti kalau lo ilangin sekalipun! Kecuali kalau lo kayak Edo. Gue sumpahin lo nggak lulus,” ucap Anya tajam, menyindir salah satu teman kelasnya yang suka menghilangkan barang orang lain dan tidak bertanggung jawab terhadap barang yang dipinjamnya.

Revi tidak menanggapi Anya. Baginya, pulpen miliknya sendiri adalah pulpen ternyaman yang ia pakai. Meskipun murah, kualitasnya tidak murahan! Lagipula, ia tidak suka memakai pulpen Anya yang semuanya berjenis pulpen gel. Sekali jatuh, langsung ngadat-ngadat! Dasar pulpen lemah!

Ia masih berkonsentrasi mengobrak-abrik tasnya, sampai pertanyaan Anya membuat gerakannya terhenti.

“Ini novel lo?”

“Bukan.”

“Terus punya siapa?” tanya Anya, turut kebingungan.

Revi bergeming sejenak sebelum akhirnya membalas tatapan Anya dengan kening mengernyit. “Iya ya. Ini punya siapa?” gumamnya pada diri sendiri. Tapi Anya masih bisa mendengarnya dengan jelas.

“Lah? Gimana sih? Kok nggak tau pemiliknya?” gemas Anya. “Lo ngambil ini dari mana?”

“Itu punya orang.”

“Orangnya siapa?”

Revi meringis kecil. “Siapa ya? Duh, gue nggak tau.”

“Kok gue yang pusing, ya?” Anya memijit-mijit pelipisnya. “Kalau lo nggak tau, kenapa itu novel bisa di tangan lo?” lanjutnya kemudian menyipitkan kedua matanya. “Lo nggak nyuri, kan?”

“Enak aja!” sergah Revi. “Gue pinjam, kok!”

Sejujurnya, Revi tidak meminjam. Tidak sama sekali. Mengingat kejadian beberapa menit lalu, di mana bu Yeni muncul di hadapannya dengan wajah murka dan tanpa sungkan menambah hukuman untuk Revi, cewek itu langsung menghampiri dan mengekori bu Yeni tanpa memedulikan panggilan cowok pemilik novel tersebut.

Diam-diam Revi meringis menyadari kebodohannya. Kenapa juga ia harus membawa-bawa novel itu? Kalau sudah begini, kan, Revi harus mengembalikannya pada cowok yang bahkan Revi tidak ketahui namanya.

Mau tidak mau, Revi menceritakan kejadian beberapa menit yang lalu pada Anya. Membuat teman sebangkunya itu menopang dagu dengan kening berkerut samar. Pasalnya, Anya tidak tahu ada cowok yang gemar membaca novel di sekolah ini.

“Hmm, ciri-cirinya gimana?” tanya Anya.

Revi menggaruk tulang pipi kanannya. “Ng… Gue nggak bisa jelasin secara spesifik. Tapi gue tau orangnya.”

“Tadi katanya lo nggak tau?!” pekik Anya, tertahankan.

“Maksudnya, gue lumayan sering lihat dia di sekolah. Tapi gue nggak tahu namanya. Dia kayaknya sahabatan sama Nathan and the genk. Gue pernah beberapa kali lihat dia bareng mereka soalnya. Tapi waktu itu gue masih belum nyadar keberadaan dia,” tutur Revi.

Anya lantas mengibas tangannya. “Ah, elo mah emang nggak nyadar sama keberadaan siapa pun!” kesal Anya mengingat Revi yang sebelumnya tidak tahu siapa itu Nathan dan kawanannya kalau Anya tidak pernah cerita. “Hmm, mungkin Ben? Dia pintar soalnya,” lanjut Anya, asal.

Revi berjengit. “Apa urusannya pintar sama suka baca novel?!” 

“Kan, sama-sama suka baca buku!” kilah Anya.

Revi berdecak. “Gue suka baca novel tapi tetap geblek!”

Anya terkikik geli. “Emang lo suka baca novel? Sejak kapan?” tanyanya penasaran. Pasalnya, berteman dengan Revi sejak kelas 10 ternyata tidak menjamin Anya mengetahui segalanya tentang cewek itu. Dan fakta ini adalah salah satunya.

“Ng… Dulu, pas SMP.”

“Terus sekarang—”

“Jadi, menurut lo siapa yang punya?” potong Revi, cepat.

Anya tidak lagi menanggapi kekesalannya karena sikap Revi yang agak aneh. Cewek itu kini justru tengah sibuk berpikir seraya mengetuk-ngetuk dagunya dengan telunjuk. “Sahabatnya Nathan kan, cuma Ben, Willy, Rain, Farhan, Dean, Affan, sama Yanuar.”

Mulut Revi sampai ternganga mendengarnya. “Anggotanya banyak kayak BTS gitu lo bilang CUMA?!”

Kali ini Anya yang berjengit. “Eh! Jangan sok tau! BTS itu anggotanya tujuh orang. Sementara gengnya Nathan kan, delapan personil. Kayak EXO!”

“Lo yang sok tau berarti! EXO tuh sembilan member sekarang!” balas Revi, tak mau kalah.

“Cherrybelle kali, ah. Banyak amat!” sewot Anya. “Udah, ah! Ngomongin grup sana nggak bakal ada habisnya. Mending sekarang lo sebutin salah satu ciri yang khas gitu dari tuh cowok?”

Revi menggaruk cuping hidungnya, bingung. “Apa, ya. Yang pasti, dia pakai kacamata.”

Anya manggut-manggut. “Nggak salah lagi. Kalau nggak Ben, pasti si Rain.”

“Rayin?”

“Rain. Tanpa ‘y’ tulisannya,” ralat Anya. “Cuma mereka berdua yang pakai kacamata. Bedanya, Ben nggak pernah lepas kacamata.”

***

Revi baru akan berbelok ke aula utama begitu ia melihat sekelompok cowok yang diduga adalah geng Nathan—alias gebetan Anya yang tidak kunjung “jadi” itu—tengah berkumpul di dekat tangga.

Dari kejauhan, Revi melihat cowok yang kemarin ditemuinya, memang tengah mengobrol asyik dengan kelompok itu. Tidak. Hanya yang lainnya. Cowok itu hanya terlihat membisu dan tampak bosan dengan pembicaraan teman-temannya.

Hmm… Kemarin kata Anya, kalau nggak Ben, ya Rain. Batin Revi, ragu. Eh tapi, yang pakai kacamata cuma cowok itu… Lanjut suara hatinya seraya menunjuk cowok yang jelas-jelas bukan pemilik novel di tangannya. Ia memang sengaja membawa-bawa novel itu agar ketika tidak sengaja berpapasan, Revi bisa segera mengembalikannya.

Ben nggak pernah lepas kacamata.

Ucapan Anya kembali terngiang dan membuat senyum Revi lantas terbit di wajahnya. Pasti cowok itu bernama Rain.

Dengan rasa percaya diri, Revi menghampiri cowok itu dan memanggilnya. “RAIN!”

Cewek itu semakin menyunggingkan senyum manisnya saat dugaannya ternyata tidak salah. “Ah, syukurlah. Nih, gue mau kembaliin novel lo. Sori, kemarin emergency, jadi gue nggak sadar udah bawa kabur novel lo,” tutur Revi lantas menepuk ringan lengan Rain. “Lain kali, dinamain novelnya. Kalau perlu, kasih tanggal dan tanda tangan lo, biar aman.”

Kemudian Revi berlalu, meninggalkan kedelapan cowok yang terpana karenanya.

***

Rain bosan setengah mampus! Biasanya, waktu dimana semua guru tengah rapat adalah saat-saat yang tepat untuk membaca novel di tempat tersepi. Di mana lagi kalau bukan halaman belakang sekolah? Hanya itu tempat yang paling nyaman bagi Rain untuk membaca. Tidak satu pun orang melewati daerah itu tanpa alasan. Lagipula, gudang di dekat halaman belakang itu terkenal cukup angker. Hanya Rain yang tidak takut “bersemedi” di sana.

Namun, kali ini Rain tidak bisa ke sana karena cewek yang kemarin ditemuinya itu dengan seenaknya membawa kabur novel Rain!

Bisa saja Rain membawa novel yang lain untuk mengisi waktu luangnya saat di sekolah. Tapi Rain sudah telanjur jatuh cinta pada novel itu dan belum bisa move on! Gaya berceritanya yang ringan yang dibumbui dengan beberapa quotes menarik, membuat Rain semakin kagum pada Pelangi Putih, sang penulis.

Rain gemar membaca novel ketika ia duduk di kelas delapan Sekolah Menengah Pertama. Saat itu ia yang sangat suka menonton film, tiba-tiba saja mendapat secercah bayangan untuk beralih ke membaca, khususnya novel. Apalagi, banyak orang mengatakan jika rata-rata film yang diangkat dari sebuah novel tidaklah begitu detail dan mendalam seperti apa yang dituangkan dalam buku itu sendiri. Alhasil, Rain pun penasaran dan ketagihan membaca hingga saat ini.

Akan tetapi, ia baru “mengenal” siapa itu Pelangi Putih saat ia sudah menjadi senior tingkat akhir di SMA, tepatnya saat Raya secara tidak sengaja memperkenalkannya dengan karya milik penulis tersebut. Ya, bisa dikatakan jika ia “telat” menyukai Pelangi Putih. 

Hmm, kalau dalam dunia K-Pop, ia pasti sudah disindir abis-abisan oleh para penggemar senior! Kata Raya sih gitu. 

“Lo jadi demen novel roman ya, Kak?”

Rain hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari novel di tangannya.

“Coba baca karyanya Pelangi Putih dah. Lebih ke fiksi remaja sih. Tapi siapa tau lo suka. Doi tulisannya ringan, tapi emosinya dapat banget! Karakternya juga kuat. Pokoknya, bagus deh.”

Dan ucapan adiknya, Raya, saat itu pun berhasil membuat Rain menoleh, tertarik.

“RAIN!”

Rain yang tengah sibuk dengan pikirannya pun lantas terkejut mendengar seseorang memanggil namanya dengan lantang.

Cowok itu menoleh dan mengernyit. Cewek kemarin? Batinnya bertanya pada diri sendiri. Ia semakin yakin kalau cewek itu adalah “si pencuri” yang kemarin kabur membawa serta novelnya saat Rain mendapati sebuah buku yang begitu familier di tangan cewek itu.

Rain tidak tahu harus berbicara apa ketika Revi menghampirinya. Ia bahkan tidak mendengarkan dengan jelas apa yang dibicarakan cewek itu padanya, hingga Revi berlalu dan meninggalkan teman-temannya yang sukses dibuat melongo.

Yang penting sekarang, novelnya kembaliiii! Riang Rain dalam hati.

“Ah, anjass! Lo kenal Revi?!” pekik Dean, mewakili pertanyaan di benak yang lain.

Rain mengernyit. “Revi?”

Kali ini, Farhan yang mengangguk. “Iya. Revi. Masa lo nggak tau?” Kemudian ia berdecak gemas melihat Rain justru menggeleng. “Buset. Dia temannya Anya. Sering bareng kok,” lanjutnya.

Bagaimana Rain bisa tahu? Dia saja tidak peduli siapa itu Anya. Rain hanya tahu jika cewek bernama Anya itu adalah cewek yang sedang dekat dengan Nathan. Sudah.

Rain hanya mengangkat bahu. “Gue mau baca novel dulu di belakang,” ucapnya sebelum akhirnya berlalu meninggalkan teman-temannya. 

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Peran Pengganti; Lintang Bumi
1274      605     10     
Romance
Sudah banyak cerita perjodohan di dunia ini. Ada sebagian yang akhirnya saling jatuh cinta, sebagian lagi berpisah dengan alasan tidak adanya cinta yang tumbuh di antara mereka. Begitu juga dengan Achala Annandhita, dijodohkan dengan Jibran Lintang Darmawan, seorang pria yang hanya menganggap pernikahannya sebagai peran pengganti. Dikhianati secara terang-terangan, dipaksa menandatangani su...
Hati dan Perasaan
1419      862     8     
Short Story
Apakah hati itu?, tempat segenap perasaan mengendap didalamnya? Lantas mengapa kita begitu peduli, walau setiap hari kita mengaku menyakiti hati dan perasaan yang lain?
The World Between Us
2139      939     0     
Romance
Raka Nuraga cowok nakal yang hidupnya terganggu dengan kedatangan Sabrina seseorang wanita yang jauh berbeda dengannya. Ibarat mereka hidup di dua dunia yang berbeda. "Tapi ka, dunia kita beda gue takut lo gak bisa beradaptasi sama dunia gue" "gue bakal usaha adaptasi!, berubah! biar bisa masuk kedunia lo." "Emang lo bisa ?" "Kan lo bilang gaada yang gabis...
Untold
1250      550     4     
Science Fiction
Tujuh tahun lalu. Tanpa belas kasih, pun tanpa rasa kemanusiaan yang terlampir, sukses membuat seorang dokter melakukan percobaan gila. Obsesinya pada syaraf manusia, menjadikannya seseorang yang berani melakukan transplantasi kepala pada bocah berumur sembilan tahun. Transplantasi dinyatakan berhasil. Namun insiden kecil menghantamnya, membuatnya kemudian menyesali keputusan yang ia lakukan. Imp...
Memoar Damar
5941      2736     64     
Romance
Ini adalah memoar tiga babak yang mempesona karena bercerita pada kurun waktu 10 sampai 20 tahun yang lalu. Menggambarkan perjalanan hidup Damar dari masa SMA hingga bekerja. Menjadi istimewa karena banyak pertaruhan terjadi. Antara cinta dan cita. Antara persahabatan atau persaudaraan. Antara kenangan dan juga harapan. Happy Reading :-)
Enigma
1516      834     3     
Inspirational
Katanya, usaha tak pernah mengkhianati hasil. Katanya, setiap keberhasilan pasti melewati proses panjang. Katanya, pencapaian itu tak ada yang instant. Katanya, kesuksesan itu tak tampak dalam sekejap mata. Semua hanya karena katanya. Kata dia, kata mereka. Sebab karena katanya juga, Albina tak percaya bahwa sesulit apa pun langkah yang ia tapaki, sesukar apa jalan yang ia lewati, seterjal apa...
April; Rasa yang Tumbuh Tanpa Berharap Berbalas
1313      543     0     
Romance
Artha baru saja pulih dari luka masa lalunya karena hati yang pecah berserakan tak beraturan setelah ia berpisah dengan orang yang paling ia sayangi. Perlu waktu satu tahun untuk pulih dan kembali baik-baik saja. Ia harus memungut serpihan hatinya yang pecah dan menjadikannya kembali utuh dan bersiap kembali untuk jatuh hati. Dalam masa pemulihan hatinya, ia bertemu dengan seorang perempuan ya...
Sepi Tak Ingin Pergi
611      360     3     
Short Story
Dunia hanya satu. Namun, aku hidup di dua dunia. Katanya surga dan neraka ada di alam baka. Namun, aku merasakan keduanya. Orang bilang tak ada yang lebih menyakitkan daripada kehilangan. Namun, bagiku sakit adalah tentang merelakan.
Do You Want To Kill Me?
5518      1582     2     
Romance
Semesta tidak henti-hentinya berubah, berkembang, dan tumbuh. Dia terus melebarkan tubuh. Tidak peduli dengan cercaan dan terus bersikukuh. Hingga akhirnya dia akan menjadi rapuh. Apakah semesta itu Abadi? Sebuah pertanyaan kecil yang sering terlintas di benak mahluk berumur pendek seperti kita. Pertanyaan yang bagaikan teka-teki tak terpecahkan terus menghantui setiap generasi. Kita...
PALETTE
508      274     3     
Fantasy
Sinting, gila, gesrek adalah definisi yang tepat untuk kelas 11 IPA A. Rasa-rasanya mereka emang cuma punya satu brain-cell yang dipake bareng-bareng. Gak masalah, toh Moana juga cuek dan ga pedulian orangnya. Lantas bagaimana kalau sebenarnya mereka adalah sekumpulan penyihir yang hobinya ikutan misi bunuh diri? Gak masalah, toh Moana ga akan terlibat dalam setiap misi bodoh itu. Iya...