“Baca novel lagi?”
“Dihukum lagi?”
Revi justru terkikik geli mendengar balasan Rain. “Iya nih. Makin kelas tiga, gue makin pikun. Sampai lupa bawa baju olahraga, padahal udah disiapin dari semalam.”
Rain tidak menanggapi. Cowok itu masih asyik tenggelam dalam kisah tiap lembar novel di tangannya. “Namanya bagus.”
Rain lantas mengangkat pandangannya. Membalas tatapan Revi dengan kening berkerut samar. “Nama siapa?”
“Nama pena penulisnya.”
“Oh.” Rain tersenyum. “Iya. Namanya unik.”
“Pelangi Putih,” gumam Revi seraya mendaratkan bokongnya di samping Rain. “Lo tau artinya apa?”
“Emang apa?”
Revi berdecak. “Gue tanya, malah nanya balik!”
Rain langsung menggeleng. “Gue pikir lo mau ngasih tau.”
“Gue aja belum pernah baca karya dia,” ucap Revi seraya mengangkat bahu.
“Kalau gitu, lo coba baca novel-novelnya dia,” seru Rain, antusias.
Revi tersenyum mendengarnya. “Sesuka itu sama Pelangi Putih, ya? Udah pernah ketemu orangnya belum? Atau ikut meet n greet-nya gitu?”
Pertanyaan Revi berhasil membuat perhatian Rain tertuju sepenuhnya pada cewek itu. “Belum. Gue bingung kalau ikut-ikut acara begitu,” jawab Rain, lesu.
“Bingung kenapa?” tanya Revi dengan sebelah alis terangkat.
“Ribet daftarnya. Belum lagi kalau ada persyaratannya. Ini itulah. Malesin.”
Revi terkekeh. “Kalau suka, masa setengah-setengah. Usaha dong!”
Rain lantas berjengit mendengarnya. “Omongan lo kayak gue ini lagi ngejar cewek aja.”
“Kan, emang cewek.”
“Siapa?”
“Itu, si Pelangi Putih.”
Rain mengernyit dalam. “Tau dari mana? Sok tau! Siapa tau cowok. Lagian, kan, lo belum pernah baca karyanya. Dia nggak pernah nyantumin identitas diri di profil pengarang.”
Revi terdiam sejenak sebelum akhirnya ber-“oh” ria. “Iya deh. Gue ngasal.”
Rain kembali membuka novel di pangkuannya dan membiarkan keheningan merayapi atmosfer di antaranya dan Revi. Namun, belum selesai satu paragraf ia baca, Rain merasakan tatapan Revi terus mengarah kepadanya. Tidak. Tepatnya, pada buku di tangannya.
Diam-diam, Rain mengerling pada Revi yang masih menatap novel tersebut dengan pandangan kosong. Cewek itu termenung.
Penasaran dengan apa yang dipikirkan cewek itu, Rain berdeham. “Lo kenapa?”
Dehaman lembut Rain membuat Revi sedikit tersentak di tempatnya. Namun, ia segera menutupinya dengan senyum manis. “Nggak. Cuma, gue baru sadar kalau novel lo nggak disampul.”
Rain mengernyit. “Emang perlu?”
“Semua novel gue sih, gue sampul.”
“Sampul cokelat?”
Revi memutar kedua matanya. “Buku tulis kali ah, sampul cokelat!” sindirnya, gemas. “Sampul plastik lah! Yang bening.”
Rain menggeleng. “Nggak bisa nyampulnya.”
Kali ini Revi yang mengernyit. “Lah? Emang buku tulis lo nggak ada yang disampul?”
“Ada sih. Tapi, kan, beda. Bentuknya aja udah beda.”
“Bisa. Beli yang bahannya dove-emboss. Jangan yang mika apalagi plastik biasa yang tipis. Lengket,” jelas Revi.
Rain menimang-nimang sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Yaudah. Nanti gue beli.”
Revi tersenyum manis menanggapi. “Sama gue, yuk? Pulang sekolah nanti. Sekalian mau lihat-lihat novel.”
***
Rain berkacak pinggang saat Revi kembali meletakkan novel di tangannya pada rak buku.
“Kok ditaruh lagi?” gemas Rain
Melihat Revi yang tidak kunjung memutuskan novel apa yang ingin dibeli, membuat Rain ingin menggigitnya. Cewek itu terus menerus melakukan hal yang sama. Tertarik pada cover, kemudian dilihat-lihat sebentar, lantas diletakkan kembali ke tempat semula.
“Blurb-nya kurang menarik,” jawab Revi asal. Kemudian cewek itu menoleh pada Rain yang menampilkan wajah bosan. “Lo udah ambil sampulnya?”
“Dari tadi,” jawab Rain dengan ekspresi datar.
Revi mengangkat bahu lantas menarik lembut lengan Rain. “Yaudah. Yuk, bayar.”
Rain melongo mendengarnya. “Lho? Nggak jadi beli?”
“Beli apaan?”
“Novel lah!”
“Emang gue mau beli?” Revi mengangkat alisnya. “Kapan gue bilang?”
Rain berdecak. “Pas di sekolah lo bilang mau lihat-lihat novel, kan?”
“Nah,” seru Revi seraya menjentikan jemarinya. “Cuma lihat-lihat, kan? Udah puas kok barusan.”
Sumpah deh. Rain benar-benar pengin menggigit Revi kalau begini! Buat apa dia menunggu cewek itu sampai berjamur kalau ujung-ujungnya tidak ada yang dibeli?! Jujur, Rain tidak suka menemani cewek belanja. Dan baru Revilah yang ia temani “melihat-lihat” karena tujuan cewek itu merupakan tempat yang disukainya, yaitu toko buku.
Sesampainya di depan kasir, Rain segera membayar belanjaannya dengan kartu berlogo toko buku.
“Lo punya kartu member?” tanya Revi.
Rain mengangguk. “Malas pakai cash. Soalnya gue juga sering, kan, ke sini buat beli,” ujarnya, sedikit menyindir Revi yang pulang dengan tangan kosong. Tapi sayangnya, Revi tidak menyadari itu.
Revi mendengus lantas memukul pelan lengan Rain. “Halah! Bilang aja biar diskon tiap belanja!”
Rain hanya tersenyum menanggapi.
***
Rain melirik arloji hitam di pergelangan tangannya. Jarum pendek sudah bertengger di angka tujuh dan langit pun sudah gelap, tapi dirinya dan Revi masih asyik menyantap siomay kaki lima yang tersedia di dekat toko buku.
“Enak banget ya?” goda Revi seraya mengamati cara makan Rain yang mirip seperti orang kelaparan.
Rain manggut-manggut. “Gue belum pernah nyoba siomay seenak ini!” pujinya dengan pipi menggembung penuh, kemudian mengacungkan jempolnya pada abang siomay di depannya.
Revi tertawa melihat tingkah konyolnya. “Iya. Ini yang terenak. Tapi yang di sekolah nggak kalah enak kok.”
Rain terlebih dulu menelan isi mulutnya yang penuh akan siomay sebelum akhirnya membalas ucapan Revi. “Gue belum pernah makan siomay di sekolah.”
“Demi?!” Kedua mata Revi terbelalak. “Selama tiga tahun sekolah, belum pernah sekalipun lo makan siomay kantin?”
Rain manggut-manggut. “Gue kan, lebih suka ngehabisin waktu di halaman belakang atau perpus. Jarang ikut anak-anak ke kantin. Kalaupun ke kantin, paling gue beli minum doang.”
Mulut Revi sampai terbuka mendengarnya. “Lo nggak kelaparan?”
Rain menggeleng.
“Jangan-jangan,” lirih Revi dengan sebelah mata menyipit. “Lo diet?” godanya lantas menerima segelas air yang diberikan abang siomay.
Ucapan Revi sanggup menciptakan rona merah muda di pipi Rain. Meskipun langit sudah gelap, tapi lampu yang tersedia di gerobak siomay masih mampu memperjelas penglihatannya.
Revi yang baru meneguk air putihnya lantas tersedak menyadari hal itu. Ia segera mengusap daerah mulutnya yang basah dan menatap Rain dengan tatapan tak percaya. “Serius?!”
Mau tidak mau, Rain mengangguk malu.
“Kan, lo cowok?”
Rain langsung mengerling, tak suka. “Terus? Emang ada larangan cowok diet?”
“Bukan. Bukan maksud gue begitu,” ralat Revi cepat. “Tapi, gue pikir cuma cewek yang mikirin bentuk badannya. Bukannya, cowok itu makhluk yang paling percaya diri?”
“Maksudnya apa?” tanya Rain, agak tersinggung.
“Jangan marah gitu sih!” Revi berdecak. “Gue cuma ngomong apa yang gue pahamin selama ini. Buktinya, gue lihat cowok kalau upload foto di Instagram misalnya, mereka langsung upload aja. Kalaupun ngedit, paling pakai effect yang simpel. Itu juga biar fotonya yang kelihatan bagus, bukan orangnya.”
Rain mengangkat bahu. “Rasa percaya diri orang, kan, beda-beda.”
“Dan lo termasuk orang yang percaya dirinya rendah?”
Rain langsung menggeleng. “Bukan gitu!” elaknya. “Gue cuma takut kejadian dulu keulang aja.”
“Apa?”
Rain berdecak. “Gue yakin, pasti lo bakal nanya.”
Revi mengedikkan kepalanya. “Lo yang mancing.”
Cowok itu mengalihkan pandangan sebelum akhirnya mengembuskan napas. “Gue pernah di-bully karena berat badan gue yang di atas rata-rata pas SD,” akunya, murung.
“Terus, lo jadi nggak pede sama diri lo sendiri?”
Rain mengangguk. “Saat itu gue juga masih kecil. Jadi, belum cukup matang buat nerima kritikan dari orang lain. Bagi gue waktu itu, yang paling penting adalah teman. Kalau mereka sampai musuhin gue, gue kepikiran banget,” ujarnya seraya menerawang. “Coba gue udah kenal novel sejak kecil. Pasti gue nggak peduli tuh mereka musuhin gue atau nggak. Kayak sekarang. Gue lebih suka sendiri daripada gabung sama sahabat-sahabat gue.”
Revi tersenyum mendengarnya. “Kalau begitu, kenapa lo masih kepikiran buat diet?”
Rain menghela napas. “Karena novel-novel fiksi yang gue baca kebanyakan, tokohnya nyaris sempurna. Gue jadi mikir, kalau gue mau dapat pasangan yang sesuai kriteria, yah gue juga harus jadi kayak tokoh cowoknya. Adil bagi cewek gue nanti, kan?”
Tatapan Revi yang tak pernah lepas dari Rain, membuat kedua mata cowok itu mau tidak mau terkunci. Selama beberapa detik, mereka hanya saling tatap sampai Revi berdeham kecil dan kembali membuka suara.
“Lo nggak harus jadi seperti tokoh di setiap novel yang lo baca, Rain. Kunci pertama orang terlihat menarik adalah ketika mereka percaya diri. Mereka paham kelebihan yang mereka miliki tanpa ambil pusing kekurangan mereka,” tutur Revi, bijak.
Rain terdiam mendengarnya. Bukan karena ia tengah menimbang untuk menyetujui ucapan Revi atau tidak, tapi karena dirinya tengah mengingat-ingat. Kayak pernah dengar. Batinnya.
“Percaya deh. Orang yang cara berpakaiannya asal pun kalau dia percaya diri, gayanya bakal kelihatan keren!” lanjut Revi lantas tersenyum manis. “By the way, kriteria cewek idaman lo emang kayak gimana?”
***
Cantik, pintar, dan jago masak.
Itu sih bukan Revi banget!
Masak? Bisa dipelajari. Tapi pintar? Aish! Nilai di atas KKM saja Revi sudah elus dada.
Revi lantas berdecak. Kesal pada dirinya sendiri. Baru beberapa jam lalu ia mengatakan pada Rain kalau cowok itu harus “percaya diri” bagaimana pun dirinya. Namun, mengingat “cantik” juga merupakan salah satu kriteria cewek idaman Rain, tiba-tiba saja membuat Revi minder!
Sialan! Baru sebentar mengenal Rain, hati Revi sudah kecolongan!
Revi menggigit ujung bantalnya dengan gemas. Bagaimana ini? Salahkah ia menyukai Rain? Sanggupkah ia kembali menerima risiko untuk terjatuh bila harapan tidak sesuai kenyataan?
Cewek itu lantas terduduk di pinggir ranjang dan menggaruk kepalanya, bingung. Lebih tepatnya, pusing pada dirinya sendiri.
Tidak. Sesungguhnya ia tidak perlu merasa seperti itu. Semua telah berlalu. Kisahnya yang lama, telah mati. Revi telah berjanji pada semua orang, terlebih dirinya sendiri, untuk memulai kembali segalanya dari awal. Dan mungkin, Rain adalah seseorang yang dikirim Tuhan sebagai pengganti tokoh kedua dalam kisahnya?
Tapi bagaimana jika akhir kisah kedua sama mengenaskannya dengan kisah pertama? Atau bahkan, lebih parah?
Revi lantas menggeleng dan menutup wajahnya dengan bantal. Sekarang apa yang harus dilakukannya? Karena ia telanjur menyukai Rain.