Matahari telah sepenuhnya menyapu kegelapan malam. Sinarnya yang masuk ke dalam rumah membawa kehangatan di pagi yang baru ini.
Kyou duduk di kursi meja makan sementara Ichimiya mengganti perban di tangan kirinya. Pemuda itu hanya menyengir menahan sakit. Dia tidak ingin Ichimiya melihatnya dalam kondisi seperti kemarin itu. Selain dirinya tidak terlihat keren, dia juga tidak ingin membuat Ichimiya khawatir.
Tubuhnya sudah bisa bergerak bebas kecuali tangan kirinya. Pemulihan anak-anak percobaan memang sedikit lebih cepat dari orang biasa.
“Mi-chan, benar tidak apa-apa membiarkanku tinggal di sini?” lirik Kyou saat Ichimiya berjalan menuju dapur.
“Untuk sementara aku pikir tidak apa-apa.” Ichimiya kembali sembari membawa 2 cangkir kopi panas. Diserahkannya secangkir pada Kyou.
“Bagaimana dengan mereka di Distrik 3?” Kyou meraih cangkir kopinya. Mendekatkannya ke bibir. Sambil menyesapnya sedikit, dia menatap Ichimiya dengan tatapan tidak yakin. “Aku ini… musuhmu, Mi-chan.” Kyou menekankan.
Ichimiya termangu sesaat. Dia tau jika itu ide gila yang beresiko besar. “Selama mereka tidak tahu kita saling berhubungan, aku rasa itu-”
“Dan bagaimana jika mereka tahu?” potong seseorang. Sontak Kyou juga Ichimiya menoleh ke sumber suara.
Di sisi lain tempat mereka bercakap, seorang pemuda berdiri dengan dagu terangakt. Sorot matanya yang tajam menunjukkan dia sedang marah. Setelah melirik Ichimiya, tatapannya kini tertuju pada Kyou yang bergeming di tempat.
Dalam keadaan tersebut pemuda itu meraih sesuatu dari saku dalam blazernya lantas menodongkan sebuah pistol. Kyou berdiri segera membuat kursi yang didudukinya terjungkal ke belakang. Cangkir di tangannya jatuh ke lantai menumpahkan semua cairan hitam di dalamnya. Kakinya bergerak menjauh dari pemuda itu ketika suara slide yang mengisi peluru terdengar nyaring dalam suasana tegang tersebut. Arah pistol itu terus mengikutinya kemana pun dia bergerak.
“Hentikan!” Ichimiya menghadang arah tembakan. Berdiri membelakangi Kyou—mencoba melindunginya. “Hentikan Ao!” teriak Ichimiya. Napasnya memburu menatap Ao dengan wajah pucat.
“Apa yang kau lakukan Ichimiya?!” balas Ao membentak. Tangannya masih menodongkan pistol. Dia benar-benar marah dengan apa yang dilakukan Ichimiya saat ini.
Ao yakin siapa pemuda yang dilindungi Ichimiya. Ao ingat betul dia adalah salah satu dari orang yang menghajar Ichimiya juga Azura di tepi sungai waktu itu. Mengingat bangaimana kondisi mereka yang terluka parah membuat Ao begitu kesal. Dia mengertakan giginya. Tangan kiri mengepal kuat-kuat karena dikuasai oleh emosinya.
Kenapa Ichimiya malah melindunginya?
Memikirkan hal itu semakin membuatnya tak kuat menahan amarah.
“Mi-chan…” panggil Kyou.Dia beringsut sedikit dan saat itulah Ao melihat kesempatan. Langsung saja sebuah amunisi melesat melewati Ichimiya, mengarah tepat ke kepala Kyou yang sedang bergerak.
Dengan tenang Kyou merundukkan kepalanya membuat tembakan meleset dari sasaran. Selongsong peluru kosong terjatuh ke lantai. Di belakang Kyou, lantai kayunya terlihat menghitam akibat amunisi yang ditembakkan Ao padanya. Pemuda itu benar-benar berniat melubangi kepalanya.
Kembali slide ditarik. Pistol sudah terisi kembali. Ao mengarahkan pistolnyasaat mendapati Kyou berdiri menunjukkan dirinya. Senyumnya mengembang dengan tatapan tenang khasnya. Ao semakin kesal karena senyum itu membuatnya terus mengingat saat Ichimiya dihajar habis-habisan.
“Kau…” Ao memegangi pistolnya dengan kedua tangan. Entah kenapa tubuhnya bergetar. Peluh menetes dari dahinya.
Tanpa pertahanan dan tanpa perlawanan. Ini kesempatan Ao untuk menghabisinya.
Dia adalah musuh. Tidak akan ada malasah jika Ao bertindak tanpa perintah dari Distrik 3. Pemuda di hadapannya sudah masuk dalam daftar merah mereka. Cukup membuat laporan jika pemuda ini berbahaya dan mencoba melawan. Ao hanya tinggal menggerakkan jarinya dan semua selesai.
“Aku…”
“Hentikan ini semua!” teriak Ichimiya begitu keras. Membuat Ao menyadari keberadaan Ichimiya yang sejak tadi berdiri di dekatnya. Kyou juga menoleh pada Ichimiya yang tampak kacau saat ini.
Emosi Ao perlahan menghilang begitu melihat sosok Ichimiya. Gadis itu tertunduk sambil memeluk dirinya sendiri. Tubuhnya bergetar sembari menahan rasa takut. Ao pernah melihat Ichimiya dengan keadaan yang sama.
“Ichi?” panggil Ao.
Ichimiya amat sangat ketakutan saat ini. “Aku mohon… hentikan…” Ichimiya memegangi kepalanya. Tubuhnya semakin tertunduk lalu tiba-tiba dia meluapkan semua emosinya. “Agggghhhhhh!” Ichimiya berteriak histeris.
Cangkir kopi bekas Ichimiya yang ada di meja makan tiba-tiba retak. Lalu lampu di langit-langit pecah menjadi serpihan di lantai. Kaca pintu geser di dekat Kyou sampai bergetar. Kyou tercengang sementara Ao kembali mengingat sesuatu yang seharusnya dia lupakan. Sesuatu yang mengerikan yang menjadi awal mereka bertemu.
“Ichi…” Ao membuang pistolnya. Bersamaan dengan Ichimiya yang terjatuh lunglai, Ao berhasil meraih gadis itu dalam dekapannya. Ichimiya tak sadarkan diri setelahnya.
“Mi-chan!” Kyou yang juga khawatir mulai mendekat. Namun selangkah mendekat Ao sudah menatapnya dengan tatapan kebencian. Kyou pun membatu. Tanpa sepatah kata Ao membopong Ichimiya naik ke lantai atas menuju kamarnya.
Di tengah keheningan lantai bawah setelah suasana menegangkan itu, Kyou hanya bisa berpikir seorang diri.
“Ternyata… memang tidak ada tempat yang mau menerimaku.”
***
Tempat itu gelap dan lembab. Lantai dingin yang terbuat batu terlihat kotor karena tidak ada yang membersihkannya dalam beberapa hari belakangan ini. Ada sebuah ventilasi udara di tembok bagian atas. Sinar matahari bisa masuk selama beberapa jam di pagi hari saja.
Di dekat tempat tidur yang rusuh itu, tepatnya di sudut ruangan ada seorang gadis kecil yang meringkuk dalam bayangan. Dia menyembunyikan tubuhnya dengan selimut yang awalnya berwarna putih, kini menjadi kecoklatan. Hanya selimut itu yang menemaninya di kala malam melewati dinginnya udara.
Di luar jeruji besi itu, Ao yang masih berumur 14 tahun berdiri dengan tatapan iba. Hampir setiap harinya dia menyempatkan diri untuk melihat gadis itu.
“Ao menyingkirlah.” Aki datang bersama beberapa orang berpakaian seperti dokter. Ada yang membawa troli juga berbagai peralatan medis.
Seperti yang dikatakan Aki barusan, Ao sedikit mundur dari tempatnya. “Apakah kalian akan melakukan perawatan?” Tanya Ao.
Jeruji besi itu terbuka. Aki berserta orang-orang itu masuk ke dalam membuat gadis tersebut mendongak. Sekilas Ao melihat iris mata berwarna merah.
Salah satu dari dokter itu menyemprotkan sesuatu. Gadis itu sepertinya tahu dan mencoba untuk menghindar. Namun posisinya yang berada di sudut ruangan membuatnya terkepung. Dalam hitungan detik dia tergeletak ke lantai. Begitu ada kesempatan mereka segera menahan gerakannya lalu menyuntikan sesuatu padanya.
“Obat bius?” gumam Ao.
Mereka membaringkannya ke atas ranjang. Gadis itu memakai pakaian putih yang penuh darah. Kedua tangannya penuh luka bahkan darah masih menetes keluar. Bahkan bagian kepalanya juga.
Ao mendekat ke dalam, meski tau akan dimarahi oleh Aki. “Aki-san ada apa dengan gadis ini?”
“Apa yang kau lakukan di sini?” Aki balas bertanya dengan tatapan tajam.
“Aku ingin tau apa yang terjadi padanya. Aku tidak peduli jika kau nanti akan menghukumku, karena itu kumohon biarkan aku di sini.” Ao balas menatap. Tidak ada rasa takut dalam dirinya.
Aki tau apa yang dipikirkan oleh anak di sampingnya ini. “Terserah kau saja.”
Ao tersenyum mendengar jawaban tersebut. “Terima kasih.”
Mereka melucuti pakaian gadis itu. Dan luka demi luka pun di temukan kembali. Luka-luka itu masih baru. Secara perlahan mereka memeriksanya lalu mengobati setiap lukanya. Mereka juga kembali menyuntikan sesuatu.
Aki memperhatikan dengan seksama lalu mencatat di sebuah lembar kertas yang sedari tadi dipegangnya. Sesekali dia berbicara dengan orang-orang yang sedang mengurus gadis tersebut. Mengamati, mencatat, membuat laporan. Itulah yang dilakukan pria dewasa tersebut.
Di sebelahnya, Ao juga turut memperhatikan. Sebisa mungkin dia mencoba diam menahan hasrat keingintahuannya. Kadang dia mengalihkan pandangannya dalam keadaan tertentu. Di saat dia gelisah, Aki kelihatannya paham dengan apa yang dipikirkannya. Sesekali Aki akan menjelaskan secara singkat. Ao juga tidak akan bertanya lebih karena tidak ingin mengganggu.
“Jadi, sejak dia dibawa ke Distrik 3, dia menolak untuk makan dan minum. Sering kali dia mencoba untuk melukai dirinya sendiri. Kita sedikit kesulitan mencari informasi darinya karena tidak ada yang bisa membuatnya buka mulut,” jelas Aki.
Ao mengangguk pelan. Jika diingatnya, sejak dia mulai datang ke penjara gadis ini, dia juga belum pernah melihatnya berbicara atau melakukan hal yang lain.
“Kau ingat bukan saat kita menemukannya?” Aki melirik. Ao mengangguk dan bergumam sebagai jawaban. Di waktu yang bersamaan orang-orang yang memeriksa tengah membangunkan tubuh gadis itu. Di punggungnya, Ao bisa melihat bekas sayatan yang amat panjang. “Luka itu seharusnya tidak sembuh dalam waktu singkat.”
Ao ingat jelas Aki yang membuat luka itu saat mencoba menyelamatkan dirinya. Luka yang bisa membunuh orang biasa dalam sekali serang. Tapi gadis ini bisa bertahan dan lukanya malah sembuh dengan cepat. Kemampuan penyembuhan yang didapatkan dari Distrik 1.
Setelah beberapa jam dilakukan perawatan pada gadis itu, mereka juga membersihkan sel miliknya. Aki mengatakan jika bius yang mereka suntikkan akan berefek sampai besok pagi, karenanya Ao memutuskan kembali besok lagi.
“Kita tidak mendapatkan informasi apapun dari anak itu. Dia berbahaya. Bahkan dia tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Kalau begitu hanya satu jalan yang bisa kita lakukan. Kita jadikan dia sebagai kelinci percobaan untuk mengetahui kemampuan istimewanya.”
Walau dikatakan masih anak kecil, tapi Ao paham betul percakapan para petinggi di Distrik 3.
Dia berniat melihat gadis itu sebentar sebelum misinya hari ini. Namun saat melewati kantor dia mendengar percakapan mereka yang di dalam ruangan. Memang hanya percakapan biasa, dan hanya ide yang dilontarkan salah seorang di sana. Tapi jika ide itu dikemukakan saat rapat maka hal itu akan benar-benar terjadi.
Apakah memutuskan bagaimana kehidupan seseorang bisa semudah itu? Hanya tidak mendapat apa-apa darinya bukan berarti mereka langsunng bilang gadis itu tidak berguna.
Drrt.. Drrt..Ponsel di sakunya bergetar. Panggilan dari Aki. Sesaat Ao teringat dengan misinya, namun semua hal tentang misi hari ini telah tersingkir dan tergantikan dengan gadis itu. Dia segera mematikan ponselnya. Tidak ada yang bisa menghentikan langkahnya saat ini.
***
Dia berkulit putih pucat. Bertubuh kecil terlihat begitu rapuh. Kedua kakinya bersimpuh di lantai penjara yang dingin. Gadis itu mendongak menatap cahaya yang masuk lewat ventilasi kecil. Dalam posisi tersebut dia tidak bergerak sedikitpun.
Di sisi lain tempat itu, di seberang jeruji besi Ao terpana. Pada sosok yang bergitu indah di matanya. Gadis itu terlihat seperti boneka yang tersorot indah di bawah cahaya.
Berbeda dengan kemarin. Gadis itu kini terlihat lebih hidup dan bersih. Rambut panjangnya yang berwarna merah terlihat berkilau bermandikan cahaya mentari. Seperti permata mahal yang tak tertandingi keindahannya.
Sekali lagi Ao terpesona. Pada manik merah terang yang menatapnya lembut. Kepalanya menoleh amat pelan seiring dengan Ao yang mendekati jeruji besi.
Tatapan mereka saling bertemu. Ao tidak tau harus mengatakan apa. Jelas-jelas yang dilihatnya saat ini adalah gadis yang berbeda.
Tangan kanan gadis itu terangkat. Seperti ingin meraih Ao yang berada tak jauh darinya. Ao masih terdiam, tatapannya berubah begitu melihat bekas luka di kulit putih gadis itu. Tangannya yang menggenggam batang besi tersebut menguat. Jika tidak ada pembatas ini apa yang akan dilakukannya?
Waktu terus berlalu tanpa ada kata terucap dari mereka berdua. Tetap sunyi seperti hari-hari sebelumnya.
Matahari sudah berada di puncak. Hari sudah siang ketika Ao sadar bahwa sinar dari ventilasi tersebut tak lagi menerangi ruangan. Penjara tetaplah tempat yang menakutkan. Gelap dan sunyi. Gadis itu masih bergeming bersimpuh ke arahnya. Namun kemudian hal yang aneh terjadi padanya.
“Agh…” Gadis itu meringkuk mendekap dalam-dalam dirinya. Tubuhnya bergetar bersamaan ingin mengucapkan sesuatu. Ao segera beringsut dari duduknya mendekat sedekat mungkin.
“Ada apa?” Tanya Ao dengan suara tenang takut malah membuat gadis itu semakin ketakutan.
Iris mata merah gadis itu menatap Ao. “Tolong aku…” suaranya parau. Air mata mulai mengucur keluar.
“Tenanglah. Aku ada di sini.” Ao mengulurkan tangannya. Degan wajah takutnya gadis itu meraih tangan Ao lantas menggenggamnya erat-erat. Air matanya semakin deras mengalir. Ao mencoba tersenyum meyakinkan bahwa tidak ada yang perlu ditakutkannya. “Tidak apa-apa. Aku akan menolongmu.” Walau dia bilang akan menolong, sebenarnya Ao tidak tau apa yang bisa dilakukannya.
“To-tolong aku…” pinta gadis itu. Ao lebih erat lagi menggenggam tangannya. “Tolong… bunuh aku… kumohon…”
***
Ichimiya tertidur lemas di tas tempat tidurnya. Bekas air matanya masih tersisa.
Ao merutuki dirinya sendiri karena terbawa emosi dan hampir membunuh seseorang untuk pertama kali. Dia selalu mudah terbawa perasaan jika menyangkut Ichimiya. Dia hanya ingin melindunginya tak ingin membuat gadis yang berharga baginya menghilang.
Seharusnya dia mendengarkan penjelasan Ichimiya terlebih dulu.
“Ah, apa yang aku lakukan?” Tanya Ao pada diri sendiri.
Wajahnya tertunduk. Kedua tangannya mengusap kasar wajahnya. Setelah lebih tenang dia membuka tirai balkon dan membuka pintu kacar geser tersebut. Cahaya pagi yang hangat masuk ke dalam. Udara segar menyejukkan kamar Ichimiya yang pengap karena jarang dibersihkan.
Ao yang berdiri di pintu balkon memasang tampang lelah.
Di atas meja belajar sesuatu yang berkilat karena sinar matahari pagi mengalihkan lamunannya. Ao mendekat, melihat lebih jelas benda apa itu.
“Inikan…” Matanya membulat karena terkejut.
Benda itu adalah belati lipat miliknya dulu. Ao ingat memberikannya pada Ichimiya sebagai janji mereka 2 tahun lalu. Semakin banyak kenangan masa lalu mereka terngiang kembali. Ao menggigit bibirnya bawah. Mengepalkan tangan kuat-kuat. Kembali menahan emosinya karena kesal pada diri sendiri. Kemudian terdengar suara dari lantai bawah. Ao ingat masih ada sesuatu yang harus dilakukannya pada pemuda itu.
Di lantai bawah Kyou telah selesai membereskan kekacauan yang mereka buat tadi. Dia membersihkan lantainya dan membawa pecahan cangkir ke pencucian piring. Mengambili serpihan bolam lampu yang tiba-tiba pecah. Saat mendongak dan menatap sisa bolam di langit-langit ruang makan, Kyou berpikir itu kemampuan istimewa milik Ichimiya. Dia pernah melihatnya sekali di taman bermain. Kilatan berwarna biru. Seperti petir atau mungkin listrik.
Kyou menatap bekas tembakan Ao di lantai. Dia tidak bisa melakukan sesuatu dengan itu. Ao langsung melemparkannya membuat pertahanan terbuka lebar. Dia bisa saja menyerang langsung jika dirinya menganggap Ichimiya ataupun pemuda itu musuh. Sayangnya Kyou tidak berpikir demikian.
“Maaf Mi-chan aku harus pergi,” ucapnya.
Dia membuang serpihan yang dipungutinya ke dalam tempat sampah. Begitu juga pistol milik Ao tadi. Langkahnya kemudian menuju pintu depan. Dia duduk memakai sepatunya. Dia sudah yakin untuk pergi meninggalkan tempat ini karena tak ingin membuat masalah yang lebih buruk lagi.
“Kau tidak bisa membuang benda itu ke dalam tempat sampah.”
Kyou tersentak. Dia menoleh ke belakang dan didapatinya Ao berdiri di ujung tangga memperhatikannya. Masih dengan tatapan tidak menyenangkan. Pemuda itu hanya mendengus lalu berdiri—mencoba mengabaikan keberadaan Ao di belakangnya.
“Mau pergi kemana kau?” Kembali Ao melontarkan pertanyaan saat Kyou sudah membuka pintu. “Urusan kita masih belum selesai.”
Dalam hati Kyou menyebut Ao bodoh. “Aku tidak ingin Mi-chan mendapat masalah lagi.” Kyou berbalik. Balas menatap dengan senyum nakalnya.
Ao begitu ingin memukul wajah pemuda di depannya itu. Namun dia tahan. Tangannya menggenggam erat belati dari kamar Ichimiya. Sebisa mungkin dia tidak ingin berdebat meladeni ocehannya.
“Tutup pintunya dan masuk ke dalam. Atau kuminta Distrik 3 untuk memburumu?” gertak Ao.
Kyou hanya mengangkat kedua bahunya—meremehkan. “Coba saja jika kau ingin Mi-chan membencimu.”
Ao menyerah. Bahunya melemas turun. Dia memegangi dahinya menunduk. Untuk beberapa saat dia terdiam. “Aku mohon. Aku tidak ingin Ichi terbangun mendapatimu tidak ada di sini.”
Kyou tidak percaya mendengarnya memohon. Namun saat itu juga dia yakin satu hal. Setelah pemuda itu memilih membuang senjatanya, Kyou tau dia hanya memikirkan Ichimiya. Jika mau dia bisa langsung menghabisinya sekarang. Tapi tidak dilakukannya. Dia lebih mementingkan perasaan gadis lemas di lantai atas.
Kyou berani bertaruh jika pemuda itu rela mengorbankan nyawanya demi Ichimiya. Menarik, batinnya dalam hati. Dia mengulas senyum ramah. “Takumi Kyou. Kalau kau memaksa apa boleh buat.”
Ide ceritanya boleh, saran aku coba ambil referensi dialog dan plotting ala western biar lebih greget
Comment on chapter Mission 3