Medan, 13 Agustus 2013
Arrum POV
Beberapa hari lagi sekolah akan merayakan hari kemerdekaan Indonesia. Dan sudah menjadi kebiasaan di sekolahku setiap tahunnya akan diadakan berbagai macam perlomba khas 17-an selama tiga hari. Biasanya murid-murid akan merasa senang karena artinya belajar-mengajar pun ditiadakan hari itu. Pada hari H setelah upacara bendera selesai, akan ditampilkan beberapa acara hiburan dari ekskul-ekskul yang ada. Dan kami akan menampilkan sebuah drama tentang perjuangan salah satu pahlawan nasional Indonesia yaitu Marta Christina Tiahahu.
Beberapa hari lalu masing-masing anggota sudah menerima peran mereka. Dan aku mendapatkan peran yang tidak terlalu istimewa; pasukan gerilya yang dipimpin oleh Martha Tiahahu. Dan Tania, dialah pperan utamanya. Aku sempat kecewa saat tahu tidak mendapatkan peran utama dalam drama pertamaku. Namun Kak Reihan menyemangati kami semua.
“Semua peran itu penting. Jangan pernah berkecl hati dengan peran yang kalian mainkan. Jika kalian saja tidak menganggap penting diri sendiri, bagaimana orang-orang akan meyakini? Tugas utama kita adalah menjalankan peran masing-masing dengan baik. Sehingga tidak ada yang perlu merasa tersisih.”
Itulah yang Kak Reihan katakan saat menyadari ada wajah-wajah kecewa saat mendengar pembagian peran pada drama kali ini. Pria itu memang luar biasa.
“Dan jasad Martha Christina Tiahahu pun menyatu dengan Laut Banda.”
Gilang sebagai narator di drama ini mengucapkan kalimat akhirnya dan latihan pun berakhir. Semua bertepuk tangan.
Ah iya! Aku tidak tahu bagaimana, tapi sekarang Gilang juga termasuk anggota ekskul drama.
“Kok kamu ikutan ekskul drama juga?” tanyaku tempo hari pada Gilang saat pertama kali melihatnya di ruang latihan.
Gilang mengrutkan dahinya. “Loh kenapa? Ada yang salah?” jawab Gilang santai. Aku hanya menatapnya sinis kala itu. Entah apa maksudnya masuk dalam ekskul ini. Terserahlah apa yang ingin dia lakukan. Semoga saja konsentrasiku tidak hilang karena jengkel padanya. Meski sebenarnya aku juga tidak tahu kenapa aku selalu saja kesal dengan pria konyol itu.
“Jangan galak-galak sama dia. Ntar kamu suka lagi. Kayak di film. Klasik tau gak?”
Ucapan Tania tanpa izin lalu-lalang di dalam kepalaku. Ah sudahlah. Kenapa aku memikirkan Gilang. Tidak penting.
Seperti biasa, seusai latihan kami langsung membentuk lingkaran tanpa perlu dikomando. Ka Reihan selaku ketua ekskul akan memberikan beberapa pesan dan arahan utuk latihan selanjutnya.
“Bravo!” ucap Ka Reihan mengawali pidatonya. ”Kalian semua luar biasa. Sangat luar biasa. Dita, akting kamu yang paling naik dengan signifikan,” Kak Reihan mengacungkan kedua ibu jemarinya. Dita tersenyum tersipu.
“Gilang, jangan berpikir bahwa menjadi narator membuat kamu merasa tidak perlu menampilkan hal yang maksimal,” Ucap ka Reihan lagi.
“Baik kakak ketua,” Gilang menjawab sekenanya. Ya memang begitulah dia; menyeblkan.
“Bagus. Oke, dan untuk kita semua jaga penampilan tetap seperti pada saat latihan. Berlatihlah sesekali di depan cermin agar dapat melihat sendiri bagaimana ekspresi dan mimik kalian. Dan juga, hal yang tidak kalah penting adalah tetap menjaga kebugaran tubuh juga suara agar penampilan kita tidak kacau. Ingat itu ya.” Ucapan Kak Reihan dibalas dengan anggukan semua anggota.
Dikarenakan anggota ekskul drama terlalu banyak untuk memerankan satu drama, Kak Reihan membuat kebijakan membagi anggota menjadi tiga tim. Tim Shakhespeare, Tim Sophokles, dan Tim Gibran. Dimana setiap tim terdiri dari 15 orang. Masing-masing memiliki ketuanya sendiri namun Kak Reihan tetap turut andil dalam latihan. Setiap tim juga memiliki jam terbang yang seimbang yang ditetapkan oleh penasihan ekskul drama, Pak Salman. Dan aku termasuk dalam Tim Sopokhles. Begitu juga dengan Tania dan Gilang. Entah bagimana Gilang bisa masuk di Tim Sopokhles yang setahuku sudah pas 15 orang. Harusnya dia masuk dalam tim Gibran yang masih menerima 3 anggota.
“Mungkin itu sajaa yang ingin saya sampaikan pada kesempatan kali ini. Sebelum kita pulang mari berdoa sesuai agama dan kepercayaan masing-masing. Berdoa mulai.” Kak Reihan memimpin doa seperti biasa.
Sejenak atmosfer berubah menjadi tenang. Masing masing larut dalam kehikmatan.
“Doa selesai.” Kak Reihan mengakhiri doa. Satu-satu kepala yang tadinya tertunduk kini kembali menjadi tegak. ”Ayo kita tos dulu.”
Lima belas tangan manusia mulai saling tindih di satu titik. “Experia drama…” Kak Reihan mengomando yel yel drama kami.
“Satu untuk semua, semua untuk satu!!” seluruh anggota menjawab dengan teriakan yang lantang penuh semangat sambil mengangkat tangan ke atas.
Seluruhnnya mulai bubar .Kembali ke loker masing-masing untuk mengambil baju dan kembali mengganti pakaian. Sekolah menyediakn pakaian khusus untuk drama. Tetapi tentu tidak gratis.
Setelah mengganti bajuku dan membereskan barang barang yang berserakan, aku bergegas. Biasanya Pak Rahmat yang menjemputku. Tetapi, karena Papa ada tugas di luar kota, terpaksa pak Rahmat juga ikut dengan Papa. Mungkin aku akan naik taksi atau angkutan umum lainnnya.
“Arrum, akting kamu bagus,” aku hampir saja melonjak kaget saat Kak Reihan tiba-tiba muncul di sampingku menyamai langkah cepatku.
“Eh, terimakasih kak,” jawabku singkat. Aku berusaha dengan sekuat hati menahan diri agar tidak salah tingkah.
“Kamu buru-buru sekali? Apa ada yang sedang kamu kejar? Ketinggalan penerbangan trakhir?” Kak Reihan bercanda yang lantas mengundang tawaku. Mimpi apa aku semalam tertawa bersama Kak Reihan seperti ini.
“Tidak. Aku hanya ingin cepat sampai saja.”
“Dijemput ya? Oiya Arrum, yang jemput kamu setiap hari itu siapa. Ayah kamu?”,
Aku menghentikan langkahku dengan tiba-tiba. Bagaimana Kak Reihan tahu kalau aku dijemput setiap hari. Apa dia memperhatikanku ? Ah tidak mungkin. Ka Reihan pasti hanya sesekali tidak sengaja melihat.
“Kamu kenapa?” tanya Kak Reihan heran
“Ah, bukan apa apa. Oh, yang kakak lihat itu Pak Rahmat. Pak Rahmat adalah orang kepercayaan papa untuk jemput Arrum,” aku kembali melangkahkan kakiku.
Kak Reihan manggut-manggut. ”Apa dia juga akan menjemput kamu sebentar lagi?” Pria ini masih saja mengikutiku sampai di depan gerbang sekolah. Apa kemarin aku tidak sengaja membuat hati Mama senang hingga keajaiban ini terjadi?
“Hm, hari ini tidak. Arrum akan naik taksi. ”
“Apa kamu mau aku antar?” Kak Reihan mendongakkan kepalanya melihat langit. ”Sepertinya akan hujan.”
Sejak kapan langit biru itu berubah menjadi kelabu? Tapi tunggu! Apa tadi barusan? Apa aku tidak salah mendengar? Apa benar Kak Reihan menawarkan tumpangan? Ini mimpi atau nyata? Ah tidak peduli!
“Apa tidak merepotkan?”
“Kalau repot, aku gak akan nawarin tumpangan,”
Aku tersenyum malu-malu dan mengangguk sebagai tanda menerima tawaran dari Kak Reihan. Kami berjalan menuju parkiran.
***
Gilang POV
Setelah mengetahui kalau Arrum mengikuti ekskul drama, akupun ikut mendaftar. Ekskul ini tidak terlalu buruk dan tidak terlalu bertolak belakang denganku. Aku menyukai beberapa karya sastra. Tapi tidak sedalam Rangga dalam film Ada Apa Dengan Cinta. Aku lebih menyukai novel-novel thriller dan horror. Mungkin Sherlock Holmes dan One Day at Midnight lebih cocok untukku.
Peranku sebagai narator dalam drama pertamaku tidak terlalu buruk. Lagipula aku tidak terlalu ambisi untuk memerankan peran-peran penting dalam drama. Aku mendaftar hanya karena Arrum ada di dalamnya. Setelah bertemu dengannya di UKS beberapa minggu lalu, kami tidak pernah bertemu lagi. Tapi tentu saja aku sering melihatnya atau lebih tepatnya berusaha untuk menemukannya untuk melihatnya.
Aneh sekali rasanya. Arrum selalu bertingkah seolah-olah aku adalah nyamuk yang harus disingkirkan. Namun aku tidak masalah dengan itu. Justru membuatku penasaran, tertarik, dan lebih dari sekedar keduanya. Kenapa aku ini konyol sekali. Aku tidak pernah mengerti tentang jatuh cinta sebelumnya dan tidak pernah ingin memikirkannya. Namun setelah pertemuan pertamaku dengan Arrum, ia telah membuatku….. entahlah. Aku tidak juga menemukan kosa kata yang tepat untuk itu. Kata orang, jatuh cinta tidak mengenal waktu dan tempat.
Alah! Kenapa aku menjadi puitis? Konyol sekali! Sangat bukan aku!
Ah, langit mendung. Aku melihat Arrum berjalan bersama Kak Reihan. Apa Ka Reihan juga sedang mendekati Arrum? Aku teringat dengan kata-kata Miko beberapa hari lalu yang mengatakan kalau Kak Reihan adalah salah satu murid populer sekolah ini.
“Berat saingan kamu, Lang.”
Tidak! Tidak ada yang terlalu berat. Tapi juga tidak ada yang ringan.
Mereka mengobrol sebentar. Kutebak Kak Reihan pasti menawarkan tumpangan pada Arrum. Hal yang sama yang ingin kulakukan padanya. Tapi aku terlambat selangkah.
Mereka sudah pergi. Aku tertunduk lemah.
“Oi, Lang. Gausah sedih gitu. Selama janur kuning belum melengkung, masih ada kesempatan,” sebuah suara mengagetkanku dari belankang. Aku sampai terlonjak dan cepat mebalikkan badan melihat siapa yang baru saja muncul seperti hantu.
Aku melihat seorang wanita dengan rambut terurai sebahu sedang menengadah dagu sambil cekikikan. Kalau tidak salah, dia ini Tania. Tania yang berperan sebagai Christina dan sahabat Arrum.
“Kamu Tania kan?” tanyaku meyakinkan. Ini pertama kalinya kami mengobrol secara langsung.
“Bukan. Aku neneknya Tania. Yaiyalah aku Tania.” Jawaban Tania membuatku kikuk. Dia tertawa lagi. Benar-benar terbalik dengan Arrum. Yang satu galak, yang satunya ramah.
“Emm… kok bisa di sini?” sekali lagi pertanyaan bodoh.
“Yaampun Gilang kamu gugup banget sih. Kayak ketemu sama siapa aja. Aku bukan Arrum. Kalo ketemu Arrum baru deh kamu gugup,” katanya. “Aku tau, kamu suka sama Arrum kan?”
Aku tidak langsung menjawab pertanyaan Tania. Langit semakin gelap. Kami akan terjebak hujan jika terus mengobrol di sini.
“Pulang sama siapa? Mendung. Mau bareng atau pulang sendiri?”
Tania terdiam sebentar. Entah apa yang ia pikirkan.
“Bareng atau ngggak?” aku menanyakannya sekali lagi.
“Emang kita searah? Rumah aku di Polonia.”
“Searah. Mau nggak?”
“Yauda.”
Kami berjalan ke parkiran. Aku meminta Tania untuk mempercepat langkahnya.
“Kamu belum jawab pertanyaanku tadi. Kamu suka sama Arrum?”
“Katanya udah tau, kenapa masih nanya?” aku membalikkan pertanyaan. “Nih pake aja mantelnya. Jaga-jaga kalau hujannya turun tiba-tiba,” aku menyodorkan mantel berwarna biru gelap pada Tania.
“Kamu pake apa dong?”
“Udah pake aja. Buruan entar hujan. Aku Cuma punya satu mantel,” aku menyalakan motorku. Tania buru-buru memakai mantel hujan itu. Setelahnya dia naik di jok belakang.
“Nanti tunjukin jalannya ya,” kataku.
Tania hanya berdeham pelan. Entah kenapa dia tiba-tiba jadi pendiam. Aneh.