Read More >>"> Senja Kedua (EMPAT) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Senja Kedua
MENU
About Us  

Koln, November 2017

            “Kau sudah sadar?”

            Silau. Mataku mencoba beradaptasi dengan cahaya yang masuk ke retina. Perlahan aku mencoba membuka mata. Sudah berapa lama mataku tertutup? Dan siapa tadi yang bertanya padaku? Apa aku sedang di dalam kubur? Apa tadi itu malaikat? Ah kepalaku pusing sekali.

            “Arrum, kau baik-baik saja?”

            “Hem? Ini dimana?”

            Aroma khas bangsal rumah sakit menancap di hidungku. Membuat kepalaku bertambah pusing.

            “Kau pingsan. Ini rumah sakit. Kau ingat?”

            Pingsan? Rumah sakit?

            “Orang tuamu akan segera datang. Aku sudah mengabari mereka.”

            Aku mencoba mengingat siapa pria di sampingku ini. Siapa? Ah iya!

            “Leon?”

            “Ya Arrum. Ini aku. Beristirahatlah. Orang tuamu akan segera datang.” Leon menatapku dengan matanya yang dalam. Aku tidak pernah tahu sebelumnya jika matanya memiliki pesona seperti ini. Tiba-tiba saja rasa pusing di kepalaku sudah tidak ada. Apa matanya memiliki kekuatan magis?

            “Kau…apa kau yang membawaku ke sini?” Aku melirik tanganku yang telah dimasuki jarum infus. Aku pasti benar-benar pingsan. Jika tidak pasti jarum itu tidak akan menusuk kulitku saat ini. Melihat jarum membuatku mual.

            “Iya. Kau pingsan saat aku menawarimu tumpangan. Lalu aku membawamu ke sini.” Leon menghembuskan nafas dalam. “Kau terlalu memaksakan diri, kau tahu? Apa kau sudah membaik sekarang?”

            Aku mengangguk lemah. Rasanya sudah lebih baik sekarang.

            “Kau mau sesuatu? Minum?”

            “Ya, boleh. Rasanya aku seperti baru selesai dari berjalan di Sahara.”

            Leon menolongku untuk duduk. Dan memberiku segelas air segar.

            “Maaf telah merepotkanmu,” kataku tidak enak. Leon tersenyum lagi.

            “Sekarang tidurlah. Kau harus istirahat.”

            “Aku baru saja bangun dari tidurku yang entah sudah berapa lama. Berapa lama aku pingsan?”

            “Sekitar tiga jam,” Leon mengingat-ingat.

            “Itu merupakan istirahat yang cukup.”

            Leon tertawa.

“Kau tidak berubah, yah.” Kata Leon. Apa maksudnya? “Kau tidak berubah dari saat pertama kali kita bertemu. Kau ingat?”

            Apa maksudnya saat aku salah menggunakan lokernya dua tahun lalu?

            “Saat itu kau juga keras kepala.”

            “Hahaha kau ini.”

            Leon tersenyum padaku dan menatapku tanpa berkedip. Aku salah tingkah dipandangi seperti itu.

“Apa ada sesuatu di wajahku?” Aku berusaha agar Leon tidak menatapku lebih lama lagi. Leon menundukkan kepalanya dan tertawa lirih. Ia bangkit dari tempat duduknya. Berjalan perlahan menuju jendela berbingkai kayu bergaya klasik. Dimasukkannya satu tangannya ke saku celana. Ia menatap ke luar jendela. Salju turun dengan syahdu. Jeda terbentuk begitu lama diantara kami. Aku tidak tahu mengapa atmosfernya menjadi begini.

Melihat Leon tengah memandang kosong seperti ini, membuatku merasa nyaman. Apa yang tengah ia pikirkan saat ini?

            “Terimakasih,” ucapku kemudian memecahkan keheningan. “Sepertinya aku sering sekali merepotkanmu.”

            “Sepertinya kau ditakdirkan bertemu denganku untuk itu,” kata Leon bercanda. Kami tertawa. Suasananya tidak pernah senyaman ini sebelumnya. Ini bukan pertama kalinya Leon membantuku. Entah bagaimana Leon sering sekali ada di saat aku mengalami kesulitan secara kebetulan. Ah tidak ada yang kebetulan. Ini takdir.

            “Emm…bagaimana kuliahmu?” tanyaku mencari topik pembicaraan.

            “Tahun depan mungkin aku akan lulus. Kau sendiri?”

            “Pasti akan banyak materi yang aku lewatkan selama di rumah sakit,” aku kecewa mengingat kalau besok akan ada kuis. Dan awal Desember ini kami akan mengadakan ujian sebelum akhirnya libur musim dingin tiba. Kali ini Leon benar. Aku tidak boleh memaksakan diri lagi jika tidak ingin ketinggalan banyak materi sebelum ujian. “Apa kau akan lulus tahun depan?”

            “Hem… ya begitu. Aku akan mendaftarkan wisudaku bulan Februari nanti. Dan mengikuti wisuda sebelum libur musim panas.”

            Aku manggut-manggut.

            “Apa yang kau pikirkan?” tanya Leon.

            “Aku sedang berpikir bagaimana aku bisa bertahan di kampus kalau kau sudah lulus nanti. Siapa lagi yang nanti akan aku repotkan?”

            Kami tertawa lagi.. Leon tertawa sangat lepas. Seolah ia adalah pria 21 tahun paling bahagia di dunia. Saat tertawa gigi rapihnya terlihat jelas. Matanya menyipit. Dan garis-garis di bawah matanya terbentuk. Aku tidak pernah memperhatikan Leon sebelumnya. Tidak pernah seperti ini.

            “Arrum,” Leon memanggilku lembut.

            “Ya?”

            “Apa kau pernah merindukan seseorang?” Tatapan Leon kembali pada jendela.

            Aku berpikir sejenak sebelum menjawab. Rindu? Tentu saja pernah. Siapa yang tidak pernah merindukan seseorang.

            “Tentu saja. Aku rasa tidak ada satupun orang yang tidak pernah merindukan seseorang. Kenapa? Apa kau merindukan seseorang? Kekasihmu?”

            Leon tertawa mendengar petanyaanku.

            “Kau sendiri, siapa yang kau rindukan?”

            “Curang. Kenapa malah balik bertanya. Tapi baiklah akan aku jawab karena kau telah menolongku. Aku rindu Bibi Fatimah. Aku rindu Pak Rahmat…”

            “Siapa itu Bibi Fatimah dan Pak Rahmat?” Tanya Leon memotong ucapanku.

            “Mereka adalah orang yang dulu pernah bekerja di rumahku sebelum aku pindah ke Jerman. Mereka merawatku sejak usiaku 8 tahun,” aku menerawang. Bagaimana kabar mereka sekarang?

            “Teman-temanmu? Apa kau rindu mereka?”

            Ah iya! Teman-temanku. Apa aku rindu mereka? Tania? Apa aku rindu dia? Apa Tania merindukanku? Kenapa mengingat-ingat menjadi menyakitkan. Rasanya sesak.

            “Arrum!”

            Tiba-tiba piintu ruangan terbuka begitu saja. Memotong memoriku yang sedang memutar kenangan-kenangan lama. Kepalaku dengan cepat melihat ke asal suara datang. Menyebabkan ototku salah bergerak.

            “Arrum! Kamu kenapa, Nak?”

            Aku cukup kaget saat Mama langsung berhambur ke arahku dengan wajah yang merah.     Tangannya berulang kali mengelus-elus rambutku yang berantakan.

            “Arrum gapapa, Ma.”

            Wanita paruh baya itu menempelkan wajahnya ke keningku. Seolah dengan itu ia dapat mentransfer seluruh kekuatan yang ia miliki kepadaku. Dan itu memang berhasil. Di samping Mama semua terasa akan selalu baik-baik saja.

            Masih di dekat jendela, Leon memperhatikan reuni antara orang tua dan anak ini.

            “Apa kamu yang menelepon kami tadi?” Papa bertanya pada Leon. Mama berhenti menempelkan wajahnya di keningku dan mulai menyadari bahwa bukan hanya ada aku saja di ruangan ini.

            “Yes, Sir.”

            “Namanya Leon, Pa. Dia teman Arrum,” kataku.

            “Terimakasih Leon. Terimakasih sudah menolong Arrum.” Papa menepuk-nepuk pundak Leon.

            “Saya hanya melakukan hal yang seharusnya saya lakukan.” Papa mengangguk-angguk mendengar jawaban Leon. Dan Mama berbisik padaku, “Apa dia pacar kamu?”

            Aku mengerutkan kening dan mengerucutan bibir saat Mama bertanya hal aneh itu. “Tentu saja bukan, Ma.”

            “Ah ya! Saya harus kembali,” kata Leon seperti baru teringat akan sesuatu.

            “Oh ya tentu…tentu. Sekali lagi terimakasih Leon,” ucap Papa.

            “Saya permisi Tuan, Nyonya, Arrum.”

            Mataku mengantarkan kepergian Leon dari ruangan ini sampai ia benar-benar tidak terlihat lagi. Pertanyaannya tentang rindu belum sempat kujawab tuntas. Begitu juga pertanyaan yang kutanyakan padanya. Jika ingat, nanti akan aku tanya lagi.

            “Apa kamu yakin dia hanya seorang teman?” Mama kembali menggodaku.

            “Ih mama. Apasih?” Aku membuang mukaku. Mama terkikik pelan di sampingku. Diam-diam aku tersenyum juga.

“Sepertinya Leon menyukaimu.”

Kini kata-kata Nadira terngiang di kepalaku. Apa seperti itu? Apa mungkin Leon menyukaiku?

“Teman-temanmu? Apa kau merindukan mereka?”

Pertanyaan Leon yang belum kujawab datang memotong ucapan Nadira yang muncul di kepala. Teman-temanku? Apa kabar mereka? Sudah 5 tahun berlalu, apa kami saling merindu? Tapi mengapa sesak ini masih saja datang saat mengingat Tania. Sudah 5 tahun. Banyak yang terjadi selama itu. Harusnya aku sudah baik-baik saja. Harusnya aku bisa mengingat hal di masa lalu sebagai kisah masa SMA. Harusnya hanya itu.

Tags: Twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Move On
208      174     0     
Romance
"Buat aku jatuh cinta padamu, dan lupain dia" Ucap Reina menantang yang di balas oleh seringai senang oleh Eza. "Oke, kalau kamu udah terperangkap. Kamu harus jadi milikku" Sebuah awal cerita tentang Reina yang ingin melupakan kisah masa lalu nya serta Eza yang dari dulu berjuang mendapat hati dari pujaannya itu.
Nobody is perfect
12141      2174     7     
Romance
Pada suatu hari Seekor kelinci berlari pergi ingin mencari Pangerannya. Ia tersesat, sampai akhirnya ditolong Si Rubah. Si Rubah menerima si kelinci tinggal di rumahnya dan penghuni lainnya. Si Monyet yang begitu ramah dan perhatiaan dengan si Kelinci. Lalu Si Singa yang perfeksionis, mengatur semua penghuni rumah termasuk penghuni baru, Si Kelinci. Si Rubah yang tidak bisa di tebak jalan pikira...
Babak-Babak Drama
421      287     0     
Inspirational
Diana Kuswantari nggak suka drama, karena seumur hidupnya cuma diisi itu. Ibu, Ayah, orang-orang yang cuma singgah sebentar di hidupnya, lantas pergi tanpa menoleh ke belakang. Sampai menginjak kelas 3 SMP, nggak ada satu pun orang yang mau repot-repot peduli padanya. Dian jadi belajar, kepedulian itu non-sense... Tidak penting! Kehidupan Dian jungkir balik saat Harumi Anggita, cewek sempurna...
Story Of Me
3193      1149     6     
Humor
Sebut saja saya mawar .... Tidaak! yang terpenting dalam hidup adalah hidup itu sendiri, dan yang terpenting dari "Story Of me" adalah saya tentunya. akankah saya mampu menemukan sebuah hal yang saya sukai? atau mendapat pekerjaan baru? atau malah tidak? saksikan secara langsung di channel saya and jangan lupa subscribe, Loh!!! kenapa jadi berbau Youtube-an. yang terpenting satu "t...
You Can
997      632     1     
Romance
Tentang buku-buku yang berharap bisa menemukan pemilik sejati. Merawat, memeluk, hingga menyimpannya dengan kebanggaan melebihi simpanan emas di brankas. Juga tentang perasaan yang diabaikan pemiliknya, "Aku menyukainya, tapi itu nggak mungkin."
NAZHA
397      297     1     
Fan Fiction
Sebuah pertemuan itu tidak ada yang namanya kebetulan. Semuanya pasti punya jalan cerita. Begitu juga dengan ku. Sang rembulan yang merindukan matahari. Bagai hitam dan putih yang tidak bisa menyatu tetapi saling melengkapi. andai waktu bisa ku putar ulang, sebenarnya aku tidak ingin pertemuan kita ini terjadi --nazha
The War Galaxy
11264      2336     4     
Fan Fiction
Kisah sebuah Planet yang dikuasai oleh kerajaan Mozarky dengan penguasa yang bernama Czar Hedeon Karoleky. Penguasa kerajaan ini sungguh kejam, bahkan ia akan merencanakan untuk menguasai seluruh Galaxy tak terkecuali Bumi. Hanya para keturunan raja Lev dan klan Ksatrialah yang mampu menghentikannya, dari 12 Ksatria 3 diantaranya berkhianat dan 9 Ksatria telah mati bersama raja Lev. Siapakah y...
Perfect Love INTROVERT
9215      1723     2     
Fan Fiction
Kenangan Masa Muda
5731      1617     3     
Romance
Semua berawal dari keluh kesal Romi si guru kesenian tentang perilaku anak jaman sekarang kepada kedua rekan sejawatnya. Curhatan itu berakhir candaan membuat mereka terbahak, mengundang perhatian Yuni, guru senior di SMA mereka mengajar yang juga guru mereka saat masih SMA dulu. Yuni mengeluarkan buku kenangan berisi foto muda mereka, memaksa mengenang masa muda mereka untuk membandingkan ti...
THE WAY FOR MY LOVE
412      317     2     
Romance