Koln, November 2018
Aku mengambil mantelku dari tempat cantolan mantel dan keluar dari kelas. Mata kuliah hari ini selesai lebih cepat dari yang kuduga. Dan itu sangat bagus. Suhu semakin terasa dingin. Menusuk-nusuk tulangku yang hanya diselimuti daging tipis.
Uap-uap udara mengepul keluar dari mulutku persis seperti yang dulu sering kulihat di drama korea kesukaanku. Aku merapatkan mantel ke tubuhku. Bukan hanya mantel. Topi rajut, sarung tangan, dan juga syal menutupi seluruh kulit dan hanya menyisakan wajahku yang mulai memerah kedinginan.
Sambil terus menggosokkan kedua telapak tangan satu sama lain, aku mempercepat langkah menuju rumah ku di Amsterdamer Street.Untuk tiba di rumah, aku harus menaiki bis sebanyak dua kali dan berhenti sebanyak 16 kali jika ditotalkan. Butuh waktu 5 menit jalan kaki dari kampusku menuju halte bis pertama di Sulz Hermeskeiler Platz. Dengan durasi sekitar 7 menit, bis itu akan mengantarku ke Mulheim Wiener Platz dimana aku akan menunggu bis selanjutnya yang akan mengantarku ke Amsterdamer Street dengan durasi perjalanan 20 menit. Maka untuk sampai di rumah aku membutuhkan waktu sekitar setengah jam. Untunglah bis tidak pernah datang terlambat.
Aku menolak untuk diantar jemput oleh Papa. Aku ingin merasakan bagaimana serunya melakukan perjalanan menggunakan bis. Tapi besok mungkin aku akan menerima tawaran antar-jemput itu. Suhu semakin tidak bisa dikompromikan. Meskipun 5 tahun sudah aku tumbuh di negara ini dengan menghabiskan lima kali musim dingin, tetap saja tubuhku masih susah beradaptasi. Bahkan kini kepala ku semakin pusing.
Halte bis tidak terlalu ramai. Mungkin hanya sedikit orang hari ini yang memutuskan untuk pergi dengan kendaraan umum.
“Hai Arrum.” Sebuah mobil ferari merah berhenti di halte bis tempat aku menunggu. Pria pemilik mobil tersenyum padaku.
“Hei,” aku lantas bangun dari tempat dudukku demi melihat siapa si pemilik mobil. Dia seseorang yang kukenal. Namanya Leon.
“Auf den Bus warten? Sedang menunggu bis?” tanyanya. Aku tersenyum mengiyakan. ”Hem, apa mau kuantar?” Seperti biasa, Leon menawariku tumpangan lagi.
Meski tidak di jurusan yang sama, aku dan Leon sudah saling mengenal sejak pertama kali masuk di Univeristas Koln. Saat itu aku tidak sengaja memakai lokernya yang letaknya persis di sebelah kanan lokerku.
“Hemm.. Sorry. You probably have use a wrong locker,” ucap Leon pertama kali. Aku langsung melihat nomor lokerku. Dan ternyata aku memang salah.
“Ah, Im Sorry. Aku salah melihat nomor,” kataku menahan rasa malu. ”Aku akan memindakan semua barangku,” aku menggigit ujung bibirku.
Satu persatu aku memindahkan barangku yang untungnya tidak terlalu banyak. Leon juga turut membantuku.
Setelah itu, aku menata ulang barang-barangku di lokerku yang benar. Aku memastikan kalau kali ini aku tidak salah loker lagi.
“Ini! Terimalah!” Aku menyodorkan sebuah mainan kunci sederhana dengan miniature monas sebagai hiasan kepada Leon. “Anggap sebagai ucapan maafku dan tanda perkenalan,” aku tersenyum ramah khas Indonesia.
Leon mengambil mainan kunci itu dari tanganku dan memperhatikannya seolah mainan kunci itu adalah barang paling langka di dunia.
“Thanks. So wonderful. Ah ya, Im Leon,” Leon mengulurkan tangannya padaku yang kubalas dengan menyebutkan namaku dan menjabat tangannya. “Where do you come from?” tanyanya lagi.
“Indonesia. Kamu tidak terlihat seperti orang Jerman tapi aksenmu kental dengan aksen Jerman. Kamu berasal dari mana?” kataku sambil memiringkan kepala beberapa derajat. Leon berperawakan tinggi tegap. Mungkin tingginya sekitar 180 cm. Rambutnya hitam tidak seperti orang Jerman yang memiliki rambut pirang. Wajahnya juga seperti orang Asia. Tapi seperti yang kukatakan, cara dia berbicara menunjukkan kalau dia memang lahir di Jerman.
Leon diam sejenak seperti memikirkan sesuatu.Aku takut kalau pertanyaanku menyinggungnya.
“Ayahku orang Jerman. Tetapi ibuku berasal dari Filipina. Mungkin aku mewarisi wajah ibuku,” katanya tersenyum.
Ada yang janggal dari senyumnya. Tapi entahlah, aku merasa dia tidak nyaman dengan pertanyaanku. Apa aku sudah mengganggu prifasinya?
“Emm… Maafkan aku jika pertanyaanku mengganggumu,” kataku kikuk. Leon balas tersenyum dan mengatakan dia samasekali tidak terganggu atau tersinggung dengan pertanyaanku. Semoga itu bukan hanya caranya untuk tidak membuatku merasa bersalah.
Semenjak hari itu, entah bagaimana aku dan dia menjadi akrab. Apalagi aku juga sering bertemu dengannya saat sedang mengambil atau memasukkan barang ke lokerku. Leon adalah pria yang tidak banyak berbicara tapi juga bukan tipe yang tidak peduli. Dia tahu kalau aku mudah hipotermia dan kerap menawariku tumpangan gratis. Tapi aku selalu menolaknya.
Menurut Nadira sahabatku selama kuliah di Koln, Leon sepertinya menaruh rasa padaku. Namun aku tidak menganggap serius perkataan Nadira itu. Leon memang baik dan sering membantuku, tapi sepertinya itu tidak lebih sebuah kebaikan antara seorang teman. Lagipula Leon tidak pernah mengatakan langsung hal semacam itu padaku. Aku tidak ingin berspekulasi tentang perasaaan seseorang. Dan juga… aku ragu kalau aku sudah siap membuka hati kembali. Sudah 5 tahun lamanya aku tidak lagi merasakan jantung berdebar, nafas tercekat, ataupun gugup seperti orang konyol saat jatuh cinta. Aku sedang tidak ingin memikirkan itu.
Lebih tepatnya, aku belum mampu melupakan seseorang di masa lalu.
“Terimakasih, Leon. Tapi tidak perlu,” tolakku halus seperti biasa.
“Suhu semakin dingin. Aku tahu kamu tidak terbiasa. Apa kau yakin tidak ingin kuantar?” katanya lagi.
Yang dikatakan Leon benar. Bhakan kepalaku terus berdenyut. Aku memegangi kepalaku.
“Kau baik baik saja?” tanya Leon khawatir. Aku tidak menjawbnya. Kepalaku terasa semakin sakit. Pandanganku buram. Badanku lemas dan…
Bruuk !!!
Aku merasakan tubuhku membentur aspal jalanan dan dengan pandangan yang buram aku melihat Leon keluar dari mobil mewahnya. Setelah itu, mataku tertutup.
***
Medan, 8 Agustus 2013
Arrum POV
Aku mencoba membuka mata. Anehnya hal yang bisa kulakukan setiap hari itu kini terasa sulit. Mataku berat. Kepalaku pusing sekali. Samar aku mendengar seseorang seperti sedang bermain game di sampingku. Dia berseru kesal dan kadang berteriak senang.
Aku terus mencoba membuka mata. Kali ini berhasil!
“Kamu udah sadar?” seorang pria tenyata sudah duduk di bangku sisi kanan di tempat aku terkulai lemah. Buru-buru disimpannya ponsel yang sedang dia genggam. Apa dia yang bermain game tadi?
Aku masih berusaha mencerna siapa orang ini dan dimana aku sekarang.
“Kamu lagi di UKS sekolah,” ucapnya seolah mengerti apa yang aku pikirkan. Aku menatapnya beberapa detik. Ah ternyata dia. Si cowok rese, Gilang. Kenapa dia ada di sini?
“Tadi kamu pingsan waktu latihan drama. Memangnya kamu nggak sarapan?” tanyanya.
Ah iya! Bagaimana latihan dramaku? Itu adalah drama pertamaku sejak tiga hari lalu aku memutuskan untuk bergabung dengan ekskul drama sekolah.
“Bukan urusan kamu,” jawabku agak kasar. ”Terus Tania mana?” kataku menanyakan nama teman sebangkuku sekaligus temanku di ekskul drama yang seingatku dialah yang mengantarku ke UKS. “Apa dia nggak ngantar aku ke UKS ? Kenapa kamu yang di sini? Terus penjaga UKS kemana, kenapa cuma ada kamu ?” Tiba-tiba aku mengingat candaan Gilang saat MOS kalau dia akan menggendongku jika aku pingsan.
Aku memasang wajah was-was.
“Kamu bawel juga ya. Sepuluh menit lalu Tania ada di sini, sekarang udah balik ke kelas buat belajar. Dan kenapa ada aku di sini tapi penjaga UKS nggak ada, itu kerena tadi aku juga pingsan kena senter bola dan penjaga UKS lagi sibuk di UKS satu lagi, di samping ruangan kepala sekolah. Udah puas, Nona?” jelasnya panjang lebar.
“Kamu kan udah sadar dari tadi, kenapa kamu nggak masuk kelas? Kamu mau macem-macemin aku ya? Ha? Ayo ngaku, kamu mau ngapain aku hah? Kamu mau modus kan?” kataku sambil mengambil ancang ancang untuk meninju Gilang.
“Waduh, jangan sembarang nuduh tanpa bukti! Itu fitnah namanya. Fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan ! Kamu bisa aku tuntut degan pasal 310 KUHP atas pencemaran nama baik.” Gilang bangkit dari tempat duduknya takut kalau kalau tinjuku sudah tidah tertahan lagi.
“Gausah alasan deh! Kamu pasti mau ngapa-ngapain aku kan?” Kali ini aku benar benar mendekati Gilang dan meninju lengannya dengan sekuat tenaga. ”Ngaku! Kamu tadi ngapain aku, Mesum?” Aku menarik rambut gilang sampai dia mengaduh meminta ampun.
“Aku bukan mau mesum. Sumpah! Aduh sakit rambutku.” Wajah Gilang memerah kesakitan.
Dari balik pintu seseorang dengan baju serba putih masuk ke ruang UKS dan berseru kaget saat melihat apa yang terjadi antara aku dan Gilang.
“Astaga! Ada apa ini. Arrum, lepasin rambut Gilang!” ternyata Penjaga UKS sudah kembali.
Aku melepaskan rambut Gilang setelah dipaksa.
“Arrum, kamu ini apa-apaan sih. Kenapa kamu Tarik rambut teman kamu sendiri?” tanya nya dengan wajah kesal. Gilang yang berdiri di balik badan Bu Maryam si Penjaga UKS, terlihat beberapa kali mengusap kepalanya. Rasakan!
“Itu Bu,” aku menunjuk ke arah Gilang. “Dia itu mau mesum ke saya,” hardikku.
Bu Maryam melihat ke arah Gilang.
“Nggak Bu. Sumpah saya nggak mau mesum.”
“Terus kenapa kamu nggak masuk kelas, padahal kamu udah sadar dari pingsan sebelum aku,” aku menuntut penjelasan.
“Yaampun Arrum. Jadi karena itu kamu tuduh Gilang mau berbuat aneh sama kamu,” kata Bu Maryam. ”Saya yang menyuruh Gilang untuk tidak kembali dulu ke kelasnya karena Ibu tidak bisa menjaga kamu. Takutnya kamu butuh sesuatu saat sendirian. Jadi bukan kerena Gilang mau berbuat mesum,” Bu Maryam menggelengkan kepalanya.
Aku tertunduk malu. Astaga! Apa yang aku lakukan.
“Sekarang kamu minta maaf sama Gilang. Kasihan rambutnya kamu tarik kuat gitu.”
Tanpa berpikir panjang, aku langsung meminta maaf. Tapi tetap dengan setengah hati. Setengah hati lagi aku tetap senang karena puas menyiksanya.
“Iya aku maafin,” kata Gilang dengan lagak.
“Sekarang kalian bisa masuk ke kelas.”
Aku melangkahkan kakiku dengan cepat. Tidak ingin berpapasan dengan Gilang karena malu. Dia pasti senang karena merasa menang. Buru-buru aku keluar dari UKS.
Tiba di kelas, untungnya pelajaran sedang kosong. Mungkin karena ini masih minggu pertama belajar mengajar kembali normal, masih beberapa guru yang masuk ke kelas ku. Itupun hanya memperkenalkan diri dan memberitahu bagaimana system belajar dengan mereka.
Saat masuk ke kelas Tania memberondongiku dengan pertanyaan tentang keadaanku. Aku mengatakan aku sudah tidak apa-apa dan menceritakan padanya kejadian Gilang tadi dengan raut wajah kesal dan malu.
“Hahaha…yaampun, Rum. Kamu kok bisa sih ngira kalau Gilang itu mau macem-macem sama kamu?” Tania tertawa sambil mengibaskan rambut sebahunya ke belakang.
“Ya habisnya dia ngapain juga masih di UKS. Ah udah ah gausah dibahas lagi.”
“Kamu tuh ya. Semenjak kita masih MOS, kamu itu juga udah sensi aja sama Gilang. Aku gak ngerti deh kenapa kamu selalu sensi sama dia. Padahal kan dia udah nolongin kamu dari Ka Melanie waktu itu. Kamu inget kan, Rum?” Tania menopang dagunya dan menatapku serius.
Sensi? Apa benar aku selalu sensi sama dia? Apa cuma aku yang menganggap dia memang menyebalkan? Tapi, setelah dipikir-pikir Tania memang benar. Apa yang membuatku sebegitu kesalnya?
“Tuh kan gabisa jawab. Kamu itu emang gapunya alasan untuk sensi sama dia, Arrum. Jangan galak-galak sama dia. Entar ujung-ujungnya suka lagi. Kayak di film. Klasik tau gak.”
“What? Suka? Nggak lah. Lagipula aku itu udah pandangan pertama sama Ka Reihan. Oh iya? Drama tadi gimana? Ka Reihan ada nanyain aku ngggak?”
Ka Reihan adalah ketua dalam ekskul drama. Aku sudah menyukainya sejak pertama kali melihatnya saat MOS minggu lalu. Tapi jangan berpikir kalau aku masuk ekskul drama karena dia. Ini hanya kebetulan. Ah tidak! Tidak ada yang kebetulan. Ini takdir.
“Ya nanyain sih. Aku jawab mungkin kamu kurang istirahat.”
“KYAAA!!! Serius Ka Reihan nanyain aku? Ah! Duh jantung aku!” kataku sambil memjamkan mata dan memegangi dada.
“Dih lebay! Cocok emang kamu masuk ekskul drama,” kata Tania sambil menoyor wajahku.
Dasar Tania!
***
Gilang POV
Aku bertemu dengan dia lagi.
Gadis bawang putih itu. Aku bertemu lagi dengannya di UKS. Aku kecewa saat mengetahui kalau aku tidak sekelas dengannya. Namun sekarang, kami bertemu. Setelah lama tidak melihatnya meskipun kami masih satu sekolah, ternyata dia masih galak. Aku tidak tahu apakah dia bersikap begini kepada semua orang atau hanya denganku saja? Apa salahku? Apakah dia tidak ingat dengan insiden saat MOS?
Dan sekarang, saat aku membantunya untuk kedua kali, dia malah menarik rambutku dan menuduhku ingin berbuat mesum. Yaampun, gadis ini. Meski menyebalkan tapi mengapa justru aku suka? Aku suka saat dia galak padaku.
“Maaf,” ucapnya dengan wajah yang tertunduk. Jika dia bersikap seperti ini, dia terlihat lebih perempuan.
“Iya aku maafin,” mana mungkin aku tidak memaafkannya.
“Sekarang kalian bisa kembali ke kelas,” Bu Maryam mempersilahkan kami kembali ke kelas. Aku melihat wajah Arrum memerah. Mungkin dia malu. Langkahnya buru-buru. Ketahuan sekali jika dia tidak ingin berpapasan denganku. Aku tersenyum. Lucu sekali gadis itu.
Dengan masih memikirkan Arrum, aku berjalan menuju kelasku di IPA-5. Saat melewati ruang kelas IPA-2, aku tidak sengaja melihat Arrum di sana sedang mengobrol ria dengan Tania. Oh jadi Arrum ada di kelas IPA-2. Lagi-lagi aku tersenyum
Di tempat duduknya, aku melihat Arrum dari pintu. Gadis itu, kenapa aku tertarik ingin mengetahui tentangnya?
“Woi, Bro! Ngapain berdiri di depan kelas orang?”
Konsentrasiku pecah karena seseorang menepuk pundakku.
“Lagi liatin apa kamu, Lang?”
“Miko!” kataku.
“Lagi liat apa sih?” Miko penasaran dengan objek yang aku perhatikan. Matanya sibuk mencari sesuatu yang mungkin bisa mencuri perhatian sehingga aku berhennti di depan kelas IPA-2. “Aha! Arrum, ya?” Tidak butuh watu lama bagi Miko untuk menemukan objek itu. Miko menatap penuh selidik ke arahku. Aku hanya tersenyum samar dan berjalan kembali ke arah kelas. Miko mensejajari langkahnya di sampingku.
“Berat, Lang,” kata Miko.
Aku tidak mengerti maksud Miko. “Maksud kamu?”
“Arrum itu suka sama Ka Reihan. Ya aku dengar dari anak-anak cewek di kelas kita sih. Ka Reihan itu salah satu senior rebutan siswi di sini. Dia lumayan populer. Jadi gak heran kalau gossip Arrum suka sama Ka Reihan itu udah kesebar. Bukan Cuma Arrum yang suka. Mungkin masih banyak. Berat Lang saingan kamu.”
Aku tertawa lirih.
“Sekarang cowok doyan dengerin gossip cewek juga?”
“Yaelah, nih anak. Udah dikasih info malah ngeledek. Oiya satu lagi yang buat kesempatan kamu dapetin Arrum itu semakin kecil. Arrum satu ekskul sama Ka Reihan. Mereka di ekskul drama. Kalo mereka satu ekskul, otomatis mereka sering ketemu. Kalo mereka sering ketemu, otomatis kemungkinan mereka dekat itu besar. Kalo mereka dekat, dekat, dan semakin dekat…” Miko bercerita panjang lebar. Pria ini suka sekali berbicara rupanya. “Kalo mereka semakin dekat, bisa jadi suatu hari mereka jadian. Dan kamu…bye!”
Aku berjalan mendahului Miko ke kelas. Malas mendengarkan ocehannya.
Jadi, Arrum ikut ekskul drama?