Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kesya
MENU
About Us  

Bu Gina sudah memasuki kelas sejak 10 menit yang lalu. Tapi sejak Kesya bilang ingin pergi ke toilet, ia tak juga menunjukkan batang hidungnya. Entah karena apa, tiba-tiba saja perasaanku menjadi gelisah. Semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk padanya.

         Pandanganku terus menuju pintu kelas, berharap sosok Kesya akan muncul darisana. Tapi harapanku salah, tidak ada seorang pun yang datang. Ku hembuskan napasku berkali-kali. Apa aku harus menyusulnya? Aku benar-benar khawatir sekarang.

         Tok… Tok… Tok…

         Suara ketukan pintu menyadarkan lamunanku. Kami semua yang ada di kelas segera menoleh ke sumber suara. Bahkan Bu Gina pun menghentikan kegiatan menulisnya untuk melihat siapa yang sudah lancang mengganggu penjelasannya.

         “Permisi bu, maaf terlambat. Saya dan Vina baru selesai menghadiri rapat osis.”

         Huft, ku pikir tadi itu Kesya. Ternyata itu Petra dan Vina.

         Ya, mereka berdua adalah anggota osis aktif di SMA Harnas ini. Maka tidak heran jika waktu mereka sering terpotong oleh kegiatan-kegiatan osis yang sangat menyibukkan itu. Jujur, aku tidak suka jika waktu pelajaranku terlewatkan begitu saja dalam jangka waktu yang cukup lama. Karena itu pula, aku sangat menghidari yang namanya osis walaupun ibuku selalu memaksaku untuk bergabung ke dalamnya. Tapi bukan berarti aku tidak senang berorganisasi, aku lebih memilih mengikuti beberapa ekstrakulikuler yang memang menjadi bidangku. Karena aku termasuk ke dalam kriteria orang yang mudah bergaul, jadi mudah saja bagiku untuk menemukan banyak teman tanpa harus mengikuti organisasi seperti osis.

         “Silahkan masuk.” Ucap Bu Gina.

         Petra dan Vina menganggukkan kepala mereka berbarengan sebelum memasuki ruang kelas. Mereka langsung menduduki tempat mereka masing-masing. Bu Gina kembali dengan tulisannya dan semua memusatkan perhatiannya kearah papan tulis. Tapi tidak denganku, pikiranku masih dipenuhi oleh keberadaan Kesya saat ini.

         ‘Dimana sih dia?’

         “Sstt, Devan!” panggil seseorang.

         Aku segera menoleh dan mendapati Petra tengah melambaikan tangannya kearahku.

         “Apa?” ucapku tanpa mengeluarkan suara.

         “Nih, baca.” Petra menyerahkan selembar kertas yang terlipat kepadaku. Ku kerutkan keningku kearahnya. “Apaan nih?”

         “Udah baca aja, gue mau fokus nih. Bentar lagi kan ulangan!” Petra langsung memalingkan wajahnya dariku dan mengabaikan pertanyaanku sebelumnya. Ku angkat kedua bahuku tak peduli karena dicueki olehnya.     

         “Apaan tu?” tanya Edo.

         “Tau tu si Petra, pakek surat-suratan segala.” Jawabku kemudian membolak-balikkan kertas yang diberikan Petra.

         “Udah buruan buka, gue ikutan kepo nih.” Desak Edo.

         Ku kerutkan keningku tak suka. “Apaan sih, gue yang dapet surat kok elo yang sewot!”

         “Makanya buruan buka!”

         “Iye, sabar kali!”

         “Lo berdua bisa diem nggak? Gue lagi fokus nih!” ucap seseorang yang duduk di belakang kami berdua. Siapa lagi kalau bukan Denon.

         “Yaelah bro, sensi banget sih. Lagi datang bulan ya?” goda Edo. Kulirik wajah Denon diam-diam, biasanya jika Edo menggodanya ia akan ikut balik menggoda Edo. Tapi kali ini tidak ada ekspresi apapun di wajahnya.

         “Gue lagi serius, jadi tolong hargai orang yang lagi belajar.” Jawabnya dengan nada sinis kemudian kembali berkutat dengan buku catatannya.

         Edo melirikku begitu pula sebaliknya. Kami sama-sama mengangkat bahu kami. Ku rasa Denon benar-benar membeci kami, atau mungkin lebih tepatnya hanya kepadaku. Tapi kenapa? Bukannya bagus jika Vina tau perasaannya yang sebenarnya? Dengan begitu Vina akan menyadari jika aku sama sekali tidak ada rasa dengannya tapi justru sahabatku lah yang sejak dulu selalu ada untuknya.

         “Udah nggak usah dipikirin, mending lo buka aja surat dari Petra.”

         Kulirik tajam Edo. “Dasar tukang kepo!”

         Akhirnya tanpa mau berdebat lagi, ku buka kertas yang di berikan oleh Petra.

        

 

 

Devan, tadi gue ketemu Kesya di toilet.

Dia minta supaya gue nyampein ke lo kalau dia mau ngobatin tangannya yang luka.

Gue sempet liat ada darah cukup banyak di saputangannya.

Pas gue mau nanya lukanya kena apaan, eh dianya malah lari duluan.

Jadi gue iyain aja dari jauh terus gue tinggal ke kelas.

Oke, gue cuman mau nyampein itu aja. BYE, Van!

 

        

         “Berdarah?” gumam Edo disebelahku.

         Ku kerutkan keningku tak mengerti, “Gue harus ke UKS sekarang.” Ucapku.

         Aku segera bangkit namun Edo menahan pergelangan tanganku. Aku menatapnya dengan kesal. “Apa?!” tanyaku.

         “Bentar lagi Bu Gina mau ngadain ulangan, masak lo mau tinggalin pelajarannya sekarang?”

         “Tau darimana lo?”

         Edo menyentil dahiku. “Pikiran lo daritadi kemana aja? Jelas-jelas minggu lalu Bu Gina udah janjiin kita buat ulangan dan ini cuman materi tambahannya aja.”

         Aku mendenguskan nafasku. “Kesya juga perlu ulangan, Do. Jadi gue harus nyusul dia.”

         “Ck, lo sendiri tau kan Kesya itu pinter? Lagian Bu Gina nggak bakalan ngisinin muridnya keluar di jam pelajarannya dia. Bisa-bisa nilai kedisiplinan lo dapet C.”

         “Denger ya, gue nggak peduli! Gue harus cari dia sekarang juga!”

         “Permisi, Bu. Ada yang mau izin di jam pelajarannya ibu.” Tiba-tiba suara Denon memenuhi seluruh kelas. Semua temanku termasuk Bu Gina langsung menoleh kearahnya. Suasana kelas pun langsung hening seketika.

         Aku yang awalnya sedang beradu argumen dengan Edo langsung menghadap kedepan secara perlahan. Jantungku langsung berdebar kencang karena keheningan ini.

         “Ada apa Denon? bisa ucapkan sekali lagi?” tanya Bu Gina.

         Aku langsung menoleh kearah Denon dan dia pun sedang menatapku. Ia tersenyum sinis kearahku. “Temen di depan saya ini mau izin keluar kelas bu, kayaknya Devan mau jadi pahlawan kesiangan di luar sana.” Ucapnya.

         Kelas yang awalnya hening langsung berubah menjadi riuh. Seluruh kelas tertawa mendengar ejekan Denon terhadapku. Apa-apaan dia? Aku yakin dia pasti mendengar percakapanku dengan Edo.

         “Maksud lo apaan?!” Desisku kearah Denon. Tapi dia sama sekali tidak menanggapi ucapanku dan langsung kembali menulisi bukunya.

         “Apa maksudnya Devan? Kamu mau izin kemana?” tanya Bu Gina. Aku segera menoleh kembali ke depan menatap Bu Gina. Ku lihat ada tatapan tidak suka disana. Karena sepengetahuanku, Bu Gina paling tidak suka jika saat sedang menerangkan ada murid yang mengganggu konsentrasinya.

         Kelas kembali hening. Seluruh teman kelasku memandangiku. Oh Tuhan, bagaimana ini? Tiba-tiba saja bibirku menjadi kaku untuk berbicara. Dan aku tidak mungkin mengatakan ingin ke UKS hanya untuk melihat Kesya. Bisa-bisa seluruh temanku akan menertawakanku dan menjadikannya sebagai bahan gosip. Dan aku yakin, itu akan sangat mengganggu Kesya kedepannya.

         Ku edarkan pandanganku untuk mencari alasan, tapi tidak ada satupun ide yang tepat untuk bisa keluar dari kelas ini. Pandanganku langsung terhenti saat Vina menatapku dengan tatapan yang tidak bisa ku artikan. Ku lihat ia seperti orang kebingungan. Saat ku perhatikan lagi, wajahnya terlihat sangat lesu. Tiba-tiba saja rasa bersalah kembali bersarang di dalam hatiku.

         ‘Maafin gue, Vin.’

         “Devan? Tolong jawab pertanyaan saya!” Suara Bu Gina kembali menyadarkanku. Vina pun langsung memalingkan wajahnya dan aku menatap Bu Gina dengan sikap sewajar mungkin.

         “Maaf, Bu. Tidak jadi.” Jawabku singkat.

         Bu Gina mengkerutkan keningnya. “Saya harap kamu tidak main-main di kelas saya Devan. Disini saya sedang serius dan kamu sudah mengganggu penjelasan saya.” Bu Gina memalingkan wajahnya dariku. “Karena mood mengajar saya tiba-tiba hilang, ulangan langsung saja saya adakan. Silahkan keluarkan kertas kalian!”

         “Yahhh Buuuuuu.” Seluruh kelas langsung riuh mendengar ucapan Bu Gina. Ku rasakan beberapa temanku yang kurang prestasinya di kelas mulai melirikku dengan tatapan membunuh mereka.

         Aku berusaha untuk tidak mempedulikan semua tatapan itu dan mulai membaca setiap materi yang sudah di tuliskan Bu Gina di papan tulis. Setidaknya, dengan begitu hasil ulanganku tidak akan begitu buruk nantinya.

 

                                                                                                                      ***********************

 

          Ku hembuskan nafasku saat Bu Gina keluar dari ruang kelas. Beruntung soal yang keluar sudah pernah dibahas sebelumnya dan beberapa materi yang baru saja di jelaskan berhasil kuingat dengan sekuat tenaga. Aku yakin hasilnya tidak akan mengecewakan. Amin.

          “Hari ini nggak ada guru ya, guysss. Bu Siska lagi keluar kota buat seminar.” Teriak Petra di depan kelas.

          Seluruh kelas langsung bersorak riang saat mendengar berita tersebut. Aku pun sontak mengelus dada saat mendengar kabar itu. Akhirnya hari ini aku tidak perlu mendengar gombalan-gombalan maut dari Bu Siska. Karena aku sudah benar-benar tak tahan lagi dengan setiap ucapannya. Terimakasih Tuhan.

          “Gue mau nyusul Kesya.” Ucapku kepada Edo.

          Edo yang tengah memainkan handphone langsung terkejut mendengar suaraku. “Hah?” tanyanya dengan muka bego.

          Aku memutar bola mataku melihat tingkah bodoh temanku ini. “Makanya jangan fokus main game online mulu lo! Baru gue ajak gomong dikit aja langsung gagal fokus.”

          “Eh, i…iya nih. Lo pakek ganggu gue segala!” Edo mulai tertawa dengan muka bodohnya. Ia segera mematikan handphonenya dan memasukannya kedalam saku celana.

          “Lo denger nggak tadi gue ngomong apaan?” tanyaku kemudian.

          “Nope!” jawabnya dengan tegas.

          “Dasar lo! Gue bilang gue mau nyusul Kesya ke UKS.”

          “Ohhhh… Yaudah, kalau gitu lo kesana aja. Gue mau bicara sebentar sama Denon.”

          Hatiku langsung terasa sakit saat mendengar nama itu. Aku segera meliriknya, tapi aku tidak menemukannya di belakangku.

          “Eh, Denon kemana?” tanyaku.

          Edo menghidikkan bahunya. “Nggak tau, tadi dia langsung keluar bareng Vina.”

          Mendengar pernyataan Edo, dengan cepat ku edarkan pandanganku kesekeliling kelas. Benar saja, Vina pun tidak ada di dalam kelas.

          “Bagus deh, semoga aja mereka udah akrab lagi. Dan gue juga berharap Denon mau baikan lagi sama gue”

          Edo memegang bahuku. “Lo nggak perlu merasa bersalah kayak gitu. Gue yakin suatu saat nanti semuanya akan berubah.” Ucapnya.

          Aku tersenyum kearah Edo. “Thank, Do. Semoga kita bisa kayak dulu lagi.”

          Edo tidak menjawabku. Ia langsung mendorongku dari tempat duduk “Udah buruan sana, kasian Kesya nungguin lo kelamaan.”

          Aku membenarkan bajuku. Suasana yang awalnya dramatis langsung berubah total karena sikap rese dari Edo. “Apaan sih, sante dong! Sekarang gue mau jalan kesana kok!” ucapku kesal.

          Aku berjalan meninggalkan kelas yang riuh akibat efek dari kelas kosong. Dapat ku dengar Edo mengucapkan ‘Goodluck’ kepadaku. Tapi aku tidak mempedulikannya lagi dan langsung berjalan menuju UKS.

          Pikiranku kembali terpenuhi oleh Kesya. Kemana sih gadis itu, kenapa sampai satu jam pelajaran berakhir dia belum juga kembali ke kelas. Padahal setahuku Kesya bukan orang yang mau meninggalkan pelajaran seperti ini. Apa lukanya sangat parah? Tapi kenapa? Atau dia mau membuatku khawatir? Jika memang benar begitu, dia sudah berhasil seratus persen.

          Untuk menuju ruang UKS, aku harus menyebrangi jembatan yang menghubungkan gedung ruang kelas dan gedung serba guna. Di gedung serba guna ini  memang mengkhususkan ruangan-ruangan selain ruang belajar seperti ruang osis, ruang ekstrakulikuler, UKS, perpustakaan, gudang, dan masih banyak lagi ruangan disini. Maka tidak heran jika gedung ini hanya ramai jika hari-hari jeda ataupun sore hari disaat semua pelajaran sudah terhenti sepenuhnya.

          Saat berjalan di gedung ini, suasananya langsung berbeda jika berjalan di gedung sebelah. Koridor di gedung ini sangat sepi. Bahkan yang terdengar hanyalah suara langkah kakiku sendiri. Aku berusaha mengenyahkan pikiran negatif yang mulai bermunculan di otakku. Ku edarkan pandanganku berharap ada satu-dua murid yang lewat untuk ke perpustakaan ataupun ke gudang olahraga, dengan begitu aku tidak merasa sendirian seperti ini.

             Deg…

          Oh, tidak. Lagi-lagi aku merasakan hawa dingin disekitarku. Entah kenapa akhir-akhir ini aku sering sekali merasakan ada seseorang yang sedang memperhatikanku entah darimana asalnya. Tengkukku juga sering terasa dingin akhir-akhir ini.

          Aku langsung mengedarkan pandangku kesekitar. Dan sama seperti sebelumnya, TIDAK ADA SIAPA-SIAPA DISINI!!!

          Nafasku mulai naik turun. Sekali lagi kuedarkan pandanganku. Tatapanku langsung terhenti di satu titik dimana ada sekilas bayangan hitam di dalam ruang osis. Kusipitkan mataku untuk memperjelas penglihatanku. Ya! Aku tidak salah lihat. Disana ada orang.

          Oke, mungkin aku tidak pernah melihat hal-hal tak kasat mata sebelumnya. Tapi seperti yang pernah kukatakan, aku percaya dengan keberadaan mereka.

          Dengan pelan, kulangkahkan kakiku mendekati ruangan osis. Jantungku benar-benar berasa mau copot, tapi rasa penasaranku mengalahkan itu semua. Pandanganku tidak lepas dari bayangan itu dan dapat kurasakan bayangan itu pun juga balik menatapku. Ku harap hari ini adalah titik terang dari semuanya.

          Saat jarakku sudah hampir dekat dengan pintu ruang osis, suara teriakan langsung memenuhi telingaku.

          “Kyaaaaa!!!!”

          Aku segera menoleh kebelakang.

          “Kesya?” aku segera melangkahkan kakiku menjauhi ruang osis namun pikiranku kembali mengingat bayangan itu, dengan cepat aku kembali menoleh ketempat bayangan hitam tadi.

          Kosong.

          Bayangan itu menghilang. Aku menoleh kekiri dan kekanan, tapi hasilnya nihil. Tidak ada siapapun disini. Dengan penuh keberanian, aku langsung menerobos masuk kedalam ruang osis walaupun kakiku sedang bergetar hebat sekarang. Dan sama seperti yang kulihat dari luar, tidak ada siapa-siapa disana.

          “Halo? Gue liat tadi ada orang disini. Tapi-“

          “Tolong!!!!”

          Belum sempat aku melanjutkan kata-kataku, aku kembali mendengar teriakan itu. Tanpa memikirkan apapun lagi, aku langsung menutup pintu ruang osis dan berlari menuju sumber suara. Feelingku mengatakan aku harus mendatangi suara itu walaupun aku belum tahu pasti siapa pemilik suara itu. Aku segera belari menaiki lantai teratas karena aku sangat yakin jika suara tadi berasal darisana. 

          “Kesya?” teriakku saat berhasil sampai di lantai teratas. Nafasku mulai tak beraturan. Aku berjalan menyusuri lorong yang suram ini.

          “Kesya? tadi suara lo bukan?” teriakku sekali lagi. Pandanganku langsung terhenti ke sebuah benda yang tersangkut di salah satu sela-sela bawah pintu yang ada. Ku dekati benda tersebut dan langsung mengambilnya. Sebuah saputangan dan sebagian dari saputangan ini tertutupi bercak darah yang cukup banyak. Aku mengkerutkan keningku, tunggu dulu. Aku tahu siapa yang punya saputangan ini, ini punya Kesya yang ia tunjukan padaku tadi pagi. Berarti suara tadi benar suara Kesya, tapi dimana dia sekarang?

           Ku pandangi pintu tempat aku menemukan saputangan Kesya. Ku coba memutar gagang pintunya namun terkunci. Akhirnya dengan mengumpulkan tenaga sebanyak mungkin, ku coba mendobrak pintu tersebut dan TERBUKA. Aku langsung terbatuk-batuk karena debu langsung berterbangan menghampiriku, setelah kembali normal ku edarkan pandanganku ke dalam ruangan tak berpenghuni ini. Didalamnya ruangan ini sangatlah berantakan, ada banyak buku serta bangku-bangku yang sudah tidak terpakai. Lemari yang memenuhi ruangan ini pun hampir roboh di beberapa sisinya. Tunggu dulu, ini adalah gudang di lantai tiga itu. Dengan susah payah aku mencoba menelan ludahku sendiri, tiba-tiba pikiranku langsung teringat akan sebuah cerita yang cukup melegenda di gedung ini. Dan tentu saja, cerita itu berasal dari ruangan yang sedang ku masuki ini. Gudang di lantai tiga ini.

          Konon katanya didalam gudang ini ada seorang siswi yang tanpa sengaja melahirkan bayinya disini akibat pergaulan bebas. Karena takut ketahuan pihak sekolah, akhirnya siswi tersebut membunuh darah dagingnya sendiri kemudian menyembunyikannya disalah satu lemari tempat penyimpanan berkas-berkas yang sudah tidak terpakai. Tetapi tiga hari kemudian, berita kehamilan gadis terkuak dan teman-temannya berusaha mencari info dimana kira-kira gadis itu melahirkan dan menyembunyikan bayinya. Dan ternyata, sahabat baiknya yang ia percayakan semua kisahnya itu justru membocorkan semua cerita gadis tersebut kesemua anak sekolahan. Akhirnya, guru-guru pun mengetahui informasi itu dan mulai menggeledah gudang di lantai tiga ini dan hasilnya si bayi sudah dalam keadaan meninggal secara tak wajar. Jadilah lantai tiga ini di tutup pihak sekolah dan berita gadis ini sengaja tidak di laporkan ke polisi agar nantinya tidak mencemari nama baik sekolah. Gadis itu pun di keluarkan dari sekolah dan mulai mendapat hinaan dimana-mana, bahkan orang tuanya pun juga mengusirnya dari rumah. Karena merasa terasingi, ia pun hendak meminta pertanggung jawaban dari pacarnya yang juga merupakan siswa di sekolah ini. Tapi pacarnya menolak dan justru telah memiliki kekasih baru yang mana adalah sahabatnya sendiri yang telah membocorkan rahasianya. Mengetahui semua itu, gadis itu langsung depresi dan mulai menjadi gila. Karena sudah tidak ada harapan hidup lagi, gadis itu memlih untuk mengakhiri hidupnya di tempat yang sama dimana ia membunuh bayinya dengan cara gantung diri, yaitu di gudang lantai tiga ini. Makanya sampai sekarang tidak ada satupun siswa maupun staff yang berani mengambil atau menaruh barang di lantai ini lagi. Mereka memilih untuk menaruh barang tersebut di gudang olah raga atau membuangnya langsung ke tempat sampah jika memang sudah tidak terpakai lagi.

          Entah cerita itu benar atau tidak, tapi yang pasti itu semua cukup membuat bulu kudukku merinding untuk yang kedua kalinya saat ini.

          “Halo, disini ada orang?” teriakku.

          Dok, Dok, Dok…

          Suara gedoran di salah satu lemari membuat jantungku hampir copot dari tempatnya. Aku berusaha mengatur nafasku sekuat tenaga. Pikiranku mulai tergiang dengan dugaan yang negatif. Oke, kali ini semua buluku berasa rontok satu persatu.

          “Itu lo, Sya?” panggilku.

          Hening.

          Tidak ada suara sedikitpun dari dalam sana dan sepertinya kali ini aku dapat mendengar suara jantungku sendiri.

          “Devan?” terdengar suara parau dari dalam sana. Mendengar itu, aku langsung mengelus dadaku dan berusaha mengatur nafasku agar kembali normal.

          “Iya, ini gue Devan. Lo bener Kesya kan?”

          “Gue Kesya, Van! Please keluarin gue dari sini.” Aku mendengar isak tangis dari dalam sana.

          Aku langsung berlari kearah lemari itu. Ku coba untuk membuka pintu lemari tersebut namun gagal. Ternyata terdapat gembok kecil yang mengunci pintu tersebut.

          “Bentar, Sya. Gue cari sesuatu dulu buat buka gembok ini.” Teriakku. Tidak ada sahutan dari dalam sana, yang kudengar hanyalah suara isak tangis.

          Ku edarkan pandanganku di ruangan ini. Mataku susah melihat karena disini cukup gelap tanpa ada pencahayaan kecuali dari arah pintu yang sedikit terbuka itu. Mataku langsung menangkap benda yang sedang tergeletak di ujung ruangan. "Gue nemu palu, Sya." Aku segera berlari kearah palu tersebut dan mengambilnya. Kuharap palu ini dapat membuka gembok yang tidak terlalu besar itu.

          Prangkk...  Beruntungnya aku karena dengan sekali hentakan saja, gembok tersebut langsung terbelah mejadi dua dan jatuh kelantai.

          Aku langsung membuka pintu lemari dan Kesya keluar dari dalam sana. Ia langsung memelukku hingga kami berdua jatuh ke lantai. Kurasakan tubuhnya bergetar dan terasa dingin. Keringatnya langsung membasahi bajuku saat ia memelukku. Aku mengusap pelan punggung agar ia bisa kembali tenang.

          “Gue disini, Sya.” Hiburku.

          “Thanks, Van.” Ucapnya.

          “Lo gapapa kan?” tanyaku saat tangisnya mulai mereda.

          Ia melepaskan pelukannya dariku. Ku perhatikan wajahnya yang penuh dengan noda hitam dan rambutnya pun sangat berantakan. “Sya, lo gapapa kan?” tanyaku sekali lagi. Melihat kondisinya yang seperti ini, aku tidak yakin ia baik-baik saja.

          “Gue bener-bener berterimakasih sama lo, Van. Gue nggak bisa bayangin gimana jadinya kalau lo nggak dateng kesini.” Ucapnya dengan suara parau.

          Ku tunjukkan saputangan yang kutemukan tadi kearahnya. “Ini punya lo, kan?” tanyaku.

          Kesya mengangguk. “Gue sengaja ninggalin saputangan gue disana, berharap ada yang ngeliat dan tau kalau ada gue di dalem sini. Syukur banget akhirnya lo berhasil nyelametin gue.” Kesya kembali terisak. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.

          Ku kerutkan keningku saat melihat perban menutupi tangan kirinya. Ku tarik tangan itu mendekat “Bisa lo jelasin tentang luka ini?” tanyaku.

          Kesya tampak terkejut saat ku ambil tangannya begitu saja. Ia berusaha menariknya kembali namun tetap ku tahan. Akhirnya ia pun menyerah dan menghembuskan nafasnya perlahan. “Gue nggak tau, Van. Waktu gue mau ngebasuh muka, tiba-tiba aja ada tangan yang nutupin mata gue terus nyeret gue sampe kebentur tembok. Waktu gue berusaha buat ngelepasin tangan itu, ada tangan lain yang narik tangan kiri gue ke depan dan tangan kanan gue dijepit kebelakang. Saat itu juga gue ngerasain sakit yang luar biasa karena goresan dari benda tajem di tangan kiri gue. Gue berusaha teriak tapi mulut gue juga di sumpat pakek kain. Gue takut, Van. Gue bener-bener takut waktu itu.” Ceritanya.

          Nafasku mulai keluar tak beraturan saat mendengarnya. Tanganku langsung terkepal. Siapa si brengsek yang berani ngelakuin ini semua.

          “Terus gimana akhirnya lo bisa keluar?” tanyaku menahan emosi.

          “Ada yang dateng, Van. Waktu tau ada yang mau masuk toilet, orang ini langsung narik gue buat masuk ke dalem toilet. Tapi sebelum itu, mata gue diiket pakek kain yang sebelumnya di gunain buat nyumpal mulut gue dan sebagai gantinya mulut gue dibekap pakek tangannya. Di dalem toilet gue langsung di suruh duduk dan mereka dengan cepet mereka nutup pintunya. Gue udah nggak bisa konsentrasi lagi dan nggak peduliin lagi omongan orang-orang yang ada diluar sana. Gue berusaha buat buka iketan kain yang ada di mata gue dan langsung merhatiin tangan gue yang udah berlumuran darah. Setelah gue bersihin darahnya pakek saputangan, gue langsung keluar buat pergi ke UKS. Dan saat itu juga gue ngeliat Petra, akhirnya gue titip pesen sama dia buat disampein ke elo.”

          Ku kerutkan keningku setelah ia mengakhiri ceritanya. “Habis itu, kenapa lo malah bisa sampe kesini?” tanyaku lagi. Aku benar-benar tidak bisa menerima perlakuan orang yang sudah melukai Kesya sampai seperti ini.

          “Mungkin ini emang kesalahan gue. Waktu tau di UKS nggak ada siapapun, gue nekat ngobatin luka gue sendirian. Dan ternyata, orang ini ngebuntutin gue dan malah nyeret gue kesini. Ada dua orang yang ngelakuin ini, Van. Mereka kerjasama buat ngurung gue disini. Dan Tuhan bener-bener baik karena gue sempet ngeliat salah satu diantara mereka adalah cewek. Tapi untuk yang nutupin mata gue, gue belum bisa pastiin dia cewek atau cowok."

          Aku langsung tersentak mendengar pernyataan Kesya. “Cewek?” ucapku tak percaya.

          “Iya, Van. Gue yakin banget sama apa yang gue liat. Walaupun mereka nggak ada komunikasi, tapi gue yakin banget dari postur tubuhnya yang ramping.”

          "Apa ada ciri lain yang lo perhatiin dari si cewek ini?"

          Kesya menggelengkan kepalanya. "Sayangnya nggak, Van. Pandangan gue terlalu kabur karena di tutup paksa. Jadi cuman itu petunjuk satu-satunya."

          Aku langsung menggenggam tangannya. “Lo harus laporin ini ke polisi, Sya. Ini udah keterlaluan bahkan dari teror yang sebelumnya. Lagian lo udah sempet liat pelakunya kan?”

          Kesya menggelengkan kepalanya. “Please, jangan. Kita nggak bisa laporin ini tanpa ada bukti yang kuat, Van. Lagian gue nggak tau siapa orangnya, itu baru perkiraan gue aja. Kita nggak bisa asal nuduh.”

          “Lo sampe luka kayak gini aja namanya udah kriminalitas, Sya. Lo mau ada kejadian yang lebih buruk lagi terjadi sama lo? Lo mau terluka lebih parah dari ini?” tanyaku.

          Kesya memandangku. Ia tidak menjawabku sama sekali. Ku perhatikan matanya yang bengkak itu. “Sya?”

          Kesya menggeleng. “Enggak, Van. Gue nggak bisa laporin ini.”

          Aku menghirup nafas sedalam-dalamnya. Aku berusaha menahan amarah yang mulai memuncak ini. Di satu sisi aku sangat kesal dengan jawaban yang diberikan Kesya, tapi di satu sisi lagi aku tidak bisa memaksa kehendaknya. Bagaimana pun juga semua keputusan ada di tangannya.

          “Oke, kali ini gue akan nurut sama lo. Tapi kalau sampai ada kejadian lagi, lo nggak boleh ngalangin gue buat minta bantuan polisi. Deal?” Ku arahnya jari kelingkingku kepada Kesya. Ku lihat Kesya tampak ragu untuk membalasnya.

          “Janji sama gue, Sya.” Desakku.

          Kesya menghirup nafas dalam-dalam. Akhirnya ia menganggukkan kepalanya dan mengaitkan jari kelingkingnya kepadaku.

          “Oke, Van.”

          Aku menarik tubuh Kesya ke dalam pelukanku dan Kesya pun membalasnya. Kami yang masih terduduk dilantai hanya diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Pikiran kami masih berjalan dengan sendirinya, tanpa ada yang mau diutarakan lewat perantara bibir kami.

          Ku eratkan pelukanku kepada Kesya. Ku harap dengan begini ia bisa sedikit lebih tenang. Kejadian hari ini pasti cukup banyak menguras emosinya. Hatinya yang masih terlalu manis itu tidak bisa mengutarakan hal apa yang sesungguhnya ia rasakan. Perasaan yang mungkin saja masih sangat mengganjal dihati kecilnya itu.

          Pikiranku kembali teringat akan sesuatu hal. Dengan cepat ku lepaskan pelukanku dari Kesya.

          “Kita harus keluar darisini sekarang!” ucapku kemudian menariknya untuk bangkit dari duduk kami.

          Kesya mengkerutkan keningnya. “Kenapa, Van?” tanyanya.

          “Lo tau cerita tentang tempat ini kan?” tanyaku dengan suara sekecil mungkin.

          Setelah mendengar pertanyaanku, tubuh Kesya langsung membeku di tempat. Di pandangnya sekelilingnya kemudian pandangannya berhenti kepadaku. Kesya mengangguk perlahan. “Iya, Van. Gue tahu kok.”

          Prang…

          Kami berdua langsung terlonjak kaget saat mendengar suara kaca pecah di belakangku. Kesya langsung menggenggam tanganku dengan sangat erat. Perlahan, ku dekatkan mulutku ke telinganya. “Hitungan ketiga kita langsung lari darisini.” Bisikku.

          Kesya menjawabku dengan anggukannya.

          “Oke, satu…” Kami menyiapkan kaki kami untuk siap-siap berlari.

          “Dua…” Kami mulai membalikkan tubuh kami ke pintu keluar.

          “TIGA….!” Dengan kecepatan tinggi, kami langsung menerobos pintu seperti angin. Aku dan Kesya terus berlari hingga kami menuruni tangga menuju lantai dua. Saat berlari kami masih saling berpegangan tangan. Nafas kami seakan terkuras habis saat berhasil menuruni anak tangga dengan selamat. Kaki kami bergetar hebat dan pakaian kami benar-benar seperti pemulung sekarang. Ku perhatikan lagi genggaman tanagn kami. Dalam hati kecilku, kuharap aku akan selalu bisa melindunginya dan selalu memberikan kekuatan melalui tangan ini.

 

 

                                                                                                                                           ***********************

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
simbiosis Mutualisme seri 2
8554      1962     2     
Humor
Hari-hari Deni kembali ceria setelah mengetahui bahwa Dokter Meyda belum menikah, tetapi berita pernikahan yang sempat membuat Deni patah hati itu adalah pernikahan adik Dokter Meyda. Hingga Deni berkenalan dengan Kak Fifi, teman Dokter Meyda yang membuat kegiatan Bagi-bagi ilmu gratis di setiap libur panjang bersama ketiga temannya yang masih kuliah. Akhirnya Deni menawarkan diri membantu dalam ...
You Are The Reason
2250      921     8     
Fan Fiction
Bagiku, dia tak lebih dari seorang gadis dengan penampilan mencolok dan haus akan reputasi. Dia akan melakukan apapun demi membuat namanya melambung tinggi. Dan aku, aku adalah orang paling menderita yang ditugaskan untuk membuat dokumenter tentang dirinya. Dia selalu ingin terlihat cantik dan tampil sempurna dihadapan orang-orang. Dan aku harus membuat semua itu menjadi kenyataan. Belum lagi...
The Puzzle
1202      702     4     
Fantasy
Banyak orang tahu tentang puzzle, sebuah mainan bongkar-pasang untuk melatih logika. Namun berbeda dengan puzzle yang dimiliki Grace, awalnya Grace hanya menganggap puzzle yang dimilikinya sama seperti puzzle yang dimiliki orang lain. Dia sering memainkan puzzle itu sejak kecil tapi setelah dia dewasa, puzzle itu mulai memunculkan teka-teki baginya. Grace heran saat ayahnya benar-benar menjaga pu...
Sebuah Penantian
2573      896     4     
Romance
Chaca ferdiansyah cewe yang tegar tapi jauh didalam lubuk hatinya tersimpan begitu banyak luka. Dia tidak pernah pacaran tapi dia memendam sebuah rasa,perasaanya hanya ia pendam tanpa seorangpun yang tau. Pikirnya buat apa orang lain tau sebuah kisah kepedihan.Dulu dia pernah mencintai seseorang sangat dalam tapi seseorang yang dicintainya itu menjadi milik orang lain. Muh.Alfandi seorang dokt...
Carnation
458      332     2     
Mystery
Menceritakan tentang seorang remaja bernama Rian yang terlibat dengan teman masa kecilnya Lisa yang merupakan salah satu detektif kota. Sambil memendam rasa rasa benci pada Lisa, Rian berusaha memecahkan berbagai kasus sebagai seorang asisten detektif yang menuntun pada kebenaran yang tak terduga.
Dendam
855      557     2     
Mystery
Rian Putra Dinata, seorang pelajar SMU Tunas Muda, memiliki sahabat bernama Sandara. Mereka berdua duduk di bangku yang sama, kelas XI.A. Sandara seorang gadis ceria dan riang, namun berubah menjadi tertutup sejak perceraian kedua orang tuanya. Meskipun Sandara banyak berubah, Rian tetap setia menemani sahabatnya sejak kecil. Mereka berjanji akan terus menjaga persahabatan hingga maut memisahk...
Anything For You
3322      1335     4     
Humor
Pacar boleh cantik! Tapi kalau nyebelin, suka bikin susah, terus seenaknya! Mana betah coba? Tapi, semua ini Gue lakukan demi dia. Demi gadis yang sangat manis. Gue tahu bersamanya sulit dan mengesalkan, tapi akan lebih menderita lagi jika tidak bersamanya. "Edgar!!! Beliin susu." "Susu apa?' "Susu beruang!" "Tapi, kan kamu alergi susu sayang." &...
complicated revenge
21343      3289     1     
Fan Fiction
"jangan percayai siapapun! kebencianku tumbuh karena rasa kepercayaanku sendiri.."
Bukan kepribadian ganda
9482      1835     5     
Romance
Saat seseorang berada di titik terendah dalam hidupnya, mengasingkan bukan cara yang tepat untuk bertindak. Maka, duduklah disampingnya, tepuklah pelan bahunya, usaplah dengan lembut pugunggungnya saat dalam pelukan, meski hanya sekejap saja. Kau akan terkenang dalam hidupnya. (70 % TRUE STORY, 30 % FIKSI)
the Overture Story of Peterpan and Tinkerbell
13980      9125     3     
Romance
Kalian tahu cerita peterpan kan? Kisah tentang seorang anak lelaki tampan yang tidak ingin tumbuh dewasa, lalu seorang peri bernama Tinkerbell membawanya kesebuah pulau,milik para peri, dimana mereka tidak tumbuh dewasa dan hanya hidup dengan kebahagiaan, juga berpetualang melawan seorang bajak laut bernama Hook, seperti yang kalian tahu sang peri Tinkerbell mencintai Peterpan, ia membagi setiap...