Aku mengganti pakaianku dengan baju kaos dan celana olahraga. Hari ini aku, Edo dan Denon akan pergi ke lapangan untuk bermain basket. Kami biasa mengisi waktu sore kami dengan bermain basket, kecuali jika besok harinya ada tugas yang menumpuk atau pun ulangan. Aku segera mengenakan sepatu dan mengambil bola basketku yang ada di atas lemari. Dengan cepat aku berjalan keluar dan saat hendak membuka pintu, ternyata adikku telah lebih dulu membukanya dengan kasar.
“KAK DEVANNNN……” teriaknya. Aku segera menutup telingaku sebelum aku mengalami tuli akibat gendang telingaku pecah oleh teriakkannya.
“Apaan sih dik?” tanyaku.
“Mama sama Papa mau keluar, jadi kakak harus temenin aku seharian dirumah!” ucapnya sembari berkacang pinggang.
Dasar psikopat, bisa-bisanya dia berlagak seperti bos dihadapanku. “Kakak mau keluar dik, mana bisa kakak nggak jadi berangkat cuman gara-gara nemenin kamu dirumah. Lagian kan bibi udah dateng, jadi kamu nggak bakalan sendirian di rumah.” Jawabku sesabar mungkin.
“NGGAK MAU! Kalau memang kakak mau keluar, aku bakalan ikut bareng kakak!” ucapnya final. Ia segera pergi kekamarnya dan mengganti pakaiannya dengan kaos kedodoran bergambarkan ‘spongebob’ serta celana legging hitam. Aku hanya bisa menarik nafas panjang dan membiarkannya mengekor dibelakangku. Kami berdua segera berangkat menuju lapangan basket dengan sepeda motorku. Sesampainya disana aku langsung menghampiri Edo dan Denon yang sedang bersiul genit kearah cewek-cewek yang sedang berolahraga. Melihat kedatanganku, mereka langsung menghentikan kegiatan mereka dan mendekati kami.
“Lo bareng Tania?” bisik Denon. Mereka pun sudah mengetahui sifat adikku, jadi mereka tidak akan berani ngomong terlalu keras dihadapannya. Aku hanya menjawabnya dengan anggukan pasrah karena memang aku tidak bisa menolaknya untuk ikut bersamaku.
Tania menatap Denon dan Edo dengan malas. “Ternyata kakak main sama kakak-kakak ini toh.”
“Hallo adik manis, lama nggak ketemu. Gimana, kamu masih inget sama kakak yang ganteng ini kan?” tanya Denon dengan senyum manisnya.
“KAKAK NGGAK GANTENG!! Kak Edo lebih ganteng daripada kakak tau!” Tania berjalan kearah Edo dan memeluknya. Wajah Denon berubah jadi pucat “Sialan, gue kalah ganteng sama Edo!” sesalnya.
“Udah terima kenyataan aja kalau ternyata adik gue lebih milih Edo daripada elo.” ejekku. Kini rasa kesalku sedikit berkurang saat melihat wajah masam Denon. Setidaknya aku mendapat sedikit hiburan dari adikku ini.
“Tania awas ya, kakak nggak mau ngomong lagi sama kamu! Udah ah gue mau kelapangan, sini bola lo!” Denon merampas bola yang ada ditanganku dan meninggalkan kami bertiga menuju lapangan basket. Aku dan Edo saling berpandangan sebentar sebelum akhirnya mengikuti Denon. Tapi Tania langsung menarik tanganku dan menunjuk kearah penjual mainan yang tengah memainkan sebuah gelembung ditangannya. Tanpa perlu bicara lagi, aku sudah mengerti maksudnya.
“Kakak aku mau beli gelembung.” ujar Tania manja.
“Umur kamu berapa sih Tania? Udah besar kan? Nggak usah beli begituan, nanti kakak bilang mama biar kamu dijewer mau?”
“Kakak pelit banget sih! Hiks..” Tania mulai menangis setelah mendapat omelan dariku. “Tania nggak mau ngomong sama kakak!” Tania menangis semakin kencang. Aku mulai panik saat Tania mulai merengek seperti ini, ini salah satu alasan kenapa aku harus selalu sabar dan mengalah padanya. Sifat cengengnya ini benar-benar membuatku harus menjadi kakak yang memiliki hati seluas samudra.
“Edo, lo tenangin kek adik gue!”
“Gue harus apa coba, gue..” ucapan Edo terhenti setelah melihat uluran tangan kearah Tania.
“Ini..” ucap seseorang yang memberikan gelembung kearah Tania.
Aku dan Edo langsung menoleh. “Kesya?” ucapku dan Edo berbarengan.
“Hai.” sapa Kesya. Ia segera menoleh kearah Tania. “Oh ya, ini aku beliin buat kamu."
Tanpa rasa malu, Tania segera mengambil gelembung itu dan meniupnya.
“Makasi ya, kak.” ujar Tania. Ia menghapus air mata dipipinya dan menjabat tangan Kesya “Kenalin nama aku Tania, kak. Adiknya Kak Devan. Kalau nama kakak siapa? Kakak pacarnya kak Devan ya? Atau kak Edo? Atau kak Denon?" tanyanya panjang lebar.
Kenapa aku harus mempunyai adik yang tidak tau malu begini. Bisa-bisanya dia bersikap biasa saja saat diberi gelembung oleh orang tak dikenal tanpa rasa bersalah sedikit pun. Dan sekarang dia malah bertanya apakah Kesya pacarku atau pacar Edo. Awas saja nanti dirumah, bakalan aku bully dia habis-habisan.
“Kakak bukan pacarnya siapa-siapa kok, kakak cuman temennya mereka aja. Kebetulan tadi mau jogging, terus liat kalian.” jawabnya datar.
“Oh gitu, iya deh. Kalau gitu, kakak main bareng aku aja yuk? Biar Kak Devan sama Kak Edo main basket disana.” Tania menarik tangan Kesya kearah bangku yang ada didekat lapangan basket. Aku ingin menghentikan Tania karena takut Kesya akan merasa terganggu. Tapi sepertinya Kesya tidak keberatan dengan ajakan adikku, bahkan ia mengikutinya dengan sedikit senyuman tertahan diwajahnya.
Kenapa dia terlihat seperti menahan rasa bahagianya. Walaupun tidak telihat jelas, tapi aku dapat merasakan jika Kesya senang saat ada yang mengajaknya untuk bermain bersama. Apa dia menyembunyikan sesuatu? Cewek ini benar-benar menyimpan tanda tanya yang besar. Ini membuat rasa penasaranku terhadapnya semakin bertambah.
“Liat tuh, bahkan adik lo aja seneng liat Kesya. Apalagi kedua orang tua lo, mantep deh. Gue dukung lo berdua buat jadian!”
Aku tersentak dari lamunanku saat mendengar ucapan Edo. Apa-apaan sih dia, dikiranya dia dukun kali bisa ngeramal orang tuaku akan suka dengan Kesya. Tapi, entah kenapa ucapannya tadi malah membuat pipiku memanas.
“Apaan sih lo, mau gue jitak ya? Sampe lo bicara macem-macem lagi, gue sumpal tu mulut pakek kaos kaki.” Aku berjalan meninggalkan Edo sendirian. Sesekali aku menoleh untuk melihat Kesya yang sedang bermain bersama adikku. Kalian jangan salah kira ya, aku memperhatikan mereka hanya untuk memastikan adikku tidak berbuat yang aneh-aneh pada Kesya. Tidak ada maksud tertentu kok didalamnya, serius deh.
“Van, awas!” teriak Denon. Seketika aku menoleh kearah Denon dan tepat sasaran, bola basket langsung mengenai wajah ku yang tampan ini.
“Shit!” umpatku. Aku segera menatap Denon garang. “Lo bisa main?” tanyaku sembari menahan rasa sakit yang menjalar diseluruh wajahku.
“Makanya, kalau gue panggil itu jawab kek. Gue tau lo lagi liatin Kesya sampe mata lo rasanya mau copot, tapi jangan tiba-tiba malah mendadak tuli juga dong!” ucap Denon balik memarahiku.
“Udah, biarin aja temen lo yang satu ini. Dia kan lagi kasmaran, jadi jangan diganggu. Biarkan dia berkembang, setidaknya dia bisa move on dari...” Edo segera menghentikan kata-katanya setelah mendapat tatapan tajam dari Denon. Suasana langsung berubah menjadi hening. Kenapa mereka mendadak bisu saat Edo mengucapkan kalimat ‘move on’?
“Eh, kok malah ngobrol sih. Mending kita lanjutin main sebelum sore, yuk buruan. Lo berdua lama ah!” Denon segera mengajak kami berdua menuju lapangan.
Move On. Maksud mereka apa sih. Siapa yang lagi move on dari seseorang? Aku? Tapi dengan… Oke, sekarang aku mengerti maksud pembicaraan mereka. Gadis itu?, ya pasti maksud mereka gadis itu. Gadis yang merupakan cinta pertamaku dan juga orang yang membuatku tidak bisa mendekati cewek manapun. Rasanya ingatan masa lalu kembali terngiang di otakku.
Tidak! Aku tidak boleh memikirkannya lagi. Aku sudah berjanji akan melupakan dia bersama kenangannya.
Ya, aku harus berusaha melupakan masa laluku itu!
*******************