Kicau burung memeriahkan suasana pagi hari ini. Dapat kurasakan cahaya matahari mulai menyilaukan pandanganku. Secara perlahan kubuka mataku dan mengusapnya untuk menyesuaikan cahaya yang masuk begitu terang.
“HOAEMMMM...” aku menguap lebar sembari merenggangkan otot badanku yang terasa kaku. Mungkin ini efek dari hujan-hujanan kemarin, rasanya seluruh tubuhku mati rasa seperti habis ketindihan.
Kalian tahu ketindihan kan? Kalau yang aku tahu sih katanya saat tidur tubuh kita seperti ada yang nindih-aku tidak berani menyebutnya-. Intinya, kalian seperti sudah sadar namun kalian susah menggerakkan badan kalian. Rasanya ingin bangun tapi ada yang menahan tubuh kita. Dan setelah kalian terbangun, badan akan terasa pegal-pegal seperti habis olahraga seharian. Tapi kalau untuk nama medisnya sih sering disebut ‘sleep paralysis’ yang artinya saat kita tidur mekanisme otak serta tubuh kita tidak berjalan selaras. Sehingga menyebabkan kita langsung terbangun, padahal otak belum memberikan sinyal untuk bangun. Terlepas yang mana yang benar atau salah, kita hanya bisa percaya. Kita kan tinggal di Indonesia, dimana hampir sebagian besar penduduknya percaya akan mitos. Intinya sih selalu berdoa sebelum tidur dan kita akan selalu dilindungi.
Aku segera melepas selimut yang menutupi tubuhku, merapikan tempat tidurku sebentar sebelum akhirnya menoleh kearah jam dinding di kamarku. “Hah? Setengah tujuh? Mampus gue! Waktunya cuman 30 menit” Aku langsung menyambar handukku yang ada dilemari dan masuk kedalam kamar mandi. Kadang aku selalu bersyukur tidak menjadi seorang perempuan yang membutuhkan waktu lama untuk berdandan terlebih dahulu. Terutama di waktu seperti saat ini.
“Sarapan belum, buku belum masuk tas, sepatu masih basah! Kelar gue hari ini” Aku terus mendumel sembari memasukan semua buku yang harus dibawa hari ini.
“Aduh pulpen satu-satunya mana nih? Kemarin habis ngerjain pr gue taruh diatas sini” Setelah membongkar seluruh barang yang ada diatas meja belajar dan ternyata hasilnya nihil, membuatku merasa ini adalah hari yang sial bagiku.
“Shit! Biar deh gue pinjem sama yang lain aja. Gue harus buru-buru” aku segera turun menuju ruang makan untuk berpamitan kepada kedua orang tuaku. Dapat kulihat ayah, ibu, serta adikku tengah menikmati sarapan mereka masing-masing. Tanpa pikir panjang, aku langsung menyalami tangan kedua orangku yang terkejut melihat kedatanganku yang seperti dikejar-kejar setan.
“Ma, Pa Devan langsung berangkat ya.”
“Kenapa nggak sarapan dulu sayang? Jangan buru-buru gitu. Tuh mama udah siapin roti isi kesukaan kamu” ucap ibuku lembut. Meski sering melihat kelakuanku yang menyebalkan, ibuku tidak pernah sedikit pun melunturkan kasih sayangnya padaku. Ditambah ada adik perempuanku yang manja, ibuku masih bisa bersabar menghadapi tingkah kami berdua. Aku melirik kearah meja makan. Disana memang ada roti isi kesukaanku, tapi apa waktunya masih cukup? Tapi ibuku sudah bersusah payah menyiapkannya.
“Dasar kakak sok buru-buru, bilang aja mau ngerjain pr disekolah” kudengar celotehan adikku yang sangat tidak penting itu. Aku meliriknya dengan tatapan tajam dan dia hanya membalasnya dengan juluran lidah. Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung menyambar roti itu dan menguyahnya dengan cepat.
“Makannya jangan kayak gitu juga Devan, lebih baik kamu duduk dulu” ucap ayahku sembari membuka koran yang baru diambilnya. Aku menggelengkan kepala, dan dengan sekali kunyahan roti itu sudah berada semua didalam mulutku. “Udah nggak ada waktu, Pa. Devan udah telat” Aku mencium pipi ibuku dengan mulut yang masih penuh dengan roti isi.
“Hati-hati nak” ucap ibuku. Sedangkan ayahku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkahku yang masih seperti anak kecil. Dapat kudengar lagi celaan adikku yang sangat menjengkelkan “Inget ya kak, kalau ada lubang jangan main asal kebut aja. Kalau jatuh lagi baru tau rasa”
Sial, adikku itu memang menyebalkan! Sifatnya sama sepertiku, tapi rasanya kelakuanku jauh lebih baik dari dirinya-tidak salah kan aku membela diri sendiri? Dan aku rasa kalian juga sama sepertiku-. Namanya Tania Ardiandini, dia masih kelas empat SD tapi kelakuannya sudah seperti psikopat gila yang senang membuatku tersiksa. Dia selalu berlagak seperti kucing manis jika berhadapan dengan kedua orangtuaku, sehingga sangat sulit untuk mengatakan kalau dia adalah seorang penyiksa sadis yang senang membuatku frustrasi. Orangtuaku sering meninggalkan kami berdua saja dirumah, entah itu untuk urusan bisnis ayah atau acara ibuku yang berkumpul dengan teman-temannya. Jadi yang pasti, satu hari itu akan menjadi hari terburukku yang rasanya seperti berada di neraka.
Tanpa mau ambil pusing lagi, aku segera melajukan motorku dengan kecepatan tinggi. Setelah beberapa menit mengendarai motor matic kesayanganku, akhirnya aku sampai disekolah dengan selamat sebelum pintu gerbang ditutup oleh satpam-dan tentu saja, lubang yang diteriakkan oleh adikku-.
Aku meninggal lapangan parkir dengan perasaan lega. Aku segera berjalan menuju kelas sebelum bel tanda masuk kelas berbunyi. Saat melewati gerbang sekolah, aku melihat Kesya tengah turun dari sebuah motor sport hitam yang dikendarai oleh seseorang yang mengenakan jaket hitam tebal. Karena penasaran, aku pun bersembunyi di balik pohon yang tumbuh didekat gerbang sekolah. Aku melongokkan kepalaku sembari berusaha menajamkan pendengaranku kearah mereka berdua.
“Makasi ya kak Rei, hati-hati dijalan” ucap Kesya. Aku melihatnya tersenyum ramah kearah pengendara itu. Tunggu dulu, dia tersenyum? Dan, ya Tuhan dia manis sekali. Ditambah lesung pipit yang ada di kedua pipinya, membuatku sedikit terpana dibuatnya.
Apa sebenarnya dia orang yang ramah? Tapi kenapa kemarin dia biasa saja saat aku mengantarnya pulang? Bahkan dengan anak-anak disekolah saja dia terliat cuek dan tidak peduli. Atau ternyata cowok itu pacarnya Kesya? Ya, cowok bernama ‘Rei’ itu pasti pacarnya.
“Oke, Kesy. Jangan nakal disekolah, belajar yang rajin” jawabnya.
“Siap bos, hehehe. Dah kak Rei, Kesy duluan yaa” Kesya langsung memasuki halaman sekolah setelah melambaikan tangan kearah pengendara motor itu. Aku terus memperhatikan Kesya dari balik pohon, saat ini aku terlihat seperti seorang detektif yang sedang memata-matai seorang pelaku kejahatan.
Seperti sihir, saat Kesya melewati gerbang sekolah wajahnya yang awalnya dipenuhi awan dengan pelangi indah diatasnya kini berubah menjadi mendung dengan petir yang menyambar kesegala arah. Hawa dingin kembali menyeruak dari dalam diri Kesya. Bahkan sikap cueknya terhadap sekitar kembali muncul.
“Ngomong aja nggak mau PeDeKaTe, tapi malah mata-matain kayak gini.”
Aku terlonjak kaget saat mendapati suara misterius mendesis didekat telingaku. Untuk sesaat, kupikir itu hantu penunggu pohon yang sedang kugunakan untuk mengintai Kesya. Mungkin saja hantu itu sedang izin ke kamar mandi dan ternyata pas balik lagi kerumahnya malah ketemu orang ganteng yang lagi mejeng dipangkalannya.
“Udah langsung deketin aja apa susahnya sih. Tinggal minta nomer telepon, ajak jalan beres kan? Tanpa perlu ada acara ngintip-ngintipan segala” setelah mendengar celaan itu. Aku sudah mengetahui jika hantu yang sedang mengangguku ini adalah dua teman sialanku. Aku segera membalikkan tubuhku dan menatap mereka seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya
“Gue mau ke kelas” ucapku datar dan langsung meninggalkan Edo dan Denon yang masih diam ditempatnya.
Aku melewati Kesya yang sudah sibuk dengan novelnya. Aku ingin menyapanya atau sekedar menanyakan kabar karena kemarin ia terlihat sangat pucat saat kehujanan. Baru saja aku ingin menyebut namanya, bel tanda masuk langsung berbunyi. Aku segera mengurungkan niat dan berjalan menuju tempat dudukku. Aku melihat Edo dan Denon memasuki kelas berbarengan dengan Bu Wiwin.
Kami semua mengikuti pelajaran dengan tenang, terutama Denon yang sangat tekun mendengarkan penjelasan yang diberikan Bu Wiwin. Sepertinya ia tidak ingin reputasinya dibidang matematika menjadi jelek lagi.
Aku menoleh kearah Kesya dan memandangnya cukup lama. Oke sekarang aku terlihat seperti stalker betulan. Kenapa sekarang aku jadi senang melihatnya lama-lama? Padahal melirik saja dulu aku tidak terlalu berminat. Melihat Kesya dengan rambut yang selalu dikuncir kuda membuatnya terlihat lebih sederhana dengan wajah alami tanpa riasan make up sedikitpun. Dia terlihat seperti Belle didunia nyata. Kerjaannya hanya membaca buku, tidak banyak bergaul, cantik dan tentu saja senyumnya yang manis. Kalian pasti penasaran kan dimana aku tau nama Belle? Princess dengan ciri khas baju berwarna kuning serta pasangannya si Buruk Rupa yang ternyata adalah pangeran tampan yang terkena kutukan akibat kesombongannya. Tentu saja itu karena adikku, Tania. Hampir setiap hari dia menguasai TV dirumah dan aku tidak pernah diberi kesempatan untuk menonton acara kesukaanku. Untunglah aku memiliki tingkat kesabaran yang tinggi, dan jadilah aku terpaksa ikut menonton walaupun pada akhirnya aku mulai menyukainya juga. Tapi kalian jangan pernah memberitahukannya pada adikku itu ya, sudah pasti aku akan diejek habis-habisan olehnya.
Kelas yang awalnya tenang langsung berubah riuh setelah mendengar bel istirahat. Akhirnya dua jam pelajaran yang serasa berhari-hari itu selesai juga.
“Baiklah, untuk pelajaran hari ini ibu cukupkan. Minggu depan kita adakan ulangan sebagai uji coba.” ucap bu Wiwin. Seketika kelas yang awalnya gembira setelah mendengar bel istirahat langsung berubah menjadi suram setelah mendengar kata ‘ulangan’.
“Ah ibu, masak iya ada ulangan lagi. Bosen saya bu!” teriak Denon.
“Kamu Denon, saya harap nilai kamu dapat sama seperti waktu itu. Kamu mendapatkan nilai matematika paling tinggi, bahkan melebihi Kesya. Jadi ibu harap kamu dapat mengulangi hal yang sama lagi.” ucap bu Wiwin, kemudian berjalan keluar kelas diikuti murid yang lainnya.
“Mampus gue..” ucap Denon tak berdaya, ia menoleh kearah Edo “Do, gimana nih? Lo tau sendiri kan gue dapet nilai besar itu karna contekan. Mampus gue, sumpah gue harus apa coba?” teriak Denon.
“Udah, nggak usah dipikirin. Masih minggu depan juga kan? Mending sekarang kita kekantin dulu, yuk bro” Edo merangkul bahuku.
“Oke.” jawabku.
Kami bertiga berjalan melewati Kesya yang sepertinya kembali melanjutkan bacaannya. Gila ni cewek, bahkan aku baru menyadari jika dia jarang kekantin. Apa dia memang tidak ingin melakukan komunikasi atau hanya sekedar mencari teman diluar kelas? Benar-benar cewek yang susah ditebak.
“Kesya, lo nggak kekantin?” tanya Denon yang langsung berhenti dihadapan Kesya. Sial! Kenapa aku tidak punya keberanian seperti Denon!
Kesya menutup bukunya dan menoleh menatap kami bertiga. “Nggak, tadi gue udah sarapan di rumah.” jawabnya.
“Beneran nggak mau ke kantin? Lumayan nih Devan mau traktir kita. Terserah lo mau makan apa aja pasti dibeliin sama dia.” Seketika aku langsung menyodok perut Edo dengan sikuku. Apa-apaan dia? Kenapa dia malah mengkambing hitamkan aku seperti ini. “Apa-apaan sih lo, Van?” tanya Edo kesakitan.
Aku tidak merespon Edo sama sekali. Aku langsung tersenyum canggung kearah Kesya sembari mengusap tengkukku. Dapat ku lihat Kesya hanya memandangi kami satu persatu dengan ekspresi yang tidak bisa ku baca. “Maafin temen-temen gue ya, mereka memang rada gaje. Kita duluan ya, Sya”
Setelah mendapat anggukan dari Kesya, aku langsung menyeret kedua temanku menuju kantin sekolah. Aku mendorong mereka menuju tempat duduk yang biasa kami duduki dan menatap mereka dengan tatapan berang. “Apa-apaan sih lo berdua?” bentakku.
“Santai, bro.” ucap Edo tenang. “Mending kita pesen makan sama minum dulu sebelum kita berdua dengerin ceramah nggak bermutu dari Pak Devan.”
Edo melambaikan tangannya memanggil salah satu pemilik warung bakso disekolah kami. Pria paruh baya yang dipanggil Edo segera menghampiri kami. “Pak Jajang, tolong bakso sama es jeruknya tiga yaa. Dan inget bakso saya nggak pakek mie, pangsit, tahu, sama bawang. Nih uangnya, kembaliannya ambil aja” Edo menyerahkan uang Rp50.000 kepada Pak Jajang.
“Siap Nak Edo.” Balas Pak Jajang kemudian pergi meninggalkan kami bertiga.
“Apa susahnya sih tinggal bilang bakso saya cuman pakek pentol sama kuah aja ya Pak Jajang!” ucapku kesal.
“Itu supaya Pak Jajang inget apa aja yang gue nggak suka, jadi gue nggak usah repot-repot lagi ngejelasinnya.” jawab Edo.
“Elah, lo udah hampir dua tahun sekolah disini. Dan gue rasa Pak Jajang nggak bakalan lupa sama bakso kesukaan lo, apalagi cuman petol sama kuah doang!”
“Lo mau ngajak gue berantem ya? Sini gue…”
“Please, lo berdua stop!” Denon langsung memotong ucapan Edo secara sepihak. Kami berdua segera menoleh kearahnya dan mendapati Denon tengah menatap kami kesal.
“Lo berdua bisa nggak sih tenang dikit? Gue tu lagi pusing sama ulangan matematika minggu depan! Kalian malah enak-enakan ribut soal makanan!”
Aku dan Edo nyaris tertawa mendengar penderitaan Denon. Kasian betul anak ini, sekarang tau sendiri kan gimana susahnya berusaha untuk memperjuangkan sesuatu.
“Ya derita lo dong!” ucapku. Aku langsung menoleh kearah Edo. “Dan nanti gue tinggal nunggu penderitaan lo, Do. Dimana lo bakalan belajar mati-matian waktu ulangan Fisika!” Aku tertawa puas dihadapan mereka berdua. Bahkan Edo yang awalnya ingin tertawa karena penderitaan Denon malah ikut meringis ketakutan.
“Sialan lo, Van! Liat aja nanti, lo juga bakalan kejebak sama tantangan ini. Dan gue bakalan jamin kalau penderitaan lo bakalan lebih parah dari kita berdua.” ucap Edo.
“Itu nggak bakalan terjadi.” jawabku. Walapun ada rasa sedikit was-was, tapi aku tidak mungkin menunjukkannya dihadapan kedua temanku ini. Untuk pertama kalinya aku merasa sangat senang tertawa dibawah penderitaan orang lain.
“Sombong banget sih lo, inget karma itu ada. Awas kemakan omongan sendiri lo!” sambung Denon.
Oke, ini jadi sedikit menakutkan. Bagaimanapun juga aku percaya akan adanya karma. Semoga saja tidak terjadi sesuatu yang aneh-aneh nantinya.
Dan sepertinya nanti aku akan menyesali semua perkataanku saat ini.
*****************