Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kesya
MENU
About Us  

Suasana kelas hari ini cukup membuat kepalaku pusing. Lagi-lagi guru yang seharusnya mengajar kami tidak bisa datang karena ada kegiatan seminar. Huft. Jujur saja, aku lebih suka menghabiskan waktuku untuk belajar dan menjawab beberapa soal daripada harus bercanda seperti apa yang teman-temanku lakukan saat ini. Ada yang mendengarkan musik, berselfie ria, ngegosip-jadi admin lambe turah aja sekalian-. Ah, menurutku mereka semua benar-benar membuang waktu mereka dengan sia-sia.

          Ku tutup buku pelajaranku dan memperhatikan sekitar. Pandanganku terhenti pada gadis yang akhir-akhir ini terus menjadi objek pemikiranku. Aku tersenyum melihat dia yang tengah sibuk menyalin catatan pelajaran kemarin dengan sangat giat. Aku segera bangkit dari dudukku dan melangkahkan kakiku kearahnya. Seperti biasanya, dia benar-benar tidak memperdulikan keributan disekitarnya dan tetap asik dengan buku catatannya itu. Bahkan setelah aku sampai di sampingnya pun dia tidak menyadari kehadiranku.

          “Sibuk banget mbak?” sapaku.

          Ia langsung terkejut dan menoleh kearahku. “Hai, Van.” kemudian ia tersenyum.

          Aku segera mengambil tempat di depannya. “Aku udah selesai dari tadi loh, kok lama banget sih?”

          Ia tertawa kecil mendengar pertanyaanku. “Kan aku juga harus ngertiin catetan ini. Masa iya cuman nyatet doang tapi nggak ngerti isi dari catetan ini apaan?”

          Aku merasakan ada nada sindiran dari perkataannya tersebut. Entah kenapa, seketika pipiku memerah mendengar perkataannya. “Enak aja, gue ngerti kok apa yang gue catet!” ucapku tegas.

          Kesya menaikkan sebelah alisnya kemudian tersenyum miring. “Jadi balik lagi nih pakek gue-elo? Dan satu hal lagi, aku nggak ada tuh bilang kamu nggak ngertiin catetanmu sendiri. Kan aku lagi bilangin diri aku sendiri, bukan kamu.”

          Kali ini pipiku benar-benar merah. Aku mengusap tengkukku untuk menghilangkan rasa maluku ini. Kesya yang melihat tingkahku hanya menggelengkan kepalanya kemudian kembali melanjutkan tulisannya.

          Ditengah keheningan kami, diam-diam ku perhatikan terus wajah itu. Entah berapa kali sudah ku katakan, aku selalu suka wajah itu disaat sedang serius mengerjakan sesuatu. Wajah polos yang tidak seperti gadis kebanyakan saat ini, yang di polesi begitu banyak warna sehingga membuat mereka terlihat lebih tua. Wajah natural seperti inilah yang selalu ku harapkan untuk ku lihat setiap paginya.-dan asal kalian tahu saja, aku pernah menyusup ke dalam kamar adikku untuk mengelus wajah Kesya dan mencium keningnya-. Aku tahu ini perbuatan tidak terpuji, tapi kapan lagi kan aku mempunyai kesempatan seperti itu.

          “WOY!!!” teriak seseorang mengagetkanku.

          Aku langsung memegangi jantungku begitu pula dengan Kesya. Kami segera menoleh untuk mencari tahu siapa dalang dari semua perbuatan ini. 

          “Petra? Lo nggak ada kerjaan ya?” tanyaku dengan wajah kesal.

          Petra melipat kedua tangannya dan tersenyum mengejekku. “Abis, ngeliatin Kesya sampe segitunya banget sih! Iri nih gue jadinya.” Setelah mengucapkan kalimat itu, Petra langsung tertawa sepuasnya.

          Ku lirik Kesya sekilas, ku lihat ia juga tertawa namun sambil tetap mengerjakan catatannya. Huh, Petra benar-benar membuatku malu sekarang.

          “Lo nggak usah sok tau deh, Tra. Orang daritadi gue ngelamun kok, nggak ada ngeliatin Kesya.” Elakku.

          “Ouww,” Petra menganggukkan kepalanya. “jadi lo ngelamun. Berarti lagi ngelamunin Kesya di depan orangnya, ya?”

          Petra benar-benar membuatku mati kutu. Tak kusangka setelah tiga tahun berteman, aku baru mengetahui sifat aslinya yang suka menjahili orang seperti ini.

          “Ck, udah deh nggak usah nambah gosip! Ngapain lo kesini?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.

          “Oh iya,” Petra menepuk jidatnya pelan. “gini nih keasyikan jailin temen yang lagi kasmaran.” Kemudian ia kembali tertawa, tapi tidak seheboh tadi.

          Aku hanya bisa memutar bola mataku. “Ya udah, ngapain lo kesini?” tanyaku lagi.

          “Tadi gue disuruh Meta buat manggil lo ke ruang osis, katanya mau ngajak lo diskusi buat lagu yang bakalan lo nyanyiin waktu perpisahan sekolah.”

          Aku manggut-manggut mendengar penjelasannya. “Emang dia lagi nggak ada kelas?”

          “Ck,  lo gimana sih. Meta tu walaupun udah kelas tiga tapi masih sibuk ngurusin osis. Jadi, mau ada kelas atau enggak dia mah mana pernah ngurusin begituan.”

          Sekali lagi aku manggut-manggut mendengar ucapan Petra.

          “Yaudah deh, gue mau ke ruang guru dulu ya. Inget lo jangan gangguin Kesya mulu, dia lagi serius tuh ngerjain tugas. Byeee….”

          Petra pun segera berlalu meninggalkan kami. Ku alihkan pandanganku menuju Kesya yang masih tetap sibuk dengan bukunya itu. “Sya?” panggilku.

          Seketika ia menghentikan tulisannya dan menoleh kearahku. “Ya?”

          Aku mengkerutkan keningku. “Kamu nggak apa aku tinggal sendirian?”

          Kesya tersenyum. “Nggak apa, Van. Disini kan rame, lagian aku nggak bakalan kemana-mana kok. Aku bakalan stay disini.”

          Aku ikut tersenyum mendengar ucapannya kemudian mengangguk. “Pokoknya jangan silent hp dan langsung telpon aku kalau ada apa-apa disini. Siap?” aku menyerahkan jari kelingking kepadanya.

          Kali ini Kesya tertawa melihatku. Walaupun bergitu, ia pun menautkan jari kelingkingnya. “Iya, Van. Aku siap dan janji.”

          Setelah mengucapkan itu, aku langsung mengacak rambutnya pelan. “Aku kesana dulu ya, kamu hati-hati.”

          “Ish, apaan sih.” Kesya membenarkan rambutnya yang berantakan. Setelah dirasa rapi, ia kembali tersenyum padaku. “Kamu juga hati-hati ya.” Sembari melambaikan tangan.

          Aku melangkahkan kakiku keluar kelas. Senyuman serasa mengiringi langkahku kali ini. Untuk pertama kalinya aku merasa begitu senang saat di beri perhatian oleh seorang gadis, dan jujur saja rasanya sedikit berbeda dari mantan-mantanku sebelumnya. Walaupun saat ini aku dan Kesya tidak terikat dalam hubungan apapun, tapi aku cukup senang karena kami bisa seakrab ini sekarang.

          “Woy! Begong aje bang!” lagi-lagi seseorang mengagetkan dari belakang. Tapi kali ini aku tidak sekaget tadi karena aku sudah sangat mengenal suara orang ini.

          “Kenape, Do? Ganggu orang lagi berimajinasi ae lo!” ucapku ketus.

          Edo langsung merangkul bahuku dan tangan satunya menoyor kepalaku. “Elah, jijik banget sih gue dengernya. Ngomong-ngomong lo mau kemana nih?” 

          “Mau ke toilet! Udah sana, gue nggak mau diganggu kalau lagi boker.” Aku melepaskan rangkulan tangan Edo dari bahuku.

          “Ye, bohong banget sih lo. jelas-jelas lo mau ke ruang osis kan?” tanya Edo.

          Aku langsung menghentikan langkahku dan menoleh kearahnya. “Tau darimana lo?” tanyaku penuh selidik.

          Edo tampak menggaruk tengkuknya kemudian tersenyum masam kearahku. “Tadi gue denger Petra ngomong gitu ke elo, yaudah daripada boring sendirian di kelas mending gue buntutin lo kan?”

          Ku hembuskan nafasku melihat kelakukan sahabatku ini. “Terus, buat apa lagi lo nanya ke gue kalau lo sendiri udah tau gue itu mau kemana?! Udah ah, gue jalan duluan.” Ku tinggalkan Edo yang masih terus mengoceh di belakangku.

          “Eh, Van. Tungguin gue kali. Kan itu cuman buat basa-basi doang.”

          “Iya, iya serah lo ae lah.”

          Akhirnya kami pun menghentikan pembicaraan kami. Saat memasuki gedung serba guna, tiba-tiba saja pikiranku kembali terngiang dengan kejadi dua hari yang lalu. Dan hal tersebut kembali membuatku bertanya-tanya tentang terror itu.

          “Huh, kok tiba-tiba bulu kuduk gue merinding ya?” ucap Edo sembari mengelus tengkuknya.

          “Yah, lo tau sendiri kan gedung ini tempatnya sepi. Lagian anak-anak masih ada jam pelajaran sekarang, mana mungkin mereka keliaran di tempat kayak gini.” Jawabku.

          “Shit! Gara-gara inget rumor itu, gue jadi nyesel ikut lo kesini.”

          Aku memutar bola mataku mendengar ocehannya. “Do, itu kejadiannya di lantai tiga, lo nggak usah penakut gitu deh.”

          “Eleh, eleh. Sok berani banget sih loh! Yaudah, kapan-kapan kita uji nyali aja disini!” tantangnya.

          “Sok-sokan pakek uji nyali segala. Ini aja lo udah ketakutan, apalagi nanti pas malem hari. Bisa-bisa lo malah banjir kencing disini!” ejekku.

          “Serah lo deh, ejek aja gue sepuasnya. Eh- tuh lo udah di tungguin Meta.” Ucapnya antusias, sembari menunjuk kearah ruang osis.

          Aku meliriknya sekilas. “Lo kenal Meta?”

          Dengan cepat Edo menoleh kearahku dan malah menoyor kepalaku ini. “Sumpah, lola lo nggak ketulungan ya? Dia kan osis, masa iya gue nggak kenal?”

          Aku pun hanya menanggapinya dengan anggukan kecil. Ku lihat Meta melambaikan tangannya kearahku, aku pun tersenyum kemudian membalas sapaannya. “Udah lama, Ta?” tanyaku. Aku segera mengambil tempat di sofa dekat jendela, sekalian ingin mencari angin segar. Edo pun hanya mengekoriku karena dia memang tidak ada urusan disini.

          “Enggak kok.” Meta menoleh kearah Edo. “Lo ngapain ngajak dia?” tanyanya dengan nada tak suka.

          “Biasalah, dia ini bagaikan parasit buat gue. Makanya selalu ngekorin gue kemanapun gue pergi.” Tawaku langsung pecah saat menyebut Edo sebagai parasit, tapi aku merasakan keheningan di sekitarku. Aku pun menghentikan tawaku dan melihat Meta dan Edo justru menatapku dengan tatapan aneh. Aku segera menghilangkan kecanggungan ini dengan tertawa garing. “Sorry gue receh.”

          Meta menggelengkan kepalanya. “Nggak apa kok, Van. Ngomong-ngomong lo udah tau kan kenapa gue panggil kesini?”

          “Udah kok. Tadi Petra udah ngasih tau gue.”

          Meta hanya menganggukkan kepalanya. Ia membolak-balikkan kertas di tangannya dengan lesu. Tidak biasanya ku lihat Meta selemas ini, apa mungkin dia sedang sakit? Tapi wajahnya tidak pucat.

          “Jadi, apa yang mau kita diskusiin?” ucapku membuka pembicaraan, karena sejak tadi Meta tak kunjung mengeluarkan suaranya.

          Meta menarik nafasnya. “Nggak banyak kok yang bakal kita bahas hari ini. Ya, karena kita juga udah mau UN gue nggak mau terlalu bebani lo dengan latian-latian dulu.”

          Aku mengelus dadaku pelan. “Untung deh, jadinya gue bisa punya waktu banyak buat belajar bareng Kesya.”

          “Apa, Van?” tanya Meta. Oh tidak, tadi aku benar-benar keceplosan.

          “Eh, eng..enggak kok. Gue cuman mau bilang makasi udah ngasih gue waktu buat fokus belajar.”

          ‘Walaupun hal sebenarnya yang terjadi adalah ingin menghabiskan waktu dengan Kesya’

          Aku terlonjak mendengar kalimat itu. Aku segera menoleh kekiri dan kekanan. “Siapa tuh yang ngomong?”

          “Ngomong apaa, Van?” tanya Edo.

          Aku segera menatap Edo dan Meta. “Tadi gue denger suara, samar-samar gitu.”

          Meta tertawa renyah. “Ya kali, Van. Gue nggak ada denger apa-apa tuh.”

          “Gue juga nggak ada.” Sambung Edo.

          Aku menyipitkan kedua mataku kearah mereka berdua. “Jangan main-main ya? Gue nggak lagi bercanda sekarang.” Ucapku tak suka.

          Edo memutar bola matanya dengan gemas. “Lo pikir kita berdua ngerjain lo gitu? Lagian gimana caranya kita bersuara tapi lo sendiri nggak sadar itu suara mirip kita atau enggak.”

          Tengkukku terasa dingin seketika. Tiba-tiba jantungku berdebar cepat, apa sekarang kemampuan indera keenamku mulai meningkat ke tingkat yang lebih tinggi? Oh tidak, aku nggak bisa melihat yang namanya hantu atau semua jenis mereka. Ditambah wujud mereka yang bermacam-macam, aku nggak akan kuat melihat itu.

         'Nggak usah takut, Van. Kamu akan mengenalku.'

          Aku kembali terlonjak, suara siapa itu? Arrgghh, aku mengacak rambutku gusar. “Gue mau ke toilet dulu!” aku segera bangkit dari dudukku.

          “Eh, gue gimana, woy?!” teriak Edo.

          “Terserah, gue perlu segerin otak dulu.” Dengan cepat ku tutup pintu osis dan berjalan menuju toilet.

          Lagi-lagi kurasakan seseorang mengikutiku di belakang. Aku segera menoleh namun tak menemukan siapapun disana. Pikiranku terus melayang tentang hal-hal yang sering terjadi padaku akhir-akhir ini.

          “Gue nggak bisa ke toilet. Gue nggak mau ketemu mereka disana.”

          Aku segera mengurungkan niatku untuk pergi ke toilet. Aku rasa kalian tau siapa ‘mereka’ itu, dan aku tidak akan menyebutnya dengan jelas sekarang. Aku terus melangkahkan kaki ku entah kemanapun asalkan harus tempat yang ramai. Tepat saat aku melewati gudang olahraga, telingaku mendengar sebuah percakapan. Aku pun segera berhenti dan menoleh kearah gudang olahraga. Perlahan, ku dekati tempat itu dan suara itu terdengar makin jelas. Aku segera menuju jendela dan mengintip melalui celah yang tebuka. Melalui celah itu, aku bisa melihat orang di dalam sana.

          “Vina?” gumamku tanpa suara. Jantungku berdebar kencang saat melihatnya tidak sendirian disana. Aku pun menyipitkan mataku kearah teman bicaranya. “Denon? mereka ngapain disini?”

          Aku pun menajamkan pendengaranku kearah mereka. Ku sibakkan sedikit tirai yang menutupi jendela agar aku dapat mendengar lebih jelas apa yang sedang mereka rundingkan. Tak lupa, aku langsung mengeluarkan ponselku dan berusaha untuk menangkap gambar mereka berdua.

          “Lo harus bantuin gue, Non.” Vina menyatukan kedua tangannya seperti memohon kepada Denon.

          Tapi Denon nampak tak menyutujui ucapan Vina dan langsung menggelengkan kepalanya. “Serius lo mau ngelakuin itu ke Kesya?”

          Vina menghela nafasnya. “Nggak ada pilihan lain, gue-eh siapa lo?”

          Tiba-tiba saja Vina melihat kearah jendela dan menghentikan percakapannya. Oh tidak, blits ponselku ternyata menyala dan hal tersebut di lihat oleh Vina.

          “Shit! Baru juga beberapa kalimat, udah ketauan aja. Belum sempet foto lagi gue, dasar blits sialan!” aku pun segera berlari saat Denon juga menoleh kearah jendela. Dengan cepat aku menuju anak tangga saat mendengar suara pintu dibuka paksa. Aku berlari secepat mungkin menuruni anak tangga dan langsung berbaur menuju keramaian kantin. Huft, untung sekarang ini sudah jamnya istirahat, jadi aku bisa langsung berpura-pura belanja disini.

          Aku segera menuju kantin tersepi untuk membeli minuman dingin. Aku mengambil sebotol minuman soda dan langsung membayarnya kepada si penjual. “Makasi, bu.”

          Aku kembali berjalan menuju kelas dengan nafas yang masih setengah ngos-ngosan. Pikiranku kembali terngiang dengan percakapan Vina dan Denon.

          “Sial banget gue nggak dapet gambar mereka dengan jelas! Duh, mereka lagi rencanain apa sih?! Dasar, gimana coba mau jadi detektif kalau lo di awal aja udah ketauan kayak gini!”

          Aku terus mengeluhkan diriku yang gagal mendapatkan informasi mendalam dari percakapan Vina tadi. Aku mengutuk diriku sendiri yang teledor main foto sembarangan tanpa ngecek semuanya hingga Vina bisa mengetahui keberadaanku disana.-Sekali lagi kuingatkan, sebelum kalian ingin mengambil foto seseorang secara diam-diam, perhatikan dulu blits kalian. Jangan sampai ceroboh seperti apa yang baru saja ku lakukan-.

          “Bro!” seseorang menepuk pundakku. Aku menghela nafas malas, bahkan untuk menoleh kearahnya pun aku malas. “Apaa?!”

          Edo menjitak kepalaku pelan. “Ish, apaan lo? sakit bego!” erangku.

          “Lo sendiri kenapa malah ninggalin gue di ruang osis sendiri? Bilang ke toilet tau-tau malah lari turun ke kantin. Tadi lo bener-bener kayak habis di kejar setan bego!”

          Pikiranku kembali terngiang kejadian tadi. Apa aku harus menceritakannya kepada Edo? Tapi Kesya memintaku untuk menjaga terror yang menimpanya. Di kasus ini, justru aku mencurigai Vina dan Denon yang mana adalah teman dekat kami berdua-dulu-. Siapa tau dengan aku meminta bantuannya, masalah ini akan lebih cepat terungkap.

          “Woy! Malah bengong. Gue lagi ngomong ni sama lo bukan radio yang lagi siaran.”

          Aku meliriknya kesal. “Siapa juga yang nganggap lo radio bego!”

          “Yaudah, jawab pertanyaan gue. Ngapain lo tadi lari-larian di koridor gedung serba guna? Dan asal lo tau lagi, wajah lo bener-bener jelek pas tadi lagi lari.” Kemudian ia tertawa kencang hingga kami menjadi pusat perhatian di koridor.

          Aku menghentikan langkahku dan menatapnya. “Bisa nggak lo serius, pikiran gue lagi nggak bisa diajak bercanda ni!”

          Edo ikut menghentikan langkahnya namun tawanya masih bisa terdengar di telingaku. Setelah mengatur nafasnya, ia menatapku dengan serius. “Kenapa, bro? lo lagi banyak tekanan?”

          "Lo janji bisa jaga rahasia?" tanyaku.

          Edo memandangiku dengan bingung sebelum akhirnya mengangguk setuju. "Iya, gue bakalan jaga rahasia."

          Aku melipat kedua tanganku. “Tadi gue nggak sengaja denger percakapan Denon sama Vina di gudang olahraga.”

          Edo terkejut mendengar perkataanku. Kemudian raut wajahnya berubah aneh “Lo ngintipin orang pacaran di gudang? Terus mereka udah sampe tingkat mana?”

          Aku membulatkan mataku. Segera ku pukul kepalanya dengan botol minuman yang baru saja ku beli di kantin. “Otak lo mesum mulu sih! Mereka nggak ngelakuin apa-apa.” Edo mengerang kesakitan karena minumanku masih cukup banyak dan aku yakin akan ada benjolan besar di kepalanya. Tapi tak apa, asalahkan otak mesumnya itu segera sirna oleh minuman dingin ini.

          “Abis mereka diem di tempat sepi gitu, siapa coba yang nggak curiga!”

          “Mereka lagi bicara disana. Cuman yang sempet gue denger, mereka mau ngelakuin sesuatu ke Kesya. Tapi sialnya gue keburu ketahuan, jadi gue nggak tahu rencana mereka selanjutnya apa.”

          Edo masih mengelus kepalanya. “Terus hubungannya apaan?”

          Aku masih ragu untuk menceritakan terror Kesya kepada Edo. Apa Kesya akan marah padaku jika aku memberi tahu orang lain masalahnya? Aku menghembuskan nafasku. Tidak, kurasa Kesya tidak akan marah karena ini benar-benar situasi dimana kita membutuhkan orang lain untuk membantu kasus ini agar lebih cepat terselesaikan.

          “Kesya lagi di terror sama seseorang.”

          “Hah?” Edo membulatkan mataku mendengar ucapanku.

          “Sstttt. Kecilin suara lo! sini ikut gue.” Aku menarik tangan Edo menuju bawah tangga. Kulihat disana cukup sepi untuk aku bisa menceritakan semuanya kepada Edo.

          “Sekali lagi gue harap lo bisa jaga rahasia ini, janji?” aku menyerahkan jari kelingkingku kepadanya. Edo langsung menganggukkan kepalanya dan menautkan jari kelingkingnya padaku.

          “Kesya udah di terror hampir sebulan ini. Awalnya orang ini cuman ngelakuin terrornya di sekolah, tapi kemudian aksinya makin berani dengan nerror sampai ke rumahnya dia. Dan di aksinya yang terakhir, orang ini ngurung Kesya di gudang lantai tiga. Untung gue denger suara teriakan dia, kalau enggak, gue nggak tau lagi Kesya bakalan kayak apa sendirian disana.”

          Edo menautkan keningnya. “Terus, lo udah tau siapa pelaku ini semua?”

          Aku menggeleng. “Tapi, Kesya bilang kalau dia sempet liat orang yang narik dia itu salah satunya cewek. Sayangnya dia nggak liat mukanya dengan jelas.”

          Edo terkejut mendengar penjelasanku. “Jadi, lo ngiranya ini semua ulahnya Vina?”

          Aku tidak menjawab pertanyaan Edo. Aku sendiri pun masih ragu dan belum bisa memastikan karena tak ada bukti yang kuat untuk menuduh Vina pelaku semua ini.

          “Gue belum yakin, tapi dari dugaan gue cuman dia satu-satunya tersangka yang bisa gue tunjuk sekarang.”

          Edo manggut-manggut mendengar penjelasanku. “Masuk akal, Van. Setelah lo nyakitin hati Vina, dia mungkin mau bales dendam ke lo dengan cara nyakitin Kesya balik. Lagian kan kita semua tau dia itu cinta mati sama lo dari dulu, jadi bisa aja dia yang ngelakuin ini semua.”

          “Itu juga yang gue pikirin dari awal Kesya kena terror. Padahal gue udah berusaha buat ngungkapin kejujurannya supaya Vina nggak terlalu berharap lebih sama gue. Tapi dia justru nganggap gue penjahat yang udah hancurin hati dia dan seharusnya Denon pun bisa ngertiin Vina kalau apa yang gue lakuin ke dia itu semuanya baik. Tapi sekarang, mereka justru kerjasama buat ngancurin hidup Kesya. Nggak, gue nggak bisa biarin ini terus terjadi. Gue bakalan cari mereka sekarang!”    

          Kringgggg…..

          Edo mengangguk setuju. “Yaudah, mending kita ke kelas sekarang. Jam istirahat udah habis, kita pikirin lagi ini nanti.”

          Aku menyetujui ucapan Edo dan kami segera berjalan menuju kelas. Sesampainya di kelas, nampak semua teman-temanku sudah duduk di bangkunya masing-masing, begitu pula Vina dan Denon. Ku pandangi mereka berdua secara bergantian. Mereka tengah memainkan handphone mereka seperti tidak terjadi apa-apa.

          “Van, mandanginnya biasa aja dong.” Bisik Edo di telingaku.

          Aku terlonjak dan segera memalingkan padanganku dari mereka berdua "Sori, gue kebawa emosi."  Kemudian ku alihkan pandanganku ke Kesya yang ternyata masih juga sibuk dengan catatannya. Aku menggelengkan kepalaku. “Rajin banget sih tu cewek.”

          Aku pun memutuskan tak mengganggu Kesya dan memilih langsung duduk di tempatku. Sebelum itu, aku sempat melirik sekilas kea rah Denon yang sepertinya juga sedang mengamatiku dalam diam. Dia, sahabatku yang dulu sangat dekat kini terasa bagaikan orang asing yang tak pernah saling menyapa. Entah berapa kali aku mengungkapkan jika aku merindukan saat-saat kami bertiga melakukan kekonyolan bersama dan menceritakan hal-hal tak masuk akal yang sering terjadi di dunia ini. Tapi kurasa semua itu tak akan bisa kembali lagi, kami sudah berubah. Kami sudah terpisahkan oleh ego kami masing-masing. Dan aku pun tak bisa memungkiri jika saat ini rasa benciku mulai tumbuh kepada Denon.

          Pelajaran hari ini berjalan sangat membosankan. Untuk pertama kalinya aku tidak mendengarkan pelajaran seperti ini.-Maafkan aku yang tadi sempat mengatakan lebih baik ada guru dibandingkan harus jam kosong, tapi kali ini aku berada di situasi yang membuat mood-ku langsung berubah drastis-. Aku bahkan mendengarkan lagu sembari mengenakan earphone demi menutup telinga dari kegiatan belajar mengajar di kelasku.-sekali lagi ku peringatkan untuk kalian agar tidak menirukan perbuatanku ini, kalau tidak kalian akan mendapat jeweran yang menyakitkan dari guru kalian. Atau yang lebih parah, dikeluarkan dari kelas-.

          Entah bagaimana mood-ku saat ini, tapi yang pasti kepalaku terasa sakit memikirkan hal-hal yang membingungkan di depanku. Terlebih lagi aku seperti tidak bisa bergerak karena keberadaan Denon dibelakangku. Rasanya, setelah mengetahui rahasia kecilnya bersama Vina, aku seperti ingin memukulnya atau menyerangnya dengan sumpah serapah atau bogeman di pipinya itu.

          Yah, disini aku tidak ingin terlihat gegabah. Mungkin dulu aku pernah memiliki sedikit kecurigaan pada Vina, karena itu aku berusaha untuk menjauhinya agar ia menyadari jika melakukan terror kepada Kesya bukanlah sesuatu hal yang benar. Tapi, setelah itu Denon malah ikut menjauhiku bersama Vina. Dan---

          Aku langsung terlonjak dan melepaskan earphoneku. Ya Tuhan, bodohnya aku. Yah, setelah aku menjauhi Vina, terror yang menimpa Kesya justru semakin menjadi-jadi. Percakapannya tadi bersama Denon adalah kuncinya. Aku akan memberitahukan ini pada Kesya, dia harus tau dan dengan begitu Kesya bisa langsung melaporkan Vina dan Denon ke kantor polisi. Walaupun sedikit bergerak karena keburu ketahuan, tapi bukti yang ku punya akan memperkuat laporanku terhadap mereka berdua.

          “Van?”

          Edo memegang bahuku dan aku menoleh kearahnya. “Apaan?” tanyaku dengan malas.

          Edo menaikkan sebelah alisnya. “Gue harusnya yang nanya kenapa sama lo? ngapain lo tiba-tiba kaget? Emang musik yang lo dengerin ngeluarin bunyi sekeras ledakan bom?” ucapnya dengan nada ejekkan didalamnya. 

          Oke, biasanya aku akan berdebat jika Edo mulai menghinaku seperti itu. Tapi kali ini aku tidak akan mempedulikannya. Saat ini hatiku sedang senang karena akhirnya terror yang menimpa Kesya akan terungkap kali ini.

          Aku segera menggelengkan kepalaku kearah Edo. “Nggak, gue cuman lagi seneng aja.” Ucapku sembari nyengir kuda.

          “Hah?” Edo langsung menempelkan punggung tangannya ke keningku. “Lo sakit?”

          Sekali lagi ku gelengkan kepalaku. “No, I am really good right now.”

          “Lo nyadar nggak, kalau orang seneng itu harusnya ketawa! Bukannya kaget, bego!” Edo menonyor kepalaku ke belakang.

          “Apaan sih lo? udah deh, gue mau fokus belajar!”

          Aku membuka catatanku dan mulai menulis setiap catatan yang di tuliskan di papan tulis. Edo pun kembali melanjutkan tulisannya yang sempat tertunda. “Dasar! Tadi aja pakek earphone, sekarang sok-sokan mau belajar! Dasar orang pinter!”

          Aku menghiraukan ucapan Edo dan tetap lanjut menuliskan catatanku, Aku masih tersenyum sendiri memikirkan rencana Vina yang akan terbongkar, hatiku terasa berdebar kencang dan mengharapakan waktu segera cepat berlalu.

          Kringggg…

          Akhirnya dua jam telah berlalu. Kami semua langsung bersorak dan guru yang mengajar kami segera mengakhiri pelajarannya. Semua teman-teman sekelasku buru-buru merapikan barang bawaan mereka, begitu pula denganku. Aku langsung memasukan semua bukuku berserta alat tulisnya ke dalam tas. Dengan cepat ku hampiri Kesya yang seperti juga sudah siap meninggalkan kelas.

          “Yuk, Sya.” Ajakku

          Kesya tidak menjawab perkataanku. Sepertinya ia masih sibuk dengan tasnya, jadi akan ku tunggu saja dia. Ku perhatikan dia, entah mengapa aura dinginnya kembali terasa. Apa mungkin karena pelajaran tadi susah baginya? Tapi rasanya mustahil karena ia sangat mudah untuk menerima setiap materi baru.

          “Sudah selesai?” tanyaku, tapi tetap tidak ada jawaban darinya.

          Aku bersiul untuk menghilangkan keheningan ini. Ku perhatikan kelas sudah kosong. Tampaknya semua temanku sudah tidak sabar untuk membaringkan tubuh mereka setelah lelah menerima materi yang begitu banyak menjelang Ujian Nasional. Yah, aku pun sedikit kewalahan harus menghafalkan setiap materi yang akan diujikan.

          “Eh, Sya?”

          Kesya mendahuluiku tanpa berbicara padaku. Sontak aku langsung menarik tangannya untuk menghentikannya. Kesya cukup lama berdiam diri, sebelum akhirnya melepas tanganku secara perlahan dari pergelangan tangannya. Kesya akhirnya menatapku dengan wajah tanpa ekspresi itu lagi.

          Aku mengkerutkan keningku. “Kamu kenapa?”

          Kesya menggelengkan kepalanya. “Gue nggak bisa pulang sama lo.”

          “Hah?” aku diam sejenak mendengar ucapannya. “Gue? Aku nggak salah denger?”

          Sekali lagi Kesya menggelengkan kepalanya. “Sori, tapi Pak Danu udah nungguin di bawah.” Kesya membalikkan badannya dan berjalan meninggalkanku.

          Masih dalam keterkejutkanku, aku berusaha untuk menyadarkan diriku kembali dan segera mengejarnya. “Sya, tunggu!”

          Seakan tuli, Kesya tetap berjalan menjauhiku. Aku terus mengejarnya dan menghentikannya. “Sya, ada masalah apa sampe lo ngindarin gue kayak gini?!” ucapku sembari meraih pergelangan tangannya.

          Kesya menghentikan langkahnya namun masih tetap tak menjawab pertanyaanku.

          “Sya?” aku langsung menarik tangannya agar ia menghadapku. Ia menatapku masih dengan tatapan tadi.

          “Lo bisa jelasin ke gue?” tanyaku.

          “Apa?”

          Aku menggeram mendengar ucapannya. “Lo ngerti nggak sih tiba-tiba lo kayak ngehindarin gue gini?”

          Kesya mengangkat sebelah alisnya. “Gue? Sori, tapi gue nggak ngerasa ngelakuin itu.”

          “Lo sebenernya kenapa sih?”

          Kesya melepaskan tanganku darinya. Ia menghela nafasnya dan menunduk. “Mending lo jauhin gue sekarang, gue nggak mau sakit hati untuk yang kesekian kalinya.”

          Aku terpaku mendengar ucapannya. “Gue bener-bener nggak ngerti maksud dari ucapan lo ini.”

          “Van, lo ngerti nggak gimana rasanya dideketin cuman buat dimanfaatin doang? Cukup dulu aja gue gerasain itu semua, sekarang gue nggak mau ngerasain itu lagi.”

          Aku menggelengkan kepalaku tak mengerti. “Jadi lo pikir gue manfaatin lo?”

          Kesya mengangkat wajahnya. Ku lihat wajah itu tampak memerah dan matanya seperti menahan air keluar. Astaga, hatiku terasa teriris melihat ini.

          “Sya?” aku berusaha meraih tangannya namun ia mengelak. Aku benar-benar dibuat bingung olehnya kali ini.

          “Gue pergi dulu, kasian Pak Danu udah nungguin gue.”

          Kesya kembali berjalan. Aku memandanginya dengan beribu tanda tanya di kepalaku. “Gue mohon lo jelasin dulu ke gue!” teriakku.

          Mendengarku, Kesya kembali menghentikan langkahnya. Ku lihat tubuh itu sedikit bergetar. Aku tetap menunggunya untuk menjawab pernyataanku tadi karena ia masih tetap diam. Aku menarik nafas panjang, sebenarnya apa yang terjadi padanya.

          “Sya, kasih gue penjelasan.” Ucapku dengan lemas. Aku mengecilkan volume suaraku. Aku terus menatap punggungnya yang seperti malas untuk berbalik kearahku. Ku hembuskan nafasku karena Kesya tak kunjung menjawab juga.

          “Van.” akhirnya Kesya mengeluarkan suaranya. “Sori, tapi gue nggak mau jadi bahan taruhan kalian bertiga. Terus nantinya lo bakalan buang gue gitu aja setelah kalian dapetin apa yang kalian mau.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, Kesya langsung pergi meninggalkanku.

          Aku terpaku mendengar ucapannya. Kali ini aku tidak menghentikannya. Ucapannya seakan membuat hatiku panas dan sesak secara bersamaan. Lidahku terasa kelu saat ingin memanggil namanya.

          Aku langsung mengepalkan tanganku sekuat tenaga. Nafasku naik turun dan darahku seakan mendidih ingin memukul orang itu sekarang. “Brengsek lo, Non!”

 

 

                                                                                                       ***************

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
My Naughty Wolf
10285      1446     3     
Fantasy
Rencana liburan musim dingin yang akan dihabiskan Elizabeth Brown di salah satu resor di pulau tropis bersama sahabat-sahabat terbaiknya hanya menjadi rencana ketika Ayahnya, pemilik kerajaan bisnis Brown Corp. , menantang Eli untuk menaikan keuntungan salah satu bisnisnya yang mulai merugi selama musim dingin. Brown Chemical Factory adalah perusahaan yang bergerak di bidang bahan kimia dan ter...
Stuck In Memories
15726      3218     16     
Romance
Cinta tidak akan menjanjikanmu untuk mampu hidup bersama. Tapi dengan mencintai kau akan mengerti alasan untuk menghidupi satu sama lain.
Melankolis
3035      1116     3     
Romance
"Aku lelah, aku menyerah. Biarkan semua berjalan seperti seharusnya, tanpa hembusan angin pengharapan." Faradillah. "Jalan ini masih terasa berat, terasa panjang. Tenangkan nafsu. Masalah akan berlalu, jalan perjuangan ini tak henti hentinya melelahkan, Percayalah, kan selalu ada kesejukan di saat gemuruh air hujan Jangan menyerah. Tekadmu kan mengubah kekhawatiranmu." ...
Alvira ; Kaligrafi untuk Sabrina
14125      2567     1     
Romance
Sabrina Rinjani, perempuan priyayi yang keturunan dari trah Kyai di hadapkan pada dilema ketika biduk rumah tangga buatan orangtuanya di terjang tsunami poligami. Rumah tangga yang bak kapal Nuh oleng sedemikian rupa. Sabrina harus memilih. Sabrina mempertaruhkan dirinya sebagai perempuan shalehah yang harus ikhlas sebagai perempuan yang rela di madu atau sebaliknya melakukan pemberontakan ata...
kekasihku bukan milikku
1306      666     3     
Romance
Hei cowok...I like you
822      528     1     
Romance
Hei cowok...i like you, kalimat itulah yang keluar dari mulut cewek berwajah pas-pasan kepada cowok berparas tampan yang wajahnya gak kalah cakep dengan cowok-cowok korea.
DEVANO
698      431     1     
Romance
Deva tidak pernah menyangka jika pertemuannya dengan Mega bisa begitu berpengaruh untuk hidupnya. Dan untuk pertama kalinya setelah hari itu, Dio-mantan sahabatnya, ikut campur dalam urusannya. Padahal, biasanya cowok itu akan bersikap masa bodo. Tidak peduli pada semua yang Deva lakukan. Ternyata, pertemuan itu bukan hanya milik Deva. Tapi juga Dio di hari yang sama. Bedanya Deva lebih berun...
Di Bawah Langit
3207      1012     1     
Inspirational
Saiful Bahri atau yang sering dipanggil Ipul, adalah anak asli Mangopoh yang tak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Namun, Ipul begitu yakin bahwa seseorang bisa sukses tanpa harus memiliki ijazah. Bersama kedua temannya Togar dan Satria, Ipul pergi merantau ke Ibu Kota. Mereka terlonjak ketika bertemu dengan pengusaha kaya yang menawarkan sebuah pekerjaan sesampainya di Jakarta. ...
When You're Here
2341      1055     3     
Romance
Mose cinta Allona. Allona cinta Gamaliel yang kini menjadi kekasih Vanya. Ini kisah tentang Allona yang hanya bisa mengagumi dan berharap Gamaliel menyadari kehadirannya. Hingga suatu saat, Allona diberi kesempatan untuk kenal Gamaliel lebih lama dan saat itu juga Gamaliel memintanya untuk menjadi kekasihnya, walau statusnya baru saja putus dari Vanya. Apa yang membuat Gamaliel tiba-tiba mengin...
Novel Andre Jatmiko
9506      2080     3     
Romance
Nita Anggraini seorang siswi XII ingin menjadi seorang penulis terkenal. Suatu hari dia menulis novel tentang masa lalu yang menceritakan kisahnya dengan Andre Jatmiko. Saat dia sedang asik menulis, seorang pembaca online bernama Miko1998, mereka berbalas pesan yang berakhir dengan sebuah tantangan ala Loro Jonggrang dari Nita untuk Miko, tantangan yang berakhir dengan kekalahan Nita. Sesudah ...