Kami semua diselimuti oleh rasa gelisah, khawatir, dan penasaran tentang apa yang terjadi pada Ryan sampai-sampai menyebabkan ia harus diperiksa oleh guru-guru yang memiliki jabatan tinggi (re: Kepala Sekolah, Wakasek Kesiswan, dll.) di sekolah ini. Aku dan yang lainnya dengan pasrah hanya bisa menunggu didepan pintu kelas kami saja, menunggu Ryan dan guru-guru itu keluar dari kelas kami.
Aku bisa memastikan jika saat ini hanya ada beberapa siswa saja yang sedang belajar didalam kelas, dan selebihnya sedang berada diluar, sedang berkeliaran. Sebagian besar dari mereka--yang berkeliaran--ada di sekitar ku saat ini--mengamati apa yang sedang terjadi dengan kelasku--dan sebagian lainnya lagi sedang berkeliaran di seluruh penjuru sekolah, ada yang ke kantin, ada yang duduk di teras, dan banyak lagi.
Saat sedang asik mengamati pekarangan sekolah, tiba-tiba suara pintu yang dibuka terdengar dari arah belakang ku. Aku menoleh kearah sana, dan mendapati jika pintu kelas ku kini terbuka. Kami semua--yang berdiri paling dekat dengan pintu--spontan langsung berjalan menjauh--untuk memberi orang yang hendak keluar dari dalam kelas--ruang kosong didepan pintu, agar mereka bisa leluasa untuk bergerak. Dan beberapa saat kemudian, seorang wanita berumur--yaitu wakasek kesiswaan--yang memakai kacamata keluar dengan membawa sebuah tas--yang sepertinya milik Ryan--di salah-satu tangannya. Dan dibelakang guru itu ada beberapa guru lagi yang sedang mengapit seorang siswa di tengah-tengah mereka, Ryan.
"Yan! kamu kenapa?" tanya Aqila saat melihat Ryan dibawa keluar oleh guru. "Ryan!" seru Eris heboh. "Pak ini kenapa pak?" tanya Adipati sambil mencoba menghadang gerombolan guru yang hendak melangkah pergi dengan membawa Ryan. Guru yang dipanggil justru acuh terhadap pertanyaan Adipati, dan memilih untuk terus berjalan. Begitu juga dengan Ryan yang hanya bisa tertunduk, dan enggan melihat kearah kami. Mereka tak menjawab, dan hanya memberi kami rasa penasaran. Tak ada satupun siswa disini yang tahu apa yang terjadi dengan Ryan, sampai-sampai ia harus di perlakukan seperti seorang tersangka kejahatan yang merasa malu dengan apa yang ia perbuat.
Tak lama setelah itu, gerombolan guru yang membawa Ryan langsung berjalan cepat kearah gedung seberang--menuju ruang kepala sekolah--dan menerobos barikade-barikade siswa yang ingin tahu. Aku dan yang lainnya--serta beberapa teman kelas yang lain--juga ikut berlari, mengejar guru-guru itu untuk menanyakan kejelasan masalah ini.
Suasana sekolah tak lagi damai seperti biasanya. Semua siswa kini tumpah ruah keluar dari kelas, tak peduli ada guru ataupun tidak, mereka semua memilih untuk keluar sebab mendengar suara gaduh yang berasal dari rombongan siswa yang mengejar Ryan, yaitu kami. Siswa-siswa yang sedang asik duduk di koridor seketika berdiri dengan wajah panik karena melihat dan mendengar kami sedang berlarian sambil menyerukan nama Ryan. Mereka bertanya-bertanya, ada apa? Apa yang sedang terjadi? namun tak satupun dari kami yang menjawab pertanyaan mereka, dan hal itu membuat mereka menjadi penasaran, hingga akhirnya memaksa mereka untuk ikut berlari dengan kami agar mengetahui apa masalah yang telah membuat kami berlari-larian di koridor kelas saat ini.
Saat tiba di pertengahan tangga yang menuju ruangan kepala sekolah, langkah kami tiba-tiba di hentikan oleh beberapa guru piket yang ada disana. Mereka nampak terkejut melihat kami, dan setelah itu mereka menyuruh kami untuk segera bubar, sebab kami telah mebuat kekacauan di gedung ini. Namun tak ada satupun dari kami yang mendengar arahan guru-guru itu, dan tetap kekeuh ingin bertemu dan mendengar penjelasan Ryan ataupun guru-guru yang membawa nya.
"Udah bubar sana! kalau nggak bubar juga, kalian semua bakalan di skors!" seru salah seorang guru itu, lalu kemudian meniup pluit yang tergantung di lehernya, yang memaksa kami semua untuk segera menutup telinga agar dapat meredam suara pluit itu.
"Sebenarnya Ryan kenapa sih pak?!" teriak Ed dengan emosi. "Kita nggak akan bubar kalau nggak di kasih penjelasan!" tegas Adipati.
"Ryan itu anak bermasalah!" bentak guru yang lain. "Ngapain kalian masih berteman sama dia?"
"Jangan asal ngomong pak! Ryan bukan anak bermasalah!" gerutu Aqila, kemudian melangkah maju untuk berada di barisan paling depan, menantang guru itu. "Pak, izinin kami ngeliat Ryan di ruangan kepala sekolah, kita cuma mau tahu dia kenapa, cuma itu," jelas Eris.
"Nggak ada yang boleh ketemu sama siswa yang mengotori nama baik sekolah kita! sama Ryan! titik! bubar sana kalian!"
"Apaan sih pak?! emang Ryan ngotorin nama sekolah kayak gimana?" tanya Adipati penuh emosi. "Bukannya nama sekolah kita udah tercemar sama kasus guru yang korup ya?" singgung Kiano saat menyadari jika guru yang menahan kami adalah guru yang pernah kedapatan menggunakan uang sekolah untuk kepentingan pribadi nya, dan setelah itu, semua siswa yang berada di ceruk--yang didalamnya ada tangga--langsung berteriak menyoraki guru itu.
Wajah pak Hardian--nama guru itu--nampak memerah, entah karena malu, atau karena menahan emosi. Yang jelas, setelah itu ia langsung terdiam, tak lagi banyak bicara, dan beberapa saat kemudian ia memilih untuk mundur perlahan, sedangkan dua guru yang lainnya nampak tertegun saat melihat pak Hardian melangkah pergi dengan wajah merah padam. Melihat mereka yang tak lagi konsentrasi, kami semua seketika berlari naik ketas tangga, berlari kearah ruang kepala sekolah yang berada dipaling ujung untuk menemui Ryan.
Namun saat hampir tiba disana, pintu ruangan itu--yang tadinya tertutup--tiba-tiba terbuka. Dari sana keluar seseorang yang tak asing bagi kami, Ryan. Ia keluar dengan menggendong tas disalah satu lengannya. Awalnya ia tertunduk lesu, namun saat menyadari jika kami ada bersamanya, ia kemudian memilih untuk menatap kami, tanpa ekspresi. Ia menarik napas panjang, dan dari sepenglihatan ku, ia terlihat gemetar saat menarik udara masuk kedalam paru-parunya.
"Ryan!" seru Adipati, kemudian berlari mendekati sahabatnya itu, begitu juga dengan kami. "Yan kamu kenapa?" tanya Eris dan Aqila hampir bersamaan.
Yang di tanya justru memilih untuk bungkam, ia tak menjawab pertanyaan yang diberikan untuknya, dan lebih memilih untuk melangkah kan kaki nya pergi dari tempat ini. Kami pun mengikuti nya dari belakang, menyesuaikan kecepatan langkah kaki kami dengan Ryan yang nampak berjalan tanpa semangat.
"Yan emang nya ada apa?" tanya Ed sambil memburu Ryan yang kini telah melangkah pergi. "Yan, kalau ada masalah, cerita ke kita aja, siapa tau kita bisa bantu," ucap Rara. Ryan kemudian berhenti berjalan, begitu juga dengan kami. Ia kemudian membalikkan badan, lalu kembali menatap kami. "Aku di skors, sebulan," jelasnya dengan suara yang bergetar.
"Harusnya kamu di keluarin, bukan di skors!" timpal seseorang dari arah lain dengan suara yang penuh emosi, dan rupanya suara itu berasal dari mulut pak Hardian yang saat ini sedang menatap kami dengan sorot mata yang tajam.
Ryan nampak emosi, begitu juga dengan Adipati, Aqila, Ed, Eris, Rara, si kembar, dan juga aku yang kini telah merasa kesal dengan pak Hardian. "Harusnya Bapak juga di keluarin," ucap Adipati dengan nada yang terkontrol, namun tidak dengan wajahnya yang kini sudah di penuhi oleh emosi.
"Diam kamu!" gertak pak Hardian.
Ryan kemudian memberi kami isyarat untuk tidak menggubris perkataan pak Hardian, dan mengajak kami untuk segera pergi dari tempat itu, kami pun setuju, sebab Ryan juga langsung melangkahkan kakinya pergi dari tempat ini.
"SMA ini, bukan tempat untuk generasi rusak seperti kamu yang sudah tercemar sama narkoba," ucap guru itu lagi saat kami berpapasan dengannya di dekat anak tangga.
Adipati yang berada paling dekat dengan pak Hardian pun berhenti melangkah, begitu juga dengan kami yang menyadari jika Adipati dan pak Hardian kini sudah saling berhadapan, aku bisa memastikan, jika sekali lagi pak Hardian berbicara sesuatu yang membuat kami merasa kesal, Adipati tak akan segan untuk mendaratkan tangannya di tubuh pak Hardian. "Maksud Bapak apa?" tanya Adipati sambil melihat pak Hardian dengan tatapan menantang.
"Tanya sama kawan kamu itu," balas pak Hardian sambil melirik kearah Ryan, lalu kemudian pergi melangkah kearah ruang kepala sekolah. Kini kami semua diam dan menatap kearah Adipati dan Ryan secara bergantian. "Yan, kamu make?" tanya Eris sambil menepuk bahu Ryan.
"Make apa?" tanya Rara.
"Bener Yan?" sambung Aqila seakan tak percaya.
"Make apaan sih?" tanya Rara kembali masih kebingungan.
Ryan tak menjawab, ia hanya menarik napas, dan membuang nya pelan, sambil melihat kearah kami semua secara bergantian.
"Aku bisa jelasin," jawabnya dengan nada menyesal. "Tapi jangan disini," tambahnya lagi.
"Terus dimana?" tanya Eris.
"Di tempat biasa."