Detik menjadi beku, orang-orang yang berlalu-lalang diam menjadi patung. Aku duduk, merenung, meratap, pada takdir yang telah lalu, yang sedang di ceritakan oleh seseorang yang ku panggil dengan sebutan guru.
Aku melirik kearah jam dinding, dan mendapati jika jarum yang ada disana juga ikut membeku. Jarum pendeknya tak bergerak sama sekali, masih tetap di angka sembilan, sama seperti keadaan lima menit yang lalu. Aku merasa bosan, begitu juga dengan Eris yang duduk dibangku sebelah ku, begitu juga dengan yang lain, yang kebanyakan terlihat memangku wajah mereka dengan tangan karena sedang merasa bosan. Hanya ada beberapa siswa saja yang masih memperhatikan pelajaran pak Galih, pelajaran Sejarah yang sekarang ini baru sampai di bagian pembahasan tentang awal mula kedatangan bangsa penjajah di tanah air kita, Indonesia.
Ditengah-tengah penjelasannya, pak Galih tiba-tiba berhenti menjelaskan. Penyebab nya karena sebuah panggilan masuk di handphone yang ia simpan diatas meja, membuat guru itu terpaksa keluar kelas untuk mengangkat telepon. Hanya beberapa detik saja setelah ia keluar, keadaan didalam kelas seketika mencair, membuat kami yang tadinya merasa bosan dan tak bisa berbuat apa-apa, kini mulai bergerak dan mulai mengobrol.
"Masih dua jam lagi, semangat woy!" seru Aqila sambil meregangkan badannya. "Eh Ryan nggak datang sekolah yah?" tanyanya saat pandangannya melihat ada bangku kosong diantara Ed dan Adipati yang posisinya berada tepat disebelah ku.
"Semalam dia juga nggak datang ke kafe, padahal kita udah janjian buat latihan nyanyi disana," kata Eris sambil mengikuti arah pandangan Aqila dengan nada kesal. "Kayaknya dia ada masalah deh," ungkap Rara menduga-duga "Soalnya berapa hari ini dia kelihatan kacau," tambahnya. "Masalah apa?" timpal Aqila dan hanya dibalas dengan gelengan kepala oleh Rara. "Nggak tahu," katanya.
Disela-sela perbincangan mereka, pak Galih yang tadinya berada diluar tiba-tiba kembali masuk kedalam kelas tanpa bersuara, membuat semua siswa yang tadi sedang mengobrol seketika diam di tempat masing-masing, kembali beku seperti patung. Raut wajah pak Galih nampak gelisah, begitu juga dengan gerakannya yang terlihat seperti sedang terburu-buru. "Anak-anak," katanya sambil merapihkan buku-buku miliknya yang berhamburan diatas meja guru. "Bapak tiba-tiba ada masalah, istri bapak sekarang ada dirumah sakit, jadi bapak mau tidak mau harus kesana, dan dengan terpaksa harus meninggalkan jam pelajaran di kelas kalian," jelasnya.
Teman-teman kelasku pun mulai berbisik-bisik, raut wajah kami semua pun mulai berubah, ada yang terlihat gusar karena prihatin dengan musibah yang menimpa pak Galih, dan ada juga yang terlihat bahagia karena sebentar lagi akan mendapat jam kosong.
"Jadi bapak pamit sekarang ya," ucap pak Galih sambil berjalan kearah pintu keluar, namun sesaat sebelum ia keluar, ketua kelas kami yang duduk dipaling depan memberi kami semua instruksi untuk berdiri dan mengucap salam pada pak Galih yang kini punggung nya telah hilang dibalik pintu, dan setelah itu, keadaan kelas tiba-tiba menjadi gaduh dan tak terkendali.
Tak sedikit dari mereka yang kini mulai menyusun tiga bangku yang disejajarkan agar bisa tidur diatasnya, ada juga yang memilih untuk mengatur meja sebagai tempat tidur karena tidak mendapatkan kursi yang cukup untuk dijadikan tempat merebahkan badan. Selain itu, beberapa siswa kini memilih untuk menyalakan speaker agar bisa memutar musik yang mereka jadikan sebagai pengantar tidur, atau sebagai media untuk ikut bernyanyi mengikuti alunan lagu, atau justru menari-nari.
"Eh kantin yuk," ajak Eris pada kami semua yang masih diam di posisi kami masing-masing. Aqila dan Rara langsung meng-iyakan ajakan Eris, begitu juga dengan ku, Ed, dan juga Adipati. Namun Kiano dan Kiani lebih memilih untuk tetap tinggal didalam kelas, karena katanya orang tua mereka akan datang membawakan uang saku mereka yang tertinggal diatas meja makan.
Kami pun berjalan keluar dari kelas, dan melangkah kan kaki kami menuju kantin yang berada tak jauh dari bangunan kelas kami dengan berbaris rapih seperti anak bebek yang mengikuti induknya. Hanya butuh beberapa menit saja, dan kami sudah sampai disalah satu kantin yang menjual es teh dan minuman capcin yang katanya tak ada tandingannya, capcin dan es teh milik kang Danu.
"Kang, Caribbean nut nya satu, pakai cincau ya," ucap Ed, kemudian disambung oleh Eris. "Dua kang, pakai cincau juga."
"Empat kang!," seru Rara yang berada dipaling belakang barisan bersama Aqila. "Kamu nggak mesen Tar?" tanya mereka saat melihat ku hanya diam saja. "Aku es teh aja kang," kataku, dan kemudian di lanjutkan oleh Adipati, "dua kang."
Sambil menunggu pesanan kami siap, kami memilih untuk duduk melingkar disebuah meja kecil yang disediakan oleh kang Danu untuk pelanggannya.
"Ed, Ryan kemana yah?" tanya Aqila yang saat ini sedang asik menaik turunkan jarinya diatas layar handphone.
"Nggak tau, nggak ada kabar nya," balas Ed. "Dia ngilang dari kemarin, terakhir kelihatan pas jam seni budaya, habis itu dia nggak masuk jam terakhir, kata Kiano sih Ryan pulang duluan," tambah nya lagi.
Kami semua saling bertukar pandangan, lalu kemudian kembali menatap Ed yang kini sedang asik menikmati terpaan angin yang berembus di wajahnya. "Kayaknya dia ada sesuatu deh," kata Rara yang membuat kami bertanya-tanya.
Aku hanya bisa diam dan menyimak obrolan mereka, sebab jika ingin ikut berkomentar, aku tak tahu harus mengucapkan apa, sedangkan aku belum kenal betul dengan dia yang sedang dibahas, Aryan Chandra yang kini menghilang tanpa kabar.
"Sesuatu apa?" tanya Adipati bingung, dan langsung dijelaskan oleh Eris. "Masalah," begitu katanya, yang justru membuat kami semakin bingung.
"Nih pesanannya udah siap," kata kang Danu sambil memberikan kami satu persatu minuman yang kami pesan. "Makasih ya kang," kata Eris mewakili kami semua.
Kini diam menyelimuti kami lagi, kami benar-benar diam, tidak ada yang memegang handphone, tidak ada yang mengobrol. Sesekali kami saling melempar tatap, sesekali lagi kami larut dalam khayalan kami sendiri. Aku pikir, mereka menjadi diam seperti ini sebab sedang memikirkan sesuatu tentang Ryan, sahabat mereka yang kini diam-diam seperti sedang berubah, sampai-sampai membuat teman-teman ku yang lain merasa bingung.
"Kayanya ada hubungannya dengan kamu deh Ris," kataku membuka suara, dan langsung disambut dengan tatapan curiga dari yang lainnya. "Maksudnya gimana?" kata Aqila mewakili.
"Nggak tahu sih, tapi kemarin, waktu aku sama Eris gabung sama kalian dibawah pohon, Ryan langsung ngeliat tajam kearah kita, terus tiba-tiba langsung pergi, tapi nggak tahu sih," jelasku ragu-ragu, lalu kembali meminum es teh milikku. Mereka pun kembali saling menatap satu sama lain dengan ekspresi seperti sedang berpikir.
Tiba-tiba suara gaduh terdengar dari bangunan arah kelas kami, banyak siswa-siswi yang terlihat berhamburan diluar, dan mereka semua terlihat panik. Aku, Eris, Aqila, Rara, Ed, dan Adipati langsung berdiri dan mengamati apa yang sedang terjadi. Kami melihat kearah kelas kami, dan mendapati jika semua siswa yang berasal dari kelas kami, maupun kelas lain kini sedang berada diluar, dan beberapa diantara mereka saat ini sedang melambaikan tangan kearah kami, memanggil-manggil kami agar segerea kembali ke kelas.
"Woy ngapain disini?! itu ada pemeriksaan, cepat ke kelas kalian! amanin barang-barang kalian!" seru seorang siswa yang sedang lari sambil membawa tas kearah halaman belakang kepada kami.
Aqila, Eris, dan Rara seketika berteriak panik dan langsung lari berhamburan kearah kelas, begitu juga dengan Ed dan Adipati yang wujud nya seketika hilang saat mendapat kabar jika ada pemeriksaan. Aku ikut panik melihat mereka berlari, begitu juga dengan kang Danu. Aku panik sebab bingung harus melakukan apa, dan akhirnya memilih lari dan mengikuti yang lain, sedangkan kang Danu panik sebab minuman yang kami pesan tadi belum kami bayar sama sekali. "Bentar kesini lagi kang," kataku menenangkan disela-sela berlari.
Aku telah tiba didepan kelas, dan mendapati jika kelasku kini telah dipenuhi oleh guru-guru berseragam batik. Pintu kelas kami tertutup, di kunci dari dalam, dan semua siswa yang tadinya ada didalam dengan paksa disuruh keluar oleh guru, membuat mereka berhamburan diteras kelas dengan wajah harap-harao cemas.
"Ini kenapa?" tanyaku kebingungan saat bertemu dengan Rara dan Aqila yang berada ditengah-tengah kerumunan. "Ada pemeriksaan Tar," jelas Rara. "Tapi yang meriksa kok guru ya? pakai di kunci dari dalam lagi," tambahnya sambil mencoba melihat kedalam kelas melalui jendela yang telah ditutupi oleh tirai--namun masih memiliki sedikit celah untuk mengintip.
"Terus yang di periksa apaan?" tanyaku lagi. "Biasanya kelengkapan seragam, terus barang-barang yang semestinya nggak dibawa ke sekolah, kalau kedapatan bakalan dipanggil ke ruang BK," jelas Aqila yang berdiri di samping Rara, dan juga sedang berusaha mengintip.
"Ini bukan pemeriksaan yang itu," sahut Adipati saat bergabung bersama kami. Dibelakang nya ada Eris, Ed, dan si kembar yang nampak terlihat gusar.
Mendengar suara Adipati, Rara dan Aqila langsung berhenti mengintip kedalam kelas dan langsung bergabung bersama kami. "Terus pemeriksaan apa?" tanya Rara yang sedang mengelap tangannya ke tembok karena dipenuhi oleh debu.
"Ryan," ucap Eris singkat.
Aku, Rara, dan Aqila seperti merasa dikejutkan saat mendengar ucapan Eris barusan. Selain tidak nyambung, kami juga tak mengerti apa maksudnya.
"Maksudnya gimana?" tanya Aqila mencoba mencari penjelasan.
"Didalam ada Ryan, dia lagi diperiksa, guru-guru lagi cari barang bukti," jelas Kiano yang justru membuat kami semakin tidak paham. "Barang bukti apa?" tanya ku penasaran, namun hanya di jawab dengan gelengan kepala, sebab mereka juga tak tahu persis apa masalah yang sedang terjadi sekarang.