Gerimis masih juga turun membasahi Bandung malam ini. Airnya, menetes satu-persatu, jatuh menghantam atap, membuat suara gemuruh diatas kepala ku terdengar ramai dan saling memburu. Sekarang ini aku sedang duduk di teras rumah, diam mematung, sambil menatap halaman yang diselimuti oleh gelapnya malam yang nampak berkilat-kilat karena pantulan cahaya lampu yang terkena tetesan air hujan.
Sedari tadi, aku telah menggendong sebuah gitar di pelukan ku, memetik senarnya secara perlahan, satu persatu, membuat suara petikannya terdengar samar diantara deras nya suara hujan. Aku hanya memetik senar-senar itu secara bergantian tanpa kunci gitar, aku melakukan itu, sebab aku tak pandai bermain gitar, lebih tepatnya belum tahu bermain alat musik petik yang satu ini.
Entah sudah berapa kali percobaan belajar bermain gitar yang aku coba, tapi tetap saja, aku tak pernah paham dan mengingat tiap-tiap kunci yang diajarkan oleh orang yang mengajari ku. Jadinya, jika aku melihat sebuah gitar, aku hanya bisa mengambil nya, lalu memberikan nya pada seseorang yang pandai bermain alat musik itu untuk memainkannya, sedangkan aku memilih untuk duduk dihadapan orang itu, sambil menyanyikan lirik dari lagu yang sedang dimainkan.
Aku senang mendengarkan lagu, tapi tidak memiliki suara yang bagus. Meski begitu, aku tetap bernyanyi, sekedar untuk menikmati lagu dan mengekspresikan emosi melalui lagu itu. Aku juga senang membaca novel, terlebih lagi novel terjemahan seperti milik William Shakespeare, Rupi Kaur, Lang Leav, dan lainnya. Aku senang membaca buku-buku mereka, sebab didalam nya banyak kutipan-kutipan yang bisa aku baca dan aku hayati, seperti kutipan milik William Shakespeare tentang cupid yang buta.
"Love looks not with the eyes, but with the mind; and therefore is winged Cupid painted blind.
William Shakespeare."
Beda hal nya dengan menyukai musik--yang mana jika kau suka mendengarkan lagu, belum tentu bisa membuat mu berenyanyi--membaca banyak novel justru bisa membuat mu perlahan-lahan menjadi pandai untuk menulis.
Sama halnya seperti; "Semakin sering kalian bersama, semakin besar peluang kalian untuk jatuh hati. "
~
Pagi ini, aku terbangun lebih awal dari kemarin. Entah pukul berapa tepatnya, yang jelas saat aku terbangun tadi, suasana diluar kamar ku masih cukup gelap, langit terlihat masih dipenuhi oleh bintang-bintang, dan matahari, belum juga terlihat kemunculannya di bagian timur bumi.
Sekarang ini, aku sudah dalam perjalanan menuju sekolah, diantar oleh Selatan menggunakan mobil kesayangannya, dan beberapa menit lagi, aku rasa aku akan tiba di gerbang sekolah yang baru ku masuki kemarin.
Hari ini cukup berbeda dari kemarin, ini adalah hari kedua ku bersekolah kembali, dan hari ini adalah hari pertama aku tidak datang terlambat.
Bisa dibilang, aku berangkat terlalu pagi, sebab jalanan kota Bandung pun masih terlihat cukup lengang, hanya ada beberapa kendaraan saja yang berlalu-lalang.
Tak perlu waktu yang lama, aku kini telah tiba di gerbang sekolah yang terbuat dari pagar besi dengan tinggi kurang lebih tiga meter itu, dan mendapati jika gerbang itu baru saja dibuka oleh seorang satpam yang sepertinya tiba sedikit lebih dulu dariku.
"Liatkan, masih sepi," kataku pada Selatan sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Tak ada siswa yang berjalan kaki, juga tak ada kemacetan, lebih-lebih dengan suara klakson yang kemarin terdengar menggema saat aku tiba dijalan ini. Sekarang masih sangat sepi, hanya ada pepohonan yang menggugurkan daunnya, hanya ada daun-daun yang berjatuhan saja, sekedar meramaikan jalanan.
"Ya nggak apa-apa lah, daripada kayak kemarin, telat, mending kayak gini, datang paling pertama," balas Selatan, lalu kemudian menyuruh ku untuk lekas turun dari mobilnya.
Aku kemudian turun dari mobil, lalu kemudian berjalan masuk kedalam halaman sekolah dengan rasa ragu yang bercampur dengan sedikit rasa bersemangat didalam setiap langkah kaki ku.
Dan saat tiba didalam sekolah, aku mendapati jika halaman parkir nampak sepi, padahal hari kemarin ditempat itu berjejer rapih kendaraan milik siswa dan guru, begitu juga dengan lapangan upacara yang hanya berisikan embun diatas rumput, sekolah ini masih sangat sepi, aku datang terlalu cepat, bahkan menjadi orang yang pertama datang.
Kini aku telah sampai dikelas, dan kau mungkin sudah tahu bagaimana keadaan didalamnya, sepi, sama seperti diluar. Semua bangku masih berada diatas meja, karena memang sengaja dinaikkan, agar mempermudah siswa yang sedang piket untuk membersihkan lantai kelas. Akupun berjalan kearah bangku ku, lalu menurunkan nya dengan hati-hati agar tidak terjatuh kelantai, lalu kemudian menyimpan tas ku diatas meja, dan memilih untuk duduk.
"Aduh!" seru seseorang karena kaget dari arah pintu kelas. Aku yang mendengar teriakan itu tentu saja ikut-ikutan menjadi kaget, dan refleks langsung berdiri untuk melihat apa yang sedang terjadi. Dan rupanya, seseorang telah menyangkutkan tali tas nya di gagang pintu kelas, membuat ia tertarik mundur saat sedang asik berjalan.
Orang itu kini telah melepaskan kaitan tas nya dari gagang pintu, dan sekarang sedang berjalan masuk kedalam kelas. Menurut ku, dia adalah salah satu siswa kelas ini yang belum ku kenal namanya, dan juga belum ku hafal wajahnya, jadi aku tak menghiraukan keberadaannya, dan tetap asik memandang layar handphone ku yang beriskan playlist musik favorit ku, namun tak lama setelah itu, aku dikejutkan dengan kehadiran seseorang yang sama sekali tak kusadari keberadaan nya, dia siswi yang tadi, dan sekarang ia sedang berdiri di bangku kosong di sebelah ku.
Dia menatap ku dengan mata bulatnya, memandangi ku dengan tatapan bersahabat sekaligus penasaran. Akupun menatap nya kembali, membaca ekspresi wajahnya, dan mencoba mengenali siapa dia. Tapi aku tak mengenali siapa gadis dengan rambut panjang terurai ini, sepertinya aku belum berkenalan dengannya kemarin.
"Kenapa?" tanya ku padanya dengan ekspresi bingung seperti baru tersadar dari tidur panjang.
"Kamu Tara ya?" balasnya sambil mengulurkan tangan miliknya.
Aku memandangi wajah nya, lalu turun memandangi uluran tangannya, dan tak lama setelah itu aku menerima uluran tangannya seraya mengiyakan pertanyaan nya tadi. "Iya, gue... eh aku Tara," kata ku dengan terbata-bata sebab belum terbiasa dengan penggunaan kata 'Aku' dan 'Kamu'.
"Aku Eris," katanya sambil menaik turunkan jabat tangan kami. "Aku duduk disini, di sebelah kamu. Salam kenal ya." Aku hanya mengangguk sebagai tanda balasan, karena sejujurnya aku merasa Awkward dengan keadaan sekarang.
Kelas ini masih sangat terasa sepi, meskipun sudah ada beberapa siswa lagi yang datang setelah kedatangan Eris, dan beberapa diantara mereka adalah si kembar, dan Adipati. Mereka semua kini berkerumun di sekeliling meja milik ku dan milik Eris, lalu kemudian mulai kembali bercerita mengenai topik-topik yang sangat acak.
Aku hanya bisa diam, sekedar mengamati mereka, sambil sesekali ikut-ikutan tertawa jika ada sesuatu yang lucu, seperti cerita Aldiano yang kemarin kebelet buang air di Mall, dan tanpa sengaja membuka bilik kamar mandi yang didalam nya ada seseorang yang sedang buang air besar.
"Terus... terus gimana?" tanya Adipati menunggu kelanjutan cerita Aldiano yang sekarang sedang tertawa ngakak. "Ya aku di teriakin sama dia, sampai semua orang yang ada toilet itu ngeliat kearah aku semua, nah terus aku kan panik tuh, gatau mau ngapain karena bingung, jadinya aku lari aja dari sana, terus pintu nya nggak aku tutup lagi, terus orang yang didalam kamar mandi itu tambah kenceng teriaknya, soalnya yang lain pada ngeliat kedalam," jelas Kiano--panggilan Aldiano--sambil masih menahan tawa nya yang setelah bercerita kembali meledak.
Aku pun ikut tertawa, namun tidak se-ngakak yang lain, dan hal itu rupanya justru membuat Eris merasa ada yang janggal padaku karena tidak tertawa ngakak seperti mereka.
"Kalau kamu gimana Tar?" tanya Eris membuat yang lain langsung berhenti tertawa, dan seketika melihat kearah ku.
"Gimana apanya?" tanyaku lagi karena tak paham. "Kamu ada cerita nggak?"
"Oh cerita," kataku. "Ada, tapi belum selesai, baru setengah nya aja," jelas ku, membuat yang lain diam mematung sambil menatap ku. "Maksud nya gimana?" tanya salah satu dari mereka.
Akupun langsung tersadar jika aku sedang salah tanggap, "eh nggak, aku ngga ada cerita," jelas ku cepat membuat mereka seketika menjadi paham. "Ehm... kayanya aku haus nih, mau ke kantin dulu beli minum," kataku lagi sambil berdiri untuk segera bergegas pergi.
"Eh, ikut dong, aku juga haus nih," ucap Adipati lalu ikut-ikutan berdiri.
"Aku juga ikut," tambah Kiana, dan setelah itu Kiano, dan Eris pun juga memilih untuk ikut dengan kami menuju kantin.
Kami keluar kelas, dan mendapati jika keadaan sudah berubah sejak aku datang tadi. Sekarang sudah banyak orang, banyak siswa yang berlalu lalang, dan sekolah sudah ramai. Di tengah perjalanan menuju kantin, kami bertemu dengan Rara dan Aqila yang juga memilih untuk ikut ke kantin ramai-ramai.
~
Hari ini diawali dengan pemandangan langit yang cerah, namun siapa yang tau bagaimana keadaan nanti malam, bisa saja, sebagai penutup hari badai akan datang malam nanti. Sama seperti sebuah hubungan, yang awalnya bahagia, belum tentu berakhir bahagia, karena kebanyakan justru berakhir menjadi kacau, seperti diakhiri dengan badai di tengah malam.