Hari ini, langit bisa dikatakan cukup mendukung ku untuk menghabiskan waktu diluar rumah. Ia terlihat begitu cerah, penuh akan warna biru tanpa ada sedikitpun warna putih yang menggangu.
Aku hanya bisa memandang langit dari dalam kamar, menatapnya dengan seksama, membayangkan bagaimana cara ku untuk menghabiskan hari dibawah langit yang sedikit pun tak memiliki aura kesedihan didalamnya, sementara aku, masih diliputi aura gelap tentang luka yang belum juga sembuh, dan tak sedikitpun memiliki sebuah niatan untuk menjadi diriku yang dulu, yang penuh akan tawa, ceria, seperti langit cerah diatas sana.
Aku tak paham, dan tak mengerti, mengapa manusia bisa dengan mudahnya untuk mengingat, namun sangat sulit untuk melupa. Sangat siap untuk jatuh hati, namun sangat tak siap jika patah hati.
Aku masih ingat dengan jelas bagaimana awal pertengkaran ayah dan ibu ku, bagaimana pertemuan ku dengan Amara, bagaimana cara gadis itu meninggalkan ku, aku masih ingat semuanya. Namun, tak satupun ada yang berhasil aku lupa.
Aku sangat membara saat akan mengungkapkan apa isi hatiku pada Amara waktu itu, sangat antusias, saking bersemangat nya, aku sampai gelisah, tak tenang. Tapi, saat Amara meninggalkan ku, aku menganggapnya sebagai khayalan ku, sebatas mimpi buruk ku, tak mau menganggapnya menjadi nyata, karena aku tahu, jika itu nyata, aku akan merasakan sakit. Dan ternyata, memang benar, aku merasakan sakit.
Jika kalian menganggap aku lemah, tak apa, aku mengerti, sebab kalian hanya melihat, hanya mendengar, hanya membaca. Kalian tak merasakan luka apa yang datang menghampiri ku, kecewa semacam apa yang ku rasakan, dan kesedihan seperti apa yang menenggelam kan ku.
***
"Sudah, kau terima saja kenyataan, tak perlu larut dalam kesedihan, kau harus bangkit, ini bukan akhir dari hidup mu. Kematian ibu tidak serta merta membuat mu menjadi pribadi yang mati. Putus nya hubungan mu dengan kekasih mu tidak membuat hubungan mu dengan dunia luar menjadi putus. Kau harus bangkit, jika tak masalah, aku bisa datang menjemput mu, membawa mu ke kota ku. Dengan begitu, setidaknya kau bisa sedikit melupakan semua luka yang kau rasa, kau meninggalkan kota yang menjadi saksi semua duka. Jika kau berkenan, balas pesan ini, atau tidak langsung telepon aku. Ku usahakan aku akan ada 24 jam untuk mu. Ingat, jangan berbuat bodoh, kau tidak sendirian di dunia ini, masih ada aku.
Tertanda, Alan."
Setelah mengupas semua luka dan duka sejak pagi, kini aku sedang duduk didepan televisi sambil memegang handphone dan membaca pesan dari seseorang. Djavatrick
Icco Selatan, atau Alan, seorang manusia yang memiliki status sama dengan ku. Seorang anak yang ditinggal mati oleh ibunya, anak piatu. Dia satu-satunya manusia yang memiliki hubungan darah dengan ku, yang masih ku anggap. Kakak ku, Alan, Selatan, siapalah dia.
Alan sudah sejak lama keluar dari rumah. Lama sekali, jauh sebelum isu kericuhan terjadi didalam keluarga ku, jauh sebelum aku mengenal Amara, sepertinya ia keluar dari rumah sejak aku baru pertama kali mengenal Satya, karena saat itu, Satya kuanggap sebagai pengganti Alan, sebab itu aku menganggap Satya sebagai saudara ku.
Sebelum wafat, ibu pernah mencertiakan tentang Alan pada ku, karena mereka berdua kadang masih bertukar kabar, walau jarang.
Alan kini sudah menikah, sudah mapan, jika tak salah ia sudah memiliki seorang anak. Ia sudah bahagia, dan untungnya ia masih mengingat ku, adik nya yang sudah lama tak ia tengok. Tapi, aku membencinya, sebab, ia tak datang sewaktu ibu di kebumikan, sama hanya seperti ayahku. Keluarga besar ibuku sangat kecewa sekaligus heran, bisa-bisanya dua pelindung utama ibuku tak ada disaat detik-detik akhir ibuku berada di dunia.
Tapi, terlepas dari hal itu, aku ingin bertemu dengan Alan. Sebab saat ini, hanya ia yang aku punya.
Loh, kan kau masih mempunyai ayah dan ibu tiri? Kenapa kau tak hidup saja bersama mereka?
Dalam hati, mungkin kau bertanya seperti itu. Jangan gila kau, siapa yang sudi tinggal bersama perempuan yang merebut kebahagiaan perempuan lain? Siapa yang sudi tinggal bersama orang yang meninggalkan kebahagiaan lamanya demi kebahagiaan yang lain? Tentu nya, bukan aku. Lagi pula, aku masih menganggap ayah ada hanya karena ia masih bertanggung jawab padaku. Selebih nya, aku tak mau menganggap ia ada.
Aku akan membalas pesan Alan, tapi tiba-tiba ku urungkan niat itu. Lebih tepatnya aku menunda nya, sebab sepertinya ada sesuatu yang aneh. Darimana ia mengetahui nomor telepon ku? Dan darimana juga ia tahu jika aku baru saja putus cinta?
Alan manusia biasa, bukan cenayang, jadi tak wajar jika ia bisa mengetahui kabar ku.
"Siapa kau?" balas ku pada nomor yang telah mengirim pesan lebih dari sejam yang lalu itu. Pikir ku, ia akan lama membalas, tapi nyatanya, tidak. Sepertinya, ia memang menunggu pesan balasan ku. "Selatan," jawab nya pada baris pertama, "kau Utara bukan?" katanya lagi pada baris berikut nya.
Dilihat dari caranya membalas pesan, aku sudah mulai sedikit percaya jika dia memang Alan, Alan saudara ku. Karena di dunia ini, cuma dia saja yang memanggil ku dengan panggilan seperti itu, Utara. Begitu juga dengan ku yang akrab memanggilnya 'Selatan' bukan Alan.
"Darimana kau mendapat nomor telepon ku, dan juga kabar ku?" aku mengirim pesan balasan itu, dan semenit kemudian pesan baru kembali masuk.
Ia menuliskan satu nama yang membuat ku tak percaya. Bahkan sampai membuat ku kembali ragu jika yang mengetik pesan diseberang sana bukan Selatan. "Amara," katanya.
Lalu beberapa detik kemudian, ia kembali mengirim pesan lanjutan. "Ia menghubungi ku semalam, menceritakan semuanya. Dan aku yakin saat ini kau sedang dihadapkan oleh kenyataan palsu."
"Apa maksud mu?" balas ku.
"Aku akan menjelaskan semuanya, tapi aku akan menjemput mu, membawa mu tinggal disini, karena aku khawatir jika saja kau akan berbuat nekat jika terus sendirian disana. Bagaimana?"
"Kalau begitu jemput sekarang," balas ku.
Aku menunggu beberapa saat, namun tak ada lagi pesan balasan. Tapi tiba-tiba, pintu depan rumah ku di ketuk. Aku yang sedang larut dalam tanda tanya tentu saja merasa terkejut. Hari sudah malam, dan seseorang sedang berdiri didepan pintu masuk rumah ku. Siapa dia malam-malam datang kesini?
Aku beranjak dari sofa yang sejak tadi membuat posisi duduk ku nyaman menuju pintu depan. Tanpa rasa khawatir dan curiga, aku langsung membuka pintu, dan mendapati jika didepan sana ada dua orang manusia yang sedang menatap ku.
Mereka menegang saat melihat ku, dan aku terkejut saat melihat mereka berdiri didepan ku. Tyo dan Satya, mereka berdiri didepan ku saat ini.
"Tara," panggil Tyo. Aku menatap nya, tapi enggan menjawab. "Lo apa kabar?" tanya nya lagi berbasa-basi, dan lagi-lagi aku tak menjawab.
Aku masih melihat mereka, hanya sekedar menatap, karena sejujurnya aku tak bisa berbicara, menjadi seolah kehilangan suara. Ada jeda beberapa detik sampai Satya menyambung sapaan Tyo, dan selama detik-detik itu kami hanya bungkam, membuat suasana menjadi aneh.
"Tara, gue mau minta maaf," ucap Satya. Aku menatapnya dengan serius, seakan-akan ingin melahapnya. "Maaf?" ulang ku dingin. "Soal apa?" sambung ku.
"Tentang Amara," katanya.
"Kenapa?" tanyaku lagi.
"Gue mau minta maaf, karena udah ngambil Amara dari lo."
"Tunggu, maksud lo apaan?" Aku sebenarnya paham tentang ucapan Satya, tapi aku pura-pura tak tahu, sengaja, supaya ia bisa mengungkapkan kesalahannya sendiri.
"Lo, putus sama Amara, kan? itu gara-gara gue."
"Kok bisa gitu?"
"Gue juga nggak tahu, tiba-tiba aja gue sama dia udah nyaman, jadinya gue nyuruh Amara putusin lo."
Akupun mengangguk paham. Sebenarnya, sekarang ini aku sangat emosi, dan sangat ingin untuk melayangkan kepalan tangan ku ini ke bibir Satya, tapi aku masih menahan nya sebab masih ingin mengorek informasi lebih dalam.
"Terus, lo mau ngapain datang kesini?" tanyaku lagi.
"Minta maaf."
Aku membuang napas, "gue lagi ada urusan di dalam, lo berdua cuma datang mau minta maaf aja kan? Kalau cuma itu, gue tinggal masuk ya." Aku pun berjalan mundur perlahan, lalu memegang daun pintu, dan perlahan mendorongnya, menutupnya, sampai wujud Satya dan Tyo menghilang.
Aku pikir mereka akan langsung pulang, tapi rupanya tidak. Satya bahkan sempat menahan pintu agar tak tertutup, namun aku tak peduli dan tetap menutup pintu. Saat ini nereka memilih untuk duduk di kursi teras depan. Satya duduk sambil menempatkan tangannya dibelakang leher, ia terlihat sedang pusing. Sedangkan Tyo duduk dengan raut wajah bingung. Entah apa yang sedang mereka pikirkan, tapi sepertinya mereka cukup kebingungan.
Perhatian ku tiba-tiba teralihkan oleh suara telepon masuk dari handphone yang ku simpan di meja depan televisi. Aku buru-buru mengambilnya, lalu mendapati sebuah nomor sedang memanggil ku. Tanpa ragu, aku mengangkat telepon itu, dan dari seberang sana aku mendengar suara yang sudah lama tak ku dengar, suara Selatan.
"Aku akan datang menjemput mu, mungkin akan tiba beberapa jam lagi, lokasi rumah masih ditempat yang dulu bukan?" tanya orang itu.
Aku mengangguk, "Ya, tak ada yang berubah dengan lokasi ataupun rumahnya. Yang berubah hanya penghuni nya saja, dari empat tersisa satu."
"Jangan berkata seperti itu."
"Kau tak merasakannya, jadi kau tak paham."
"Aku bagian dari keluarga itu, tentu aku paham."
"Paham? dan dimana kau saat pemakaman ibu?" tanya ku dengan nada datar.
"Maafkan aku, tapi saat itu aku belum mengetahui kabar duka itu. Jadi, aku tak bisa berada disana."
"Ya, terserah, aku akan menunggu mu di ruang keluarga. Ketuk pintu keras-keras jika aku tak menjawab panggilan mu yang ketiga, karena itu artinya aku sudah tertidur."
"Oke, baiklah, tunggu beberapa jam lagi."
"Ya."
Panggilan ku akhiri.
Ada rasa canggung saat mengobrol dengannya, tapi untungnya ia tak berubah. Aku kembali duduk di sofa, menonton acara televisi untuk menunggu kedatangan Selatan.
Malam ini, aku merasa sedikit hidup dari pagi tadi. Perkataan ku benar bukan? Aku lebih merasa bahagia, daripada tadi pagi, karena aku sudah berjanji aku akan bahagia, bukan sore, lebih tepatnya malam.