Read More >>"> Irresistible (What Makes You Beautiful) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Irresistible
MENU 0
About Us  

What Makes You Beautiful? 

 

Tepat pukul setengah enam pagi sebelum mentari memancarkan sinarnya, embun masih menutupi dedaunan, dan kabut menggumpal menutupi jalanan , Yhena serta Mr. Carton sudah berada di depan rumah dengan mobil yang selesai dipanasi, mereka telah bersiap untuk meninggalkan rumah. Mrs. Jessica tidak datang untuk mengucapkan selamat tinggal atau sekedar selamat jalan pada Yhena, ia memberi alasan bila harus pergi ke luar kota untuk proyek kerjanya, Yhena hafal betul alasan itu, ibunya memang belum berubah bahkan sampai hari ini. Mrs. Jessica tidaklah jahat, hanya saja ia gila kerja hingga lupa akan hal yang lebih penting dari pekerjaan. Meninggalkan rumah pagi ini untuk Mr. Carton hanya bersifat sementara, karena ia hanya mengantar Yhena ke rumah Bibi Megan dan Paman Charli, tetapi bagi Yhena, ia akan meninggalkan rumah untuk waktu yang tidak singkat. Atau bahkan ia tak akan kembali bila keadaan berkata lain. 

Tampak tas-tas besar sudah tertata rapi di dalam jok mobil. Yhena tidak perlu menangis atau mengucapkan selamat tinggal pada bangunan tua itu yang samasekali tidak ada kenangan di dalamnya, ia hanya sudah terbiasa jadi, akan sedikit sulit baginya untuk meninggalkan rumah tersebut. 

Mr. Carton segera mengunci pintu dan menghampiri mobil. Ia tak biasanya membukakan pintu mobil terlebih dahulu untuk anaknya, Yhena hanya menatap dengan heran. 

“ Apakah keputusanmu ini sudah bulat? “ Mr. Carton ingin memastikan sekali lagi pada Yhena sebelum menutup mobil.

“ Aku tidak pernah seserius ini “ jawab Yhena singkat sembari menutup pintu mobil. Ia malas membahas hal itu. Menurut Yhena jika Ayahnya terus memastikan keputusannya, perasaannya akan berubah dan keraguan akan datang. Maka dari itu ia tak mau mendengar Ayahnya menanyakan hal itu lagi. Ia lebih baik menghindar. Yhena yakin keputusannya kali ini benar dan tidak salah.

Di sepanjang perjalanan, Yhena terus melihat keluar jendela. Menatap, memandangi lingkungan yang  ia tinggalkan. Sepertinya jika kedua orangtuanya tidak membuat masalah, ia tidak harus meninggalkan wilayah dimana sebelumnya ia berpijak. Memang berat, tapi Yhena rasa ia akan tumbuh dewasa bila pergi ke lingkungan baru. Entah, apa yang tengah ia pertimbangkan. Namun ia tak mau kembali ke rumah lamanya untuk saat ini.

Bibi Megan? Paman Charli? Nama yang terdengar begitu asing di gendang telinga Yhena. Ia berharap mereka seseorang yang ramah dan mudah bergaul dengan orang baru seperti dirinya. Yhena akan berusaha beradaptasi, mengenal siapa itu Bibi Megan dan Paman Charli.

“ Kau yakin tidak ada yang tertinggal? “ suara Mr.Carton membuyarkan lamunan Yhena. Ia terkejut dan refleks menggigit bibirnya. Ia harap bibirnya tidak berdarah.

“ Oh... Ku rasapun bila ada yang tertinggal, kita tak perlu kembali “ ujar Yhena mulai tenang. 

Mr. Carton hanya mengangguk dan menghembuskan nafas kecewa. Ia tampak jelas merasakan hal itu, mungkin ia masih berharap bila anaknya berubah fikiran dan mau kembali tinggal bersamanya. Tapi Mr. Carton menghargai keputusan yang telah diambil anaknya. Ia lebih memilih Yhena tinggal bersama Bibi Megan dan Paman Charli daripada tinggal bersama mantan istrinya, akan lebih buruk bagi keadaan Yhena. Menyesal atau tidak, Mr. Carton tetap tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Namun ini bukanlah tentang perceraiannya melainkan soal pernikahannya. 

Sejenak Yhena merenung. Sebenarnya sebelum Ibunya mendapatkan perkejaan, keluarga mereka masih dapat dikatakan harmonis dan Mrs. Jessicapun belum melupakan kewajibannya sebagai seorang istri dan ibu. Pada saat itu Yhena masih duduk di sekolah dasar. Mereka bahkan selalu meluangkan waktu hanya untuk sekedar menonton acara tv bersama diakhir pekan dan pergi ke suatu tempat yang menyenangkan sebagai hadiah untuk keberhasilan Yhena ketika lulus dari sekolah dasar dengan nilai yang memuaskan. Tetapi selang beberapa minggu setelah itu, interview yang dilakukan Mrs. Jessica juga berhasil dan ia diterima disalah satu perusahaan sebagai seorang pegawai kantoran. Tentu Mr. Carton memberikan selamat tanpa perasaan resah. Namun kinerja Mrs. Jessica yang dianggap bagus dan terus meningkat oleh atasannya, membuat dirinya diangkat menjadi seorang sekretaris direktur. Waktu untuk keluargapun menjadi sangat minim dan Yhena mulai merasakan perubahan dari sikap ibunya. Ayahnya yang sering bertugas diluar kota juga membuatnya jarang berada di rumah hingga Yhena sering sendirian bahkan dapat dikatakan Yhena jarang melihat kedua orangtuanya. Dan puncak kesibukan kedua orangtua Yhena ketika Yhena sudah beranjak remaja hingga masuk kuliah dan saat ibunya diangkat menjadi wakil direktur. Mrs. Jessica yang berangkat dari pagi buta sebelum Yhena bangun dan pulang larut malam ketika Yhena sudah tidur membuat komunikasi diantara mereka sangatlah jarang atau bahkan tidak pernah dan Ayahnya juga tidak lebih baik dari Ibunya, mereka sama saja bagi Yhena. Luka yang ada di hati Yhena, ia simpan sendiri. Meski disana sudah tersedia seorang pembantu rumah tangga, tetap saja itu tidak membantu, bahkan bagi Yhena tidak ada gunanya. 

Berulangkali Yhena membuang jauh-jauh semua bayang-bayang itu, dadanya terasa sesak saat mengigatnya ataupun memfikirkannya. Namun tidak mungkin bayang tersebut akan hilang karena ia merasakannya sendiri dan dirinyalah peran utamanya atau korban? Yhena merasa lebih dari itu. Namun entah mengapa ia tetap menginginkan keluarganya selalu utuh karena ia berharap akan ada perubahan tapi, harapannya hanyalah sebuah mimpi sekarang, ia sadar sudah tidak ada lagi harapan untuk keluarganya. Dan hal itu menambah luka lagi dihatinya. Dan hanya dia yang merasakannya, bukan orang lain, ataupun kedua orangtunya. 

***

Setelah satu jam berlalu dan Yhena juga sempat tertidur beberapa menit, akhirnya Yhena dan Mr. Carton tiba di tujuan mereka. Yhena lekas keluar dari mobil dan menghembuskan nafas lega. Sejenak ia memandangi bangunan rumah yang terlihat damai dan indah di depan kedua matanya. Ia lebih merasa membaik saat melihat suasana dan keadaan disana. Seperti yang ia harapkan, sejuk dan lembab. Ia tak salah memilih tinggal dengan Bibi Megan dan Paman Chrarli. Mr. Carton lekas menyuruh Yhena untuk mengetuk pintu tanpa merasa sungkan, ia juga sudah berbicara dengan Bibi Megan sebelumnya, dan biarlah ia yang membawa masuk tas-tas di dalam jok mobil. Yhenapun menuruti apa yang Ayahnya katakan, ia perlahan mengetuk pintu.

Tidak selang waktu lama, terbukalah pintu itu. Tampak wanita paruh baya berkulit putih, rambut hitam yang diikat, postur pendek, sedikit gendut dan senyuman yang merekah di wajahnya. Ialah Bibi Megan. Yhena membalas senyuman itu. Tidak disangka Bibi Megan langsung memeluk Yhena, sontak gadis berparas anggun itu terkejut. Sedikit ia merasakan kehangatan dari pelukan wanita paruh baya itu yang sudah sangat lama tidak ia rasakan. Bibi Megan kemudian mempersilahkan masuk Yhena dan Mr. Carton. Ia menyambut dengan begitu ramah, persis dengan bagaimana yang Yhena bayangkan.

Bibi Megan mempersilahkan duduk terlebih dahulu, ia akan kembali lagi dengan beberapa cangkir teh hangat dan makanan ringan. Yhena hanya terus mengangguk. Ia menghempaskan tubuhnya ke sofa yang cukup empuk untuk sekedar merasakan nyamannya rumah itu. Diam-diam Mr. Carton memperhatikan anaknya, ia merasa tidak kawatir saat Yhena mulai terlihat nyaman.

Kemudian kembalilah Bibi Megan dengan apa yang ia katakan tadi, tapi sepertinya ia juga membawa seseorang. Pria paruh baya, berkulit coklat, berambut hitam, tinggi, dan Yhena tak dapat mempungkiri bila karisma kakek itu sangat tinggi. Yang ada di benak Yhena ketika pertama kali melihat kakek tersebut adalah, Paman Charli. Yhena fikir Bibi Megan tidak salah memilih seorang pasangan, seleranya cukup tinggi.

“ Carton, bagaimana kabarmu? Aku sangat terkejut ketika mendengar berita bila kau dan Jessica berpisah... “ ujar Paman Charli.

“ Ya... Semua berlalu begitu saja seakan tidak membakas “ kata Mr. Carton. 

“ Bagaimana jika kita membicarakan gadis cantik ini saja? “ saran Bibi Megan melirik Yhena sembari menyenggol lengan suaminya agar berhenti membahas hal yang membuat perasaan Yhena semakin terluka.

“ Oh... Kau benar, istriku....! Halo Yhena, kau tumbuh begitu cepat. Terakhir kita bertemu kau baru setinggi pinggulku dan aku masih semuda Ayahmu... “ ulas Paman Charli disertai canda tawa.

“ Bukan hanya itu, lihatlah dia sekarang. Pasti di Universitasnya yang baru, dia akan menjadi idola karena kecantikannya...” sambung Bibi Megan disertai tawa Mr. Carton yang ragu-ragu.

“ Ini sudah berlebihan, kalian membuat kepalaku semakin besar “ Yhena mengumbar candaan. Ia membuat suasana menjadi penuh tawa. Mr. Carton tidak menduga bila Yhena akan bersikap seperti tidak terjadi apa-apa walau ia tahu yang sesungguhnya. Jauh dilubuk hati Mr. Carton yang paling dalam, ia sangat merasa bersalah. Ia tidak tahu harus bagaimana untuk menebus semuanya, semua yang sudah Yhena rasakan selama ini karena dirinya yang tidak peka dan hanya mementingkan pekerjaannya. Semoga luka anaknya dapat pulih disana. Dan yang terpenting, ia dapat menerima maaf dari Yhena. Ia begitu rindu pada anaknya itu namun, ia masih terlalu takut untuk merangkulnya kembali. Dilain sisi ia tahu betul bila anaknya pasti sangat membenci dirinya dan Mr. Carton paham mengapa. 

Tanpa Mr. Carton sadari setetes air mata jatuh dari kelopak matanya, segera ia hapus ketika Bibi Megan bertanya.

“ Yhena, kapan kau akan mulai masuk? “ tanya Bibi Megan sambil memberikan secangkir teh hangat untuk mengahangatkan tubuh Yhena.

“ Entah. Tapi sepertinya ada hubungannya mengapa aku berangkat menuju rumahmu pukul setengah enam pagi “ jawab Yhena.

“ Ayo, kuantar kau sekarang. Kelasmu dimulai duapuluh menit lagi “ kata Mr. Carton beranjak berdiri.

“ Benar. Hari pertama memang harus diantar “ ujar Bibi Megan.

“ Tunggu sebentar, aku akan menata pakaianku terlebih dahulu.. “.

“ Apa maksudmu? Kau kan lelah setelah naik mobil menuju kemari. Biarlah Paman Charli yang mambawa tasmu ke kamar barumu “ bilang Bibi Megan.

“ Tapi..... “.

“ Yhena, benar tidak apa-apa. Sudah sana pergilah, kau tidak boleh terlambat di hari pertama “ ujar Bibi Megan. Yhenapun mengangguk. 

“ Aku tahu bila aku akan merepotkan disini “ kata Yhena sembari mencangking tas sekolahnya keluar mengikuti jalan Ayahnya yang sudah menghampiri mobil.

“ Dia gadis yang baik “ luntar Bibi Megan.

“ Aku tahu “ sambung Paman Charli. 

“ Tapi banyak sekali yang ia pendam, aku dapat melihatnya dari kedua matanya “.

“ Aku tahu “.

“ Kita harus membuatnya melupakan semua rasa sakit yang ada dihatinya “.

“ Aku tahu “ ujar Paman Charli lagi dan lagi.

Yhena dan Mr. Carton segera berangkat menuju Universitas. Sebenarnya Yhena tidak terlalu tertarik untuk melihat Universitas barunya, baginya semua sekolah sama. Sama-sama tempat untuk memperoleh ilmu, hanya saja orang-orang yang menempatinya berbeda-beda. Semoga semua berjalan dengan lancar. Sebelum menyesal, Yhena mengecek isi di dalam tasnya terlebih dahulu. Ia memastikan bila apa yang ia bawa benar-benar lengkap dan tidak salah.

***

Selang sepuluh menit, Yhena akhirnya tiba di depan Universitasnya yang baru. Yhena perlahan membuka sabuk pengaman. Mr. Carton bertanya apakah ananaknya sudah siap untuk masuk hari ini, ia kawatir barangkali Yhena masih lelah. Yhena bilang jika ia tidak mungkin kembali, jadi ia memutuskan untuk masuk hari ini. Perkenalan juga lebih baik bila dipercepat. Sebelum ia keluar dari mobil ia berpesan bila Ayahnya ingin berkunjung ke rumah Bibi Megan, Ayahnya harus menghubunginya terlebih dahulu. Yhenapun segera membuka pintu mobil, namun Mr. Carton menahannya.

“ Ada apa? “ tanya Yhena dengan heran. Lama Mr. Carton menjawab, ia terus menatap kedua mata anaknya dengan sedikit berkaca-kaca.

“ Jagalah dirimu dengan baik “. Jantung Yhena seperti asing mendengar kalimat tersebut. Tapi memang asing. Yhena seperti mendapatkan cambukan yang keras. Ayahnya hampir benar-benar merusak mood-nya. Yhena berhenti menatap Ayahnya dan memalingkan kepalanya.

“ Sudah sejak lama aku menjaga diriku dengan baik....... sendirian “ ujar Yhena sembari melepaskan genggaman tangan Ayahnya dan lekas keluar dari mobil tanpa sepatah kata apapun. Tentu ia tahu efek apa dari perkataannya tadi untuk Ayahnya. Mr. Carton lebih seperti mendapatkan cambukan beribu-ribu kali lipat. Ia merasa lebih bersalah dan berurai air mata di dalam mobil. Kini ia mengerti betul apa yang anaknya rasakan. Sungguh ia merasa menyesal. 

Yhena menghembuskan nafas beberapa kali. Ia sudah menduga Ayahnya akan mengacau di hari pertama. Tidak seharusnya ia diantar hari. Kemudian ia berjalan seperti tidak terjadi apa-apa. Yhena memasuki gedung asing yang baru pertama kali ia lihat, memang sangat besar namun ia berusaha bersikap biasa saja dan tidak berperilaku aneh atau hal semacam lainnya yang membuat sorort manusia seisi Universitas tertuju padanya. 

Yhena yakin bila sekarang ia tengah berada di lobby dan ia yakin pula bila disana pasti akan ada peta Universitas. Yhenapun berusaha mencari-cari peta yang ia yakini ada. Kedua bola matanya berpencar dari sudut kiri-kanan lobby tersebut yang ukurannya lumayan besar, lebih besar dari lobby Universitasnya yang lama. Hasil pencariannya nihil. Ia samasekali tidak menemukan apa-apa. Namun tidak sengaja kedua matanya melihat pemandangan yang sebelumnya tidak pernah kedua matanya lihat. Yhena merasakan hal yang berbeda. Yhena terpaku. Waktu seperti ikut berhenti ketika Yhena mendapati seorang mahasiswa laki-laki berdiri sendiri menyandarkan tubuhnya di dinding dekat tangga utama. Laki-laki itu menggunakan celana jeans hitam, kaos berwarna putih, dan dibalut dengan kemaja biru tua dengan kaki kanan yang ditekuk kebelakang untuk menyamankan dirinya menyandar. Ia terlihat tengah sibuk membaca sebuah buku, tapi ia tidak terlihat seperti kutu buku, ia juga tidak memakai kaca mata. Pertanyaan yang kini ada dibenak Yhena adalah, siapa dia?.

Namun saat Yhena berpaling beberapa detik dan kembali ke sudut dimana laki-laki itu berpijak, ia tak mendapati laki-laki itu lagi. Ia tidak melihatnya. Dimana dia?. Pertanyaan kedua yang muncul dibenak Yhena. Tetapi ia tak ambil pusing, ia tidak mau berlarut-larut. 

Yhena benar-benar lupa. Dikarenakan gedung Universitas yang begitu besar dan banyak orang yang berlalu lalang, Yhena menjadi sedikit kesulitan untuk menemukan dimana jalan menuju gedung fakultasnya. Bahkan ia tidak ingat samasekali penjelasan dari Ayahnya tentang dimana tempat fakultasnya berada. Ia ingin bertanya, tapi rasa gugupnya sangat menahan bibir merahnya untuk bersuara. Saat ia mau berbalik arah, Yhena tak sengaja menabrak seseorang yang ternyata ada di belakangnya hingga sebuah sapu tangan milik mahasiswi tersebut jatuh ke lantai, Yhenapun segera mengambilnya. Yhena sempat membaca nama yang dirajut dalam sapu tangan itu, sebuah nama laki-laki yaitu Alex. 

“ Oh... Aku benar-benar tidak tahu bila kau berada di belakangku. Aku sungguh meminta maaf “ ungkap Yhena dengan rasa gugup sembari memberikan sapu tangan tersebut.

“ Ini bukan masalah besar, tak apa “ balas mahasiswi itu dengan ramah. Ia memperhatikan wajah Yhena, ia mulai bertanya-tanya. 

“ Hei.... kau bukan orang sini, benarkan? “ tanya mahasiswi itu seperti peramal. Yhena terdiam, ia heran, maksudnya darimana mahasiswi itu tahu bila ia bukan asli orang daerah ini.

“ Darimana kau tahu? “.

“ Aku hafal wajah-wajah daerah kota ini, lebih tepatnya daerah Universitas ini. kau baru pindahkan? “ tebak mahasiswi itu. Yhena mengangguk.

“ Ya... Kau benar. Aku Yhena Rider “. Yhena memperkenalkan dirinya.

“ Oh, jadi kau Yhena, mahasiswi baru. Hai, Aku Gwen Markl. Senang dapat bertemu denganmu “.

“ Kau difakultas mana? “ sungguh pertanyaan Gwen meruapakan kunci emas bagi Yhena.

“ Kedokteran. Apakah kau tahu dimana gedungnya? “ Yhena tidak akan mengabaikan kesempatan ini.

“ Kedokteran? Ini sangat kebetulan, karena aku juga mengambil jurusan itu. Jika seperti itu ayo kita pergi bersama! “ ajak Gwen sembari menarik tangan Yhena dengan antusias. 

Yhena begitu heran. Ia fikir orang seperti Gwen tidak akan ia temui di tempat lamanya, baru kali pertama ini ia menemukan seseorang seramah Gwen. Yhena rasa Gwen orang yang  menyenangkan, semoga mereka menjadi kawan yang baik. 

Ternyata gedung fakultas Yhena cukup jauh dari lobby. Tapi itu tidak masalah bagi Yhena. Ia segera memasuki kelasnya yang ternyata juga menjadi kelas Gwen, mereka sepertinya memang ditakdirkan untuk bertemu dan berteman.

Belum lama Yhena duduk di bangku barunya, dosen laki-laki, cukup tinggi, berkulit coklat, dan berambut coklat datang memasuki kelas dengan seperangkat buku-buku beserta alat-alat mengajarnya, ia kira-kira seumuran Ayah Yhena. 

“ Dia Mr. Fred. Sangat galak dan menyebalkan “ bisik Gwen. Yhena hanya mengangguk tanpa berpaling ke wajah Gwen. Bangku mereka hanya bersebelahan dan cukup dekat jadi memungkinkan mereka untuk berbisik-bisik.

Mr. Fred atau sering dipanggil dengan Dosen Killer satu-satunya yang ada di fakultas Kedokteran oleh kebanyakan mahasiswa di Universitas itu dikarenakan perilaku dan tingkahnya yang tidak wajar, seperti mafia. Ia tak banyak bicara, ia bahkan tak pernah menatap seseorang yang tengah berbicara dengannya. Dan dia begitu sulit untuk ditemui diluar jam mengajar, aplagi saat pengumpulan tugas yang sudah deadline. Sejenak ia duduk dan membaca selembar kertas berwarna putih yang Yhena rasa ada sangkut pautnya dengan kedatangannya pagi ini. 

“ Nona Yhena Rider? “ panggil Mr. Fred dengan tajam.

“ Ya..! “ jawab Yhena sambil mengangkat tangan kanannya.

“ Majulah ke depan kelas dan perkenalkan dirimu “ perintah pertama dari Mr. Fred. Yhenapun beranjak dari bangkunya dan melangkah ke depan. 

Yhena kini berada di depan semua pasang mata mahasiswa yang ada di kelas barunya itu. Semua fokus tertuju pada Yhena, khususnya para kaum laki-laki, mereka pasti sangat terasa tercuci matanya oleh wajah Yhena yang menganggumkan. Yhena memang sangat cantik, ia seperti seorang princes di dunia dongeng namun tersesat di dunia nyata. 

“ Hai semuanya.. Aku Yhena... Yhena Rider. Aku baru pindah hari ini dan kuharap kalian dapat membantuku disini “ luntar Yhena dengan cara bicaranya yang khas, cool power di dirinya memang muncul sendiri tanpa ia buat-buat walau sebenarnya ia tipe orang yang ramah. Setelah itu Mr. Fred menyuruh Yhena untuk kembali duduk tanpa menanyakan apa-apa lagi. Untuk mempersingkat waktu, Mr. Fred langsung memerintahkan semua anak didiknya menuju Lab untuk praktikum. Hari pertama praktikum? Ini adalah kejutan untuk Yhena, ia harus mengikuti semua prosedur dengan rapi tanpa keluhan.

***

Seuasai praktikum di Lab, Yhena dan Gwen keluar dengan lemas. Barangkali mereka lelah karena praktikum tadi begitu menguras keringat dan otak. Yhena merapikan rambut dan pakaiannya, jas berwarna biru tua barunya, ia masukkan ke dalam tas. Gwen menyarankan untuk duduk di tangga halaman depan Universitas saja, menurutnya disana adalah tempat yang cocok untuk membicarakan banyak hal. Gwen yakin Yhena ingin tahu semua tentang luar dalam Universitas ini. Yhena bilang ia sama sekali tak keberatan, lagipula pengetahuan seperti itu perlu ia tahu. 

Mereka berdua kini duduk bersampingan di salah satu tangga yang melintang panjang di area teras Universitas. Banyak mahasiswi dan mahasiswa yang bercakap-cakap disana dengan urusan mereka masing-masing. Disana memang tempat yang nyaman untuk sekedar mengobrol atau hal lainnya. 

“ Yhena, mengapa kau memutuskan pindah kemari? “ tanya Gwen sembari memberikan sebotol air mineral dingin.

“ Apakah itu penting? “ Yhena balik bertanya sambil membuka kuat tutup botol minuman yang sangat erat tertutup.

“ Baiklah, buang saja pertanyaanku tadi.... Emmm apa kau melihat mahasiswa laki-laki di sudut sana? Mahasiswa berbaju coklat berdiri di depan mobil itu? “ Gwen mengalihkan pembicaraan dan mengubah topik pembicaraan. Ia ingat bila tujuannya mengajak Yhena ke tangga untuk membicarakan tentang luar dalam isi Universitas.

“ Ya... Dia cukup tinggi “ ucap Yhena datar.

“ Apakah kau bercanda? Dia adalah Roger Janson, anak dari Kepala Polisi daerah ini. Dia begitu terkenal di Universitas karena banyak mengikuti kegiatan dan selalu menjadi panitia dalam segala pelaksanaan, ditambah dengan wajahnya yang begitu tampan. Banyak mahasiswi yang ingin bersanding dengannya di acara akhir tahun... “ jelas Gwen panjang lebar sangat bersemangat. 

Namun ulasan Gwen tentang Roger bagaikan hempasan angin di telinga Yhena, sama sekali tidak ia dengarkan. Kedua matanya daritadi tertuju pada satu titik. Pada satu objek yang membuat perasaannya entah mengapa berubah seperti tidak stabil. Ia merasakan suatu ketenangan. Yhena masih ingat dengan warna kaos putih dan kemeja biru tua itu. Tapi lamunannya langsung terbuyarkan ketika Gwen sadar bila sejak tadi ia tak mendengarkan apa yang Gwen jelaskan.

“ Yhena, kau tak mendengarkanku? “ keluh Gwen.

“  Oh! Maaf, tapi siapa dia? “ tanya Yhena tak berpaling dari laki-laki itu.

“ Oh dia. Dia Peter... Peter Harrow. Si pendiam...”.

“ Ku fikir orang seperti itu hanya ada di film saja “ ujar Yhena.

“ Dia memang tampan. Tapi sikap pendiamnya itu membuatnya tidak terkenal seperti Roger, bahkan mahasiswa disini tak ada yang menyadari ketampanannya.. “.

“ Tapi ku rasa sikap pendiamnyalah yang membuatnya menonjol daripada yang lainnya. Dia membuat setiap orang menjadi penasaran.. “.

“ Dia sombong. Peter tidak pernah membalas sapaan setiap orang, dia sangat menyebalkan.. “ kata Gwen penuh kesal.

“ Ku harap kau tidak sedang membicarakan yang pernah kau alami “ sindir Yhena.

“ Baiklah, aku memang pernah menyapanya dan dia tidak membalasnya... Ayolah, Yhena. Kau membuang waktumu hanya untuk membicarakan laki-laki seperti itu... “.

“ Tidak, aku hanya sekedar ingin tahu saja “. 

“ Baiklah, aku mengerti... “ ujar Gwen yang terlihat sibuk mengutak-atik isi tasnya, ia tengah mencari ponselnya. Yhena bertanya apakah ia dapat membantu, Gwen bergeleng, ia dapat mencarinya sendiri. Namun tak lama kemudian malah satu persatu dari tasnya keluar jatuh karena gerak tangan Gwen yang semakin keras mencari ponselnya, hingga sebuah sapu tangan ikut terjatuh. Yhenapun mengambilnya. Belum genap lima detik Yhena mengambil sapu tangan tersbeut, Gwen menjerit bahwa ponselnya sudah ia temukan. 

“ Gwen, bukankah ini sapu tanganmu tadi pagi yang tidak sengaja kujatuhkan? “ tanya Yhena memastikan.

“ Iya, kau benar “.

“ Apakah ini untuk kekasihmu? “. Yhena kembali melihat nama yang terajut di saputangan tersebut, ‘ Alex ‘. 

“ Tidak, itu untuk Ayahku. Besok adalah ulangtahunnya dan aku merajutnya sendiri “ jawab Gwen menjelaskan. Yhena kembali merasakan kesedihan. Ia teringat pada kejadian tadipagi antara dirinya dengan Ayahnya.

“ Pasti Ayahmu akan sangat senang dan mungkin akan terharu menerima hadiahmu ini “ ungkap Yhena sembari memberikan saputangan tersebut pada Gwen. Namun ketika mendengar perkataan Yhena, entah mengapa sorot mata Gwen yang tadinya bangga berkata bila saputangan itu buatannya sendiri menjadi lebih sendu seperti diri Yhena sekarang. Yhena tidak tahu mengapa, ia juga baru mengenal Gwen jadi, ia tidak dapat membaca jelas apa yang Gwen rasakan.

  “ Sepertinya aku harus pulang, aku takut Bibi Megan kawatir menungguku.. “ ujar Yhena tiba-tiba dengan beranjak bangun dari tangga dan mencangking tasnya. Mood nya cepat sekali berubah belakangan ini, mungkin ini juga karena persoalan kedua orangtuanya, tentu hal tersebut menjadi faktor utama. 

“ Baiklah, berhatilah-hatilah “. Yhena mengangguk. 

Yhena segera pulang, ia berjalan kaki untuk kembali ke rumah Bibi Megan. Tapi mulai besok pagi, ia akan menggunakan sepeda untuk berangkat maupun pulang. Mr. Carton akan mengirimnya langsung esok pagi-pagi buta. Namun ketika Yhena sudah sampai di gerbang, ia seperti melupakan sesuatu. Setelah ia ingat-ingat, barulah teringat bila ia harus pergi ke Perpustakaan terlebih dahulu untuk meminjam sebuah buku yang harus ia pahami untuk melanjutkan praktikum besok. Sebenarnya ia malas kembali karena ia sudah terlanjur sampai di gerbang, Perpustakaan juga entah masih dibuka atau tidak, tapi ia tak mau membuat masalah dengan Mr. Fred, ia juga menyadari bila dirinya adalah mahasiswi baru. Yhenapun memutuskan kembali dan pergi ke Perpustakaan.

Ia berjalan cepat agar tidak terlalu sore saat pulang nanti. Setapak demi setapak, saat Yhena menuju Perpustakaan tanpa diduga munculah Peter dari arah samping. Kini Peter memimpin di depan. Yhena cukup terkejut, ia yakin ini tidak disengaja, ia juga tidak peduli. Namun sepintas kata-kata Gwen tadi terlintas difikiran Yhena tentang Peter yang pendiam. Apa benar laki-laki tersebut sependiam itu? Apa benar Peter begitu dingin? Muncul rasa penasaran dalam benak Yhena. Jika ia ingat-ingat kembali saat dimana pertama kali dirinya melihat sosok Peter, hal pertama yang ia tangkap dari laki-laki tersebut memang misterius. Sorot mata Peter tampak misterius serta gerak-geriknya, Yhena sedikit mengetahui hal itu dan mencoba menganalisis karena ia dahulu sempat bercita-cita menjadi psikolog dan sempat beberapa kali membaca-baca buku tentang panduan psikolog, apalagi baru tadi pagi ia bertemu dengan Peter, masih terbayang jelas bagaimana skema diri Peter dibenak Yhena.

 Ditengah-tengah ia berjalan sembari berfikir, perhatian Yhena sedikit teralihkan ketika melihat bagian anak tas Peter yang ternyata belum tertutup sempurna. Apa ia tak kawatir bila barangnya jatuh?, pikir Yhena.

Belum genap lima detik Yhena memfikirkan hal itu, sebuah buku kecil jatuh dari tas Peter. Tapi Peter tak menyadarinya, Yhena bingung harus mengambilnya atau tidak. Tapi terbesit kata-kata Gwen lagi yang daritadi ia fikirkan. Yhenapun mengambilnya, ia ingin membuktikan perkataan Gwen. Bila Yhena perhatikan, buku yang jatuh dari tas Peter mirip dengan buku diary. Sedikit membuat Yhena heran. Ia tidak menduga masih ada yang memakai buku harian di jaman yang super modern dan canggih ini, terlebih seorang laki-laki? Yhena hampir gila memikirkannya, tanpa basa-basi ia langsung memanggil Peter.

“ Hei! “ Peter tak menoleh.

“ Hei.. Kau ! Kau kemeja biru tua ! “ Peter masih tak menoleh.

“ Kau ! Peter ! Peter Harrow ! “ barulah langkah Peter berhenti dan akhirnya menoleh.

“ Kau memanggilku? “ tanya Peter tanpa ekspresi.

“ Ya! Dan ku rasa nama Peter Harrow di Universitas ini hanya dirimu“. Peterpun mendekat.

“ Ada apa? “.

“ Berhatilah-hatilah. Mungkin jika bukan aku yang menemukannya, semua rahasiamu besok akan terbongkar... “ ujar Yhena sembari memberikan buku tersebut.

“ Dan jika baru besok aku menerimanya, mungkin rahasiaku juga akan terbongkar “ balas Peter sambil menyaut bukunya dan beranjak pergi tanpa ucapan terimakasih atau semacamnya. Yhena tidak habis fikir.

***

Setibanya di rumah, Yhena menutup pintu dan menghampiri meja makan. Tampak Bibi Megan sudah ada disana tengah menyiapkan beberapa makanan. Yhena meletakkan tasnya di salah satu kursi kosong di meja makan dan ia duduk melepas lelah. Perlahan Yhena mengusap dahinya. Ia merasa lelah sekali, barangkali karena ia terbiasa menggunakan kendaraan bila kemana-mana dan sekarang ia harus lebih belajar mandiri.

“ Bagaimana hari pertamamu? “ tanya Bibi Megan.

“ Tidak terlalu buruk. Dimana Paman Charli? “ tanya Yhena sembari menuangkan air dingin ke dalam gelasnya.

“ Pamanmu tidak bisa jika tidak melihat acara TV kesukaannya. Apakah kau lapar? Bibi sudah memasak makanan kesukaanmu... “.

“ Pasti Ayah yang memberitahumu “.

“ Ku fikir tidak ada lagi orang terdekatmu selain dirinya “. Yhena hanya tertawa kecil. Sebenarnya ia ingin menjawab namun ia rasa kembali tidak perlu, hanya akan menambah rasa penatnya saja.

Lalu Yhena, Bibi Megan, dan Paman Charli segera melaksanakan makan malam. Sedikit terasa aneh dan Yhena tidak mempungkiri bila hal ini begitu terasa asing tetapi sangat ia rindukan. Namun ia sama sekali tidak canggung begitupun Bibi Megan dan Paman Charli. Bahkan mereka makan disertai candaan yang tidak henti-hentinya Paman Charli luntarkan. Yhena begitu rindu suasana seperti ini, makan di meja makan dengan anggota keluarga, memakan masakan rumahan yang khusus dibuat untuknya, bukan buatan pembantu rumah tangga yang sebenarnya tidak pernah ia sentuh. Tetapi semua itu telah ia dapatkan di rumahnya yang baru, bersama Bibi Megan dan Paman Charli.  

Seusai makan malam dan membersihkan badan, Yhena memutuskan untuk menata serta memindahkan pakaiannya ke dalam lemari. Ia membuka lemari kayu dua pintu itu, kemudian ia mulai memasuk-masukan pakaiannya satu persatu. Yhena tak mau merepotkan Bibi Megan atau Paman Charli lagi. Bahkan ia ingin belajar memasak agar bila dirinya pulang lebih awal, ia dapat membantu Bibi Megan menyiapkan makan malam. Ia tidak mau memberatkan Bibi Megan ataupun Paman Charli karena kehadirannya, ia sudah sangat berterimakasih karena diberi tempat menumpang sementara. Terlebih ia belum terlalu akrab dan mengenal betul siapa itu Bibi Megan dan Paman Charli, tetapi bila Yhena perhatikan dalam satu hari ini walau ia baru bertemu dua kali dan hanya beberapa menit, ia yakin bahkan sangat yakin mereka berdua adalah seseorang yang baik dan tentunya penyayang. Terlihat dari bagaimana Bibi Megan bertanya padanya tentang hari pertamanya berkuliah atapun candaan Paman Charli untuk mencairkan suasana di meja makan. Yhena percaya bila semua akan baik-baik saja dan berjalan dengan semestinya.

Beberapa menit kemudian, akhirnya semua pakaian Yhena sudah tertata rapi di dalam lemari. Yhena menghembuskan nafas lega sembari menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Sejenak ia teringat pertemuannya dengan Peter tadi sore. Yhena mulai memfikirkan laki-laki itu lagi, baginya pembuktiannya belum selesai seutuhnya. Ia akui bila sekilas Peter memang terlihat dan terdengar dingin tapi itu belum cukup karena percakapannya dengan Peter juga sangat singkat, hanya sekedar mengembalikan buku yang jatuh, itu saja tanpa diembel-embeli pertanyaan yang lainnya. 

“ Apa aku harus mencoba lagi? “ gumam Yhena.

***

Keesokan harinya, Yhena bangun lebih pagi. Ia mandi lalu pergi ke dapur, Yhena memutuskan untuk membantu Bibi Megan membuat sarapan. Ia harus mulai terbiasa melakukan hal ini. Meski Yhenapun sadar diri bila ia hanya dapat memasak beberapa jenis makanan, lebih tepatnya tiga jenis makanan, yaitu telur goreng, ayam goreng, dan nasi goreng. Dilain sisi Yhena senang berkomunikasi dengan Bibi Megan dan Paman Charli. Menurutnya seseorang yang sudah berumur, dapat membuatnya bahagia bila melihat senyum tumbuh dari wajah mereka.

“ Kau sedang apa, Yhena? “. Di tengah membuat nasi goreng, tiba-tiba Bibi Megan datang. Betapa terkejutnya Yhena. Hampir saja butiran nasi gorenganya terlempar keluar dari wajan.

“ Hai, Bibi. Ternyata kau sudah bangun “.

“ Apa kau perlu bantuan? “ tanya Bibi Megan.

“ Sejauh ini ku rasa tidak. Emm... Apakah ini kurang garam? “ Yhena meminta pendapat Bibinya tentang nasi goreng buatannya. Bibi Meganpun mencicipinya, ia bilang tidak kurang apapun, Yhena berharap Bibi Megan adalh orang yang benar-benar jujur. Tapi bagaimanapun Yhena tetap tersenyum lega. Ia kira Bibi Megan akan memuntahkan nasi gorengnya, jika hal itu sampai terjadi, ia tak tahu apakah besok ia masih dapat tinggal disana atau tidak.

Yhena, Bibi Megan, dan Paman Charli bersarapan layaknya keluarga yang begitu harmonis. Yhena bangga dapat memakan hasil makanan buatannya sendiri yang ternyata memang dapat ia banggakan. Baru kali ini ia memasak untuk seseorang, untuk keluarga, lebih tepatnya untuk keluarga barunya yang sangat ia sayangi. Meski ia baru saja masuk ke dalam lingkup Bibi Megan dan Paman Charli, Yhena mulai merasakan apa itu arti sebuah keluarga yang tidak bisa ia dapatkan dari sejak lamanya. 

Tok.. Tok.. Tok. Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Yhena. Ia lekas singgah dari kursinya dan membukakan pintu. Sudah ia duga, bila tamu itu adalah Ayahnya. Tampak sebuah sepeda standar berwarna biru hitam terparkir di dekat mobil Mr. Carton. Walau Yhena sudah tahu perihal sepeda barunya, ia tetap sedikit merasa terkejut. Yhena terlebih dahulu mempersilahkan Ayahnya masuk, jangan sampai udara dingin terlalu banyak memasuki rumah Bibi Megan yang penuh dengan kehangatan.

“ Sepertinya aku tidak terlambat untuk sarapan “ ujar Mr. Carton sambil tersenyum mengejutkan Bibi Megan dan Paman Charli yang tengah menyantap makanan mereka.

“ Carton, kemarilah. Ayo bergabung, Yhena sengaja memasak banyak karena ia sudah tahu bila Ayahnya akan membawakan sepeda barunya hari ini “ kata Bibi Megan dengan tertawa kecil menggoda Yhena yang tepat duduk di sampingnya.

“ Bagaimana hari pertamamu kemarin? “ tanya Mr. Carton mencoba memulai percakapannya dengan Yhena setelah peristiwa kemarin yang membuat suasana hati anaknya menjadi buruk dan itu karena dirinya sendiri.

“ Seperti yang ku harapkan... Ayah benar-benar membelikanku sepeda baru? “ heran Yhena. Ia kira Ayahnya tak bersungguh-sungguh ketika membicarakan tentang sepeda di malam sebelum ia pindah.

“ Ku fikir kau membutuhkan kendaraan yang sehat dan tidak menyebabkan polusi “.

“ Ya, tentu saja... Menjadi anak seorang Polisi memang harus tertib dan tidak melanggar peraturan “ sindir Yhena sambil melanjutkan makannya. 

Seusai bersarapan dan memastika bila isi tasnya lengkap, Yhena siap mengendarai sepeda barunya, sebenarnya ia sedikit tak suka warna hitam. Yhena tak menyukai hal yang berbau dengan gelap, baginya terang lebih indah. Gadis berparas cantik itu segera berpamitan dan berangkat ke Universitas. Ia mulai menikmati sensasi sepeda barunya. Menurut Yhena, sepeda barunya tidak terlalu menonjol, cukup nyaman, dan ringan. Kayuh demi kayuh, Yhena mengendarai sepeda. 

Ia tidak bermaksud untuk melamun dan memfikirkan hal-hal yang berputar dibenaknya, namun memorinya tidak sengaja mengingat kejadian kemarin sore yang sesungguhnya sudah ia fikirkan semalaman. Yhena tidak tahu mengapa sulit sekali untuk membuang ingatan tentang Peter di kepalanya. Ia rasa memorinya tidak cukup banyak terisi dengan kejadian lainnya hingga memori tentang Peter yang hanya satu-satunya berputar terus dibenaknya. Yhena tidak habis fikir, tidak biasanya ia seperti ini.

***

Setibanya di Universitas, Yhena lekas memakirkan sepedanya di parkiran kendaraan yang tidak jauh dari gedung fakultasnya dan segera berjalan masuk menuju kelas . Pagi ini ia memakai pakaian yang seperti biasanya, jeans biru, kaos berwarna putih, dan sebuah jaket berbahan mantol berwarna hijau tua yang menghangatkan tubuhnya. 

“ Yhena ! “ tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara seseorang yang memanggil gadis berparas cantik itu. Yhena spontan menoleh kebelakang, dan orang tersebut ternyata Gwen. 

“ Gwen? “.

“ Hei..! Bagaimana tadi malam? Apakah tidurmu nyenyak? “ tanya Gwen sangat perhatian. Yhena cukup terkesan.

“ Tentu saja “ jawab Yhena singkat dengan senyumannya. Tiba-tiba bayang-bayang Peter kembali melintas difikarannya. Apa aku harus memberitahu Gwen tentang kemarin sore? Pertanyaan itu berdebat hebat dengan benak Yhena. Beberapa hal begitu ia pertimbangkan, ia tidak mau membuat Gwen salam paham terhadapnya karena membicarakan Peter terus menerus, sebenarnya jika kemarin ia tidak bertanya tentang Peter, mungkin akan lebih membantunya hari ini untuk membicarakan topik tentang Peter. Yhena rasa nama laki-laki itu sudah memenuhi isi otaknya.

“ Emmm sebenarnya ada sesuatu yang ingin ku ceritakan..... “. Belum 5 detik Yhena menutup mulutnya, Mr. Fred sudah terlihat dari kejauhan tengah melangkah dengan tatapan dan hentakan yang tajam. Membuat Gwen terlalu takut untuk tetap berdiri mendengarkan Yhena bicara.

“ Sepertinya kau harus menunda ceritamu itu terlebih dahulu “ tukas Gwen sembari melirik ke arah dimana Mr. Fred.

“ Ya.. Ku rasa juga begitu “.

Yhena dan Gwen segera masuk ke kelas untuk mengikuti pelajaran mereka pagi ini, sepertinya Yhena tidak cukup beruntung karena jadwal kuliahnya tampaknya selalu mendapat jam pagi. Hari ini mereka menyambung praktikum kemarin bersama Mr. Fred, Yhena tak terlalu tegang atau gugup karena tadi pagi ia menyempatkan waktu untuk belajar beberapa menit sebelum membuat sarapan. Yhena mengeluarkan buku yang kemarin ia pinjam di Perpustakaan.

“ Good Morning, everybody!! “sapa Mr. Fred 

“ Apakah kalian semua sudah membaca buku yang saya perintahkan kemarin untuk menyambung praktikum hari ini? “ tanya Mr. Fred dengan mimik muka menakutkan, kedua mata yang tajam, mirip sekali seperti pesikopat. Serentak semua mahasiswa yang ada di kelas menjawab ‘ sudah ‘. 

“ Good ! Karena jika praktikum hari ini ada salah satu kelompok yang tidak sanggup menyelesaikan tepat pada waktunya, aku tidak menjamin minggu depan bila kalian semua mengikuti kelasku “. 

Terlihat semua ekspresi mahasiswa berubah, mereka terkejut, kedua mata mereka terbelalak. Mereka tak habis fikir pada Mr. Fred. Sebagian mahasiswa berfikir jika Mr. Fred merupakan salah satu dosen yang tidak bahagia bila melihat para mahasiswanya lulus dengan nilai bagus dan lancar tanpa kendala mengerikan seperti ini atau kendalan lainnya yang pernah di buat oleh Mr. Fred. 

Namun tak begitu bagi Yhena, ia tidak tekejut atau merasa kesal sedikitpun kerena ia kini malah tengah terhipnotis kembali, persis ketika dimana ia melihat Peter untuk pertama kalinya. Kedua matanya tak dapat ia biarkan sedetikpun terpejam, waktu sejenak seperti berhenti dengan sendirinya saat melihat Peter berjalan melangkah menyusuri jalan di samping ruangan parktikumnya. Kebetulan disana terpasang beberapa jendela bertipe besar, berbentuk persegi panjang sehingga tampak jelas bagaimana Peter berjalan dengan gayanya yang tenang namun terlihat sangat cool.  Baru kali ini ia merasakan hal semacam ini. Dan yang ia herankan juga, hanyalah Peter yang mampu membuatnya seperti ini. Yhena seperti tersihir.

***

Menit demi menit berlalu. Kelompok Yhena yang terdiri dari Gwen, Kevin, dan Mike sudah hampir menyelesaikan praktikum mereka, hanya saja mereka tinggal membuat sebuah kesimpulan. Bagian seperti inilah Gwen yang paling dapat diandalkan. Setelah benar-benar selesai dan dicek kembali juga memastikan bila jawaban mereka masuk akal, merekapun segera mengumpulkan hasil parktikum mereka pada Mr. Fred. Tanpa sepatah kata  atau komentar apa-apa, Mr. Fred mempersilahkan mereka berempat keluar dari ruangan. Yhena mengambil tas dan mengikuti Gwen keluar. 

“ Yhena, aku baru teringat sesuatu jika kau tadi pagi ingin menceritakan suatu hal. Benar,kan? “ ingat Gwen memastikan.

“ Bagaimana jika kita membahas itu di kantin? “ .

“ Baiklah, praktikum tadi juga membuatku lapar “ ujar Gwen menyetujui.  

Yhena dan Gwen beranjak meninggalkan Lab. dan berjalan menuju kantin. Disana mereka bisa memberi cukup nutrisi bagi perut mereka masing-masing, lagipula Yhena belum melihat bagaimana kantin barunya. Model kantin di kampus barunya tidak jauh berbeda dengan kantin lamanya. Semua jenis menu makanan, buah-buahan, dan minuman, telah disajikan rapi diatas meja-meja sesuai menu hari ini, lantaran setiap hari menu mereka berubah, barangkali agar inovatif dan tidak membosankan. Para mahasiswa dipersilahkan mengambil sebuah baki yang sudah didesain kotak-kotak, seperti dipinggir untuk tempat nasi, disampingnya untuk sayuran dan lain-lain, hal yang terpenting adalah tentunya mereka harus berantri, ada yang berantri di sisi kanan dan sisi kiri karena terdapat dua jalur agar antrian tidak terlalu panjang. Setiap tiga gedung memiliki kantin sendiri.

“ Baiklah, aku siap mendengarkan “ kata Gwen sembari menarik kursi untuk ia duduki.

“ Emmm... Aku kemarin mencoba berbicara dengan Peter, tapi itu tak disengaja “ ungkap Yhena sedikit berbisik.

“ Kau bercanda.. “. Gwen tampak terkejut. 

“ Tidak sengaja sebuah buku emmm... semacam buku harian terjatuh dari ujung tasnya dan disana hanya ada aku dan hanya akulah yang melihat kejadian itu “.

“ Ini sungguh lelucon yang sangat hebat “. Kedua mata Gwen terus terbuka lebar. 

“ Lalu aku mengambilnya dan memberikannya pada Peter meski harus dengan tiga panggilan baru ia menoleh “.

“ Wow! Ini sungguh sulit dipercaya, kau benar-benar berbicara dengannya? “. Yhena mengangguk.

“ Tapi Yhena, ku rasa kau harus lebih berhati-hati “.

“ Apa maksudmu? Itu tidak disengaja, Gwen “.

“ Ya, aku tahu. Hanya saja tingkahnya sangat misterius, Yhena. Aku bahkan sempat berfikir bila dia adalah pesikopat “ Gwen mulai mengutarakan analisa gilanya yang membuat Yhena muak mendengarnya. Yhenapun lebih memilih meghentikan pembicaraannya dan menyuruh Gwen memakan makanannya. 

“ Gwen, tolong jaga tasku, aku akan kembali “ bilang Yhena.

Yhena memutuskan untuk mencari washtafle terlebih dahulu, lantaran ia tak terbiasa makan dengan tangan yang belum benar-benar bersih. Yhena bangkit dari kursinya dan berkeliling mencari washtafle. Hingga kedua matanya akhirnya menemukan sebuah washtafle tak berantri di sudut kantin. Yhena mendekati tempat pencucian tangan tersebut. Ketika ia sudah hampir menempati washtafle itu, tiba-tiba muncullah seseorang yang langsung menempati washtafle tersebut tanpa permisi atau sepatah kata apapun. Namun ada suatu hal yang membuat Yhena terkejut, karena orang tanpa permisi itu adalah Peter Harrow.

“ Maaf, aku tak melihatmu tadi “ ujarnya setengah sadar saat melihat Yhena yang tengah berdiri tidak jauh dari tempatnya berpijak.

“ Ku rasa kata permisi disini memang cukup diabaikan “.

“ Tidak, bukan seperti itu. Gusiku tiba-tiba berdarah, aku panik, dan hanya washtafle inilah yang kosong “ . Yhena hanya bisa terdiam memandangi wajah Peter saat berbicara dengannya. Sungguh ia tak menyangka bila Peter sedang berkomunikasi dengannya secara lancar dan tidak ada kata kaku atau semacam sikap sombong seperti yang pernah dikatakan Gwen terhadapnya atau sikap dinginnya seperti kemarin sore.

“ Ku rasa pernyataan mahasiswa disini tidak ada yang benar terhadapmu “ ulas Yhena. Sejenak Peter terdiam.

“ Oh, tentang itu. Pernyataan mereka bermunculan karena mereka tidak mengenalku dan tidak ingin mengenalku. Bahkan ku rasa sikap dinginku sedikit membantu... “.

“ Tidak. Maksudku, aku yakin kau tidak nyaman karena aku tahu kau terpaksa bersikap seperti itu, misalnya bersikap seperti kemarin sore terhadapku. Kau tidak nyaman dan oranglainpun juga begitu “.

“ Maaf bila tentang waktu itu. Ku fikir disini tidak ada yang tertarik untuk mengenalku kerena sikapku dan perilakuku yang menurut mereka misterius dan pendiam. Barangkali mereka berfikir aku bukan orang yang normal “.

“ Aku tertarik mengenalmu.... Dan aku yakin kau tidak seperti itu “ ungkap Yhena dengan sigap sembari menujulurkan tangannya bermaksud memberi salam perkenalan. 

Pada saat itu Peter seperti disadarkan pada sebuah pernyataan yang baru kali ini ia dengarkan. Dan pernyataan tersebut terluntar dari mahasiswi pindahan yang baru mengisi Universitas itu selama dua hari. Dan anehnya, Peterlah orang pertama yang Yhena lihat ketika masuk ke dalam Universitas pada hari pertama. 

“ Aku Yhena, Yhena Rider, mahasiswi baru disini “. Sejenak Peter terdiam menatap Yhena. Dan ia mulai angkat bicara. 

“ Aku Peter, Peter Harrow, kau mahasiswi pertama yang pernah mengajakku berkenalan “ jawab Peter sambil menjabat tangan Yhena dengan melepaskan senyumannya yang begitu manis. Yhena juga hanya dapat tersenyum, sedikit rasa bahagia karena Peter telah menerima perkenalannya. Dan rasa yang mengganjal hatinya tentang Peter terasa hilang seketika seperti pasir pantai yang tersapu ombak.

***

Selepas perkenalan itu, pada malam harinya Peter terus memikirkan Yhena, terus-menerus, bahkan membuatnya tidak bisa tertidur lelap. Ia sadar bila Yhena berbeda dengan yang lainnya. Berbeda dalam arti ada suatu hal yang jarang atau bahkan tidak dimiliki orang lain namun ada dalam diri Yhena, dan hal itu membuat sebuah rasa tumbuh dalam diri Peter. Rasa ingin tahu dan rasa ketertarikan untuk mengenal Yhena lebih dalam lagi, untuk mengenal bagaimana sesungguhnya Yhena. Sebelumnya atau mungkin tidak pernah, ada seseorang wanita yang mengajaknya berkenalan atau sekedar ingin dekat dengannya dan sekarang, seorang mahasiswi baru tiba-tiba berkata tertarik untuk mengenal dirinya, hal ini membuat Peter tidak dapat berhenti memfikirkannya. Baru kali ini juga Peter bingung, apa yang sebenarnya membuat mahasiswi baru berambut panjang berwarna hitam lekat itu terlihat begitu cantik di matanya. Yhena begitu cantik, dimata Peter.

 

 

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
A & B without C
243      214     0     
Romance
Alfa dan Bella merupakan sepasang mahasiswa di sebuah universitas yang saling menyayangi tanpa mengerti arti sayang itu sendiri.
Violetta
587      346     2     
Fan Fiction
Sendiri mungkin lebih menyenangkan bagi seorang gadis yang bernama Violetta Harasya tetapi bagi seorang Gredo Damara sendiri itu membosankan. ketika Gredo pindah ke SMA Prima, ia tidak sengaja bertemu dengan Violetta--gadis aneh yang tidak ingin mempunyai teman-- rasa penasaran Gredo seketika muncul. mengapa gadis itu tidak mau memiliki teman ? apa ia juga tidak merasa bosan berada dikesendiri...
Premium
Sakura di Bulan Juni (Complete)
9996      2062     1     
Romance
Margareta Auristlela Lisham Aku mencintainya, tapi dia menutup mata dan hatinya untukku.Aku memilih untuk melepaskannya dan menemukan cinta yang baru pada seseorang yang tak pernah beranjak pergi dariku barang hanya sekalipun.Seseorang yang masih saja mau bertahan bersamaku meski kesakitan selalu ku berikan untuknya.Namun kemudian seseorang dimasa laluku datang kembali dan mencipta dilemma di h...
Special
1396      758     1     
Romance
Setiap orang pasti punya orang-orang yang dispesialkan. Mungkin itu sahabat, keluarga, atau bahkan kekasih. Namun, bagaimana jika orang yang dispesialkan tidak mampu kita miliki? Bertahan atau menyerah adalah pilihan. Tentang hati yang masih saja bertahan pada cinta pertama walaupun kenyataan pahit selalu menerpa. Hingga lupa bahwa ada yang lebih pantas dispesialkan.
Senja Belum Berlalu
3763      1355     5     
Romance
Kehidupan seorang yang bernama Nita, yang dikatakan penyandang difabel tidak juga, namun untuk dikatakan sempurna, dia memang tidak sempurna. Nita yang akhirnya mampu mengendalikan dirinya, sayangnya ia tak mampu mengendalikan nasibnya, sejatinya nasib bisa diubah. Dan takdir yang ia terima sejatinya juga bisa diubah, namun sayangnya Nita tidak berupaya keras meminta untuk diubah. Ia menyesal...
About love
1148      541     3     
Romance
Suatu waktu kalian akan mengerti apa itu cinta. Cinta bukan hanya sebuah kata, bukan sebuah ungkapan, bukan sebuah perasaan, logika, dan keinginan saja. Tapi kalian akan mengerti cinta itu sebuah perjuangan, sebuah komitmen, dan sebuah kepercayaan. Dengan cinta, kalian belajar bagaimana cinta itu adalah sebuah proses pendewasaan ketika dihadapkan dalam sebuah masalah. Dan disaat itu pulalah kali...
Selfless Love
4282      1227     2     
Romance
Ajeng menyukai Aland secara diam-diam, meski dia terkenal sebagai sekretaris galak tapi nyatanya bibirnya kaku ketika bicara dengan Aland.
Love Never Ends
10870      2150     20     
Romance
Lupakan dan lepaskan
CINLOV (KARENA CINTA PASTI LOVE)
15194      1866     4     
Romance
Mala dan Malto dua anak remaja yang selalu memperdebatkan segala hal, Hingga akhirnya Valdi kekasih Mala mengetahui sesuatu di balik semua cerita Mala tentang Malto. Gadis itu mengerti bahwa yang ia cintai sebenarnya adalah Malto. Namun kahadiran Syifa teman masa kecil malto memperkeruh semuanya. Kapur biru dan langit sore yang indah akan membuat kisah cinta Mala dan Malto semakin berwarna. Namu...
HOME
283      210     0     
Romance
Orang bilang Anak Band itu Begajulan Pengangguran? Playboy? Apalagi? Udah khatam gue dengan stereotype "Anak Band" yang timbul di media dan opini orang-orang. Sampai suatu hari.. Gue melamar satu perempuan. Perempuan yang menjadi tempat gue pulang. A story about married couple and homies.