"Mam aku pinjam mobil."
Rey mengulurkan tangannya ke depan wajah Ana. Seketika mata Ana mengikuti arah uluran tangan Rey yang memegang kunci mobil. Wanita itu tampak tidak siap dengan gerakan mendadak yang dilakukan putra kesayangannya, dan mengakibatkan wanita paruh baya itu memundurkan wajahnya dengan raut terkejut.
"Mau pergi kemana?"
Seringai jahil tiba-tiba terukir di wajah Rey membuat Ana menyipitkan matanya curiga.
"Jemput Jingga di stasiun."
"Jingga?" Tanya Ana bingung. "Jingga akan datang ke rumah kita?"
Rey berdecak sambil memasukan kunci mobil kedalam saku celana jeans nya.
"Mam lupa kalau Jingga dan aku akan berada di satu kampus yang sama dengan harapan bisa berada di satu atap yang sama pula."
Mata Ana seketika membulat, gerakan tangannya yang sedang menuangkan frosting pada kue terhenti.
"Kau tidak bisa tinggal satu kost bersama Jingga."
Ana menaruh cetakan kue, seraya membuka sarung tangan dan menaruhnya diatas meja. Meninggalkan kegiatan yang sedang di tekuninya. Membuat pesanan cake.
"Siapa yang bilang aku akan tinggal satu kamar dengannya?" Ana kembali menyipitkan matanya. Menatap heran pada putranya yang kini menarik kursi lalu dengan santai menjatuhkan bokongnya disana. Rey menghela napas dan menarik tangan Ana untuk ikut duduk dengannya. "Mam... Jingga akan tinggal disini bersama kita." Ujar Rey kembali setelah melihat wajah Ana yang nampak kebingungan dengan mulut yang seperti habis kata-kata.
"Disini?" Tanya Ana bingung. "Astaga Rey, kalian tidak mungkin bolak-balik Jakarta-Bogor."
"Siapa bilang kalau aku akan kuliah di Bogor?"
Kini Ana benar-benar tidak dapat memahami keinginan Rey. Dia memejamkan matanya sebelum akhirnya dia mendapati Abi keluar dari kamar.
"Rey tidak jadi kuliah di Bogor. Dia memilih untuk kuliah di Jakarta."
Abi ikut menjelaskan. Jarinya mencolek krim kue yang ada di mangkuk plastik besar lalu memasukannya kedalam mulut. Dan otomatis Ana memukul tangan Abi karena kebiasaan buruk itu masih belum hilang.
"Tapi bukankah Rey sudah di terima disana?"
Ana kembali bicara setelah Abi duduk dengan tenang.
"Aku menolak."
"Rey!"
Suara Ana meninggi. Siapa yang tidak terkejut mendengar anaknya membuang begitu saja kesempatan untuk memasuki universitas ternama.
"Mami sayang," ujar Rey selembut mungkin. Menenangkan Ana yang sekarang naik pitam. Akhir-akhir ini emosi Ana memang di uji oleh perilaku Rey yang sedang beranjak dewasa. "Aku tidak akan membiarkan Jingga berkeliaran di Jakarta sendirian. Jadi aku memutuskan untuk melanjutkan kuliahku di kampus yang sama dengan Jingga."
Abi tertawa mendengar penuturan Rey sementara Ana menghela napas berat. Berusaha maklum atas sikap Rey kepada Jingga yang melebihi sikap sekadar saudara.
"Ya ampun, kau bukan khawatir pada Jingga tapi kau tidak mau jauh dari Jingga."
"Nah, mami mengerti juga."
Ana menatap Abi seolah mengirimkan sinyal bahwa ada sesuatu yang harus di bereskan dari jiwa Rey. Sementara yang di tatap hanya mengangkat kedua bahunya.
"Rey," ujar Ana lembut. Berusaha untuk mengubur emosinya yang sempat mencapai ubun-ubun. "Jingga itu anak dari teh Kinan. Kakak sepupu mami. Jadi kau dan Jingga itu saudara sepupu."
Kalimat yang keluar dari bibir Ana membuat Rey bungkam seketika. Dia membisu total. Kelopak matanya terpejam sejenak sebelum kemudian dia menghela napas.
"Mam, kita sudah pernah membahas soal ini. Pada kenyataannya aku tidak ada hubungan darah dengan Jingga." Ucap Rey. "Jingga memang keponakan Mami, tapi aku?" Rey menunjuk pada dirinya sendiri. "Mam tidak lupa 'kan kalau aku bukan,"
"Mami tahu!" Potong Ana cepat. "Tapi tolong untuk tidak mengungkit lagi siapa kau dan apa sebenernya hubunganmu dengan Mami, karena bagi Mami.... bagi mami... " sekuat tenaga Ana berusaha untuk bicara tapi kata-kata itu seperti duri yang menyangkut di tenggorokan, sulit untuk keluar hingga akhirnya yang ada hanya buliran air mata yang merembes di pipi. "Kau anak mami Rey. Selamanya akan seperti itu." Dan kalimat yang susah payah itu keluar sungguh hanya sebuah bisikan kecil.
Rey bergerak bangkit berdiri dari duduknya. Dia sangat tahu bagaimana perasaan ibunya saat ini. Karena dia sendiri pun masih menganggap bahwa ini hanyalah mimpi. Kenyataan bahwa dia bukanlah anak kandung dari Abyan Pradana Sasongko yang selama ini menyebut pria itu adalah ayahnya.
Itu sudah berlalu saat dia menginjak di bangku SMA kelas dua. Pada hari itu pria bernama Benandra yang selama ini menyebut dirinya sebagai Uncle Ben berbicara kepada kedua orang tuanya tentang hak asuh Rey. Dari situ Rey mendengar semuanya. Segala rahasia yang selama ini tidak diketahuinya bahwa sebenarnya Benandra lah ayah biologis Rey.
Dan pada hari itu seperti hari dimana dunia berhenti, dimana bumi runtuh tepat diatas kepalanya.
Rey memandang ayahnya yang duduk di sebrang dirinya meminta pertolongan. Dan reaksi Abi sangat santai sambil mengangguk-anggukan kepalanya, memberi perintah pada Rey agar dia tetap menenangakan Ana.
Walau masalah ini sudah bisa dikatakan selesai namun masih sangat sensitif bagi Ana. Maklum wanita itu walau terlihat baik-baik saja namun memiliki hati yang rapuh.
"Kita sudah sepakat Mi, bahwa aku akan tetap menjadi bagian dari keluarga ini karena ayah sudah menikah dengan ibu kandungku jadi secara hukum aku adalah anak tiri ayah." Rey mengusap bahu Ana yang kemudian Ana menggenggam tangan Rey yang ada di bahunya. "Tapi aku dengan Jingga tidak ada hubungan apa-apa."
Kepala Ana mendongak.
"Ayahmu menikah dengan Mami, jadi secara hukum kau jadi anak tiri Mami dan otomatis kau menjadi saudara Jingga."
Suara Ana bergetar akibat menahan tangis.
"Ada atau tidak ada hubungan darah kalian bersaudara."
Rey menghela napas kembali. Dia memalingkan pandangannya lagi pada Abi yang baru saja memberi komentar.
"Astaga, saudara sepupu itu bisa dinikahkan. Apalagi tante Kinan hanya kakak sepupu dengan Mami."
Yang dibilang Rey memang benar. Saudara sepupu bisa dinikahkan namun dalam sejarah keluarga besarnya tidak ada kasus pernikahan sesama saudara. Jadi hal seperti ini masih tabu untuk mereka. Dan sangat aneh.
"Jangan dulu berbicara tentang pernikahan jika kau sendiri belum memahami itu." Kata Abi. "Sesama sepupu memang bisa dinikahkan, tapi kalau bisa tidak usah dengan saudara."
"Rey," Ana mengusap pundak Reynand. "Kendalikan perasaanmu pada Jingga. Mam tidak bisa membayangkan kalau nanti kita besanan dengan teh Kinan. Oh ya ampun bagaimana bisa sesama keluarga menjadi besan."
"Ayah, Mami selalu berlebihan. Bilang pada Mami aku masih delapan belas tahun, baru akan mengikuti ospek di kampus baru beberapa bulan lagi. Katakan padanya juga jangan terlalu mencemaskan perasaan seorang anak remaja."
Mata Ana mendelik seketika. Tangannya terangkat siap untuk melayangkan serangan kepada Reynand, tapi sebelum hal itu terjadi Rey lebih dulu menyerang Ana dengan kecupan singkat di pipi.
"I love you Mam."
Apa yang dilakukan Rey justru semakin membuat Ana semaput, dan sebelum bisa balik menyerang Rey sudah kabur dengan cengiran lebar.
To be continued