“Selamat siang, Sayang! Sudah selesai main basket ya?”
Ya Tuhan.. Sampai kapan aku harus terbayang oleh sosok wanita yang sangat kusayangi ini?
Yah.. Biasanya Erika dengan senyum manis dan riangnya akan menyambutku yang baru pulang. Erika yang mengelap peluh di keningku.. Erika yang menyeduh air hangat untukku.. Erika yang memijit perlahan pundakku. Erika yang.. Ah sudahlah! Terlalu pedih hati dan pikiranku mengingat semua kenangan itu..
Aku segera mandi untuk menyegarkan badan dan pikiran. Setelah merasa agak tenang, aku makan walaupun tidak merasa lapar sama sekali. Aku makan dengan ditemani kesunyian. Ya. Aku hidup sendirian. Dulunya aku tinggal bersama nenek, tetapi nenekku sudah tiada sekarang. Orangtuaku meninggalkanku pada nenek. Jadi selama ini yang selalu menemaniku ya hanya nenek dan Erika. Aku teringat Erika lagi.. Aku rindu kamu, Erika..
Selesai makan, kusibukkan diri dengan membereskan lemari di ruang tamu. Namun apapun yang kulakukan, ada saja yang mengingatkanku pada Erika. Seperti sepucuk surat dalam amplop putih yang sudah agak kusam yang kutemukan ini.
Kuperkirakan surat ini sudah berumur 4 tahun lebih. Waktu di mana aku menerima surat ini sesaat setelah insiden itu terjadi….
“Sayang, ada yang nelpon nih!” seru Erika sambil mengambil handphoneku dan memberikannya padaku.
Tukkk!!
“Yah.. Handphonenya jatuh.” Aku menunduk sebentar untuk mengambil handphoneku.
Tanpa disadari, dari arah depan terlihat sebuah truk yang melaju dengan kecepatan tinggi. Karena terkejut, aku pun membanting setir mobil dan menabrak tiang listrik di tepi jalan.
Pandanganku seketika gelap. Aku tidak tahu lagi apa yang mesti aku lakukan. Kepalaku begitu pusing dan badanku penuh luka. Kulihat Erika tergeletak pingsan di sampingku dengan sekujur tubuh penuh luka pula. Karena kesakitan, akhirnya aku pingsan.
Aku terbangun. Ternyata kami sudah dilarikan ke rumah sakit. Sayup-sayup aku mendengar percakapan orangtua Erika dengan dokter.
“Kondisi Erika cukup parah. Otak Erika mengalami cedera akibat terbentur sesuatu dengan keras,” ucap dokter.
“Jadi bagaimana ini, Dok? Apakah Erika bisa sembuh, Dok?” teriak mama Erika dengan histeris. Papa Erika hanya bisa menangis.
“Ada solusinya, Pak, Bu. Erika harus dioperasi, tetapi ada resiko dari operasi ini.”
“Apa resikonya, Dok?” dengan suara gemetar, papa Erika bertanya.
“Erika akan mengalami amnesia setelah operasi yang dilakukan,” dokter berkata dengan suara pelan.
APAAA?? Tidak.. Aku pasti salah dengar. Ya.. Aku pasti salah dengar. Tidak mungkin Erika akan amnesia. Tidak.. Tidak mungkin..
Aku mencabut selang infus dari tanganku dan berjalan terseok-seok ke luar kamar.
“Dok, pasti Dokter bercanda kan? Nggak mungkin Erika akan amnesia!” teriakku tidak terima.
“Jacky, kamu sudah sadar? Bagaimana kondisi kamu sekarang, Nak?” mama Erika dengan lembut menanyakan keadaanku.
“Saya baik-baik aja, Tante. Erika di mana, Tante?”
“Masih berani kamu cari Erika, heh? Kamu tau nggak, gara-gara kamu Erika jadi begini! Kami nyaris kehilangan Erika!” papa Erika berteriak marah padaku.
“Sudah, Pa.. Nggak enak teriak-teriak di sini.”
“Saya minta maaf, Om. Saya bukan sengaja. Sayaa..”
“Sudah sudah! Nggak ada yang perlu dijelaskan lagi!” papa Erika marah dan bergegas pergi.
“Maafin Om ya, Nak. Kamu istirahat aja dulu ya. Kita doa aja buat Erika ya,” ujar mama Erika seraya menggandengku kembali ke kasur untuk istirahat.
Setelah itu beliau berjalan keluar. Aku sendirian dan hanya bisa menangis sejadi-jadinya. Lelah menangis, aku pun tertidur.
Aku terbangun. Kepalaku masih pusing. Aku bergerak ke arah meja untuk mengambil segelas air putih. Sekilas aku melihat sesuatu. Amplop putih. Aku membukanya. Sepucuk surat.
“Nak Jacky, kami minta maaf ya sebelumnya. Ini mungkin terdengar mendadak. Kami telah berencana membawa Erika menjalani pengobatan di luar negeri. Saat kamu baca surat ini, mungkin kami sudah pergi. Kamu tidak usah takut dan khawatir, kami akan menjaga Erika. Erika pasti akan baik-baik saja. Dan yang terpenting kamu juga harus jaga diri ya, Nak. Semua biaya pengobatanmu sudah kami tanggung. Kamu tidak perlu minta maaf, kami sudah memaafkanmu. Dan ini pesan kami untukmu. Lupakan Erika.. Lupakan kami.. Lupakan semua yang sudah terjadi dan mulailah lembaran hidup yang baru.”
Surat itulah yang saat ini sedang kubaca. Berulang-ulang kali kubaca, hingga isi surat tersebut sudah terekam dengan sangat jelas di otakku. Betapa hancurnya hatiku. Aku tidak tahu lagi bagaimana cara mengungkapkan perasaanku selama 4 tahun belakangan ini.
Kulipat surat tersebut dan kumasukkan kembali ke amplop. Kuputuskan untuk jalan-jalan sore di taman agar pikiran dan hati sedikit tenang. Tetapi, apa yang kulihat di taman justru lebih membuatku terkejut…
Alfredo, teman sekantorku sedang duduk di kursi taman bersama seorang perempuan. Tampaknya aku mengenal perempuan tersebut..
Ya.. Tentu aku mengenalnya! Bahkan terlalu mengenalnya! Perempuan yang setiap detik kupikirkan dan kurindukan. Erika!
Aku ingin berteriak memanggilnya, namun aku berpikir kembali. Apakah ingatan Erika sudah pulih? Jika sudah pulih, mengapa Erika tidak mencari dan menghubungiku? Apa mungkin ingatan Erika belum pulih sepenuhnya?
Aku berjalan pulang membawa sejuta pertanyaan di benakku. Aku akan menginterogasi Alfredo besok.
***
“Do! Gua mau nanya!” aku berlari ke ruangan Alfredo sambil berteriak. Karyawan lain melihatku dengan tatapan heran, sekaligus merasa terganggu karena kebisinganku.
“Yaelah lu heboh amat, Jack. Mau nanya apa?”
“Lu udah punya cewek ya, Do? Sejak kapan? Kenal dari mana? Kok bisa? Kok nggak cerita-cerita?” aku merentetinya dengan segudang pertanyaan.
“Duh, Jack! Antri dong pertanyaannya!”
“Iya cepat jawab, Do!”
“Iya iya.. Gua udah punya cewek. Baru jadian kemarin, gua ‘nembak’ di taman. Haha.. Kenalnya sih karena gua pernah nolongin dia waktu dia hampir dirampok. Namanya Erika, Jack. Nanti gua kenalin ke lu deh.” Alfredo asyik bercerita, sementara aku bengong seperti tidak sadarkan diri.
“Hello, Jack?” Alfredo melambaikan tangan di depan mukaku.
“Eh ya ya.. Gua duluan ya, Do. Banyak kerjaan yang pending.”
Bukannya kembali ke ruang kerja, aku berjalan keluar dari perusahaan dan…
Brukk!!
“Duh, sorry sorry!”
“Erika?” secara tak sadar, aku memanggil namanya.
Erika terkejut. “Lho, Anda tahu nama saya?”
Aku memutar otak mencari alasan. “Saya tahu tentang kamu dari Alfredo. Maaf ya, saya jalannya nggak hati-hati jadi nabrak kamu.”
“Oh begitu.. Tak apa. Saya juga minta maaf ya,” katanya sambil menundukkan kepala sedikit dan tersenyum manis. “Oh ya.. Apa Alfredo ada di ruangannya?”
“Iya silakan masuk saja. Alfredo ada di ruangannya.”
“Terimakasih.” Lalu ia bergegas masuk tanpa menungguku yang ingin mengatakan sesuatu.
***
Waktu berlalu dengan cepat. Tak terasa matahari sudah terbenam. Aku saat ini sedang berada di supermarket untuk berbelanja. Tiba di kasir, aku merasa ada yang ketinggalan. Dompet. Ya dompetku. Sepertinya dari tadi aku telah kehilangan dompet, hanya saja aku tidak sadar. Wah, gawat ini.. Akhirnya kuputuskan pulang menggeledah rumah untuk mencari dompetku.
“Jack! Ke mana aja lu?” Kudengar teriakan Alfredo saat aku membuka pintu rumahku.
“Lho.. Kamu di sini, Do? Ada apa ya, Do?” kulihat Erika duduk di sebelah Alfredo sambil memandang seisi rumah.
“Ini lho, Jack. Dompet lu jatuh di depan perusahaan tadi. Erika yang nemuin,” Alfredo mengembalikan dompetku.
“Oh.. Jatuh rupanya.. Terimakasih ya kalian sudah berbaik hati mengantar dompetku sampai ke sini.”
“Maaf Jack, mau nanya. Toilet di mana ya?” tanya Erika.
“Oh di dekat dapur, Ka. Lurus saja, terus belok kanan,” jelasku.
“Ok,” Erika berdiri dan berjalan menuju toilet.
Saat aku dan Alfredo asyik mengobrol, tiba-tiba terdengar suara piring jatuh dan pecah dari arah dapur. Aku dan Alfredo segera berlari ke dapur. Terlihat Erika terduduk meringis kesakitan sambil memengangi kepalanya.
“Erika! Kamu kenapa?” Alfredo menghampiri Erika dengan panik.
“A… Akk.. Akuu.. Sepertinya… Mengingat se.. Sesuatuuu…” jawab Erika sambil kesakitan.
Erika mengingat sesuatu?
“Do, lu sebaiknya bawa Erika ke dokter deh!”
“Ok, Jack. Gua bawa Erika ke dokter sekarang. Bantuin gua bawa Erika ke mobil, Jack!”
Kami membopong Erika yang masih kesakitan ke dalam mobil. Kulihat mobil Alfredo langsung melaju dengan kencang.
Aku masih penasaran. Apa yang membuat Erika tiba-tiba teringat sesuatu? Sambil berpikir, aku berjalan ke dapur untuk membereskan piring yang pecah tadi. Sekilas kupandangi foto-fotoku bersama Erika yang kutempel di kulkas. Sesaat aku tersadar..
Apa mungkin Erika melihat foto-foto ini sehingga dia merasa mengingat sesuatu? Bagaimana ini? Di satu sisi, aku ingin Erika bisa mengingat kembali semuanya. Tapi di sisi lain, aku teringat pesan dari orangtua Erika agar aku melupakan Erika. Sejujurnya aku ingin sekali membantu Erika untuk memulihkan ingatannya dan aku berharap kami bisa kembali seperti dulu. Namun, apa dayaku. Aku tidak mau mengecewakan orangtua Erika. Sudah cukup sekali saja aku menyusahkan dan mengecewakan mereka..
***
“Kondisi Erika sudah lumayan membaik,” kata Alfredo saat kutanya mengenai keadaan Erika.
Langit tampak gelap. Seperti kondisi hatiku saat ini. Aku telah menentukan sebuah keputusan yang sangat berat. Kuberitahukan rencanaku kepada Alfredo yang sedang duduk di sebelahku di teras rumah. Kami berdua terlarut dalam obrolan serius sehingga tak sadar bahwa sang rembulan pun sudah menampakkan dirinya lagi.
Tak terasa, seminggu telah berlalu. Dan sekarang aku telah berada di negara lain. Telah kuputuskan untuk menjauh dan melupakan semuanya. Terlalu berat beban yang kutanggung selama ini. Bukannya aku tidak bertanggungjawab, namun semua ini demi kebaikan bersama.
Biarlah penantianku berakhir sampai di sini. Mungkin orang menilai bahwa aku telah menghabiskan waktu dan tenaga untuk menanti dan ternyata hasilnya sia-sia. Namun, bagiku semuanya tidaklah sia-sia. Karena, penantian terakhirku hanya untuk perempuan yang sangat kucintai dan demi kebahagiaan dia apapun akan kurelakan dan kulakukan.