Dhisty menyesap es jeruk dengan penuh khidmat. Dahaga yang sejak tadi terasa perlahan menghilang. Sudah setengah jam berlalu semenjak pengumuman dosennya tidak datang, ia duduk di kantin, bergabung dengan mahasiswa lain.
“Bahagia banget hidup lo hari ini ye, Dhis.” Asri mengaduk-aduk mie rebusnya dengan semangat. Membiarkan telur yang memang sengaja ia minta tercampur di sana. “Kenapa? Gajian?”
“Bahagia darimananya?” Dhisty menundukan kepalanya, menatap es batu yang kini bisa ia lihat secara langsung karena air jeruk yang di dalam gelas sudah surut. Dia mengaduk-aduknya berulang kali, menimbulkan dentingan kecil di dalamnya. “Gue tuh bingung banget.”
“Sama?”
“Papa gue. Kenapa sih gue nggak dikasih kerja? Masalahnya apa coba? Udah gede gini.”
“Karena bokap lo sayang sama lo.”
“Tapi, kan nggak perlu ngekang.”
“Ya, setiap orang kan beda-beda caranya, Dhis.” Asri meniup-niup mienya sebentar sebelum menyesapnya cepat. “Mungkin Bokap lo mau kalau lo fokus kuliah, takut berantakan kali.” katanya sambil menjilat bibirnya, menghilangkan jejak-jejak mie di sana.
“Oke gue paham, tapi tetep saja. Coba bayangin, gue udah seumur gini, masih dilarang ” Dhisty menjawab dengan menggebu-gebu. Ia membuang napas pelan. “Lo tahu—”
“Nggak.” Asri menyela. Dhisty memincingkan matanya. Asri tersenyum lebar. “Lo kan belum kasih tahu. Jadi apa yang perlu gue tahu?” lanjut Asri yang siap untuk melahap kembali mienya.
Gadis itu tidak langsung menjawab, dia mengedarkan pandangannya sekitar. Menatap acuh orang-orang yang berlalu lalang. Samar-samar dia mendengar percakapan yang mengudara, bergabung dengan percakapan lain dari orang yang berbeda. Tentang mereka yang begitu bahagia bisa pergi dengan leluasa. Dhisty ingin bebas, merasakan bagaimana dia bisa menjejalkan kaki ke segala tempat tanpa ada waktu yang mengekang.
Rasanya dia begitu sesak oleh jeratan tali yang tak kasat mata, yang mengekang kedua kakinya. Dia selalu iri dengan mereka yang begitu diberikan kepercayaan oleh orang tuanya dan bebas merencanakan apa saja yang mereka inginkan.
“Oi!”
Dhisty tersentak dan menatap tajam ke arah Asri yang kini nyengir, tanpa rasa bersalah. “Bisa nggak sih lo, nggak usah ngagetin gitu!” serunya bentuk protesan. Dia mengambil alih makanannya dan mendongak ke Asri. “Kenapa?”
“Lo yang kenapa? Gue tanya nggak disahutin.” Asri mengambil ponselnya yang berbunyi, senyum lebar tampak muncul di wajahya, matanya berbinar.
Dhisty mencebikan mulutnya. Dia ingin bertanya apa yang membuat sahabatnya berekpsresi seperti itu, tapi dia urungkan. Emosinya masih bergelora dalam diri. Ia mennduk, menggeser-geser makanannya. “Lo tahu, bokap gue kayaknya udah curiga. Dia bahkan ngomong blak-blakan kalau semisal gue ngelakuin hal yang dia larang, gue takut.”
Tidak ada sahutan dari Asri, membuat Dhisty mendongak dan mencebikkan mulutnya.
“Asri!”
“Eh iya? Kenapa?” Senyum Asri masih terpampang di wajahnya. Dia tampak bingung, tapi tidak mengaburkan perasaannya. “Lo ngomong apa?”
“Lo denger nggak sih? Kok gue kesel.”
“Eh kenapa sih? Lo ngambekan banget.” Asri melipat kedua tangannya dan menaruhnya erat di atas meja. “Kenapa?”
Dhisty menggeleng, mood-nya untuk cerita hilang sudah.
“Iya-iya, sorry. Tadi gue denger sekilas, lo curiga kenapa?”
Bibir gadis itu berkedut. Tekanan yang terlihat di wajahnya memudar. Dia memandang Asri dengan ragu. Meski dia bilang mood-nya hancur dan keinginan untuk menceritakan kembali hadir.
“Ya, gitu. Bokap gue curiga kalau gue ngelakuin hal aneh-aneh.”
“Hal aneh-aneh?
“Ya, hal yang ngelanggar perintahnya.” Dhisty mengecek ponselnya dan mendesah pelan. Baterainya tinggal beberapa persen mati. Semalam dia lupa untuk mengisinya setelah berchat ria dengan Gala yang berakir dia disuruh tidur.
“Kok bisa tahu?”
Dhisty mengendikan bahunya dan menggeleng dengan lemah. “Nggak tahu gue. Gue aja kaget dengernya.”
“Terus?”
“Ya, akhirnya gue kesel sendiri karena omongan bokap gue yang selalu anggap kalau gue masih anak kecil.”
“Kasian banget ya lo, Dhist.” Asri menunjukan raut prihatinnya. “Untung orang tua gue nggak. Cuman kadang gue kesel, mereka nelponin gue, nggak kayak lo.”
Meski sudah berulang kali juga dia mendengar hal itu, tetap saja Dhisty merasa sebal.
Rasa iri, kerap kali melanda sebuah hubungan; pertemanan, kekasih, bahkan kehidupan sosial lainnya. Membuat mereka selalu menoleh, memperhatikan sesama. Sayangnya mereka fokus dengan apa yang mereka rasakan sendiri tanpa mau melihat sekitar, seperti Dhisty sekarang yang tenggelam dengan kekesalannya tanpa peduli dengan apa yang dia dengar.
Dhisty mendadak mendongak, binar mata langsung menyeruak dalam matanya. “As, pergi yuk. Jalan-jalan, mumpung masih siang.”
“Bukannya lo kerja?”
“Nggak ada. Hari ini gue bebas. Ke Epic yuk.”
“Sekarang?”
Kepala Dhisty mengangguk antusias. Dia sempat mengernyitkan dahinya ketika telinganya menangkap keraguan dari suara Asri. Gadis itu bahkan melirik ponselnya seolah berpikir. “Kenapa? Katanya lo juga mau jalan-jalan. Ayolah, bentaran doang.”
Dhsity menopangkan sikunya di atas meja. Kedua telapak tangannya terbuka lebar, menyangga kepalanya. Dia menatap Asri dengan pandangan harapan.
“Tapi, gue ... oke deh.”
Dhisty tersenyum lebar, ia menyentuh tasnya dengan cepat. “Cus.”
****
“Udah banyak aja yang baru, kalau gini isi tabungan gue bisa habis,” komentar Asri ketika mereka menjelajahi deretan gaun di salah satu toko yang ada di Epic.
Baru dua minggu yang lalu mereka ke sini, dan sekarang deretan gaun berwarna pastel memanjakan mata mereka. Membuat dompet mereka siap untuk menjerit. Niat awal mereka memang hanya melihat-lihat, tapi ketika hati sudah menentukan pilihan, tangan mereka dengan pasrah mengambil lembaran uang yang sedang terlelap. Meski sekarang belum kejadian, tapi biasa-biasanya sih kejadian. Tipekal seseorang yang mudah goyah.
“Lo mau beli nggak, As?” Dhisty menyelipkan tangannya pada saku celana, mengeluarkan ponselnya yang sejak tadi bergetar. Ia mengernyitkan dahinya, nomer tidak dikenal. Sejenak dia membiarkan dering teleponnya mengambil seluruh fokusnya dengan pikiran yang terus berkelana, menerka-nerka siapa yang menelponnya dengan nomer baru.
“Gue nggak tahu sih, ini lucu semua. Kalau lo gimana?”
“Nggak tahu.” Dia memutuskan untuk mengangkat panggilan itu. Baru saja dia ingin menggeser ikon hijau yang tertera, panggilan itu terhenti. “Dih, aneh.”
Dia mengendikan bahu dan nyaris memasukan ponselnya lagi sebelum tanda pesan masuk terdengar. Memang dia sengaja mematikan paket data untuk menghemat baterai. “Dimana?” ucapnya mengulang pesan yang ia baca. “Ini siapa sih?” Dhisty mulai gusar, dia mengetik balasan cepat.
Asri mendekat, dia mencoba untuk melihat ke arah ponsel Dhisty.
“Siapa?”
“Nggak tahu.” Dhisty menoleh ke arah Asri dengan tampang kesal. “Ini orang nelpon gue terus-terusan. Mana lagi dia tanya gue lagi dimana. Aneh.”
“Gala kali.”
“Ya nggak mungkinlah, gue tahu nomernya dia.”
“Disimpen pake nama ‘hubby’ ye.” Asri menyenggol pundak Dhisty, menggodanya.
Dhisty berusaha untuk kesal dengan ucapan Asri, sayangnya bibirnya sekarang menjadi pengkhianat besar, tersenyum lebar. “Apaan sih lo, ya nggaklah.” Rona merah merembet ke wajah Dhsity. Hasil dari godaan Asri.
“Iya aja sih. Lo ngarep kan pacaran sama dia?”
“Udah hus, diem.” Dhisty menepuk pundak Asri pelan, dia masih malu. “Lo mau beli apa nggak?”
“Cie malu. Nggak pantes lo malu-malu, Dhis. Cocoknya malu-maluin.”
“Sialan ya lo!” Dhisty geleng-geleng kepala sendiri melihat sikap Asri yang suka menggodanya. Asri melenggang begitu saja, dan Dhisty membiarkannya. Lagi ponselnya berbunyi, menarik kekesalan yang sempat ia hilangkan.
Kali ini dia tidak berpikir lama untuk mengangkatnya. “Lo siapa?” tanyanya langsung. Tidak ada jawaban. “Hallo? Lo siapa? Bisa berhenti telponin gue nggak?” Masih tidak ada jawaban. Saking kesalnya, Dhisty mematikan panggilan secara sepihak. Sama seperti tadi, ada pesan yang langsung masuk.
Dhisty tidak membalasnya, pikirannya berkata bahwa itu hanya kerjaan orang iseng. Sayangnya pikiran gadis itu salah, ketika dia dan Asri masih melalang buana di Epic, ponselnya terus berdering.
“Siapa sih? Masih nomer yang tadi?”
“Iya. Nggak tahu nih siapa.” Dhisty yang sudah frustasi akhirnya menjawab dengan kesal, dimana dia berada.
“Jangan-jangan penggemar rahasia lo.”
Dhisty merotasikan kedua matanya. “Iya kali, As. Gue nggak secantik Emma Watson, bisa punya penggemar rahasia.”
“Ya kan siapa tahu. Oh ya, habis ini kita pulang kan?”
“Kayaknya, kenapa?”
Wajah Asri merona. “Gue ada—”
“Bentar, As.” Dhisty sebal. Dia disuruh menunggu orang yang entah siapa mungkin di sini. Kedongkolannya meningkat. “As, kita tunggu di sini dulu ya. Gue pingin lihat siapa yang dari tadi neror gue.” Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, memindai semua orang yang kemungkinan menjadi penerornya.
Mereka berdua diam di sana cukup lama, dengan perasaan yang begitu gusar terutama Dhisty. Sedangkan Asri sibuk berkirim pesan. Dia mendesah keras, egonya terluka, dia merasa dipermainkan. “As, balik aja yuk. Gue dimainin sama nih orang. Awas aja kalau gue ketemu, gue hajar dia.”
“Yuk, eh tapi gue nanti nggak mampir ye.”
“Ok—”
Ucapan Dhisty terhenti, beriringan dengan pinggangnya di dekap oleh seseorang.
“Dia pacar gue.”
Kedua mata Dhisty melebar, dan menatap orang yang kurang ajarnya memeluknya tanpa izin. Dia bilang apa?!
Saya anak semata wayang. Tapi saya jauh dari kata manja.
Comment on chapter Prolog