Dhisty
Gue kadang bingung, si Gala suka apa nggak sih sama gue.
Dhisty masih senantiasa menatap layar laptop. Terpaku dengan kalimat yang ia ketik sendiri. Kursos yang berkedap-kedip seolah menunggu untuk jemarinya kembali mengetik. Dia menghela napas, dan perlahan beranjak pergi untuk mencari ketenangan. Bukan kali ini saja dia berpikiran seperti itu, berulang kali, bahkan mungkin ratusan kali. Entah dia yang terlalu berharap atau perhatian Gala padanya berlebih.
Cangkir putih berisi teh panas –yang mungkin saat ini dingin, ia raih dengan perlahan. Jari-jarinya mengelus tubuh cangkir itu yang memang sudah berubah hangat. Ia goyangkan sejenak sebelum mempertemukan tepian cangkir dengan bibirnya. Rasa hangat disertai dengan manis menyapa lidahnya dan mengangatkan tenggorokan dan perutnya.
Ia selalu menyukai ketika rasa nikmat itu menyapa tubuhnya. Memberikannnya sebuah ketenangan. Dhisty kembali beranjak ke arah laptopnya berada. Dia duduk di kursi dan meletakan cangkir teh itu di samping laptopnya. Chatnya masih belum di baca sama sekali oleh Asri.
“Nih anak antara mendadak molor, atau dia lagi chat sama doinya, makanya nggak bales.” Dhisty berdecak sambil geleng kepala. Sudah biasa, sahabat kadang kalah dengan orang yang disuka. “Jadi, gue harus mulai dari mana?” Dia melirik tumpukan buku paket di sampingnya. Belum membukanya saja dia sudah lelah.
Kehidupan perkuliahannya itu sungguh melelahkan. Kalau dia pikir-pikir, dirinya yang dulu begitu naif. Begitu percaya diri berpikir kalau anak kuliahan itu sungguh santai: cepat pulang, tugas sedikit. Nyatanya? Seringkali dia harus mengelus dada dan membiarkan jam tidurnya terbuang.
Terlebih saat ini, di mana waktunya harus dibagi lagi untuk bekerja. Ada yang harus dikorbankan untuk mendapatkan hal yang diinginkan, kan?
Dhisty menarik napas dalam-dalam, dan mulai mengambil buku pertama, menarik kertas double polio, tak lupa dengan menyelipkan pena di antara jemari tengah dan telunjuknya.
Waktu terus bergulir dengan cepat. Ekspresi jenuh, lelah, dan tersiksa terlihat jelas di wajah gadis itu. Ruangan yang sepi kini mulai diramaikan oleh lagu yang keluar dari laptopnya menjadi teman penyemangat. Tangganya bergerak cepat, detik-detik terakhir selalu membuang kesabarannya menipis. Tulisan yang rapi perlahan berubah menjadi acak-acakkan. Yang penting jadi, begitulah pemikirannya.
“Akhirnya!” Dhisty mendesah lega, dia merenggangkan kedua tangannya ke atas, sambil menyandarkan punggung di sandaran kursi. Ia menyempatkan untuk menoleh, dan dia takjub. Melihat angka yang sekarang ditampilkan oleh jam. Jam 8 malam.
Bunyi bip, mengalihkan dunia Dhisty, satu pemberitahuan masuk ke dalam laptopnya. Memang dia mengubungkan aplikasi whatsapp di ponselnya dengan laptop, agar mempermudahkannya ketika ingin bercit-chat ria.
Asri
Kalau yang gue lihat sih. Ada dua kemungkinan.
Pertama, dia suka sama lo tapi nggak mau ketahuan sama lo.
Kedua..
Cukup lama jeda yang diberikan oleh Asri, membuat Dhisty membalasnya.
Dhsity
Kedua? Keduanya apaan, Sri?
Lo bikin orang penasaran.
Asri.
Cie kepo.
Yang kedua itu.
Dia nggak suka sama lo, dan perhatiin lo sebagai adik.
Adik? Adik? Kepala Dhisty dipenuhi dengan kata itu. Ia acuhkan kalimat selanjutnya yang muncul. Sangat sakit. Dia mencebikkan mulutnya, sebelum menurunkan pandangan, membaca kalimat Asri selanjutnya.
Asri.
Makanya, mendingan lo kasih tahu dia.
Untung-untunganlah, dia juga sama lo. Dengan sikapnya yang kayak
cemburuan, gue pikir itu nggak mustahil.
Dhisty
Kan kayak, kalau nyatanya nggak?
Asri
Ya, lo harus tahan malu. Lagian, kalau lo diem kayak gini,
gimana lo mau tahu. Mau gimana lagi, itu udah jadi resiko.
Patah hati, atau berbunga-bunga. Daripada lo nebak-nebak
nggak jelas gini.
Dhisty merenungkan kalimat itu. Benar, ketika seseorang jatuh cinta, ada resiko yang harus dia pikul: patah hati. Dia tidak naif, kalau alasan kenapa dia tidak mau mengutarkannya karena dia takut, nanti Gala akan meninggalkannya, membuat ia patah hati. Karena tidak semua orang mau dekat dengan orang yang menyukainya, merusak kenyamanan yang ada.
Asri.
Ngomong-ngomong, gimana sama kerjaan lo?
Si Seva-Seva itu gimana? Masih ngeselin?
Mendadak mood Dhisty semakin jatuh. Jemarinya bergerak dengan cepat, menyusun kata-kata, mengeluarkan isi hatinya. Kalau bukan dengan Asri, dia tidak tau harus bicara dengan siapa.
Dhsity
Berat, muak, jengah.
Gila ya, tuh orang cari gara-gara mulu. Terus-terusan bahas gue anak sematawayang.
Pingin banget gue lakban tuh mulut, dan tendang dia ke rawa-rawa.
Asri
Ngakak gue, Dhis.
Jangan-jangan dia suka sama lo,makanya gangguin lo mulu.
Dhisty.
Ngawur lo! Suka darimana coba. Kenal juga kagak.
Dan lagi, lo tahu? Waktu gue pergi sama Gala, tuh orang muncul entah dari mana.
Dan ganggu makan gue sama Gala.
Parahnya,
Jemarinya tergantung di udara, ingatannya mulai berkelana. Dhisty tidak bisa menahan diri, ketika kejadian memalukan menyusup masuk ke dalam ingatannya. Membakar wajahnya. Kejadian di mana Dhisty dikukung oleh Seva waktu di Hypermart. Ia menggeleng cepat, lalu menghapus kata “parahnya” dan langsung mengetikan hal lain.
Dhisty
Intinya, dia tuh nyebelin.
Asri.
Jangan bilang ngeselin, nanti cinta lho.
Kalau itu kejadian, gue yang pertama ngakak.
Serius!
Dhisty mencibir sambil membalas chat, Asri. “Nggak bakal suka! Nggak akan pernah suka! Yang ada gue sakit hati mulu!” Dia memainkan jemarinya cepat, menguraikan kata demi kata.
****
“Papa kira kamu udah tidur.”
Dhisty tersentak, air yang berada di dalam mulutnya, menyeruak keluar. Ia menyekanya dengan cepat sebelum berbalik. Raut wajah yang terlihat sekali lelah menyapanya. Pakaian santai terlihat kusut, terlebih dengan kedua lengannya yang mungkin sudah terlipat lama.
“Eh, Papa.” Ia menyunggingkan senyum kecil. “Belum tidur, Pa?”
Matanya terus mengikuti Papanya, berjalan bahkan mengambil minuman.
“Kamu ngapain jam segini belum tidur?”
Pertanyaan dibalas pertanyaan, tipekal Papanya. Dhisty menyentuhkan cangkir ditangannya pada bibirnya. “Habis ngerjain tugas, Pa.”
Dhisty tidak sepenuhnya berbohon. Dia memang mengerjakan tugas, tadi. Sebelum dia akhirnya dia membuka file drama milknya.
“Kamu yakin, ngerjain tugas?”
Hawa yang mulanya nyaman mendadak berubah berat. Dhisty tanpa sadar menggenggam erat, cangkir di tangannya. Dengan ketenangan yang dia paksakan, ia berkata, “He’em. Biasa dosennya kasih tugas bejibun. Papa, banyak kerjaan ya?”
“Biasa.” Papanya tetap berdiri tegak di sana, sambil menatap Dhisty dengan sorot mata yang membuat gadis itu tidak nyaman. “Papa ngerasa kamu akhir-akhir ini sering di kamar terus? Dan lama pulang, kamu ngapain aja?”
Nah, kan?
Dhisty mengalihkan pandangannya, ia menyibukan diri untuk berpikir di antara keterdiaman yang menyambut. Ayo dong, kepala. Berpikir, berpikir! Jangan terlalu lama! Dia semakin mengeratkan genggamannya pada cangkir. Kalau saja dia mempunyai tenaga ekstra, mungkin saat ini cangkir itu sudah pecah berkeping-keping.
“Dhisty? Kamu denger Papa? Apa yang kamu sembunyiin.”
“Nggak ada, Pa!”
Sial, dia terlalu cepat untuk menjawab. Dan kenapa dia menggunakan nada tinggi!
“Nggak ada, Pa,” ralatnya. Dia menyugar rambutnya sebentar sebelum mengerucutkan bibir. “Cuman lagi malas aja keluar kamar, pas udah sampai ranjang itu rasanya nyaman banget. Tahu kan, kalau udah nyaman malas buat ditinggalkan.”
“Yakin?” Suara Papanya semakin berat. Dhisty sepertinya gagal untuk mengelabui Papanya. “Di belakang Papa, kamu nggak ngelakuin hal yang Papa larang kan?”
“Ha?”
“Ha?”
“Oh, nggaklah Pa.” Dhisty menyunggingkan senyuman lebar. Berbanding terbalik dengan isi hatinya yang sudah mengamuk dan sedih. Kenapa Papanya bisa bertanya seperti itu? Masa iya, dia ketahuan? “Mana berani, Dhisty ngelakuin hal yang Papa larang.”
Dia tertawa canggung. Dhisty sudah berbohong, kali ini benar-benar berbohong.
Kerutan di sekitar mata Papanya semakin banyak, tatapan Papanya semakin menajam. Dengan suara yang berat dia berkata, “Awas aja kalau kamu berani ngelanggar perkataan Papa. Papa kurung kamu di dalam rumah.”
“Kok gitu banget, Pa. Semisal aku ngelakuin hal yang ngelanggar permintaan Papa, itu kan karena aku mau buktiin ke Papa kalau aku bisa.” Dhisty merajuk,menyembunyikan rasa kesal yang perlahan hadir memenuhi dada.
Papanya tersenyum sinis, pandangannya merendah. “Memang kamu bisa apa? Kamu masih anak kecil. Emangnya kamu bisa pastiin kalau apa yang kamu lakuin itu pasti berhasil, ha? Udahlah intinya kamu nggak usah aneh-aneh. Papa cuman punya anak satu dan Papa nggak mau kecewa karena tingkah egois kamu.”
“Kalau belum dicoba gimana bisa?”
“Coba? Dan kalau hasilnya gagal? Udahlah, Dhist. Kamu diem, nggak usah mikir aneh-aneh. Papa udah punya rencana buat kamu, tinggal kamu ikutin.”
“Tapi, ini hidup Dhisty. Dhisty mau ngelakuin apa yang Dhisty mau.”
“Tapi, yang hidupin kamu siapa? Udahlah, kamu sekarang tidur, dan jangan ngelakuin hal macam-macam.”
Saya anak semata wayang. Tapi saya jauh dari kata manja.
Comment on chapter Prolog