Read More >>"> I'M (08) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - I'M
MENU
About Us  

“Apa kalian nggak capek ngelakuin itu terus dari waktu ke waktu?”

            Dhisty yang sejak tadi memusatkan tatapannya pada makanannya, akhirnya memberanikan diri untuk mendongak. Melakukan hal itu maksudnya, saling melempar pandangan. Bukan tatapan yang seperti di novel-novel ala-ala kekasih, melainkan tatapan yang sirat akan ketidak sukaan. Dhisty bisa mengetahuinya karena beberapa kali ia melirik keduanya dari ekor mata.

            Ada satu keanehan yang dia rasakan pada diri Gala. Kenapa laki-laki itu sangat tidak menyukai Seva? Padahal yang dia tahu, Gala dan Seva, bukan dua orang yang pernah bertemu. Dhisty bisa mengatakan hal itu hampir seratus persen, karena dia tau hampir semua teman Gala. Tatapan laki-laki itu begitu dingin, sorotnya tidak memancarkan keramahan yang seringkali ia tangkap, yang mampu membuat dirinya betah untuk menatapnya lama.

            “Kenapa harus di meja ini?”

            “Nggak usah tanya ke gue. Tanya sama nih orang.” Seva menepuk pundak Kalingga cukup keras, membuat Kalingga meringis.

            “Lo bisa cari makan tempat lain.”

            “Well,” Seva mengangkat sendok, menunjuk Gala di sana. Ia tersenyum sangat menyebalkan, “setahu gue ini bukan tempat makan lo, dan gue berhak dong duduk di mana aja.”

            Gala mengatupkan rapat-rapat. Matanya semakin menggelap. “Dan gue juga berhak ngusir lo dari meja ini.”

            Dhisty mendesah, dia memalingkan wajah ke arah Kalingga. Kedua matanya bergerak, menyipit, melotot. Kepalanya sering bergerak pelan, menunjuk ke arah Gala dan Seva dengan dagunya. Alisnya  kadang berkerut, hampir menempel satu sama lain.

            Pisahin mereka sekarang juga, Pak!

            Kalingga berdehem, ia melirik kedaunya. Niatnya sih hanya mencari tempat duduk, bukannya malah membuat keributan dan tidak nyaman. Selain itu, ada hal yang ingin dia pastikan.

            “Buat Masnya, maaf nih. Alasan kenapa kita duduk di sini, karena gue sama Seva kenal sama Dhisty.” Dhisty dengan jelas melotot pada Kalingga. “Makanya gue milih duduk sama kalian.”

            “Lo kenal sama mereka?” Gala menunjuk keduanya secara terang-terangan. Aura yang dikeluarkan oleh laki-laki itu begitu gelap. Gala sepertinya sengaja menunjukan rasa tidak nyamannya dan kebenciannya pada kedua orang itu. Karena dia langsung bertanya dengan suara rendah, dan dalam.

            Dhisty menyambar minumannya, melihat ke arah lain sambil menegaknya perlahan. Lingga sungguh tidak membantu sama sekali, malah membuat masalah yang baru.

            “Dhisty.”

            “Ya?” Dhisty menghadap Gala dengan  wajah pura-pura polos. Dari ekor matanya ia bisa melihat Seva tersenyum puas. Laki-laki satu itu?! “Kenapa  Gal?”

            “Lo kenal mereka berdua? Seingat gue, lo bilang kalau lo nggak kenal. Mereka cuman orang yang bantu lo waktu kepleset.”

            Hal yang paling menyulitkan saat ini adalah ingatan Gala yang begitu tajam. Hingga mengingat-ingat hal yang tidak perlu dia ingat. Sama seperti saat ini. Dia mengingat hal yang sudah Dhisty buang jauh-jauh. Ia menggigit bibir bawahnya, pandangannya berkelana ke segala arah kecuali Gala.

            “Dhisty!”

            “Ha? Oh itu,” Dhisty menggaruk hidungnya, bisa dirasakan keringat menyentuh kulit jemarinya, “gue ngajak mereka makan sih waktu itu, ngungkapin terima kasih.”

            “Kenapa lo nggak bilang sama gue?”

            “Emang dia pacar lo? Repot amat lo urusin hidup orang.”

            Gala menggertakan giginya, Dhisty menekan bibirnya sambil mengumpat dalam hati. Keduanya menoleh ke arah Seva yang sibuk mengunyah. Tampangnya begitu santai, seolah perkataannya itu benar adanya.

            “Apa? Gue bener kan? Emang dia siapa lo? Pacar?”

            “Lo bisa diem nggak?” Dhisty  menekan suaranya. Dia berkata dengan giginya ditekankan satu sama lain.

            “Punya mulut kalau nggak dipakai ngomong buat apa?”

            “Mau gue pacarnya si Dhisty atau nggak, itu bukan urusan lo. Lagian, nggak perlu jadi pacarnya  Dhisty buat nanya hal kayak gini.”

            “Lo bilang ini bukan urusan gue? Berarti sama, urusan Dhisty bukan urusan lo.”

            “Lo siapa sih sebenarnya? Hubungan apa lo sama Dhisty?”

            Dhisty menelan ludah gugup, ia menghadap ke Seva cepat. Dia tahu seperti apa makhluk satu ini. Dia berharap bahwa, tingkah tengil dan menyebalkan Seva tidak muncul sebentar. Ia melotot ke arah Seva, memberikan pertanda kepada cowok itu. Entah kebetulan, atau bagaimana, Seva  menoleh ke arahnya. Pandangan mereka bertemu.

            Dhisty berusaha untuk berbicara pada Seva melalui gestur kepalanya yang terus menggeleng. Sialnya, Seva malah mengangkat sudut bibirnya. Dhisty tahu maksudnya apa itu.

            “Gue sama Dhisty? Kalau gue bilang dia—”

            “Nggak!” Dhisty reflek menoleh. Perkataan Seva berhenti, begitu juga perkataan yang lain. Ia merasa masa bodoh untuk saat ini saja. Dia mendorong kursi cukup kencang, memutari meja hingga berada di belakang Seva. Ketiganya memperhatikannya dengan kebingungan yang jelas.  “Apa pun yang dia omongin, nggak bener,” jelasnya sambil menghadap ke Gala. “Dan lo ikut gue!”

*****

            “Yang gue inget, kita nggak sedeket itu sampai lo bisa megang tangan gue.” Seva berujar ketika tubuhnya ditarik paksa melewati jajaran rak dari makanan sampai barang lain. “Kalau lo mau bawa gue ke KUA, gue nggak tertarik.”

            Dhisty menghempaskan begitu saja tangan Seva, dia berbalik, menghadap lurus ke arah Seva yang menjulang di hadapannya. Ia kesal dengan tingkah laki-laki itu. “Lo bisa nggak sih, jangan bikin keadaan gue makin ribet!” Kedua  tangannya mengepal, dia menekan setiap kata-kata yang ia keluarkan.

            Seva mundur sedikit, ia tersentak karena amukan Dhisty yang tiba-tiba. Wanita itu selalu membuatnya terkejut dengan ledakan emosinya yang tiba-tiba. Sebenarnya dia sudah berpikir kalau wanita itu marah karena perkataannya, tapi dia tidak tahu kalau dia akan dibentak di sini. Di antara rak susu, dengan orang-orang yang berlalu lalang di antara mereka.

            Memalukan.

            Dhisty terlihat menarik napas dalam, lalu menghembusnya keras. Tatapannya masih sama, seperti pisau yang siap untuk mencincang Seva. Gadis itu sering kali tidak menutup kebenciannya, padahal yang di depannya adalah bosnya bekerja.

            “Jadi, lo bawa gue ke sini ngapain? Mau buat pacar lo cemburu?”

            “Dia bukan pacar gue!”

            Seva mengerjap, bibirnya mengkerut sedikit. Ia bisa wajah gadis itu semakin memerah, satu hal yang berbeda, tatapannya yang mensyiratkan rasa malu. Seva paham situasi ini. “Kalau dia bukan pacar lo. Ngapain dia ngurus-ngurusin hidup lo? ah, lo udah biasa diurusin ya?” Ia menampilkan senyum remeh, begitu juga dengan suaranya yang sengaja ia tunjukan secara terang-terangan, mengejek dan meremehkan.

            Bibir gadis itu berkedut, kedua alisnya perlahan mendekat.

“Tutup mulut lo!”

            Dengan tenang, Seva menepuk bibirnya berulang kali. “Ini mulut gue, gue bebas mau ngomong apa aja, dan lagi,” iris matanya bergerak lurus ke arah iris mata Dhisty, seolah mengukung tatapan gadis itu. “gue ini bos lo. Lo mau gue pecat.”

            Tidak ada candaan yang ditunjukan dari diri Seva. Tatapan yang dingin yang dia berikan, seolah menegaskan status mereka saat ini.

            Dhisty mendengus, tidak ada ketakutan di pancaran matanya. Ia mendorong tubuh Seva, membuat laki-laki itu mundur. “Ini di luar, dan lo bukan bos gue!”

            “Bukan berarti gue nggak bisa pecat lo.”

            “Kalau lo berani lakuin itu, berarti lo nggak profesional!”

            Seva tersenyum tipis, tampak terpukau. Kepercayaan diri gadis itu sungguh luar biasa, tidak ada kegoyahan dalam perkatannya tadi.  Seolah, Seva benar-benar tidak bisa melakukannya.

            “Ngapain lo senyum? Nggak ada yang lucu di  sini.” Dhisty  mengembungkan pipinya lalu bersidekap.

            Seva tidak langsung menjawabnya, lewat iris matanya ia melihat gadis itu  mulai mengembungkan pipinya, dan keningnya mengernyit. Menandakan bahwa gadis itu tampak berpikir, entah apa.

            “Lo sama gue berani, kenapa sama cowok itu nggak berani? Lo suka ya sama dia?”            Kepala yang awalnya berplaing, kini menghadap lurus ke arahnya. Kedua mata yang sempat berhenti mengeluarkan kekesalan, kini kembali keluar. Perbedaannya, wanita itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Tapi dari gelagatnya, yang tampak lucu –bibir yang kerap kali terbuka lalu tertutup, rona merah yang semakin menjadi-jadi- membuat Seva menjawab pertanyaannya sendiri.

            Wanita itu memang menyukainya.

            “Beneran ya?”

            “Berisik lo! Intinya, lo jangan aneh-aneh bilang ke Gala. Apalagi kalau apa yang lo omongin itu berkaitan dengan kerjaan!”

            Seva mengangkat bahunya, acuh.

            “Jawab nggak! Gue curiga kalau lo suka sama gue, makanya cari gara-gara sama gue.”

            Seva menarik tubuh Dhisty, punggungnya menyentuh rak. Ia mengungkung gadis itu dengan kedua tangan Seva sebagai penjara. Bisa dilihat keterkejutan di wajah Dhisty. Bahkan kedua matanya hampir keluar karena melotot. Untuk kali ini Seva tidak peduli dengan orang-orang yang mungkin mengarah padanya.

            “Denger ya, nona manja. Gue nggak suka sama lo.” Seva menggerakan kedua netranya. “Kedua, gue nggak pernah bilang apa-apa tentang kehidupan lo. Karena itu nggak penting. Ketiga,” Ia mendekatkan wajahnya, seperti orang yang akan mencium, “sepertinya lo yang suka sama gue, karena lo yang geret gue ke sini.”

            “Jangan mimpi! Dan lepasin gue!”

            “Lo tahu, bukan gue yang buat dia makin curiga. Tapi, sikap lo sendiri. Kalau lo emang mau dikira nggak manja, lo harus tegesin ke dia. Bukan cuman sama gue!”

            “Lo mau apain Dhisty!”

            Pundak Seva tertarik ke belakang. Gala datang dengan wajah yang penuh amarah. Ia memperhatikan keduanya, lalu menyentuh pergelangan tangan Dhisty.  “Kita pulang, sekarang!”

            Dan ketika mereka hampir meninggalkan tempat Seva, suara laki-laki itu terdengar. Begitu pelan, tapi mampu membuat emosi Gala tertarik.

“Nggak usah sok protektif sama dia, apalagi dia bukan siapa-siapa lo.”

****

            Tidak ada yang menyenangkan jika berkaitan dengan kemarahan. Terlebih kemarahan antara dia dan orang yang penting untuk hidupnya. Sudah sepuluh menit berlalu, semenjak mereka keluar dari mall. Tapi, keterdiaman masih senantiasa untuk melingkupi keduanya.

            Di kursinya, Dhisty melihat ke arah Gala. Wajah laki-laki itu masih keruh, menandakan emosinya belum reda. Mereka pernah seperti ini, tidak saling berbicara satu sama lain. Waktu itu, Dhisty  membohongi Gala, mengatakan bahwa dia sedang berada di salah satu temannya, nyatanya dia terpegok sedang pergi bersama cowok lain.

            Dia waktu itu melakukannya karena sudah terlanjut patah hati, karena Gala berpacaran dengan kakak kelasnya. Sayangnya ketika Gala marah, Dhisty merayunya. Dan sepertinya, dia harus melakukan hal yang sama.

            “Gal.” Dhisty memanggilnya lembut, bahkan nyaris manja. Meski takut, ia akan mencobannya. Dia menyentuh ujung lengan Gala. Gila, udah berasa nonton film horor aja. Bikin bulu kuduk merinding. “Gal, lo marah?”

            Dhisty tahu pertanyaan itu yang seharusnya tidak perlu ia tanyakan. Cukup melihat ekspresi laki-laki itu saja, dia sudah mendapatkan jawaban. “Lo marah kenapa sih?” Dhisty mulai berlagak tidak mengerti.

            “Lo masih nggak tahu, gue marah kenapa?”

            Kembali Dhisty menelan ludahnya, suara Gala begitu rendah dan diiringi kesinisan.

            “Ya ... lo belum kasih tahu gue sih. Jadi, lo marah kenapa?”

            Gala memutar stir mobil ke kiri dan menginjak rem dengan cepat.

            Dhisty yang tidak bisa membaca apa yang terjadi, tubuhnya langsung terjungkal ke depan. Untung saja sahabat setianya –seat belt, itu bisa mencegah tubuhnya mencium dashboard.

            “Gala! Lo apa-apaan sih?! Mau buat kening gue benjol apa?!”

            “Lo yang apa-apaan?!”

            Dhisty langsung mingkem. Amarahnya beku, digantikan dengan kegugupan. Ia menarik sedikit bibirnya, meringis. Bingung harus melakukan apa untuk meredakan amarah Gala kali ini.

            “Lo sebenarnya ada hubungan apa sama mereka berdua?”

            Dingin, sinis, kejam. Kalimat itu sungguh tidak enak dipandang, terlebih dengan tatapan Gala. Dhisty sungguh tidak menyukai tatapan Gala kali ini.

            “Gue nggak ada hubungan apa-apa.” Dhisty berkata dengan pelan, tenang, dan penuh keyakinan. Jauh dalam hatinya, dia mencoba untuk menutupi perasaan dia yang sebenarnya. “Gue aja cuman asal kenal doang, Gal.”

            “Kenal? Yakin cuman kenal? Lo selalu cerita sama gue, tentang siapa pun orang yang deket sama lo. Kenapa sekarang nggak?”

            “Gue lupa.” Dhisty menampilkan wajah memelas. “Gal, serius, gue cuman temenan sama mereka.”

            “Yakin?”

            “Iya, serius deh. Lo cemburu ya makanya marah kayak gini?”

            Dhisty berusaha untuk mencairkan suasana. Ia mengerjapkan matanya, sok centil. Dia saja geli dengan dirinya sendiri.

            “Bukan gitu.”

            Rasanya Dhisty mendengar suara kaca yang dipecahkan oleh palu, hingga jatuh berserakan. Ia mencoba untuk menutupinya dengan senyum lebar. “Yakin? Gue mah emang cantik makanya lo cemburu.” Ia mengibaskan rambutnya.

            “Gue nggak cemburu. Lo itu udah gue anggep kayak adik gue sendiri.”

            Seketika itu, senyum Dhisty menghilang. Ia menyempatkan diri untuk memalingkan wajahnya sejenak, menyalurkan kekecewaan yang kini menyergap hatinya. Kalimat itu seolah menjadi jawaban untuk perasaannya, meski dia belum pernah mengatakan perasaanya dengan  serius. Kalimat itu seperti racun, yang berhasil masuk jauh ke dalam dirinya, merambat pada akar-akar yang berdiri kokoh dan perlahan membunuh satu per satu pohon di sana.

            “Lo denger nggak sih, omongan gue.”

            “Nggak.” Dhisty memalingkan mukanya, masih dengan belakang kepala yang menempel pada senderan kursi. “Lo ngomong apa?”

            “Gue bilang, lo jauh-jauh sama mereka berdua. Gue nggak mau lo sakit hati atau terluka sama mereka. Ngerti?”

            Dhisty mengangguk. “Jadi berhenti marah ya?”

            “Kalau lo mau janji sama gue.”

            “Iya-iya, Gala. Gue bakal jauhin mereka.” Di depan lo dan saat gue sudah keluar dari kafe itu.

            Gala mengangguk, senyum kecil keluar. Dia mengusap kepala Dhisty lembut. “Mau makan lagi?”

            “Balik aja deh, nanti gue  diamukin lagi.”

            Gala tidak menyela lagi, dan Dhisty tidak berminat menjawab.

            Ada satu hal yang ingin gue katakan ke lo, Gal. Kadang bukan orang lain yang akan menyakiti gue, bukan mereka yang baru gue temui. Melainkan seseorang yang berada dekat, selalu mengatakan ingin melindungi. Lo.

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • SusanSwansh

    Saya anak semata wayang. Tapi saya jauh dari kata manja.

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
Move On
208      174     0     
Romance
"Buat aku jatuh cinta padamu, dan lupain dia" Ucap Reina menantang yang di balas oleh seringai senang oleh Eza. "Oke, kalau kamu udah terperangkap. Kamu harus jadi milikku" Sebuah awal cerita tentang Reina yang ingin melupakan kisah masa lalu nya serta Eza yang dari dulu berjuang mendapat hati dari pujaannya itu.
Nobody is perfect
12138      2173     7     
Romance
Pada suatu hari Seekor kelinci berlari pergi ingin mencari Pangerannya. Ia tersesat, sampai akhirnya ditolong Si Rubah. Si Rubah menerima si kelinci tinggal di rumahnya dan penghuni lainnya. Si Monyet yang begitu ramah dan perhatiaan dengan si Kelinci. Lalu Si Singa yang perfeksionis, mengatur semua penghuni rumah termasuk penghuni baru, Si Kelinci. Si Rubah yang tidak bisa di tebak jalan pikira...
Babak-Babak Drama
421      287     0     
Inspirational
Diana Kuswantari nggak suka drama, karena seumur hidupnya cuma diisi itu. Ibu, Ayah, orang-orang yang cuma singgah sebentar di hidupnya, lantas pergi tanpa menoleh ke belakang. Sampai menginjak kelas 3 SMP, nggak ada satu pun orang yang mau repot-repot peduli padanya. Dian jadi belajar, kepedulian itu non-sense... Tidak penting! Kehidupan Dian jungkir balik saat Harumi Anggita, cewek sempurna...
Story Of Me
3192      1148     6     
Humor
Sebut saja saya mawar .... Tidaak! yang terpenting dalam hidup adalah hidup itu sendiri, dan yang terpenting dari "Story Of me" adalah saya tentunya. akankah saya mampu menemukan sebuah hal yang saya sukai? atau mendapat pekerjaan baru? atau malah tidak? saksikan secara langsung di channel saya and jangan lupa subscribe, Loh!!! kenapa jadi berbau Youtube-an. yang terpenting satu "t...
You Can
994      630     1     
Romance
Tentang buku-buku yang berharap bisa menemukan pemilik sejati. Merawat, memeluk, hingga menyimpannya dengan kebanggaan melebihi simpanan emas di brankas. Juga tentang perasaan yang diabaikan pemiliknya, "Aku menyukainya, tapi itu nggak mungkin."
NAZHA
396      296     1     
Fan Fiction
Sebuah pertemuan itu tidak ada yang namanya kebetulan. Semuanya pasti punya jalan cerita. Begitu juga dengan ku. Sang rembulan yang merindukan matahari. Bagai hitam dan putih yang tidak bisa menyatu tetapi saling melengkapi. andai waktu bisa ku putar ulang, sebenarnya aku tidak ingin pertemuan kita ini terjadi --nazha
The War Galaxy
11253      2327     4     
Fan Fiction
Kisah sebuah Planet yang dikuasai oleh kerajaan Mozarky dengan penguasa yang bernama Czar Hedeon Karoleky. Penguasa kerajaan ini sungguh kejam, bahkan ia akan merencanakan untuk menguasai seluruh Galaxy tak terkecuali Bumi. Hanya para keturunan raja Lev dan klan Ksatrialah yang mampu menghentikannya, dari 12 Ksatria 3 diantaranya berkhianat dan 9 Ksatria telah mati bersama raja Lev. Siapakah y...
Perfect Love INTROVERT
9204      1713     2     
Fan Fiction
Kenangan Masa Muda
5725      1617     3     
Romance
Semua berawal dari keluh kesal Romi si guru kesenian tentang perilaku anak jaman sekarang kepada kedua rekan sejawatnya. Curhatan itu berakhir candaan membuat mereka terbahak, mengundang perhatian Yuni, guru senior di SMA mereka mengajar yang juga guru mereka saat masih SMA dulu. Yuni mengeluarkan buku kenangan berisi foto muda mereka, memaksa mengenang masa muda mereka untuk membandingkan ti...
THE WAY FOR MY LOVE
412      317     2     
Romance