“Gila, pinggang gue encok.” Dhisty memukul pinggangnya berulang kali. Rasanya dia sedang dalam masa bulanannya. Merasakan remuk di sekujur tubuhnya, terutama di pinggang. Ia meliuk-liukan tubuhnya, berharap rasa pegal yang dirasakannya bisa sedikit mereda. Dia baru menyadari bahwa kalau sebenarnya bekerja itu berat sekali. Terlebih seperti dirinya yang tidak mempunyai pengalaman kerja.
Kali pertama dia pulang kerja, tubuhnya bahkan lebih pegal dibandingkan hari ini. Saking capeknya Dhisty bahkan sampai tertidur pulas, dan melewatkan makan malam. Alhasil dia begitu lapar ketika pagi menjelang.
“Kenapa lo? Baru gini aja udah ngerasa pegel. Berhenti aja deh.”
Dhisty menurunkan kedua tangannya yang ada di pinggang, dia membuang muka sebentar, mengeluarkan emosinya melalui udara. Sialan, kenapa dia harus dilihat sama orang satu ini sih! Seperti sebuah topeng yang sudah dipersiapkan, ekspresi Dhisty berubah, menjadi ‘baik-baik’ saja.
“Bapak ngapain di sini?”
Seva mengunyah permen karetnya, membuat balon lalu mengunyahnya lagi.
“Terserah gue dong. Emang lo siapa bisa ngelarang gue?” Terlihat sudut bibir kirinya naik, mengejek Dhisty. Kedua tangan Seva bergerak sedikit ke belakang, menempelkan telapak tangannya pada salah satu meja yang ada di dapur.
Gadis itu mengepalkan kedua tangannya, meski senyumannya masih tercetak jelas di wajahnya –senyuman palsu. Padahal dalam hatinya sudah mengumpati Seva yang kini sedang menatapnya penuh ejekan.
Baru punya kafe aja songong!
Iyalah songong, dia bos lo!
Oke. Untuk kali ini, Dhisti mengaku kalah. “Serah bapak ajalah.” Dhisty memegang pinggiran bak sampah, dan mulai mengangkatnya. Ringisan yang tercetak jelas di wajah Dhisty, menjelaskan seberapa berat tong sampah yang kini dia angkat.
Pekerjaan Dhisty beragam, dari menjadi pelayan, membersihkan meja, dan membuang sampah seperti sekarang. Dia tidak mempunyai pilihan selain mengerjakan itu semua. Toh kalau dia protes yang ada dia di cap yang tidak-tidak –manja misalnya. Sebutan terlarang bagi Dhisty.
Dhisty berulang kali memalingkan mukanya ketika bau-bau tak sedap menyapa hidungnya. Baru beberapa langkah dia meletakan kembali tong sampah itu.
“Bisa minggir dikit, Pak?” katanya sedikit sinis. Dhisty tidak bisa menghentikan emosinya ketika melihat Seva. Dia merasa seperti itu tanpa alasan. Sejak hari pertama, tingkah laki-laki itu semakin menjadi-jadi. Tidak pernah sekali pun kalimat ‘lo mau nyerah?’ terlupakan ketika mereka bertemu. Membuat kesabaran Dhisty perlahan menipis.
Keduanya sempat bersitatap, Dhisty menahan diri untuk tidak melotot ke ara Seva ketika laki-laki itu masih dengan tampang acuhnya berdiri di dekat pintu dapur. Nih orang emang cari gara-gara.
“Pak.” Kali ini Dhisty menekan perkataannya.
Keramaian yang ada di belakang mereka –di dalam kafe, tidak menyulut Seva untuk bergerak. Laki-laki itu seolah tampak tidak peduli dan sengaja memancing kemarahan Dhisty. Laki-laki itu masih mempertahankan kegiatannya –menatap Dhisty dari atas sampai bawah dengan tubuh yang kini menyender di pinggiran meja.
Hilang sudah kesabaran Dhisty karenanya. “Pa—”
“Berisik banget.” Seva menyingkir. “Cepet bawa sana.”
Demi apa, ada orang yang memuakan seperti ini. Dengan kesal, ia memegang pinggiran bak sampah, dan berjalan cepat. Etika melewati Seva, Dhsity mengangkat tinggi-tinggi kaki kanannya dan menginjak kaki Seva. Dia langsung mempercepat langkah kakinya, berusaha kabur dari amukan Seva yang kini sudah mulai terdengar.
Jarak antara tempat sampah utama dengan kafe milik Seva tidak terlalu jauh, tapi memakan energi yang cukup ketika membawa sampah yang cukup banyak.
Dhisty menurunkan tong sampah dari kedua tangannya dengan kasar.
“Pingin banget gue masukin tuh orang ke tong sampah ini!” Dhisty menggeram, ia menoleh ke arah pintu dapurnya. Menatap tajam seolah Seva ada di sana. Dari sekian banyak macam bos kenapa dia harus mempunyai bos yang super menyebalkan seperti itu. “Kalau gue nggak butuh kerjaan, nggak bakal deh gue nahan diri buat nampar!” Fokusnya kembali menatap tong sampah yang ia bawa, lalu beralih pada bak sampah yang cukup besar di sana.
“Sabar-sabar, kalau lo ngehujat dia gaji lo tercancam.”
Matahari yang sedang semangat-semangatnya mengeluarkan sinarnya, membuat peluh mau tak mau harus keluar dari singgasana, bermain ke segela permukaan yang bisa ia raih. Suara bising kendaraan dan obrolan acak menyatu, meramaikan suasana sekitar. Menarik permukaan tangan untuk mengelap mereka.
Dhisty memperhatikan keadaan sesaat, menengadahkan kepalanya –melihat langit yang kini biru cerah, sebelum akhirnya menghela napas. Ia menyingkirkan bebereapa helaian rambut yang diam-diam keluar dari celah ikat rambutnya dengan punggung tangan. Menahan napas sebelum menuangkan sampah-sampah yang dibawanya berkumpul bersama teman-temannya yang lain.
“Dhisty! Lo udah kelar belum! Buruan balik, masih banyak kerjaan!”
“Iya!”
Dhisty buru-buru membawa tong sampah yang sudah kosong untuk masuk ke dalam, untungnya kali ini tidak ada Seva sama sekali di sana. Masih tersisa dua jam lagi, sebelum pekerjaannya selesai.
“Yang mana perlu gue kerjain?”
*****
“Sev, kayaknya kita perlu nambah produk dengan rasa lain.” Kalingga menyeletuk, mengikis keterdiaman yang sejak tadi menyelimuti mereka berdua –Seva dan Kalingga. Dua orang yang kini tengah sibuk duduk di balkon kafe, dengan banyak lembaran kertas yang memenuhi meja. “Banyak yang nanya rasa blue berry.”
“Oh ya, bisalah kalau itu.” Seva masih sibuk memperhatikan deret angka yang berada di antara kolom. Kepalanya sibuk menghitung, begitu juga dengan jemarinya yang mencoba untuk mencocokan antara satu data dengan data lain.
“Tambahin bentuk beruangnya juga.”
“Oke.”
“Lo setuju?”
“Atur.”
“Nggak niat amat lo jawabnya.”
“Bos, bebas.”
Kalingga mendengus. Ia menggelengkan kepalanya, kadang dia ingin menjitak kepala Seva kalau dia menjawab tanpa berniat untuk melakukannya. “Oh ya.”
Seva berhenti melakukan kegiatanya, ia mengernyitkan dahinya ketika mendengar suara antusias dari Kalingga. Dia tidak perlu bertanya, dia hanya perlu menunggu Kalingga untuk berbicara.
“Lo kenapa nerima si anak tunggal?”
Seva kaget, ia mendorong sedikit kursinya sembari menoleh ke arah Kalingga. Ini pertanyaan yang tidak pernah dia pikirkan sama sekali.
“Emang kenapa?” Seva melepaskan kertas ditangannya, lalu menyenderkan punggungnya di senderan kursi. Ia menyugarkan rambutnya, membiarkan cahaya matahari menyapa keningnya.
“Aneh aja.” Kalingga menggeser sedikit kertas di depannya, lalu meletakan sebelah tangannya di sana. “Setahu gue, lo paling anti sama anak manja.”
“Emang.” Seva melihat Kalingga dengan senyum kecil.
“Terus kenapa?” Kalingga semakin penasaran, pasalnya Seva akan menjauhi segala hal yang berbau merepotkan dan orang manja adalah salah satunya. “Dan lagi, di perjanjian itu ... adaw sakit bangke!”
Tidak ada sahutan dari Seva atas teriakan Kalingga. Laki-laki itu kembali menunduk, memperhatikan kertas-kertas pekerjaannya.
“Heh, lo—”
“Permisi, Pak.”
Kalingga menghentikan perkataannya, dia dan Seva melihat ke arah Dhisty yang baru datang. Di tangannya terdapat nampan yang berisikan dua minuman dan cake.
“Taruh di sana.”
“Kertasnya, Pak.”
“Ya rapiin.” Seva bersidekap, bersikap angkuh dihadapan Dhisty. Dia menahan diri untuk tersenyum ketika melihat tatapan tajam dari Dhisty. Dia tahu, perempuan itu tengah marah padanya.
“Kedua tangan saya penuh, Pak. Dan bapak kan sedang tidak memegang apa-apa.”
“Kayak gini sikap lo sama pembeli? Mau tanggung jawab kalau pembeli kafe ini pergi?” Seva menaikan sebelah alisnya. Ia menunjuk Dhisty dan meja bergantian. Tidak perlu banyak kata, dia tahu kalau Dhisty akan paham dengan itu semua.
Balkon yang sepi, membuat keduanya seolah bebas untuk melakukan apa saja. Semilir angin tidak mampu meredamkan suasana panas yang kini dirasaka oleh Dhisty. Bibir gadis itu terkatup rapat, pandangannya seolah mempunyai leser yang siap untuk membunuh Seva.
“Kenapa? Lo nggak mau?” Seva sudah siap melanjutkan perkataannya langsung menahan diri ketika Dhisty meletakan nampan dan isinya. Ia bergerak lihai, menyihkan beberapa tempat kosong untuk menaruh nampannya.
Seva diam-diam tersenyum ketika melihat Dhisty mengikuti kata-katanya.
“Silakan, dinikmati, Pak.”
Seva tidak kaget ketika mendengar penekanan Dhisty. Ia langsung menyesap minumannya, kerutan muncul dikeningnya.
“Bentar. Ini apaan? Terlalu manis, buatin lagi.” Seva meletakan gelas ke atas meja. Tampangnya begitu serius. Berulang kali ia seperti meludah, memperlihatkan bagaimana indra pengecapnya tidak mau menerima rasa manis. “Dan harus lo yang nganterin.”
Tidak perlu lama menunggu, gadis itu langsung menaruh gelas Seva ke atas nampan. Seva yang sudah siap untuk menerima perkataan Dhisty, menatap gadis itu penuh percaya diri.
“Pak Lingga, apa minumannya terlalu manis?”
Kaget, dan tak percaya. Seva membelalakan matanya. Dia diabaikan?
“Oh, nggak. Udah pas kok.”
“Saya permisi dulu.”
Ekspresi Seva berubah ketika Dhisty berlalu. Tapi, pandangannya tetap mengarah pada gadis yang kini diam-diam menghentakkan kakinya karena kesal.
“Emang manis banget? Punya gue nggak.” Kalingga meminum lagi minumannya memastikan.
Seva tersenyum. “Punya gue manis.” Ia menggelengkan kepalanya lalu mengambil laporan itu lagi.
Berulang kejadian itu terjadi –Seva yang protes, dan Dhsity yang mengantarkan minuman berulang kali.
“Lo ngerjain dia?” tanya Kalingga setelah berulang kali kejadian itu terulang.
“Nggaklah. Nggak ada gunanya.” Seva sedikit menaikan suaranya ketika menjawab pertanyaan itu. “Gue tuh nggak mau punya karyawan nggak becus.”
Bertepatan ketika Seva menyelesaikan kalimatnya, Dhisty datang dengan ekspresi tenang. Seva yang melihatnya curiga.
“Ini Bapak Seva terhormat.” Dhisty menyerahkan pesanan Seva. Dia tersenyum kecil. “Sebaiknya Bapak meminumnya pelan, biar menikmati. Permisi, saya butuh melayani pelanggan lain, dan sebaiknya Bapak tidak mengganggu saya lagi.” Dhisty menggertakan giginya, sambil melotot.
Seva mengerjap berulang kali, saking terkesimanya ia kehilangan kata-kata. Dia membiarkan Dhisty pergi dari hadapannya. Ia melihat ke arah minumannya, lalu memiringkan sedikit kepalanya. Ada suara desisan yang keluar dari bibirnya, dia tampak curiga.
Jangan bilang?
Nggak mungkinlah, nggak.
Ia mengambil minumannya lalu menyesapnya beberapa tegukan. Ketika air itu menyentuh lidahnya, ia langsung membuangnya langsung, tanpa membiarkan tenggorokannya merasakan air itu.
“Sialan,” desis Seva. Ia langsung menoleh ke arah dalam kafe melewati kaca transparan yang membatasi balkon dan bagian dalam kafe. Ia bisa melihat Dhisty menyeringai ke arahnya, lalu menjulurkan lidahnya, mengejeknya.
“Kenapa lagi?” Kalingga melihat Seva dan Dhisty bergantian, dia mengambil minuman Seva, mencobanya. “Cih, asin. Tuh cewek ngerjain lo? Berani ya.”
“Silly girl.” Seva terseyum lebar.
****
Dhisty merebahkan tubuhnya di atas empuknya ranjang. Rasanya setiap hari, dirinya semakin rindu dengan ranjangnya itu. Ia menguyel-uyel wajahnya sebelum akhirnya memeluk gulingnya. Kali ini bukan hanya tenaga saja yang terkuras, melainkan juga otaknya yang lelah berpikir.
“Dasar laki-laki nyebelin, sok ganteng, sok berkuasa!” Dhisty memukul guling miliknya berulang kali mengeluarkan segenap kekesalannya. Kalau saja dia punya alat untuk tidak terlihat, dia akan membayarnya dan menampar Seva berulang kali. Dia tidak puas sudah memberikan minuman yang asin pada Seva, sangat tidak puas. “Kapan gue bisa balas dendam sama dia sih!”
Kedua tangannya ia kepalkan, dia sudah tidak sanggup lagi menahan kekesalannya. Harus ia apa apakan Seva ketika ada kesempatannya untuk balas dendam. Membayangkan bagaimana senyum kepuasan yang muncul di wajah Seva, membuat dalam diri Dhisty mendidih.
“Dhisty!”
Dhisty menoleh ke arah jendela yang masih tertutup. Tanpa berpikir lama, ia langsung turun dari ranjang, menemui seseorang yang memanggilnya. Ia menahan diri untuk terlihat terlalu excited melihat Gala, dia masih harus menahan diri, entah untuk berapa lama lagi.
“Apaan? Lo ganggu gue istirahat aja.”
“Lo istirahat pakai baju lengkap kayak gitu?”
Dhisty mengikuti arah tangan Gala, lalu dia mengumpat. Sial, dia belum sempat ganti baju. Ais.
“Ya, nggak apa-apa ‘kan? Nggak ada yang marah juga.” Dhisty membela dirinya. Dia tidak mau kalau kebohongannya terlihat jelas.
Kedua tangannya ia silangkan, dan ditumpukan pada pagar balkon. “Lo ngapain bawa gitar?” Dia sudah lama tidak melihat Gala membawa benda yang dulu kerap kali menemani malam mereka. Semejak mereka sibuk dengan perkuliahan, terutama Gala yang sibuk juga dengan bisnisnya, mereka jarang menghabiskan waktu bersama dengan benda itu.
Sepengingatnya, dulu, Gala selalu memanggilnya dan berakhir dengan karoke bersama. Dia merindukan masa-masa itu. Masa di mana ia bebas mengagumi wajah Gala dan suara laki-laki itu.
“Mau nabok orang. Ya mau nyanyilah. Mau denger nggak?”
Tentu senyum lebar langsung terpampang jelas di wajah Dhisty. “Mau mau mau.”
“Tapi, jawab pertanyaan gue dulu.”
“Yah, Gal. Lo nggak bisa apa langsung nyanyi gitu.” Bibirnya ia majukan, wajahnya tampak sekali malas.
“Mau nggak?” Gala seolah menikmati ekspresi Dhisty itu. Ia menopang dagunya di sebelah tangannya.
Dhisty tidak langsung menjawab, dia mempertimbangkan dengan cepat. Hingga membuat keheningan mendadak muncul di antara mereka. Bukan keheningan mencekam, melainkan keheningan yang membuat keduanya bisa menikmati pikiran mereka masing-masing. Mereka membiarkan angin menangkup beberapa helai rambut mereka, membelai wajah mereka selagi menunggu jawaban.
“Pertanyaan lo apa?” Dhisty akhirnya menyerah, dia begitu ingin mendengar suara Gala.
Gala tersenyum. “Lo dari mana?”
Here we go.
“Dari luar, main. Kan gue udah balas chat lo.”
“Main kemana?”
“Ya, jalan Gal. Lo tahu kalau cewek udah jalan-jalan suka lupa waktu.”
“Kenapa lama balas chat gue?”
“Hp gue silent.”
“Sama siapa lo pergi?”
“Sama Asrilah, emang sama siapa lagi coba.”
“Ada cowok?”
“Nggak ada, Gal. Gue pergi berdua sama Asri itu doang.” Dhisty harus cepat mengalihkan percakapan. “Ayolah, gue udah lama nggak denger suara lo.” Dhisty sadar, apa yang dikatakan itu sungguh memalukan, terlebih dengan nada suaranya. Namun, dia tidak mempunyai pilihan lain.
Dhisty mengerjapkan kedua matanya, tatapannya yang penuh harap ia tunjukan pada Gala.
“Oke oke. Segitunya lo mau denger suara gue?” Gala menyerah, ia menyeringai ke arah Dhisty. “Lain kali nggak usah di silent hp lo.”
“Khawatir ya? Cie, khawatir.”
“Iyalah.”
Sekejap ada setruman kecil yang menyapa Dhisty, tubuh gadis itu perlahan memanas. Meski hanya satu kata, tapi ketika kata itu begitu berarti bagi orang yang mendengarnya, rasanya sudah cukup untuk membuat seulas senyum muncul di wajahnya.
“Mau denger lagu apa?”
“Ehm.” Dhsity mulai mencari lagu yang dia ingat. “I still love you, The Overtunes.”
“Lo kayak lagi jatuh cinta aja.” Gala tersenyum mengejek, Dhisty membalasnya dengan tersenyum kecut.
Iya gue jatuh cinta sama lo, Gal.
Dhisty memilih untuk mengatakannya dalam hati. Karena dia belum punya keberanian sama sekali untuk mengatakan pada Gala. Dia juga sudah bahagia karena Gala mau membuat dia bahagia karena menyanyikan lagu untuknya, dan membuatnya mengabaikan kekesalannya pada laki-laki yang ingin dia kutuk.
Saya anak semata wayang. Tapi saya jauh dari kata manja.
Comment on chapter Prolog