Napas yang sudah tersengal-sengal tak menghentikkan gadis yang kini menyalip di antara pejalan kaki yang ada. Bibirnya
tidak berhenti bergumam, kepalanya sibuk berpikir alasan apa yang cocok diberikan pada seseorang yang akan dia temui saat ini.
Ah, Asri. Sahabatnya itu membuat suasana yang menyeramkan untuknya.
Dhisty terus bergerak, perlahan menjadi lambat. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri mencari sosok Gala yang katanya ada di sekitar sini. “Apa gue harus nelpon dia?” gumam Dhisty masih dengan mencari-cari Gala. Ia mendongak, mencuri lihat di antara kepala yang ada. Ponselnya berbunyi, menarik perhatian Dhisty. Tanpa berpikir panjang, ia mengusap tombol hijau yang tertera di ponsel.
“Halo, lo di mana?” Kedua manik matanya masih bergerak mencari sebelum jawaban Gala membuat ia menoleh ke arah kanan. Di depannya, Gala tengah melambaikan tangan sambil menatapnya. Dhisti memutuskan panggilan dan bergerak pelan. Bibir bawahnya ia gigit kecil. Tangannya meremas ponselnya, gugup.
Ayo dong, ayo. Alasan apa yang gue kasih tahu ke dia?
Bukan tanpa alasan Dhisty berpikir seperti itu. Gala dan Dhisty dua orang yang sudah saling mengenal satu sama lain sejak dulu. Laki-laki itu seperti sahabat, kakak, pacar dan Papa bagi Dhisty. Sejak kecil, Gala selalu ada untuknya. Karena itu, Gala selalu menunjukan sikap yang hampir sama dengan Papanya bahkan bisa dibilang kadang bisa berlebihan. Pernah suatu ketika Dhisty yang masih anak kecil ingin memakan telur gulung, saat bertemu dengan pedagang dia langsung pergi dari depan sekolah. Saat itu bukan Papanya yang menjemputnya, melainkan Gala, dan laki-laki itu marah besar sampai dengan tidak mau berbicara dengan Dhisty. Bisa dibilang Gala itu diam-diam sangat protektif.
Dhisty merasa senang sih, itu berarti bahwa Gala sungguh peduli dengannya. Sayangnya, dia tidak mau terlalu diprotektifkan oleh Gala. Sudah cukup orang tuanya yang bersikap seperti itu, jangan ada orang lain lagi, termasuk Gala.
“Lo dari mana?” Gala langsung menyambutnya dengan pertanyaan. Laki-laki itu menyilangkan dadanya, dan menatap Dhisty lurus.
Lihat kan?
Dhisty tersenyum lebar, dia menunjukan raut tak bersalah. Menyembunyikan kegugupan yang luar biasa. Dari sekian banyak kebohongan yang pernah dia katakan pada Gala, hampir semuanya diketahui oleh Gala. Dia berharap kali ini kebohongannya tidak ketahuan sama sekali.
“Gue habis jalan-jalan. Kenapa?”
“Gue denger lo lagi kencan sama orang.” Gala menekan suaranya. “Siapa?”
Bibir Dhisy sedikit maju, keningnya mengernyit sirat akan ketidakmengertian. “Kencan? Siapa yang kencan? Lo kalau ngomong suka ngaco.” Dia mengibaskan tangannya, mendukung ucapannya. Tanpa bisa dicegah, kedua matanya diam-diam memperhatikan penampilan Gala kali ini. Laki-laki itu menggunakan jaket denim dengan kaos hitam yang diperlihatkan secara terbuka. Rambut yang memang sepertinya disisir asal tidak mengurangi penampilan Gala yang memukau.
Bisa terlihat mata Gala menyipit, yang berarti laki-laki itu masih tidak percaya. “Yakin ngaco?”
“Iyalah. Emang siapa yang mau gue ajak kencan?”
“Mana gue tahu. Kan lo yang kencan. Makanya gue tanya ke lo.”
“Gue bilang,” Dhisty menekan kata-katanya dan menatap tajam Gala, “gue nggak kencan.”
“Yakin?”
Gala mendekatkan wajahnya, membuat Dhsity tanpa sadar menarik napas. Dhisty masih mencoba untuk fokus dan berlagak tidak ada yang dia tutupi. Beberapa menit terasa berjam-jam bagi Dhisty. Ia terus melawan Gala dengan tatapan tak mengerti.
Keadaan yang ramai membuat mereka menarik beberapa pasang mata. Selain karena mereka saling melihat satu sama lain tanpa berucap, tempat mereka berdiri sekarang mudah untuk diperhatikan. Di depan distro.
Dhisty nyaris menarik senyumannya ketika Gala menghela napas sembari menarik kepalanya. Ia tahu laki-laki itu akhirnya percaya. Meski ia yakin bahwa kepercayaannya belum seratus persen. Tapi, untuk sementara dia bisa menyembunyikan bahwa dirinya berbohong.
“Lo kenapa sih gampang banget kepengaruh kata-katanya Asri, lagian Asri becanda.” Dhisty manyun, tangannya merapikan helaian rambutnya yang terkepa angin. Dia mendongak sedikit agar bisa melihat Gala. “Gue mana mungkin kencan sama orang. Orang yang gue suka beda.”
Ups. Haduh nih mulut ya, nggak bisa ditahan.
“Lo suka sama siapa?”
Dhisty bodoh. Ia memalingkan muka, enggan untuk melihat Gala. Dia sungguh malu.
“Dhis.” Gala menggerakan pundak Dhisty, membuat gadis itu kembali menghadap ke arah Gala. “Siapa? Siapa yang lo suka?”
“Donghae. Lee Donghae.” Dhisty berujar dengan cepat. “Lo kan tahu, gue suka sama Super Junior dari dulu.” Dhisty merasa bangga terhadap dirinya yang berhasil menutupi perasaannya.
Gala tersenyum lebar lalu mengacak rambut Dhisty. “Lo suka, emang dianya tahu lo hidup?” tanyanya dengan nada mengejek.
Dhisty tersenyum kecut. “Lo bisa nggak sih, nggak usah pakai ngacak rambut gue!” keluhnya sembari merapikan rambutnya. Dari banyak sifat Gala, ini adalah hal yang paling dia tidak suka. Tak tahukah Gala kalau wanita merapikan rambut perempuan itu sangat lama.
Bukannya merasa bersalah Gala tertawa, membuat Dhisty semakin dongkol. Meski begitu yang dia lakukan hanya diam, memanyunkan bibirnya, sembari memperhatikan Gala. Kalau dia bisa jujur, dia ingin mengatakan pada Gala, bahwa orang yang sukai adalah laki-laki itu sendiri.
Andai aku bisa, andai aku mampu. Aku akan mengatakan bahwa aku mencintaimu. Sayangnya aku tidak seberani itu. Katakanlah aku pengecut, aku tidak akan menyangkalnya karena itu benar. Aku melakukan ini semua karena takut. Takut kau akan menjauh, dan takut kau tidak akan melihatku seperti ini lagi.
Dhisty terkejut karena jentikan tangan Gala. Ia mengerjap sesaat sebelum seutuhnya sadar. “Apa?” katanya galak.
“Lo denger nggak apa yang gue omongin?”
“Nggak.”
Gala berdecak, Dhisty menghendikkan bahunya. “Untung ya lo cantik.”
Dhisty tersenyum penuh bangga, ia mengibaskan rambutnya ala model sampo. “Iyalah, baru tahu lo. Tapi bentar, kalau gue jelek lo nggak mau gitu temenan sama gue.”
“Emosian. Mau ikut nggak?”
Dhisty berdecak. “Ikut ke mana?” Meski dongkol, kesempatan yang ada tidak bisa dia buang begitu saja.
Gala merotasikan kedua matanya. Ia menunjuk Dhistro tempat mereka berdiri.
“Ke dalam, gue masih ada urusan bentar. Habis itu mau makan, gimana ikut nggak?”
“Traktir?”
Gala melengos, sebelum akhirnya mengangguk.
Dhisty tersenyum lebar. “Tentu. Tapi, izinin ke bokap. Lo kan orang kepercayaan orang tua gue.”
“Jelas itulah.”
Dhisty mengangguk dengan senyum tipis. Dia sedikit dongkol kalau mengingat bahwa Gala lebih dipercayai oleh orang tuanya dibandingkan dengan dirinya sendiri.
*****
“Lo punya banyak bisnis ya, Gal. Iri gue sama lo.” Dhisty menjilat ice cream-nya sembari melihat ke arah Gala.
Tadi, mereka menghabiskan waktu sekitar satu jam lamanya di distro dan itu sukses membuat Dhsity sangat bosan. Gala begitu sibuk membahas pendistribusian dan apa mungkin yang Dhisty tidak mengerti. Berbeda dengan Gala yang sibuk, Dhisty hanya memperhatikan dengan cengo, dan memperhatikan apa saja yang ada di dalam distro. Selain kebosanan dan kejengkelan yang Dhisty dapat, ada informasi lain yang juga dia dapat mengenai Gala. Laki-laki itu ternyata mempunyai beberapa bisnis bersama teman-temannya.
Semua itu membuat dirinya takjub dan iri. Ya, iri karena dia ingin seperti Gala. Bisa melakukan apa yang dia inginkan, hal yang sangat jarang dia dapatkan. Bahkan kalau bisa dibilang hanya beberapa kali itu saja orang tuanya masih ikut campur tangan.
Lihat seberapa tidak bebasnya menjadi anak semata wayang!
Apalagi dengan panggilan yang terus melekat pada anak semata wayang ‘anak manja’.
“Kenapa? Lo mau ikut gabung?” Gala juga memakan ice cream-nya.
Mereka kini berada di salah satu mall, menghabiskan waktu bersama tentu setelah mendapatkan izin dari orang tua Dhisty. Selain itu, dijadikan ajang permintaan maaf Gala untuk Dhsity.
Ada hawa kebahagiaan ketika mendengar ajakan Gala. Dhisty menoleh dengan cepat, kedau matanya mengeluarkan binar bahagia. Ia mengangguk dengan semangat. “Mau-mau.”
“Sayangnya gue nggak mau ajak lo gabung.”
Langkah Dhisty berhenti, tatapan kebahagiaannya langsung hilang disapu angin. Gala itu manusia menyebalkan sungguh menyebalkan. Bibir Dhisty bergerak, matanya menyorot tajam pada laki-laki yang kini menoleh ke arahnya dengan senyuman kurang ajar.
“Udah sih, jangan ngambek.”
“Lo kalau nggak mau ngajak gue, ya nggak usah nawarin.” Dhisty melangkah cepat, dia melewati Gala. Rasanya begitu kesal, sudah berharap lalu dihempaskan begitu saja. Ia membuang muka ketika menyadari Gala sudah berada di sampingnya. Sebodo amat, pokoknya kali dia begitu marah pada Gala. Masalahnya, dia sangat butuh sesuatu yang bisa membuktikan dirinya bisa.
“Bukannya gue nggak mau ngajak lo. Tapi, kan lo belum dapat izin ortu lo. Diem dulu deh.” Gala mengulurkan tangannya pada Dhisty, mengehentikan langkah gadis itu, dan membuatnya menoleh.
Dhisty menunjukan kemarahannya tanpa berniat untuk menyembunyikan.
“Lo tahu kan kalau gue dukung lo?” Dhisty mendengus, Gala melanjutkan. “Cuman, gue nggak mau buat lo bermasalah sama ortu lo. Kalau lo emang mau tanya apa-apa ke gue, bisa tanya gue, ya?”
Kelemahan seseorang ketika mencintai; tidak bisa mempertahankan kemarahannya.
Dhisty menghela napas, ia mengangguk. Dia mengakui dirinya sangat bodoh karena bisa begitu mudah untuk dibujuk. Lihatlah sekarang, senyum sumringah di wajah Gala. Itu sungguh mengganggu mata dan hati.
“Jadi,” Dhisty mengernyit, dia memperhatikan Gala ketika melihat jam tangan laki-laki itu. “Mau nonton nggak? Mumpung masih cukup lama sampai jam lo pulang.”
“Lo emang pinter banget ya, nyogok gue.”
“Gue bukan pinter nyogok, tapi gue tahu apa yang bisa buat lo seneng.”
“Ayo deh buru.” Dhisty menarik Gala untuk pergi bergegas ke bioskop. Untuk beberapa saat, wajah gadis itu terarah ke depan tanpa berniat untuk melihat ke samping, tempat Gala berada. Dia tidak mau Gala tahu bahwa kini dia tengah tersenyum, bahagia. Beberapa waktu dia membalas perkataan Gala tanpa melihat sebelum akhirnya, ketika dia tenang mereka bercengkrama, Dhisty yang lebih banyak bertanya mengenai kegiatan Gala. Anggap saja modus yang tidak terlihat jelas.
“Eh, lo kan yang tadi pagi ‘kan?”
Pertanyaan itu membuat Dhisty berhenti, dan dia menoleh. Rasanya ada yang mengurungnya di ruang gelap, hingga ketakutan mulai menyergapnya. Anggap saja dia lebay, tapi sekarang itulah yang dia rasakan. Perlahan dia menoleh dengan Gala, dan benar saja, sekarang di wajah Gala sudah tercetak jelas kebingungan yang harus dijelaskan.
“Bentar ya, Gal.”
Dhisty mendekat ke arah kedua orang itu, dan menggeretnya menjauh dari Gala.
“Nggak usah kenalin gue bisa, Pak?”
“Gue nggak setua itu buat lo panggil bapak.” Laki-laki berbaju biru mulai berbicara. Ia menyempatkan melihat ke belakang. “Dan lagi, ngapain lo narik kita berdua di sini. Takut ketahuan pacar lo.”
“Dia bukan pacar gue,” bantah Dhisty. Ia menghela napas, dia mengabaikan rasa panas yang menjalar di wajahnya. “Dia nggak tahu kalau gue ngelamar kerja, jadi nggak usah bahas-bahas tadi.”
“Ah, gitu. Bilang dong. Kan kita berdua nggak tahu,” kata laki-laki dengan kemeja hitam. “Maaf deh maaf.”
“Lo segitu bangetnya ya, mau dikenal jadi orang yang mandiri.”
“Sev.”
“Emang kenapa? Salah? Nggak ‘kan?”
“Ya nggak. Masalahnya itu, lo nggak berhak nyuruh gue dan temen gue diam.” Seva menaikkan sudut bibirnya. Aura menyebalkan langsung menyeruak dalam diri laki-laki itu.
“Lo nyembunyiin apa, Dhis?”
Dhisti berbalik dan menggeleng cepat. Ia mendekat ke arah Gala dan memegang tangannya. “Nggak apa-apa. Itu tadi mereka berdua bantuin gue waktu jatuh pas jalan sama Asri.”
“Lo jatuh? Jatuh di mana?”
“Dia kepleset di depan kamar mandi, terus hampir nyungsep di bak sampah.” Seva kembali menyela. Dia menyeringai ketika melihat tatapan Dhisty ke arahnya.
Gala menurunkan pandangannya ke Dhisty. “Bener.”
“Iya.” Dhisty menahan diri untuk tidak menghardik laki-laki sialan itu. “Sekarang udah nggak apa-apa kok. Gal, bentar lagi nih filmnya. Ayo.” Dhisty menarik Gala dengan kekuatan yang dia punya. Untung saja laki-laki itu mengikutinya, meski berulang kali menoleh ke belakang.
“Dhis.”
“Ha? Kenapa?” Diri Dhsity sudah tidak tenang, jantungnya berdegup seolah ada yang memainkannya. Ia melihat ke arah Gala yang juga melihatnya. Ada sesuatu yang tidak bisa dia baca di sana.
“Lo ... kalau lo punya pacar atau ada yang lo suka kasih tahu gue.”
“Kenapa?”
“Biar gue tes, dia cocok nggak buat lo.”
Dhisty mengangguk, ada kelegaan sekaligus nyeri yang dia rasakan. Dia lega karena Gala tidak mempermasalahkan maslaah tadi, tapi begitu nyeri ketika mendengar kata-kata terakhir.
Tapi, apa yang dia bisa lakukan selain tersenyum lebar seperti sekarang ini?
Saya anak semata wayang. Tapi saya jauh dari kata manja.
Comment on chapter Prolog