Getaran ponsel menyita perhatian Dhisti yang kini tengah menyantap bakso dengan semangat. Dhisti tidak langsung mengangkat panggilannya, dia memperhatikan siapa yang menelponnya sebelum akhirnya memutuskan untuk menggeser tombol hijau.
“Kenapa?” Dengan satu tangan menyangga ponsel, dia kembali melanjutkan makanannya. Dhisti mendengarkan dengan serius sembari mengamati selembar kertas yang ada di depannya. “Gue lagi di warung Pak Amar. Ya, makanlah, iya kali gue joget.” Dia mengetuk meja berulang kali sebelum akhirnya memutuskan menarik selembar kertas yang tak jauh dari mangkok baksonya.
Sembari membalas perkataan Asri, Dhisti mengamati kertas yang kini sudah dipenuhi oleh coretan. Hanya tinggal beberapa saja yang masih terlihat mulus. Dia yakin tidak lama lagi tulisan itu akan ia coret seperti yang lainnya. Sejak pagi, Dhisti sudah melakukan rencananya, mendapatkan pekerjaan. Beberapa toko dia sudah datangi, yang berakhir dengan tolakan. Memang, tempat di mana yang ingin dia bekerja, bukan perusahaan besar. Melainkan perusahaan sedang atau bahkan kecil. Sudah banyak hal yang pertimbangkan ketika memutuskan hal itu, salah satunya dia bisa menyesuaikan pekerjaannya dengan kuliahnya, dan tentu dia ingin menghindar dari orang tuanya.
Bukannya dia malu, tapi lebih ke malas mencari keributan.
“Iya, cepetan deh, gue harus ketempat lainnya.” Dhisti mematikan ponselnya. Ia menghela napas. Ternyata mencari pekerjaan itu sulit, sama sulitnya ketika mencari sekolah. Dia tidak boleh menyerah, dia akan berhasil mendapatkan pekerjaan dan membuktikan bahwa dia bisa melakukan itu semua.
“Mari kita lihat, dari sini gue harus kemana lagi.” Pandangannya turun, membaca satu persatu tempat yang siap ia kunjungi. Satu per satu terlewat, sampai akhirnya dia berhenti pada tulisan little bear. Sebuah kafe yang terletak beberapa blok dari tempatnya. Ia mengetuk berulang kali sebelum akhirnya menghela napas. Sebenarnya, kafe itu menjadi pilihan terakhirnya. Rasanya dia sedikit tidak nyaman dengan nama kafe itu. Terkesan seperti anak kecil.
“Dhisti, lo nggak angkat telpon Kak Gala ya?”
Dhisti mendelik kesal. “Gala nelpon lo?”
“Iyalah.” Asri menatap sekeliling sebentar, sebelum akhirnya duduk di depan Dhisti. “Jadi, kenapa lo nggak angkat telponnya? Biasanya juga lo cepet kalau berurusan sama Kak Gala.”
“Males gue.” Dhisti menarik minumannya dan menyesapnya perlahan.
Sejak tadi memang Dhisti mengacuhkan panggilan atau pun chat dari Gala. Dia masih kesal dengan Gala yang ikut-ikutan menyuruhnya untuk lebih fokus pada pekerjaannya. Meski pada akhirnya dia mengatakan bahwa akan mendukungnya, tapi tetap saja itu tidak bisa menghilangkan kejengkelannya. Dalam pikirannya sudah melekat pernyataan bahwa Gala juga seperti yang lain, tidak mempercayai dirinya. Padahal dia berharap bahwa Gala adalah seseorang yang mempercayainya.
“Lo berantem sama dia?”
Dhisti melepaskan sedotan yang ada dalam minumannya.“Dibilang berantem nggak sih. Gue cuman kesel aja tuh sama bocah. Masa dia nggak percayaan banget kalau gue bisa dapat kerja.”
“Ah lo kecewa karena dia nggak sesuai dengan keinginan lo?”
“Keinginan apa?”
“Keinginan, kalau dia percaya bahwa anak semata wayang itu nggak selalu maja.”
Bibir Dhisti terbuka, lalu tertutup lagi. Gadis itu memalingkan wajahnya merasa malu karena pikirannya terbaca.
Asri tersenyum kecil. “Nggak salah kok, kalau misalnya lo marah.” Ia mengaitkan 10 jemarinya sendiri lalu menjadikannya sebagai tumpuan dagu. “Menurut gue wajar. Siapa sih yang nggak kesel kalau orang yang dia suka malah mempunyai pemikiran sama dengan orang lain. Jujur deh sama gue, Dhis. Kemarin-kemarin lo pasti berpikir, mereka nggak apa-apa tidak percaya bahwa aku tidak bisa, namun, aku berharap kamu mempercayaiku. Karena kamu berbeda dengan mereka. Iya, kan?”
“Geli gue sama ucapan lo,” ketus Dhisti. Tubuhnya merinding ketika mendengarnya. Meski begitu, diam-diam dia mengakui, bahwa dia berharap Gana bukan dari sekian orang yang tidak mempercayainya. Bahkan dia berharap, kalau nanti tidak ada yang percaya bahwa dirinya mampu, laki-laki itu bisa mempercayainya.
“Geli-geli juga itu yang lo rasa,” balas Asri sembari tertawa. Ia menarik kertas yang ada di samping Dhisti. “Ini apaan?”
“Daftar tempat kerja yang mau kunjungin.”
“Yang dicoret?”
“Gagal.”
“Kenapa?”
“Ya, gitu. Ada yang nggak nerima gue, ada yang wawancaranya aneh, banyak deh.” Dhisti melihat jam tangannya. “Lo mau ikut nggak? Gue mau lamar kerja lagi.”
“Ke?”
“Little Bear.”
*****
Kegugupan terlihat jelas di antara orang-orang yang kini sedang duduk saling berdampingan, meski ada percakapan yang terjalin di antara mereka. Dhisti melirik ke kanan dan ke kiri, dengan bibir yang terbungkam. Ia memperhatikan dengan seksama orang-orang yang datang untuk melamar pekerjaan sepertinya. Di little bar, seperti toko yang sudah Dhsiti kunjungi tadi mengadakan wawancara langsung. Sehingga mereka yang mengirimkan berkas langsung menunggu giliran untuk di wawancara.
Dhisti mengarahkan pandangan ke arah Asri yang berada jauh dari tempatnya, tapi masih bisa ia lihat. Gadis itu tampak menikmati makanan dan minuman yang dipesan, bahkan tak jarang ketika dia melihat ke arah Asri seperti sekarang ini dan gadis itu melihatnya juga, Asri mengangkat gelas, dan memberikan kalimat penyemangat dengan gestur tubuhnya. Dhisti tersenyum kecut, melihat Asri makan membuatnya lapar.
“Giliran gue kapan sih?”
Sudah lebih dari sepuluh orang yang keluar masuk ke dalam ruangan tempat di mana mereka akan diwawancara. Meski baru segitu, bagi Dhisti sungguh lama. Terlebih tidak ada yang bisa dia lakukan selain memainkan ponsel. Ia menegapkan tubuhnya ketika melihat seseorang yang bertugas memanggil pelamar mendekat.
“Adhsiti Lavanya.”
“Saya.” Dhisti mengangkat tangannya, sambil berdiri dan membekap berkasnya.
“Ikut saya.”
Dhisti mengangguk, sebelum akhirnya mengernyit ketika laki-laki itu masih memperhatikannya. Baru saja dia ingin bertanya, laki-laki itu sudah melangkah dengan punggung yang mengarah ke dirinya. Mau tidak mau dia harus menahan diri untuk bertanya. Mendekap tas, dia mengikuti laki-laki itu. Ia menarik napas dan membuangnya perlahan, menenangkan kegugupan yang kembali melandanya.
Ia memasuki ruangan yang cukup besar dengan tatanan yang menurutnya bagus. Ada dua orang yang kini duduk berdampingan yang menghadap ke arahnya. Dengan gerakan lembut, dan tubuh tegap ia duduk.
“Nama kamu Adhsiti Lavanya?”
“Iya.” Dhisti melihat ke arah laki-laki tanpa memakai kacamata. Laki-laki itu terlihat begitu ramah, senyum sesekali menghiasi wajahnya. Mata hitamnya beberapa kali berkilat ketika senyum muncul di wajahnya.
“Kamu masih kuliah?”
“Iya.”
“Semester?”
“enam.”
“Kenapa cari kerja? Bukannya lebih baik fokus dengan belajar?”
Dhisti menghela napas, dia berusaha untuk menenangkan dirinya. Pertanyaan semacam ini memancing emosinya. Entah karena apa, rasanya sangat memuakan.
“Karena saya ingin membuktikan bahwa anak semata wayang itu tidak manja.” Dhisti berujar dengan tegas. Tidak ada jawaban yang dia pikirkan selain hal itu. Dan lagi, mencari alasan lain itu menghabiskan waktu.
Kekagetan terlihat di wajah keduanya sebelum akhirnya, tawa kecil hadir. Terlihat laki-laki berkacamata menatapnya lurus dengan tangan yang memangku wajahnya, sedangkan yang tidak berkacamata malah tertawa geli.
Memangnya, alasannya lucu apa?
“Jadi, itu alasannya?”
Dhisti mengangguk tanpa ragu, membuat keduanya lalu saling lempar pandang.
“Alasan kamu ini unik, selama saya mewawancarai baru kali ini saya mendengar jawaban yang seperti itu. Benarkan, Sev?” tanyanya pada laki-laki yang menggunakan kacamata.
Dhisti mengalihkan pandangannya sedikit ke samping. Ada perasaan aneh ketika dia menatap laki-laki berkacamata itu. Laki-laki itu belum juga berbicara, dia seolah hanya mengamati. Yang semakin menyebalkan adalah tatapan laki-laki itu seperti menilainya.
“Kamu udah punya pacar?”
“Ha?” Dhisti mengerjap. Pertanyaan macam apa itu.
Sevan menunjuk Dhisti. “Kamu, sudah punya pacar? Apa kamu punya gangguan telinga?”
“Sepertinya itu tidak ada berkaitan dengan pekerjaan.” Akhirnya Dhisti mulai bisa berpikir. Dia tidak suka dengan pertanyaan yang mengarah pada hal pribadi seperti itu.
“Saya nggak pernah bilang kalau kamu dilarang pacaran. Saya hanya tidak mau kamu sibuk telponan dan mengabaikan pekerjaan kamu.” Seva menjelaskan tanpa diminta.
“Saya tidak punya pacar. Dan saya bisa menjamin kalau saya akan fokus dengan pekerjaan saya.”
Sevan mengangguk, dan dia kembali mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan lain.
Bermenit-menit terlewat hingga Dhisti bangkit, dan membungkuk sebentar, siap untuk keluar dari ruangan itu.
“Tunggu sebentar.” Seva menghentikkan pergerakan Dhisti. “Kamu pernah bertemu dengan saya?”
“Tidak.” Dhisti menjawab tanpa berpikir lama. Saya tidak pernah bertemu dengan laki-laki semenyebalkan lo, dan nggak akan pernah mau mengingat kalau pun itu pernah terjadi!
“Kalau begitu silakan keluar. Masih banyak yang ingin diwawancarai.”
Dhisti mengertakan giginya. Lalu meninggalkan ruangan itu dengan tergesa. Ia akhirnya bisa menarik napas sebanyak-banyak. Tangannya dijadikan sebagi kipas. Rasanya begitu sesak di dalam. Apalagi kalau mengingat pertanyaan-pertanyaan menyebalkan tadi.
“Gimana? Lancar.” Asri menghampiri Dhisti dengan wajah penasaran.
“Lancar.” Dhisti menoleh dengan tampang kesal. “Lancar nahan emosi.”
“Lha kenapa?”
“Keluar dulu deh, gue laper banget.” Dhisti menarik Asri untuk keluar dari sana.
Kekesalan Dhsiti berbeda dengan yang sedang dirasakan oleh seseorang di dalam ruangan itu.
“Oh, ya Dhis. Lo ditungguin Kak Gala.”
“Gala? Di mana? Jangan bilang kalau lo kasih tahu dia gue cari kerja?” tanya Dhisti dengan horor. Bisa dibayangkan kalau Gala mengetahuinya, tidak menutup kemungkinan orang tuanya juga tahu. Dan ini menyebalkan sekaligus merepotkan.
“Nggak.” Dhisti menghela napas lega. “Gue kasih tahu kalau lo kencan sama orang.”
“What?!”
Saya anak semata wayang. Tapi saya jauh dari kata manja.
Comment on chapter Prolog