Chapter IX
Hujan di Pipiku
(2012)
Aku menulis semua kisah tentang aku dan dia dalam diari ku. Hujan semalam membuat aku terdiam dan merenung sendiri di kelas memikirkan apa yang dilakukan Dafa semalam membuatku merasa bimbang dengan apa yang dilakukannya hari ini di sekolah. Hari ini menjadi tidak biasa bagiku setelah semalam kata ingin berpisah keluar dari Dafa. Namun apa yang dilakukan nya tadi membuat aku mengurungkan curiga padanya. Kecurigaanku menjadikan satu puisi indah untuknya yang tiba-tiba membuatkan hujan perlahan di pipiku.
Derai airmata dari langit, jatuh satu persatu
Tanpa alasan tanpa pengawal
Sungguh itulah perasaan yang ku rasa ada kini
Ketika hatiku keruh karena waktu, karena keadaan
Kau hadir, kau datang
Dengan pelindung penat, dengan payung pelangi
Dan dengan senyum mekar, kau basuh hati yang lelah
Kau genggam tangan yang tak dapat lagi teraba oleh senja
Kau jadikan kelam itu penuh bintang
Kau jadikan hujan itu berjuta warna
Hingga kini ku menyadari
Itulah ketika aku bersamamu
Duniaku kau jamah dengan bahagia yang kau rangkai khusus buatku
“Nay kamu kenapa? Emm mulai deh kamu yaa nangis lagi diam-diam sambil nulis. Aku kasi tahu Dafa ya?” Rosa yang selalu tahu kalau sudah sedih aku selalu menuangkannya ke dalam tulisan. Aku terbiasa dari kecil menulis untuk meluahkan semua emosi ku.
“Enggak lah, aku senang aja hari ini Sa, tadi dia udah baik-baik aja sama aku” jawab ku pada Rosa sekaligus pada hatiku, dia sudah baik-baik saja. Dia menggandeng dan menggenggam tangan ku di depan semuanya. Aku semakin menyayanginya. Seperti hari-hari biasa sebelum Dafa menjauhi ku kemarin-kemarin, dia mengantarku ke parkiran dan dengan bersenandung bahagia aku menggandengnya.
“Nayla beda ya hari ini, rambut baru dan lebih ceria” entah sejak kapan dia memperhatikan rambutku yang seharusnya dia sadar sudah beberapa hari lalu rambut ini aku potong. Aku hanya mencoba terlihat baik-baik saja Dafa, tidak kah terlihat di matamu.
“ya ampun Dafa, itu karena Dafa terlalu sibuk sampai rambut Nayla berubah udah beberapa hari yang lalu aja Dafa nggak sadar. Nayla bahagia karena hari ini Dafa ngantar Nayla lagi” ucapku padanya. Setiba di parkiran dia menatapku dengan diam sambil memegang tanganku dan mengacak rambutku sambil menertawakanku.
“Udah pulang sana, hati-hati di jalan ya sayang” aku tersenyum dan mencubit pipinya.
“Oke, Dafa juga hati-hati. Daa Dafa jangan lupa nanti sore sms ya jangan hilang kabar lagi” aku berlalu setelah mendapat jawaban darinya.
“iya Nayla Karinina” aku pun berlalu dengan senyuman Dafa mengiringi kepalaku.
Lagi-lagi hujan turun dan kali ini tidak lama, hujan hanya meminta ku untuk tidur siang sebentar. Hujan reda dan aku pun selesai dengan rutinitas sore ku sehingga membuat ku tersadar belum ada satu pesn pun dari Dafa. Aku memutuskan untuk mengiriminya pesan terlebih dahulu karena sore ini Didi bilang mereka akan bermain basket di sekolah. Aku mengirim pesan pada Dafa yang tidak di balas segera setelah ku kirim.
“Dafa dimana?” pertanyaan singkat dengan penantian balasan pesan yang panjang. Tepat setelah setengah jam Dafa membalas pesanku.
“Dafa main basket di sekolah, bentar lagi mau pulang” jawaban yang sebenarnya aku sudah tahu tapi hanya ingin dia mengerti tidak hanya pesan ini yang ingin ku kirim.
“oh iya udah sore ini, pulang Dafa nanti jangan lupa sholat ya” pesan singkat aku kirim lagi yang kali ini langsung mendapat jawaban.
“Iya Nay” singkat padat dan jelas.
“Emmmmm” balasan yang sedikit menunjukkan kecewa karena dulu kata sayang tidak pernah tertinggal.
***
Mengapa aku terus memikirkan hal-hal dulu seakan semua sudah berlalu, semua akan baik-baik saja dan tidak ada yang berubah. Aku meyakinkan diri dan berusaha untuk membuat daftar hal-hal yang tidak sukai Dafa. Daftar pertama tentu saja menjauhi dia otak udang. Usai fokus dengan daftar itu aku harus fokus dengan latihan soal matematika yang akan ulangan harian besok. Belajar memang bukan hal menyenangkan tapi ternyata aku tidak terlalu kalah dengan pelajaran ini, aku bisa menyelesaikan beberapa soal yang lumayan sulit. Besok aku siap ulangan dan dengan semangat aku pun ingin mengirim pesan pada Dafa untuk memamerkan hasil belajarku, seakan tahu akan pesan yang ingin ku kirim ternyata pesan masuk dari Dafa terlebih dahulu.
“Malam Nayla, Nay maaf ya Dafa udah nggak bisa lagi sama Nayla. Kita jadi teman seperti dulu aja ya Nay soalnya Dafa udah capek Nay. Dafa juga tau kalau Nayla nggak bahagia pacaran dengan Dafa dan semalam Nay saling sms kan dengan dia. Dafa benar-benar capek buat cemburu lagi Nay. Kita udahan aja ya” entah itu pesan singkat yang merupakan pernyataan atau pertanyaan dari Dafa yang langsung memukul telak hatiku. Pesan yang tidak bisa aku abaikan lagi meski sempat membuatku terdiam tidak tahu pesan apa yang harus aku kirim pada Dafa. Aku memutuskan untuk mengiyakannya kali ini karena bukan hanya sekali kata itu keluar lebih dulu darinya padahal dulu di awal pacaran akulah yang paling sering minta putus karena ego masing-masing dari kami dan karena aku takut nanti dia memutuskan untuk pergi lebih dulu saat aku sudah sangat menerimanya. Aku kalah untuk kali ini.
“Dafa benar mau putus, Dafa nggak sayang lagi ya dengan Nayla?” balasku dengan perasaan yang entah mengapa aku tidak terkejut dengan balasan darinya.
“Sayang kan nggak hanya sama pacar aja Nay, sama teman juga sayang. Kita nggak bisa lagi paksain keadaan Nay, nanti kalau jodoh juga nggak kemana. Nayla harus tetap makan teratur walau Dafa nggak ingetin, dan harus tetap ceria. Dafa yakin Nayla akan tetap baik-baik saja” sungguh terpaksa kah Dafa bersama ku? Kalimatnya kali ini membuat aku sepakat dengan hatiku yang sudah terlanjur terpaku dengan keputusan Dafa. Bagaimana bisa dia mengatakan hal itu dengan mudah seakan hati adalah sebuah benda yang mudah di mainkan begitu saja. Aku sungguh kecewa dan mungkin dia juga kecewa tapi seharusnya kata-kata itu tidak semudah itu terlintas darinya.
“Iyalah, terserah Dafa. Yaudah Nayla mau tidur dulu fa soalnya besok ulangan Matematika, ucapin selamat tidur yang terakhir kalinya buat Nayla ya. Selamat malan Dafa” satu pesan terakhir dengan keberanian yang telah aku kirim segera karena aku benar-benar menyerah meminta dia mempertahankanku.
“Sayang, selamat tidur yaa, semoga mimpi indah cinta. Selamat malam Nayla sayang”
Sungguh satu pesan masuk yang mungkin akan menjadi pesan terakhir dari Dafa untukku dengan kata-kata yang membuat aku kali ini menyerah, sehingga hujan tiba-tiba turun. Kali ini hujan memilih turun di pipiku, iya hujan di pipiku. Mungkin aku memang tidak sehebat gadis-gadis lain sehingga Dafa bahkan enggan berjuang untukku. Cemburu itu membuatnya sesak sehingga dia memilih pergi tanpa ada kata bertahan dan meminta penjelasan tentang apa yang terjadi sebenarnya. Aku rasa mungkin aku memang salah, ya sudahlah nasi sudah jadi bubur dan luka sudah terlanjur berdarah mana bisa aku mengubah apa yang telah diputuskan oleh seseorang yang memang tidak ingin berlelah untukku. Malam yang indah untuk besok pagi yang cerah aku bersembunyi di balik bantalku dan membiarkan hujan lain membasahinya. Mungkin dia terlalu kecewa sehingga aku tidak lagi menjadi bintang untuknya.
***
Bagaimanapun kasih tetaplah kasih dan luka tetaplah luka. Aku hanya percaya jika memang cinta maka berjuang dan mempertahankan itu ada. Jika hanya bermain sementara untuk menguji hati, mungkin pergi adalah salah satu solusi saat lelah dan bosan menyapa hati. Aku membuat pernyataan untuk pertanyaan yang tidak bisa terjawab. Meski singkat kenangan indah tetap ada untuk ku. Semoga kisah kasih yang bersemi di putih abu-abu ku ini cukup menjadi kenangan kalau aku pernah ada dalam satu waktu bersamanya.
terimakasih ^^
Comment on chapter Si Biru yang Menjadi Abu