Chapter II
Semua Bermula Perlahan
(2010)
Langkah semangat 45 menjadi pedomanku hari ini, tepatnya hari baru dikelas baru dan kemungkinan dengan orang-orang yang baru. Entah mengapa lampu merah di persimpangan ini terasa lama atau karena aku yang tak sabar ingin tahu siapa saja yang menjadi teman sekelasku.
“Di..!!” teriakku ceria seperti biasa.
“Yuuu, Nay ngagetin aja” Balas Diandra dengan tingkah yang selalu ku rindu.
“Di, kamu gak bakal sekelas sama aku donk, kamu udah tau belum masuk IPS berapa?”. Yup Diandra memilih jurusan IPS, dan itu sama seperti si Otak Udang itu, dan mereka sekelas. Tepat hari ini langsung pembagian jadwal kelas dan sekaligus MOS (Masa Orientasi Siswa) adik kelas yang baru. Aku resmi jadi kakak kelas dengan jurusan IPA 1. IPA tampak berat, aku sekelas dengan Dafa! Tak lama setelah aku tercengang dengan susunan kelas yang membingungkan karena tak ada satupun anggota geng aku yang sekelas denganku. Cinta masuk kelas IPA lain, Chika masuk kelas IPS dan begitu pula Gaby, kami terpisah tapi tetap kami teman baik. Sedih tapi merasa penasaran karena ada hawa yang tak nyaman dibelakang.
“Wih, seneng donk Nay sekelas sama pacar” suara tidak asing, si Riko yang jahil.
“Seneng? Yaiyalah. Iyakan Daf, kamu pasti seneng sekelas sama aku” dengan gaya sok imut ala aku, Dafa Cuma tersenyum. Benar-benar membuatku nyaman. Aku sekelas dengan Dafa dan Samy anggota F4 lainnya. Hari pertama cukup berlalu baik. Keesokkan harinya kelas mulai agak sibuk dengan pemilihan teman sebangku dan organisasi kelas.
Aku memutuskan untuk duduk dengan Rosa, yang sekelas denganku juga waktu kelas X dan merupakan siswa pintar dari kelasku. Kelas IPA ku bermula biasa saja dengan aku lagi dan lagi sebagai bendahara kelas. Seminggu berlalu semua terasa berat karena kegilaan dan keseruan yang kudapat dikelas X dulu tak kutemukan disini. Tak ada Cinta, Chika, dan Gaby, atau Diandra terlebih lagi tak ada dia penyemangatku yang ku semat diam-diam dalam hati.
***
Seminggu berubah jadi sebulan, sedikit seru karena aku semakin dekat dengan Rosa. Kami memulai pertemanan dengan tema “Cewek” yah siapa yang kamu sukai, siapa yang bikin kamu kesel dikelas, bla..bla..bla. Ternyata Rosa menyukai Dafa diam-diam sejak kelas X. Aku tak menyadari awalnya dari cara dia menatap Dafa, memberi perhatian dan hadiah untuk Dafa “sweet”. Tidak seperti aku yang menyukai Gilang tapi jarang akur. Gilang sering melewati kelasku bila masuk jadwal pelajaran Seni. Kadang aku menyapanya, tapi dia? Tidak ada sedikitpun menggubrisku. Jahat! Itu bagian terpahit dari menyukai seseorang yang kita tidak tahu bagaimana perasaannya pada kita.
Ramadhan tiba, entah karena kesibukkan dikelas dan tugas yang banyak aku mulai menepikan hatiku. Meski kadang masih tertulis puisi-puisi lusuh hati untuk dia yang tak mau tahu. Hari ini kami alumni kelas X ku dulu berencana mengadakan reuni untuk Buka Bersama di Panti Asuhan. Semua riweh dan sibuk menyiapkan hingga keakraban kami yang lama hilang kembali lagi. Adzan terdengar kami pun berbuka dengan nikmat dan rasa kekeluargaan yang erat. Hari itu aku mengenakan jilbab yang sebelumnya tidak pernah ku kenakan. Seperti hari-hari yang lalu Gilang, Riko, Dafa, dan Samy beserta teman lain saling bercanda, serta aku dan teman-temanku yang lain. Kami bersenda gurau. Ada yang aneh dengan Dafa. Sejak hari itu, hari terbodoh dan terburuk yang aku lakukan.
“Memangnya Siapa yang suka sama aku?” tanya Dafa singkat dan jelas.
“Aku, aku yang suka sama kamu!” What?? Hey Nay kamu gila? Dia laki-laki yang disukai teman baikmu. Ah rasa ingin aku lempar Handphone tuaku itu, tapi sayang.
“Wah berani juga kamu Nay” cengir Dafa dari seberang sana, mungkin. Ampun DJ aku malu tapi demi menutupi agar Rosa tidak kikuk didepan Dafa it’s Okay. Toh aku kan memang sering ngejek Dafa jadi semua akan baik-baik saja. Bagaimana jika Rosa tahu, awalnya aku ingin menjodohkan mereka tapi sepertinya gagal sebelum dimulai.
***
Semenjak hari itu aku dan Dafa berlaku berbeda dari biasa, semakin akrab dan aku merasa semakin nyaman. Aku menjadi manja dengannya dan mulai teralihkan dari Otak Udang yang tak pernah ku tahu apa isi hatinya. Bukan menyerah hanya saja bermula dari ini, perlahan namanya memudar dari harianku dan puisi-puisiku. Semua berlalu begitu saja tanpa ku pinta, memudar tak disadari. Rasa yang pernah sangat teramat aku hargai memudar tak berarti karena dia tak pernah mengerti atau memang tak mau peduli. Begitulah diri, isyarat saja tak cukup karena aku wanita butuh yang pasti apalagi untuk urusan hati.
terimakasih ^^
Comment on chapter Si Biru yang Menjadi Abu