Ketakutan Kay terbukti. Lyra sedang duduk di meja makan, mug kesayangannya di tangan. Dia langsung mengangkat wajah begitu Kay masuk ke rumah. Wajahnya lebih masam daripada asam lambung Kay.
Semoga dia masih bisa melihat matahari terbit esok pagi.
“Kay, aku mau ngomong,” kata Lyra tanpa basa-basi.
Kay menarik napas perlahan, sebisa mungkin membuat dirinya tenang. Semakin dekat jarak antara dia dan Lyra, sensasi terbakar di pangkal dadanya semakin intens. Satu-satunya hal yang bisa menurunkan kekhawatirannya, walau sedikit, adalah mug yang sedang digunakan Lyra. Mug itu oleh-oleh dari Papa dan Mama waktu terakhir mereka liburan. Lyra tidak akan melakukan sesuatu yang bisa merusak mug itu. Walaupun tidak ada jaminan dia tidak akan segan menyiramkan isinya.
“Sori soal UKS tadi,” kata Kay cepat-cepat. “Ra memang orangnya aneh.”
“APA?!”
Kay ingin membenturkan kepalanya ke meja karena kecerobohannya.
“Eh, maksudnya bukan kamu. Kakak UKS tadi. Namanya Aria. Panggilannya Ra juga. Kayak kamu.”
Lyra spontan menggebrak meja. “Hah! Jangan sama-samain aku sama dia! Udah bongsor, bloon, mulutnya bau, lagi!”
Sepertinya komentar Ra tentang postur Lyra yang imut-imut membuatnya hampir sama kesalnya dengan isu kembar.
“Dia nggak bloon kok. Dan mulutnya memang agak-agak nggak bisa direm, tapi itu cuma masalah kebiasaan aja. Bukan berarti dia jahat.”
Lyra memicingkan mata.
“Kenapa sih kamu ngebelain dia banget?”
“Bukan kenapa-kenapa, saya cuma—“
“Ah, aku tau! Kamu suka kan sama dia? Kamu kan emang dari dulu suka cewek tembem yang lebih tua!”
Kay tertegun.
Dia mencoba mengulangi ucapan Lyra dalam hati, tetapi tetap tidak mengerti maksudnya.
Kenapa Lyra jadi menuduhnya soal itu? Kalaupun benar, memangnya ada hubungannya? Lalu kenapa? Pertanyaan itu seperti mereplikasi diri, lalu membentuk word cloud di kepala Kay.
“Jadi ngapain kamu tadi di UKS? Darimana kenal si bongsor itu?”
“Kak Erhu minta saya jadi volunteer di sana.”
“Kenapa?”
Kay menimbang sejenak. Agak susah berpikir dalam kondisi naik pitam. “Karena Ra orangnya begitu, jadi menurut Kak Erhu sebaiknya dia nggak dibiarkan sendiri.”
Lyra mendengus. “Trus? Kamu mau aja, gitu?”
“Yah… soalnya—“
“Karena kamu suka dia kan?!”
“Ng—bukan gitu—“
“Ah, peduli amat deh. Dasar selera cupu! Apa sih bagusnya? Tampang kayak simpanse sirkus gitu. Badan segede gorila. Tinggal suruh pegang pisang aja udah mirip ba—”
“Mukanya manis kok!” potong Kay keras. “Badannya juga bagus, tinggi!” Daripada kamu, Kay hampir menambahkan. Untunglah dia sempat mengerem. Kalau tidak, mungkin Lyra tidak akan peduli bahwa mug di tangannya bisa pecah kalau dihantamkan ke kepala orang.
Entah bagaimana, mungkin terpengaruh oleh perasaan Lyra sendiri, Kay sangat terdorong untuk membalas kata-katanya. Pokoknya mengalahkan argumennya. Membuatnya tidak bisa berkata apa-apa lagi. Tidak peduli apa yang dikatakannya relevan atau tidak.
Dan dia berhasil. Ucapan Lyra terhenti. Lyra menatapnya dengan mata terbelalak, seolah-olah dia baru saja menumbuhkan tanduk di kepala. Kemarahannya seperti api cair yang menggelegak. Kay mendesis. Rasanya begitu panas sampai telinganya berdenging.
“Kenapa, sakit lagi? Sakit aja terus. Tukang cari perhatian! Kak Erhu bodoh dan percaya aja semua kebohongan yang kamu bikin, tapi aku nggak! Sekarang Kak Erhu udah pindah. Nggak ada gunanya akting sakit-sakitan kayak gitu. Nggak ngefek, tau nggak?!”
Kata-kata Lyra sangat tajam. Tapi Lyra bukan orang pertama yang mengatakannya. Di panti asuhan, anak-anak lain juga menganggap Kay begitu. Pura-pura sakit supaya diperhatikan lebih. Supaya bisa mangkir dari tugas.
“Kalau…” Kay menggeram dengan susah payah. “Kalau kamu berpikir begitu… terserah! Tapi jangan jelek-jelekkan Kak Erhu!”
“Kak Erhu bukan kakakmu! Nggak usah sok ngebelain dia!”
Dia kakakku juga, Kay ingin berteriak.
Namun… tidak bisa.
Kak Erhu memang bukan kakaknya. Dia hanyalah seorang induk semang yang terlalu baik. Lagipula, siapa bilang dia percaya Kay? Mungkin Kak Erhu hanya mencoba memaklumi keadaan Kay yang tidak stabil. Dengan masa lalu sepertinya, orang akan cenderung memberi toleransi kalau dia mengalami episode-episode tak masuk akal. Mereka lebih khawatir Kay akan bertindak di luar nalar dan segera menyusul ibunya jika tidak diacuhkan. Kay juga tidak akan percaya kalau ada orang lain tetiba mengatakan memiliki kondisi yang sama dengannya, meski Kay akan berpura-pura memercayainya hanya demi mencegahnya menabrakkan diri ke mobil pertama yang lewat atau melompat dari atap gedung.
“Denger, Kay. Kamu bukan siapa-siapa. Kamu nggak boleh mengaku-ngaku jadi anak papa dan mamaku, mengaku-ngaku jadi adik kakak-kakakku, mengaku-ngaku jadi saudaraku! Karena kamu bukan siapa-siapa!”
Kebencian Lyra tidak pernah sejelas ini sebelumnya. Begitu kental sampai Kay bisa mengecapnya di udara.
“Pokoknya, si pipi bakpao itu nggak boleh menyebarkan info soal keluarga kita. Aku nggak mau temen-temenku tau soal kamu! Aku nggak mau kejadian waktu SMP terulang. Kamu nggak lupa, kan?!”
Kay menggeleng.
“Dia nggak bakal menyebarkan apa-apa. Memangnya apa untungnya?”
“Mana aku tahu! Tukang gosip memang senengnya bergosip kan?”
“Ra bukan tukang gosip. Ngomongnya memang nyebelin, tapi dia bisa jaga rahasia.”
“Kenapa kamu bisa seyakin itu? Karena kamu suka sama dia?”
“Kenapa buntutnya ke situ lagi? Memangnya kenapa kalau saya percaya Ra? Atau—” Kay menarik napas dalam-dalam.
Benar juga. Kenapa dia tidak menyadarinya sejak tadi? Masalahnya bukan Ra. Bukan sama sekali.
Dia-lah masalahnya.
Lyra tidak punya alasan untuk membenci Ra, apalagi mendiskreditkan kakak kelas mereka itu. Kalaupun Lyra tidak suka dengan apa yang dikatakan Ra di UKS tadi, dia tetap tidak perlu repot-repot membenci Ra karena toh mereka tidak punya hubungan apa-apa.
“Kalau kamu nggak percaya sama saya, kamu bisa bilang sama Kak Erhu,” kata Kay, entah bagaimana dia sudah tidak lagi merasakan amarah Lyra memanggang tubuhnya dari dalam. Mungkin karena sekarang saraf-sarafnya sudah rusak dan tidak bisa lagi merasakan sakit. Atau mungkin karena dia tidak ingin peduli lagi. Dia hanya ingin perdebatan ini berhenti. “Pasti Kak Erhu yang cerita soal kita ke Ra.”
“Hah, sekarang kamu nuduh Kakak yang bocor? Padahal jelas-jelas kamu kan yang cerita?!”
“Nggak—“
“Kak Erhu nggak mungkin cerita ke siapa-siapa, karena Kakak janji akan merahasiakan itu kalau aku bersedia masuk Ensembel!”
Kay sontak ternganga.
Jadi ada perjanjian seperti itu antara Kak Erhu dan Lyra? Kalau bukan mendengarnya dari Kak Erhu, terus dari siapa? Tapi, sebentar… bagaimana Kak Erhu mengenalkan Kay kepada Ra? Apakah sebagai adik? Sebagai tetangga? Kenalan?
Ra tahu Kay memanggil Kak Erhu ‘Kak’.
Apakah Ra tahu… karena dia mengakses database sekolah?
Lyra meletakkan mugnya di bak cuci.
“Kalau sampai berita ini bocor, awas!” ancamnya.