Read More >>"> Cadence's Arcana (The Lovers\' Chorus pt. II) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Cadence's Arcana
MENU
About Us  

Ra sedang mengecek persediaan obat ketika Kay datang. Mendengar pintu dibuka, gadis itu mengangkat kepala dan tersenyum lebar.

“Ah, Key. Sini.”

“Ada apa?”

Ra duduk bersila di atas salah satu kasur tanpa melepas sepatunya. Kalau ada pasien, apakah seprainya bakal diganti ya? Benar-benar tidak higienis.

Ra memberikan setumpuk kertas kepada Kay, berisi daftar nama-nama obat.

“Kamu cek nih semua jumlahnya bener nggak,” kata Ra, menunjuk ke salah satu kolom berisi angka-angka. “Kalo ada yang jumlahnya kurang dari yang ditulis di sini, kamu tulis jumlah yang betul di kolom sebelahnya.”

“Oke.”

Kay meletakkan ranselnya di lantai.

“Sama yang di list ini kamu pisahin ke kotak ini ya. Bakal butuh cepet nih.”

Kay meneliti daftar baru yang diberikan Ra. Salep anti-inflamasi, parasetamol, desinfektan, kasa…

“Kenapa tiba-tiba butuh cepet?” tanyanya.

“Demo ekskul,” jawab Ra enteng.

Kay berkedip. “Terus?”

“Terus apanya?”

“Apa hubungannya demo ekskul sama butuh barang-barang ini?”

“Lho, kamu nggak tau? Kemana aja sih Keeeeeyyy!”

Kay spontan jadi bete. “Maaf, saya kelamaan di sumur, jadi nggak tau apa-apa,” jawabnya sarkastis. Tentu saja, Ra tidak menangkap sarkasmenya.

“Rumah kamu masih pake sumur?”

“Enggak! Itu majas, maksudnya!” kata Kay gemas. Kalau batas antara benci dan cinta itu tipis, sepertinya batas antara genius dan bego lebih tipis lagi.

“Iya, iya, ga usah marah-marah dong. Cepet tua loh!”

Gara-gara siapa coba?! Meskipun demikian, masih aneh menyadari bahwa yang dirasakannya benar-benar sesuatu yang berasal dari dirinya, bukan milik orang lain.

Seperti melayang di atas lautan. Ringan, bebas, melawan gravitasi.

Benar-benar aneh.

Rasanya terlalu tenang, pasti ada yang salah.

Ada alasan mengapa Kay jadi bisa merasakan emosi orang lain. Mungkin ini adalah hukuman dari Tuhan karena kesalahannya. Dan dia takut, jika mangkir dari hukuman itu, ada hukuman yang lebih berat menanti.

“Pokoknya,” kata Ra, “demo ekskul adalah momen ketika segala pengetahuan permedikan kita akan diuji.”

“Kenapa?”

“Tradisinya, anak-anak baru bakal mengalami kecelakaan karena nyoba-nyoba partisipasi.”

Tradisinya?” Kay mengangkat alis.

Ra mengangguk. Kemudian, sambil menghitung dengan jarinya, dia menyebutkan, “Biasanya nih ya, ada yang terkilir di klub basket, ada yang kram di kolam renang dan nyaris tenggelam, ada yang kebakar di ruang masak, ada yang kesetrum di workshop robotik, ada yang keiris cutter di klub handicraft, bahkan pernah ada yang jarinya kepotong mesin jahit.”

Kay ingin pingsan mendengar yang terakhir.

Waktu MOS, para panitia tidak henti-hentinya mengingatkan soal kegiatan ini. Kesannya seperti perhelatan mahapenting yang tidak boleh dilewatkan siapapun. Siapa yang mengira acara yang begitu digembar-gemborkan ternyata punya sejarah mengerikan seperti itu?

Ngomong-ngomong, awalnya Kay berpikir kegiatan di UKS ini termasuk ekskul. Tapi karena bukan ekskul, apa dia jadi harus datang demo ya? Tapi dia harus menghadiri demo yang mana?

Selain itu, tradisinya terdengar sangat seram.

“Memangnya nggak ada protokol keselamatan ya? Masa kejadian begitu terulang setiap tahun…

“Gitu deh kalo amatir semua,” Ra mengangkat bahu, seolah-olah semua ini tidak ada hubungannya dengannya.

Yah, mungkin memang tidak sih, sampai para korban datang ke UKS untuk diberi pertolongan pertama.

“Ekskul yang aman mungkin macem Klub Debat ya. Enggak perlu alat dan bergerak, cuma perlu ngomong.”

“Nggak juga. Tahun lalu ada anak baru yang ditonjok sama anak kelas XI yang kalah debat dari dia. Giginya copot satu.”

Mungkin sekolah ini dikutuk.

 

#

 

Sepuluh menit setelah waktu resmi kegiatan ekskul dimulai, korban-korban “tradisi” berdatangan ke UKS dengan berbagai keluhan. Untungnya tidak ada yang separah jari terpotong seperti kata Ra. Meskipun begitu, salah satu dari mereka sepertinya kekurangan vitamin K atau semacamnya, karena luka sobek sepanjang dua senti di jarinya gara-gara tersangkut kawat duri mengucurkan darah banyak sekali, menimbulkan bercak-bercak merah di sepanjang jalan dari rumah kaca, markas Klub Agrikultur.

Dan ternyata, sikap Ra yang tanpa tedeng aling-aling itu juga berlaku ketika dia menangani sakit fisik.

“Wah… kalau begini sih kayaknya butuh dioperasi, kalo enggak entar busuk.”

“Nggak apa-apalah kalo patah, kan bisa digips.”

“Kamu kenapa sih, encok? Kayak kakek-kakek aja.”

Dan ketika ada yang datang dengan mata panda karena terpukul bat bisbol, Ra tergelak sampai terduduk di lantai.

Isi kotak “butuh cepet” mereka sudah berkurang drastis saat demo selesai. Langit di luar berwarna jingga dengan sedikit awan kelabu pekat. Mayoritas murid sudah meninggalkan area sekolah (sebagian menuju rumah sakit).

“Untung dari ekskul beladiri nggak ada yang dateng,” kata Ra begitu pasien terakhir berjalan keluar sambil dipapah temannya, tidak diragukan lagi dengan luka batin yang lebih sukar pulih daripada engkelnya yang terkilir, sementara Kay memindahkan sisa kotak “butuh cepet” mereka ke lemari obat. “Tahun lalu ada yang sampe pendarahan organ dalam.”

Kotak hampir tergelincir dari tangan Kay. Ini SMA negeri, apa akademi tentara bayaran?!

“Pokoknya, inget nih ya: pelajaran utama dari demo ekskul adalah jangan berani coba-coba kalau nggak bisa.”

Justru kan kita coba-coba supaya tau kita bisa atau enggak?

“Dan pelajaran sekundernya adalah, kalau berani coba-coba, tanggung sendiri akibatnya.”

Pelajaran tersiernya adalah mending nggak ekskul! putus Kay, bulat. Dia pasti bisa meyakinkan Kak Erhu untuk memberinya izin bebas ekskul—toh, kakaknya sendiri yang “melempar”-nya ke pangkuan Ra.

“Kamu sendiri, ikut ekskul apa, Ra?” tanya Kay sambil lalu.

“Aku? Aku kan jagain UKS.”

“Tapi setiap orang wajib ikut ekskul kan?”

“Aku sih bilang sama Pak Opus.”

“Pak Opus?”

“Itu lho, bapak kepo bagian kesiswaan, yang kerjaannya ngerecokin murid. Tiap tanggal satu dia nongkrongin gerbang buat ngerazia. Rambut kamu udah agak gondrong tuh. Bulan depan pasti kena kalau nggak buruan dipotong.”

Kay jadi meraba belakang kepalanya. Rambutnya memang sudah agak kepanjangan. Aturan panjang rambut anak cowok, menurut buku panduan siswa, adalah tidak boleh menyentuh kerah dan daun telinga. Dan pembicaraan soal rambut selalu membuat Kay ingat Lyra, yang rambutnya sudah sepaha. Konon, adiknya itu tidak pernah potong rambut sejak masuk SD.

Grekk… pintu UKS mengayun terbuka. Mereka berdua spontan menoleh.

Sosok Lyra muncul, tangan kirinya digendong oleh tangan kanannya.

Awalnya Kay berpikir, pas sekali Lyra muncul saat dia teringat tentangnya, tapi kemudian Kay tidak lagi punya waktu untuk terheran-heran, karena begitu melihat dirinya, Lyra tiba-tiba tersentak.

Dan rasanya bukan main sakitnya. Sakit sekali, sehingga Kay langsung membungkuk dan pandangannya menjadi gelap sesaat.

“Oh, masih ada orang?” komentar Ra. “Ada yang bisa dibanting—eh, maksudku, dibantu?”

Lelucon garing Ra lewat begitu saja tanpa apresiasi. Kay tidak bisa tertawa karena dadanya sesakit diberi RJP dalam keadaan sadar, sementara Lyra malah lebih speechless daripada Kay.

“Kamu kenapa pula Key?” tanya Ra.

Dengan kejadian ini, Kay jadi khawatir kalau kekuatan anehnya akan membuatnya rentan terkena serangan jantung. Padahal yang kaget orang lain. Kalau ini film misteri, bukan tidak mungkin akan ada kasus dimana penjahatnya membunuh korban hanya dengan merasa kaget. Skenario itu begitu konyol, meski, konyolnya, sangat mungkin terjadi padanya, sampai-sampai Kay ingin mengasihani diri.

Tenang, jangan panik, dia berkata pada diri sendiri. Kak Erhu sudah menasihatinya untuk selalu tenang, selalu ingat agar tidak membiarkan orang lain menguasai dirinya. Sedikit demi sedikit, dia bisa kembali menghirup udara.

“Penyakit menahun?” tebak Ra sambil menepuk pundak Kay lembut.

Kay menggeleng.

“Belum makan?” Ra kembali bertanya.

Menggeleng lagi.

Ra mengetuk-ngetuk dagu. “Jadi, kamu perlu apa? Minum obat? Dipijetin? Ciuman puteri cantik?”

Seolah-olah gumpalan udara tiba-tiba berpusar di dasar tenggorokannya, Kay langsung terbatuk-batuk. Sementara itu, Lyra spontan berseru,

“APA?!!!”

“Iya, iya, enggak usah segitunya kalo nggak mau. Lagian aku nggak serius,” gerutu Ra. Dia berputar menghadapi Lyra. “Kamu Lyra Mahesvari ya? Adiknya Bu Erhu?”

Pertanyaan itu begitu tiba-tiba dan tidak nyambung, sehingga Lyra agak gelagapan.

“Ya, ya, ya… Kalian mirip banget. Sama-sama pendek!”

Seandainya saja Kay bisa menggelindingkan Ra keluar dari jendela sekarang juga. Dan seakan-akan tidak menyadari dirinya baru saja menyulut sumbu bom—kemungkinan sih memang tidak sadar—Ra melanjutkan bicara,

“Cuman lebih kurus dan lebih putih, kayak toge, hahahaha!”

Kemarahan Lyra bukan hal baru bagi Kay. Tapi kali ini lebih parah. Tindakan paling bijak saat ini adalah pindah ke kasur dan meringkuk dalam posisi nyaman.

“Kakak siapa sih?” tanya Lyra keras.

“Cuma juru kunci UKS,” Ra menjawab enteng. “Sini, tanganmu harus didinginin.”

Lyra mendelik pada Kay, yang mencoba membuat dirinya sekecil mungkin.

“Kenapa, sakit?” tanyanya judes.

“Nggak.”

“Nggak usah ngeles.”

Siapa juga, pikir Kay.

“Kena panci panas ya?” Ra menggumam. “Taro sini…”

Ra membuka kran wastafel, mengalirkan air dingin ke atas bagian lengan Lyra yang katanya terkena panci. Selama Ra bekerja, Lyra beberapa kali melirik Kay, yang masih bergelung di tempat tidur sambil mengusap-usap dadanya dan menarik napas dalam-dalam dan perlahan.

“Jadi, kalian siapa yang kakak?” tanya Ra.

“Maksud Kakak?”

“Kalian berdua, siapa yang lebih tua?”

“Kakak sendiri belum jawab pertanyaanku. Kakak ini siapa?”

“Aku cuma penjaga UKS.”

Lyra mengerucutkan bibir, tidak puas dengan jawaban itu.

“Lebih tua saya,” cicit Kay, merasa lebih baik dijawab saja daripada Ra mengulang-ulang pertanyaannya karena penasaran, dan malah membuat Lyra tambah bete.

Sayangnya, keputusan yang sudah dipikirkan masak-masak itu malah lebih tidak bijak.

“Ohya? Lebih tua berapa bulan?”

“…sehari.”

“Wah! Kayak kembar dong!”

Kay langsung menyesal. Isu beda sehari ini sangat sensitif bagi Lyra.

Mungkin karena ulang tahun mereka selalu dirayakan bersamaan, sehingga Lyra merasa hari tersebut tidak lagi spesial. Kay sendiri tidak begitu peduli, tetapi tidak enak kan menolak kebaikan orang tuanya, yang selalu mengusahakan untuk ada di rumah pada hari ulang tahun mereka? Lagipula, tidak hanya Kay dan Lyra yang acara ulang tahunnya dipadatkan. Mama, Kak Erhu, dan Kak Biwa lahir di bulan yang sama, jadi ulang tahun mereka juga selalu dirayakan sekaligus. Hanya ulang tahun Papa yang tidak dirayakan secara rutin, dan Papa berdalih bahwa kemeriahan ulang tahun mereka sudah membuatnya merasa diulangtahunkan juga.

“Asik ya punya sodara kembar. Aku selalu kepingin lho…”

“Kami nggak kembar,” kata Lyra galak. “Kami bahkan nggak sedarah!”

“Iya, aku tahu kok. Kalian emang nggak ada mirip-miripnya, kecuali sama-sama kecil.”

“Terus kenapa kalo aku kecil? Masalah buat Kakak?!”

“Nggak sih. Malah bagus.”

Kay bisa merasakan kebingungan Lyra. Si kakak kelas rambut alay ini mau ngomong apa sih…

“Kalau badan kecil itu, gampang mau ngapa-ngapain. Nyari baju, misalnya. Sementara aku… kadang harus cari XL, malah XXL atau lebih gede lagi supaya bagian dadanya nggak sempit. Kalo badan kecil, pake baju anak-anak juga bisa!”

Ra, brenti ngomong bisa nggak Ra, Kay meratap tanpa suara sambil berguling-guling.

“Terus, intinya?!” Lyra membentak, tidak peduli lagi soal sopan santun. Dan luar biasanya, Ra tetap kelihatan tenang, tidak nampak merasa dikurangajari. Mungkin karena dia sendiri sering kurang ajar, pikir Kay suram. “Denger ya, Kak. Aku nggak peduli Kakak siapa, tapi nggak usah sok ikut campur masalah keluargaku!”

“Aku nggak ikut campur, kok.”

“Terus apa maksudnya ngomongin semua itu tadi? Aku nggak butuh komentar Kakak!”

“Tapi setiap manusia kan punya hak untuk ngomen?”

“Komenin aja **** Kakak sendiri! Dasar ****!” ledak Lyra.

Dia menarik tangannya dari bawah kran, mencipratkan air ke segala arah, termasuk muka Ra. Dengan langkah menghentak-hentak, dia pergi meninggalkan UKS.

 

#

 

Kay baru merasa baikan setelah lewat beberapa menit.

Dia tidak mengira Lyra bisa mengumpat sekasar itu. Sekarang dia jadi takut mau pulang—bagaimana kalau Lyra masih marah dan melakukan sesuatu padanya?

Tentu saja, ini cuma paranoia.

Tapi tetap saja Kay waswas. Semoga Kak Biwa mau repot-repot menjadi penghalang di antara mereka, seandainya Lyra mau berbuat melampaui batas.

“Aku baru pertama kali denger cewek ngumpat kayak gitu,” kata Ra takjub.

Kay mendelik.

 “Dia marah ya? Karena aku ngomongin soal keluarga kalian?”

Kay memijat-mijat pelipisnya. “Udah jelas, kan? Kenapa juga kamu harus terus ngomongin itu?”

Ra menggaruk dagu.

“Soalnya jawaban dia bikin aku pengen jawab sih.”

Kay menghela napas. “Lain kali, kalau orang ngomong nadanya udah tinggi begitu, kamu minta maaf aja. Itu berarti orangnya bete karena apa yang kamu omongin.”

Ra membulatkan bibir.

“Tapi aku kan nggak ngomong sesuatu yang salah?”

“Bukan apa-nya yang salah. Tapi kapan-nya.”

Apakah hari-hari ke depannya akan seperti ini terus? Kok belum apa-apa Kay sudah gentar.

“Jadi kapan dong waktu ngomong yang benar?”

“Pas nggak di depan orangnya.”

“Kalau gitu namanya ngomongin di belakang dong!”

“Memang iya!” sambar Kay dengan nada tinggi, lama-lama jadi emosi juga. Yang, anehnya, rasanya cukup menyegarkan juga. Seperti ada efek terapisnya.

Kay meraih ranselnya dari kaki ranjang, menyampirkannya di bahu. Sudah cukup untuk hari ini.

“Saya boleh pulang duluan ya?”

Sekilas, kelihatannya Ra ingin menghentikan Kay, seperti masih ingin mengatakan sesuatu, tapi kemudian gadis itu mengangguk.

“Oh. Oke. Aku juga cuma tinggal beresin laptop.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Sahara
19732      2710     6     
Romance
Bagi Yura, mimpi adalah angan yang cuman buang-buang waktu. Untuk apa punya mimpi kalau yang menang cuman orang-orang yang berbakat? Bagi Hara, mimpi adalah sesuatu yang membuatnya semangat tiap hari. Nggak peduli sebanyak apapun dia kalah, yang penting dia harus terus berlatih dan semangat. Dia percaya, bahwa usaha gak pernah menghianati hasil. Buktinya, meski tubuh dia pendek, dia dapat menja...
DELION
2567      984     2     
Mystery
Apa jadinya jika seorang perempuan yang ceria ramah menjadi pribadi yang murung? Menjadi pribadi yang dingin tak tersentuh, namun dibalik itu semua dia rapuh sepert bunga i Dandelion tapi dia tidak bisa menyesuaikan dirinya yang mulai hidup di dunia baru dia belum bisa menerima takdir yang diberikan oleh tuhan. Kehilangan alasan dia tersenyum itu membuat dirinya menjadi kehilangan semangat. Lal...
Why Joe
1044      541     0     
Romance
Joe menghela nafas dalam-dalam Dia orang yang selama ini mencintaiku dalam diam, dia yang selama ini memberi hadiah-hadiah kecil di dalam tasku tanpa ku ketahui, dia bahkan mendoakanku ketika Aku hendak bertanding dalam kejuaraan basket antar kampus, dia tahu segala sesuatu yang Aku butuhkan, padahal dia tahu Aku memang sudah punya kekasih, dia tak mengungkapkan apapun, bahkan Aku pun tak bisa me...
Forgetting You
3509      1186     4     
Romance
Karena kamu hidup bersama kenangan, aku menyerah. Karena kenangan akan selalu tinggal dan di kenang. Kepergian Dio membuat luka yang dalam untuk Arya dan Geran. Tidak ada hal lain yang di tinggalkan Dio selain gadis yang di taksirnya. Rasa bersalah Arya dan Geran terhadap Dio di lampiaskan dengan cara menjaga Audrey, gadis yang di sukai Dio.
HABLUR
4281      1309     2     
Romance
Almarhum Mama selalu bilang, "Yang membedakan permata dengan batu lain adalah tingkat tekanan yang mengubahnya." Ruby Andalusia. Coba tanyakan nama itu ke penghuni sekolah. Dijamin tidak ada yang mengenal, kecuali yang pernah sekelas. Gadis ini tidak terkenal di sekolah. Ia ikut KIR, tetapi hanya anggota biasa. Ia berusaha belajar keras, tetapi nilainya sekadar cukup untuk ber...
She Never Leaves
4502      1268     3     
Inspirational
Dia selalu ada dan setia menemaniku, Menguatkanku dikala lemah, Menyemangatiku dikala lelah, dan .. Menuntunku dikala kehilangan arah.
Forbidden Love
8818      1857     3     
Romance
Ezra yang sudah menikah dengan Anita bertemu lagi dengan Okta, temannya semasa kuliah. Keadaan Okta saat mereka kembali bertemu membuat Ezra harus membawa Okta kerumahnya dan menyusun siasat agar Okta tinggal dirumahnya. Anita menerima Okta dengan senang hati, tak ada prangsaka buruk. Tapi Anita bisa apa? Cinta bukanlah hal yang bisa diprediksi atau dihalangi. Senyuman Okta yang lugu mampu men...
(L)OVERTONE
1891      666     1     
Romance
Sang Dewa Gitar--Arga--tidak mau lagi memainkan ritme indah serta alunan melodi gitarnya yang terkenal membuat setiap pendengarnya melayang-layang. Ia menganggap alunan melodinya sebagai nada kutukan yang telah menyebabkan orang yang dicintainya meregang nyawa. Sampai suatu ketika, Melani hadir untuk mengembalikan feel pada permainan gitar Arga. Dapatkah Melani meluluhkan hati Arga sampai lela...
F.E.A.R
8169      1408     5     
Romance
Kisah gadis Jepang yang terobsesi pada suatu pria. Perjalanannya tidak mulus karena ketakutan di masa lalu, juga tingginya dinding es yang ia ciptakan. Ketakutan pada suara membuatnya minim rasa percaya pada sahabat dan semua orang. Bisakah ia menaklukan kerasnya dinding es atau datang pada pria yang selalu menunggunya.
Pisah Temu
904      487     1     
Romance
Jangan biarkan masalah membawa mu pergi.. Pulanglah.. Temu