Loading...
Logo TinLit
Read Story - Cadence's Arcana
MENU
About Us  

“Minggir!” perintah Ra sambil menggigit jari Kay. Kay spontan mencelat.

“Aduh!”

“Itu balasan karena kamu udah nendang aku. Asal tau aja ya, kalau tulang kering kena benturan itu rasanya sakit banget!”

“I-iya, maaf!”

“Lain kali berusaha dulu supaya nggak perlu minta maaf!”

Idih! Ingin rasanya menyambit kakak kelasnya itu dengan sandal jepit.

“Ayo balik. Awas jangan sampe lorong bukunya runtuh, nanti repot beresinnya.”

Kay menggerayangi lantai, merangkak sambil meraba-raba tumpukan buku, mencari-cari celah yang bisa dilewatinya untuk kembali ke UKS. Ketika baru setengah badannya yang masuk ke celah itu, Ra sudah mencapai rak buku dan mendorongnya sampai terbuka.

Kembali ke ruangan yang serba putih dan diterangi cahaya matahari sore itu terasa ganjil. Rasanya Kay baru berpindah semesta, ke semesta yang lain yang sama sekali berbeda dengan yang ini. Dia tidak akan heran kalau memang gudang perpustakaan itu adalah sebuah dunia lain!

“Di luar dugaan kamu jago juga ya,” Ra berujar. “Pantes Bu Erhu ngerekomendasiin kamu pake banget.”

“Jago apanya?”

“Kamu begitu menghayati peran sampe nangis segala.”

Kay buru-buru mengusap wajah. Tentu saja, air matanya sudah lama mengering.

“Saya nangis bukan karena pengen.”

“Tapi gimana sih caranya?”

“Cara apa?”

“Supaya bisa nangis.”

“Saya nangis bukan karena pengen!” Kay mengulang, kali ini lebih keras. “Memangnya kamu sendiri nggak pernah nangis?”

Ra menggeleng. “Iya. Aku nggak cengeng soalnya.”

Kok rasanya ingin melempar bata ya?

“Pernah ada yang bilang langsung sama aku, kalo aku nggak punya perasaan,” kata Ra. “Tapi memangnya berperasaan itu gimana sih? Harus ikutan nangis kayak kamu?”

Meskipun Ra bertanya dengan diksi yang membuat Kay malas menjawab, tetapi Kay merasakan ketersesatan Ra dari nadanya. Anak itu tidak memberinya pertanyaan retoris. Dia benar-benar menginginkan jawaban.

Hanya saja, bagaimana menjawabnya? Kalau bukan karena kemampuannya, Kay juga tidak akan begitu mudahnya terbawa perasaan orang lain. Mungkin, dia tidak akan begitu berbeda dengan Ra. Lagipula, berempati tidak sama dengan memahami. Berempati tidak berarti bisa memberikan solusi.

Ra mengetuk-ngetuk dagunya sambil duduk di depan laptopnya. Kay duduk di kursi terdekat. “Menurutmu, kalo aku nggak bisa ikut marah, atau sedih, berarti bener aku nggak punya perasaan?”

“Memangnya kamu nggak pernah sedih atau marah? Sama sekali?”

“Hm… mungkin pernah?”

“Waktu saya telat tadi… kamu bukannya ngomel-ngomel ya?”

Ra melirik langit-langit. “Ya… tapi aku nggak marah kok. Aku cuma nggak ngerti kenapa kamu lama-lama bengong di depan pintu.”

“K-kamu tau saya berdiri lama di luar?”

“Aku denger langkah kaki kamu. Tapi kamu nggak masuk-masuk, aku jadi heran.”

“Kalau sedih? Kamu nggak pernah sedih?”

Ra kembali melirik langit-langit.

“Kejadian apa sih yang bisa bikin sedih?”

Pertanyaannya mulai dari sana?!!

Bohong kalau Kay bilang pertanyaan itu tidak membuatnya merasa seperti terjun bebas tanpa parasut.

Sebuah memori berkelebat di benak Kay. Kay menggeleng, tidak ingin membicarakannya.

“Kalau hape kamu ilang, misalnya.”

“Hapeku nggak pernah ilang. Paling dijual, terus diganti yang baru.”

“Misalnya aja,” kata Kay cepat-cepat. “Coba bayangin hape itu dicuri. Pasti sedih kan?”

“Kalau hapeku dicuri, aku bisa beli yang baru sih.”

Contohnya salah, pikir Kay, ingin memukul kepalanya sendiri sampai pingsan.

“Piaraan kamu mati, misalnya.”

“Tapi umur hewan memang kebanyakan lebih pendek dari manusia kan?”

“Orang tua kamu meninggal, misalnya?!”

“Hem… yang satu itu susah dibayangkan. Soalnya ayah dan ibuku masih ada. Memang sih, mereka jauh-jauhan dan udah lama kami nggak pernah kumpul lagi.”

Oh.

“Mereka bercerai?”

“Iya.”

“Kamu nggak sedih mereka bercerai?”

“Aku…”

Ra berhenti menatap langit-langit dan berhenti mengetuk dagunya.

“Tapi aku tahu alasan mereka bercerai,” katanya.

“Terus?”

“Ya… mau gimana lagi, pada saat itu, cuma itu pilihan terbaik buat mereka.”

Kay hanya bisa geleng-geleng. Ada juga orang yang logisnya ekstrem begini.

“Tapi kalau kesel sih kayaknya aku sering. Terutama sejak jadi Dolce. Soalnya ya, orang tuh curhat ngapain sih? Kalau aku diam aja, dikira nggak dengerin. Aku kasih masukan, marah. Maunya apa coba? Udah susah-susah aku bantu mikirin solusinya. Jarang banget yang berterima kasih. Hampir nggak ada malah.”

“Kamu memang nggak berperasaan, ya?” simpul Kay.

“Kayaknya nggak valid deh dikatain begitu sama orang yang terlalu sentimental.”

“Saya nangis bukan karena terlalu sentimental!” protes Kay.

Ra memberi gestur tak peduli.

“Pantes kamu tega ngomong kayak tadi ke Kak Nada.”

“Ngomong kayak gimana?”

Rahang Kay menjeblak terbuka. Dia tidak serius menanyakan itu kan?

“Kak Nada kan lagi galau gara-gara karyanya dicuri. Apalagi lombanya tinggal dua hari. Waktunya terlalu sempit buat bikin yang baru, juga buat ngumpulin bukti bahwa dialah yang pertama menulis karya yang dicuri itu,” kata Kay. “Terlepas dari apakah Kak Nada bisa melakukannya, tapi bilang dengan entengnya kalau dia bisa bikin makalah baru itu terlalu meremehkan masalah dia.”

Ra melipat lengan sambil mendengus. “Tapi aku ngomongnya nggak dengan enteng kok. Aku juga mikir masak-masak soal itu. Aku bilang begitu karena aku tau Nada pasti bisa bikin yang baru.”

“Kamu bener-bener kenal Kak Nada?”

Ra mengernyit. “Enggak sih. Tapi dia terkenal. Aku yakin dia bisa nemuin ide baru untuk makalah lomba dalam dua hari. Mungkin kualitasnya nggak akan sebagus makalah yang pertama, tapi cukup bagus untuk seenggaknya masuk tiga besar. Nada tuh memang kelasnya segitu.”

Kay mengernyit. Ra itu… sebuah enigma. Bagaimana ya mengklasifikasikannya? Kalau dibilang bodoh, ya tidak. Tapi dibilang pintar pun… meragukan.

“Tapi tetap aja kan… kamu kan cuma orang luar yang ngasih pendapat, kamu nggak ngerasain apa yang Kak Nada rasain. Dan kenapa kamu malah nyuruh Kak Nada bikin makalah lagi, bukannya ngelaporin pencurian itu? Dan kamu beneran tau siapa yang nyuri naskahnya?”

“Bener dong. Ngapain aku bohong? Aku tau seluk-beluk masalahnya, dari hulu ke hilir. Makanya aku nggak nyuruh Nada ngelapor. Walaupun aku tau dia pengen banget melakukan itu.”

“Terus… kenapa?”

Pop quiz,” Ra menjentikkan jari. “Apa yang kamu tau soal Klub Literasi?”

“Kedengarannya seperti klub pecinta buku.”

Ra menggeleng. “Dua puluh,” katanya. “Klub Literasi itu kumpulan orang-orang paling hebat dan arogan di seluruh sekolah. Mereka menganggap yang ada di luar klub nggak bisa baca-tulis. Masuknya juga diseleksi. Kamu harus pernah baca banyak buku. Dan koran. Aku paling benci baca koran. Cerita di koran itu nggak pernah utuh, selalu sepotong-sepotong dan alurnya berubah-ubah di tiap edisi.”

“Kamu juga anggota ekskul itu?”

“Enggak lah. Aku keluar setelah sebulan pertama.”

“Jadi kamu lolos seleksinya yang kedengeran susah banget itu?!!”

“Nggak susah kok. Tadinya kukirain bakal santai, soalnya cuma klub baca-tulis kan, nggak kayak klub olahraga yang mesti latian tiga kali seminggu, atau klub kerajinan tangan yang harus bikin-bikin sesuatu. Nggak taunya, hectic-nya kayak besok buku bakal punah.”

Kalau yang udah keluar aja searogan ini, apalagi yang masih bertahan, pikir Kay ngeri.

“Persaingan di dalam klub itu kuat. Kayak rantai makanan. Begitu kamu nggak disukai, POOOFFF!!! Kamu bakal dimangsa. Tiba-tiba semua orang yang awalnya bersaing ketat, bersatu buat mendepakmu! Aku ngalamin sendiri!”

Jadi kamu bukan keluar, tapi didepak?!

“Nada itu terlalu jago, terlalu berkuasa. Banyak yang pengen dia keluar dari klub. Dan akhirnya, terjadilah musibah ini.”

“Jadi maksudnya… yang mencuri naskah itu masih anak Klub Lite juga?” kata Kay ngeri.

“Yep.”

“Kok bisaaaa?! Bukannya… bukannya mereka semua orang hebat?”

Ra menggoyangkan jarinya. “Masalahnya bukan lagi soal harga diri, tapi gimana supaya orang yang mereka nggak suka keluar secepatnya.”

“Tapi kalau gitu masalahnya jadi mudah dong? Tersangkanya sejelas muka orang dibedakin lalu disorot lampu jauh kan?”

“Perumpamaan kamu ribet banget sih,” komentar Ra. “Tersangkanya mungkin sejelas muka orang didempul pake semen, tapi lalu kenapa? Memangnya kamu pikir gimana caranya si tersangka mencuri naskah punya Nada?”

Kay berpikir, mengingat-ingat cerita yang dibacanya di chat dan didengarnya di Curhatroom.

“Dikopi dari laptopnya?”

“Laptopnya pasti di-password.”

“Ngg… kalau gitu di-hack?”

“Kamu pikir berapa persen kemungkinannya anak SMA bisa nge-hack laptop?”

Nggak banyak, tapi kamu sendiri bisa bikin program, Kay membatin.

“Terus gimana dong?”

“Si tersangka mendapatkannya dari jalur lain. Yang mendapatkan naskah itu dari Nada sendiri.”

“Tapi Kak Nada nggak mungkin nge-share makalahnya ke siapapun kan? Kedengarannya begitu.”

“Gimana dengan guru pembimbing?”

Kay merasa perutnya seperti dijejali es, membuatnya mual.

“Yang bener aja! Masa—“

Ra mengangkat bahu.

“Kamu cuma berspekulasi.”

“Yang jelas sih aku nggak punya bukti. Tapi cuma itu jalur kebocoran yang mungkin. Dan karena itu juga masalah ini jadi lebih sulit diselesaikan.”

“Tapi masa guru pembimbing menyabotase anak bimbingannya sendiri?”

“Mungkin dia berpikir dengan melakukan itu, dia memberi Nada pelajaran dan memberi kesempatan buat anggota klub yang lain? Seperti yang sudah aku bilang, Nada terlalu hebat. Kalau ada pagar yang nonjol sendiri, dia bakal dipukul supaya rata dengan yang lain.”

Sinting, adalah satu-satunya kata yang menurut Kay cocok untuk kasus ini.

“Segalanya mungkin bakal berakhir damai-damai aja kalau Nada cepat-cepat keluar dari klub. Masalahnya lagi, Nada udah kadung nyaman di dalam klub itu. Dia merasa terlalu tinggi untuk ada di luar tempat itu bersama rakyat jelata illiterate lainnya. Lagian, kalau dia keluar begitu aja, lawannya yang menang. Makanya menurutku solusi dia ya itu. Buat makalah baru. Tetep nunjukin taring walaupun dia udah terpojok. Seperti yang kamu bilang tadi.”

“Seperti… yang saya bilang?”

“Soal kehebatan dia nggak bakal berkurang hanya karena naskahnya dicuri.”

Kenapa sih orang yang bisa menganalisis psikis orang lain sejauh itu, masih punya kesulitan berempati?

Namun, Kay jadi malu sendiri. Karena sudah berpikir Ra tidak berperasaan.

Ra peduli, hanya saja dia menunjukkannya dengan caranya sendiri. Dan peduli bukan ciri orang yang tidak berperasaan.

Malah, dia bisa dengan kepala dingin menentukan solusi paling optimal dari sebuah masalah.

Kekurangannya, barangkali, hanyalah ketidakmampuannya membungkus solusi kerennya dengan kata-kata yang menentramkan hati.

Kay mulai paham mengapa Kak Erhu begitu ingin mempertemukan mereka. Berkawan dengan Ra mungkin membutuhkan ketahanan mental di atas rata-rata, tapi Kay adalah orang dengan batin yang sudah tertempa. Barangkali memang hanya dia yang bisa berada di sisi Ra dan menjalankan “bisnis” konselingnya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Teater
23325      3320     3     
Romance
"Disembunyikan atau tidak cinta itu akan tetap ada." Aku mengenalnya sebagai seseorang yang PERNAH aku cintai dan ada juga yang perlahan aku kenal sebagai seseorang yang mencintaiku. Mencintai dan dicintai. ~ L U T H F I T A ? Plagiat adalah sebuah kejahatan.
When You Reach Me
7703      2013     3     
Romance
"is it possible to be in love with someone you've never met?" alternatively; in which a boy and a girl connect through a series of letters. [] Dengan sifatnya yang kelewat pemarah dan emosional, Giana tidak pernah memiliki banyak teman seumur hidupnya--dengan segelintir anak laki-laki di sekolahnya sebagai pengecualian, Giana selalu dikucilkan dan ditakuti oleh teman-teman seba...
Jika Aku Bertahan
12896      2719     58     
Romance
Tidak wajar, itu adalah kata-kata yang cocok untuk menggambarkan pertemuan pertama Aya dengan Farel. Ketika depresi mengambil alih kesadarannya, Farel menyelamatkan Aya sebelum gadis itu lompat ke kali. Tapi besoknya secara ajaib lelaki itu pindah ke sekolahnya. Sialnya salah mengenalinya sebagai Lily, sahabat Aya sendiri. Lily mengambil kesempatan itu, dia berpura-pura menjadi Aya yang perna...
Sang Penulis
10518      2346     4     
Mystery
Tak ada yang menyangka bahwa sebuah tulisan dapat menggambarkan sebuah kejadian di masa depan. Tak ada yang menyangka bahwa sebuah tulisan dapat membuat kehidupan seseorang menjadi lebih baik. Dan tak ada juga yang menyangka bahwa sebuah tulisan dapat merusak kehidupan seseorang. Tapi, yang paling tak disangka-sangka adalah penulis tulisan itu sendiri dan alasan mengapa ia menuliskan tulisan i...
Unlosing You
477      331     4     
Romance
... Naas nya, Kiran harus menerima keputusan guru untuk duduk sebangku dengan Aldo--cowok dingin itu. Lambat laun menjalin persahabatan, membuat Kiran sadar bahwa dia terus penasaran dengan cerita tentang Aldo dan tercebur ke dalam lubang perasaan di antara mereka. Bisakah Kiran melepaskannya?
Kutu Beku
378      253     1     
Short Story
Cerpen ini mengisahkan tentang seorang lelaki yang berusaha dengan segala daya upayanya untuk bertemu dengan pujaan hatinya, melepas rindu sekaligus resah, dan dilputi dengan humor yang tak biasa ... Selamat membaca !
IMAGINE
386      275     1     
Short Story
Aku benci mama. Aku benci tante nyebelin. Bawa aku bersamamu. Kamu yang terakhir kulihat sedang memelukku. Aku ingin ikut.
SIBLINGS
6528      1152     8     
Humor
Grisel dan Zeera adalah dua kakak beradik yang mempunyai kepribadian yang berbeda. Hingga saat Grisel menginjak SMA yang sama dengan Kakaknya. Mereka sepakat untuk berpura-pura tidak kenal satu sama lain. Apa alasan dari keputusan mereka tersebut?
Tentang Penyihir dan Warna yang Terabaikan
8069      2242     7     
Fantasy
Once upon a time .... Seorang bayi terlahir bersama telur dan dekapan pelangi. Seorang wanita baik hati menjadi hancur akibat iri dan dengki. Sebuah cermin harus menyesal karena kejujurannya. Seekor naga membeci dirinya sebagai naga. Seorang nenek tua bergelambir mengajarkan sihir pada cucunya. Sepasang kakak beradik memakan penyihir buta di rumah kue. Dan ... seluruh warna sihir tidak men...
Aditya
1434      648     5     
Romance
Matahari yang tak ternilai. Begitulah Aditya Anarghya mengartikan namanya dan mengenalkannya pada Ayunda Wulandari, Rembulan yang Cantik. Saking tak ternilainya sampai Ayunda ingin sekali menghempaskan Aditya si kerdus itu. Tapi berbagai alasan menguatkan niat Aditya untuk berada di samping Ayunda. "Bulan memantulkan cahaya dari matahari, jadi kalau matahari ngga ada bulan ngga akan bersi...