Bugenvil mekar yang mengapit gerbang seolah-olah mengejeknya. Hanya orang tak normal yang sebal melihat pemandangan bunga-bunga berwarna cerah dengan latar langit berseri seperti pagi ini.
Masa orientasi siswa baru berakhir kemarin malam. Meskipun sudah tiga hari tiga malam digempur dengan acara perploncoan, anak-anak yang kemarin dilihatnya berteriak-teriak sampai serak, menangis sampai sembab, dan push up sampai kolaps, pagi ini datang dengan wajah segar dan senyum terkembang.
Mungkin karena semalam MOS ditutup dengan permintaan maaf dan salaman dari para panitia yang terdiri atas anak-anak kelas XI dan XII.
Kay heran mengapa acara perploncoan murid baru menjadi tradisi yang dilestarikan. Dia sih inginnya tidak berurusan dengan hal-hal seperti itu. Niatnya ke sekolah hanya untuk mendapat ijazah. Yah, mungkin ada satu-dua hal yang bisa dipelajarinya, tapi selebihnya dia tidak ingin terlibat. Dan MOS adalah acara yang ada di puncak daftar “Jangan Ikutan”-nya, seandainya kakaknya bukan jenis orang yang aktif dalam kegiatan plonco-memlonco sewaktu muda. Posisi beliau sebagai salah satu guru di sekolah ini tidak membuat segalanya lebih mudah.
Ada hal-hal yang hanya bisa didapatkan dari disiksa bareng-bareng oleh kakak kelas, katanya. Kay harus bersusah payah menahan dengusan mendengarnya.
Apa yang bisa didapatkan dari dikata-katai, disalah-salahkan, dan diteriaki sampai pekak?
Kebencian kolektif terhadap senior, mungkin.
Dan, untuk sebagian kasus, ngeceng kolektif.
Rupanya seusai penutupan MOS itu tradisinya—lagi-lagi tradisi—acara nembak para tatib cowok. Dan anehnya banyak yang sukses.
Yah, oke, Kay cukup paham perasaan teman-temannya. Tidak hanya paham—dia merasakannya sendiri; dengan jantungnya yang tiba-tiba berdebar, dengan perutnya yang tiba-tiba jumpalitan, dengan tungkai-tungkainya yang mendadak lembek. Setiap kakak tatib tertentu lewat, tiba-tiba dia punya keinginan aneh untuk nyengir lebar (dia pernah benar-benar nyengir lalu diteriaki karena dikira menertawai). Ketika si kakak tatib bersedia mengisi buku biodata mereka (para siswi di kelompok Kay berkeras ingin nomor handphone tanda tangan si nyolot itu), dia hampir melompat-lompat kegirangan. Bahkan dia bersemangat saja ketika disuruh jalan jongkok sambil mengucapkan mantra-mantra bego sebagai syarat. Paling tidak, dia jadi bisa menjalani tiga hari penuh penghinaan itu tanpa banyak-banyak merasa sebal. Tapi mengingatnya membuat darahnya mendidih. Semoga dia tidak pernah bertemu lagi dengan si kakak tatib selamanya.
Kalau ada yang berargumen bahwa perploncoan adalah persiapan untuk menghadapi kerasnya dunia nyata, mungkin metode yang lebih efektif adalah memilih seorang murid secara acak kemudian menahan anak itu di pancungan berpewaktu sementara anak-anak yang lain disuruh menyelesaikan tugas.
Karena, biasanya pelajaran paling keras didapat dari menerima perubahan permanen.
Kay menghela napas, lelah oleh pikirannya sendiri.
Buat apa juga sih dia memusingkan yang sudah lewat? Kehidupan sekolahnya mestinya tak bisa lebih buruk daripada itu: panggung sandiwara yang tidak jelas siapa aktornya dan siapa penontonnya.
Kalau bukan karena keluarga angkatnya, Kay sih ogah melanjutkan sekolah. Tempat itu hanya dipenuhi orang-orang yang masih labil dengan cadangan energi yang tidak bisa ditampung.
Tapi, masalahnya bukan mau atau tidak mau.
Karena ada hutang yang harus dibayar. Paling tidak, ada rasa terima kasih yang harus dia nyatakan dalam tindakan.
Jadi, meski sedikit gontai, dia memantapkan hati dan berjalan melewati gerbang.
#
Lima tahun yang lalu, Kay diadopsi oleh pasangan pemusik yang mengenalkan diri sebagai teman karib ibunya.
Begitu mendapat kabar bahwa ibunya telah meninggal, Papa dan Mama—dia menyebut mereka Om dan Tante waktu itu—langsung terbang dari London untuk menyampaikan belasungkawa. Mereka bertemu Kay di panti asuhan tempat Kay tinggal sementara, kemudian berziarah ke makam bersama. Mereka bicara tentang ibu Kay, bagaimana mereka mengenalnya sewaktu kuliah, bahwa mereka pernah bertemu Kay waktu Kay masih bayi, dan kisah-kisah lama semacam itu.
Setelah pertemuan itu, pasangan tersebut sesekali mengirimi Kay paket dari luar negeri. Kay yang pada saat itu masih beradaptasi dengan oversensitivitasnya terhadap emosi sekitarnya seperti mendapatkan kekuatan baru untuk terus melangkah. Minggu-minggu pertamanya sangat sulit. Semua sensasi itu seperti air bah yang menenggelamkannya. Dia tiba-tiba senang atau sedih, tiba-tiba sakit, tiba-tiba histeris. Sering dia berpikir untuk menyusul ibunya. Seakan semua itu belum cukup, dia pun harus menghadapi konfrontasi dari anak-anak sebayanya yang menganggapnya pembohong dan tukang cari perhatian.
Oleh-oleh yang didapatnya dari Papa dan Mama seakan menjadi obat. Seolah-olah kehangatan dan kasih sayang mereka datang bersama dengan barang-barang itu: cokelat dan permen, pakaian baru, buku komik, dan mainan. Kadang paket mereka disertai dengan kartu pos yang dikirim dari negara tempat mereka mengadakan pertunjukan.
Kay masih menyimpan semuanya—kecuali makanan—sampai sekarang.
Setahun setelah pertemuan pertama itu, Papa dan Mama datang lagi. Kali ini dengan kabar yang membuat Kay sampai demam tujuh hari tujuh malam saking mengejutkannya.
Mereka menawarinya menjadi anak angkat dan tinggal bersama mereka.
Kadang, Kay masih sering bertanya-tanya: apa yang membuat Papa dan Mama ingin mengadopsinya, padahal mereka sudah punya tiga anak yang memenuhi rumah mereka? Bagaimana mungkin mereka menyayanginya dengan begitu hebat, padahal mereka tidak mengenalnya? Bahkan, mereka sudah bertahun-tahun tidak berhubungan dengan ibu Kay.
Kay baru mengerti lama sesudah hari itu: bahwa Papa dan Mama kasihan padanya.
Tapi tak mengapa. Meski samar, dan tidak mungkin bisa sama seperti kepada anak kandung sendiri, mereka tetap menyayanginya.
Dan seandainya boleh, Kay ingin menganggap mereka sebagai kesempatan kedua.
#
Hari pertama sekolah berlangsung mulus. Sembilan puluh sembilan persen murid baru senang akan predikat “anak SMA” mereka, dan pastinya Kay kecipratan gembira.
Ngomong-ngomong, Kay kurang suka bersekolah, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa jadi “anak SMA” memberinya beberapa hak keren. Misalnya, dianggap cukup besar untuk pergi kemana-mana sendiri. Jam malamnya juga ditambah—bukannya Kay perlu keluyuran malam-malam juga sih…
Selain itu, ada satu hal lagi yang membuat Kay lega: dia mendapatkan tempat duduk di bangku pojok, di belakang seorang cowok yang bertubuh kelewat besar untuk ukuran anak yang baru sebulan lalu lulus SMP. Kay jadi tidak terlihat dan terabaikan, tidak sering didatangi orang. Satu-satunya kekurangan dari posisi ini adalah kepribadian si bongsor yang terlalu bersemangat, membuat Kay agak hyper. Mengerjakan soal matematika (yang diberikan Pak Herry sebagai tes awal—kenapa ada tes pada hari pertama masuk sekolah?!!!) saja rasanya ingin sambil bersenandung.
Namun, seperti semua hal di dunia ini, hari pertama yang damai pun harus berakhir. Begitu bel tanda bubaran berdering, ponselnya bergetar, mengingatkannya akan sesuatu yang membuatnya gentar belakangan ini.
Dia tidak membuka pesan yang baru masuk itu, sudah tahu persis apa isinya dan siapa yang mengirimnya.
Dengan gerakan lamban seperti kukang yang hampir lumpuh (ini permisalan yang tidak sopan kepada kukang), Kay membereskan barang-barangnya dan berjalan gontai menuju ruang UKS. Barangkali yang menyebalkan dari menjadi seorang empath adalah kita tidak bisa mengendalikan perasaan kita sendiri. Meskipun Kay yakin 100% dirinya merasa tidak bersemangat saat ini, tetapi emosi-emosi di dekatnya membuatnya merasa sebaliknya.
Terima, jangan lawan, dia berkata kepada dirinya sendiri.
Kay menegakkan badan, membiarkan hatinya mengikuti tarikan dunia sekitar. Mengalirlah bersama air, jangan melawan arus. Selewat beberapa saat, napasnya menjadi lebih teratur dan organ-organ dalamnya tidak lagi tertarik ke dua arah yang berlawanan.
Ruang UKS terletak di sayap barat, berdekatan dengan perpustakaan dan ruang audiovisual. Jaraknya cukup jauh dari kelas Kay, dan di bagian bangunan sebelah sini, pada jam segini benar-benar sepi. Seperti dunia yang berbeda dengan lorong ramai yang dilewati Kay tadi.
Ini pertama kalinya dia ke UKS. Dari yang sempat dia dengar, UKS ini tidak ada dokternya. Sekitar setahunan yang lalu, dokter yang bertugas di sana mengundurkan diri karena pindah ke kota lain. Pada saat MOS, panitia membuat tenda medik di pinggir lapangan. Sama sekali bukan penanganan yang layak—tempat itu berdebu, panas, dan kekurangan bahan konsumsi. Menurut hemat Kay, meskipun tidak ada dokter, seharusnya anak-anak yang sakit tetap dibawa ke ruangan khusus tempat mereka bisa beristirahat dengan tenang.
Ah sudahlah.
Sebagai orang yang tidak peduli soal MOS, dia tidak perlu memikirkan bagaimana menjadikan acara itu lebih baik. Buang-buang tenaga saja.
Kay tiba di depan pintu yang bercat cokelat seperti semua pintu lainnya, dengan pelat logam memberitahukan ruangan apa yang ada di baliknya. Dia sudah mengangkat tangannya untuk mengetuk, ketika tiba-tiba merasa ragu.
Dia langsung melesat kemari begitu bel berbunyi. Apakah Kak Aria, orang yang harus ditemuinya, sudah ada di dalam sini? Kay berkonsentrasi, mencoba merasakan keberadaan orang di dalam ruangan. Satu hal positif yang Kay rasakan dari kekuatannya adalah dia tidak bisa ditakut-takuti dengan hantu-hantuan, karena dia bisa merasakan keberadaan orang sampai jarak tertentu. Jika dia kenal orangnya, biasanya dari beberapa ratus meter juga dia sudah bisa mengenali. Emosi itu agak seperti sidik jari. Emosi yang sama tetapi keluar dari orang yang berbeda akan terasa berbeda pula bagi Kay.
Kay berkonsentrasi keras dengan tangan menyentuh daun pintu, mencoba membaca seperti apa orang yang ada di dalam ruang UKS ini.
Apakah persis yang diceritakan Kak Erhu? Pintar, enerjik, rame. Selalu antusias. Tipe orang yang bersinar. Kebalikan total dari Kay, yang suka menyendiri dan pesimistis—tipe orang gelap. Kay benci bersemangat. Soalnya, dia tidak punya cadangan energi yang banyak. Di dekat orang-orang yang bersinar, energi Kay seperti tersedot keluar. Seperti kena diare, membuatnya jadi lemas tak bertenaga. Jika di dekat orang gelap, dia cenderung tidak ingin melakukan apa-apa. Energinya hanya untuk dirinya sendiri. Seperti saat ini, tubuhnya terasa sejuk dan berat, ingin rasanya meringkuk di tempat…
Kay mengernyit.
Emosi negatif itu, bagaikan asap putih imajiner, datangnya dari arah kelas-kelas, bergulung-gulung menerpa hidung Kay dengan bau tanah yang lembap sehabis hujan. Bau yang melankolis dan membuat malas gerak. Bukan dari balik UKS. Dari UKS Kay malah tidak merasakan adanya orang.
Bau tanah lembap itu semakin kuat, menandakan orang yang membawanya sedang bergerak mendekat.
Diakah Kak Aria? Kok tidak sesuai dengan deskripsi Kak Erhu?
Yaa… memang sih, orang yang bersinar juga terkadang dirundung awan gelap. Tapi musibah macam apa yang bisa membuat orang seterang itu jadi segelap ini?
Sejurus kemudian, Kay mendengar langkah kaki. Lalu, dari belokan, muncul seorang gadis dengan langkah cepat yang terseret-seret. Kedua alisnya bertaut dan bibirnya melengkung ke atas. Rambutnya yang hitam panjang dikuncir rapi, tetapi, mungkin karena efek air mukanya, jadi terlihat agak berantakan.
Anak itu tidak mengacuhkan Kay, terus berjalan menuju ruang perpustakaan.
Dari tempatnya berdiri, Kay bisa melihat sebagian interior perpus yang pintunya—sepasang pintu ganda besar—terbuka lebar-lebar. Di dekat pintu ada meja pustakawan. Meja itu kosong. Gadis yang tadi berjalan masuk, menghilang dari pandangan Kay.
Selain anak itu, Kay tidak merasakan orang lain. Wajar saja sih. Di bagian sini cuma ada ruangan-ruangan yang dipakai pada saat tertentu saja.
Lalu dimana Kak Aria? Apa orang yang barusan? Apa sebaiknya Kay mengikutinya ke perpus? Mungkin karena mood-nya sedang jelek, dia jadi malas nongkrong di UKS dan ingin di perpus?
Tiba-tiba, pintu UKS mendecit terbuka. Kay, yang tidak siap dengan itu, langsung terhantam pintu yang membuka ke luar dan jatuh terjengkang.
“Aduh!”
“Ssttt!!” seseorang mendesis. Lengan kemejanya ditarik, lalu, tahu-tahu, dia sudah ada di dalam ruangan serba putih, dengan pintu tertutup rapat. Seorang murid perempuan membungkuk di sana, mengintip ke luar melalui lubang kunci. Roknya sedikit terangkat karena posisinya yang menungging. Tidak enak hati, Kay buru-buru berdiri.
“Ngg… Kak Aria?” tanyanya, meski dia cukup yakin inilah orang yang harus ditemuinya. Yang dia tidak yakin adalah bagaimana caranya orang ini ada di dalam ruangan ini, padahal dia tidak merasakannya. Apa sebelumnya dia ada di luar, lalu masuk lewat jendela? Tapi masa sih… kalau orang ini benar-benar melakukan hal itu, berarti otaknya lebih geser daripada yang Kay duga.
Gadis itu berbalik, dan akhirnya Kay pun bisa melihat penampilannya dengan jelas.
Tubuhnya tinggi dan berisi—lebih tinggi dan lebih berisi daripada Kay, dengan proporsi lemak dan otot yang ideal dan pada tempat yang benar. Pipinya tembem, matanya bundar besar, hidungnya yang mancung agak melengkung seperti paruh burung. Rambutnya kemerah-merahan—entah asli atau dicat, tapi kelihatannya asli—dan panjangnya sepunggung, agak bergelombang di bagian ujungnya. Poninya menutupi dahinya pas sampai alis, warna merahnya terlihat lebih terang daripada di bagian lain. Bibirnya penuh dan berwarna merah ranum, melengkung ke atas di bagian sudutnya. Rahangnya terlihat halus sekaligus kokoh. Kulitnya kuning langsat.
Selama beberapa detik, yang terasa seperti berjam-jam, Kay tertegun memandangi orang di depannya. Dia terlihat begitu berbeda dengan perempuan lainnya. Seperti lebih bersinar, lebih tangguh, lebih mencolok. Lebih…
…cantik?
Kay menggeleng-geleng kuat. Tidak, kata itu tidak tepat. Ada unsur kualitatif dalam penampilannya yang sulit dijabarkan, dan yang jelas tidak bisa dijelaskan dengan kata yang sudah sangat biasa banget itu.
“Kamu ada di depan dari tadi kan?” gadis itu berkata. Suaranya jernih, mantap, dan kuat. Kalau diibaratkan, seperti aliran sungai Cibatu, yang sedikit riaknya dan bening airnya. Timbrenya lebih ringan daripada yang dibayangkan Kay: serak dan bergaung, bagai cairan aspal yang gelap dan kental. Yah, memang, pada awalnya Kay mengira Kak Aria itu cowok sih. Soalnya, mau bagaimana lagi membayangkan seorang murid yang menghalau sekumpulan preman dari sekolah lain dengan tangan kosong seorang diri? Setelah dia tahu bahwa Kak Aria itu cewek pun, imaji cowok garang di benaknya tidak lantas luntur. “Kenapa bengong lama-lama di luar? Kamu bisa baca nama ruangan di pintu kan? Bel udah bunyi sepuluh menit yang lalu!”
Kesan cantik yang didapatnya tadi langsung buyar. Diomeli orang yang belum Kay kenal rasanya menyebalkan juga. Lagipula, soal bel itu tidak relevan. Dia kan tidak mungkin sudah ada di depan UKS begitu belnya berbunyi. Kan harus beres-beres dulu, jalan dulu… dia bahkan sempat khawatir datang terlalu cepat dan harus melongo di depan pintu UKS yang terkunci.
…tunggu…
Bukan itu masalahnya!
Alasan Kay tidak langsung mengetuk kan karena dia tidak tahu ada orang di dalam.
Lalu…
Kay membelalakkan mata, tiba-tiba merinding sendiri.
Yang ada di depannya ini… orang kan?
Kak Aria mengerutkan kening.
“Kamu kenapa? Nggak kesambet kan?” Dia mengibas-ngibaskan tangan di depan muka Kay, tapi Kay malah memandang kedua tangannya dengan tercengang. “Hey? Kamu masih sadar? Kamu pingsan sambil berdiri? Heeeey!”
Dari kelihatannya sih, Kak Aria ini memang tipe terang. Tapi… aneh…
Dia tidak merasa lelah sama sekali. Tidak merasa energinya terserap keluar seperti saat dia duduk di belakang Rhendra si cowok bongsor di kelas.
Samar-samar, dia masih merasakan kesedihan si murid perpus, menarik-narik hatinya seperti kait pancing. Namun, dari orang di depannya—
Tak ada apa-apa.
Tak ada emosi sama sekali.
Tunggu, itu tidak benar. Si rambut merah itu kan baru saja mengomelinya. Berarti, paling tidak dia marah, atau sedikit kesal.
Tapi kenapa Kay tidak merasakannya? Seharusnya dia merasakan panas di perutnya, atau ketegangan di urat-urat kepalanya saat ini.
Tanpa basa-basi, Kay meraih tangan Kak Aria, mengabaikan protes pemiliknya. Dia membolak-balik tangan itu. Menelitinya. Menelusuri garis-garis di telapaknya dengan telunjuknya, mencari sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang lain. Sesuatu yang menunjukkan bahwa orang di depannya bukan orang biasa—misalnya, entahlah… hantu, atau alien, mungkin?
Karena penjelasan apa lagi yang masuk akal? Kay bisa merasakan emosi orang lain, dan dia tidak merasakan apa-apa dari orang di depannya ini!