Langit yang awalnya biru cerah tiba-tiba saja berubah menjadi mendung. Suara gemuruh saling bersahutan menggelegar, sesekali petir menyambar. Seorang lelaki paruh baya berlarian di lorong rumah sakit, hampir menabrak seorang laki-laki yang memakai gips di kakinya, dia mengabaikan teriakan dan teguran dari satpam dan perawat yang dia lewati. Wajahnya pucat pasi, ada rasa tidak percaya di sorot matanya. Dia berhenti di depan sebuah kamar.
Dari luar terdengar tangisan seorang wanita. Tangannya bergetar membuka pintu kamar, dia berjalan perlahan menuju ranjang. Separuh ranjang itu tertutup oleh gorden, menyembunyikan wajah orang yang terbaring disana. Dilihatnya seorang wanita paruh baya menangis histeris sambil memegang ujung selimut, berusaha untuk tetap berdiri. Di samping wanita paruh baya itu, berdiri seorang perawat memegang pundaknya, berusaha menenangkan. Di depan ranjang, terduduk seorang wanita belasan tahun, wajahnya pucat pasi tapi tidak menangis, dia hanya menatap kosong kearah wanita yang tengah terbaring. Laki-laki itu lalu berjalan mendekat kearah ranjang, dia melihat wanita yang terbaring itu, EKG-nya menunjukan garis lurus, seorang dokter sedang melepaskan masker oksigen dari mulutnya. Laki-laki itu terjatuh, tangannya tergores meja saat hendak menopang berat tubuhnya, kakinya sudah tidak sanggup berdiri. Rintik hujan mulai turun bersamaan dengan air matanya.
“Zahra… Zahra!!” Zahra membuka matanya perlahan.
“Bangun sayang, sudah pagi.”
“Lima menit lagi Ma!! Zahra masih ngantuk.. hooaahhm.” Zahra meregangkan tubuhnya, berguling di atas kasur lalu menarik selimut, melanjutkan tidur.
“Zahra!!” Mama menarik selimut, dan melipat tangannya di dada.
Melihat Mamanya sudah melipat kedua tangannya, Zahra segera bangun, jika saja Zahra tetap melanjutkan tidur, menit selanjutnya Mama akan membawa ember yang penuh air dan tempat tidurnya akan berubah menjadi kamar mandi, dalam arti lain basah.
Zahra segera berlari ke kamar mandi sebelum Mamanya mengomel lagi, dia bergegas mandi dan berganti baju. Zahra menatap kaca full body dihadapannya. Celana jeans, Sweater hitam, tote bag krem, make up natural, terakhir ikat rambut.
Zahra bergegas menuju dapur di lantai satu, mamanya sudah berteriak tiga kali menyuruhnya turun untuk sarapan, sebelum turun tangga, dia melewati sebuah kamar yang terbuka, Zahra berhenti sejenak, menutup pintu dan segera turun.
Mama sudah membuatkan makanan kesukaan semua orang. Menu pertama lotek, beragam sayuran seperti tauge, mentimun dan kol yang disiram saus kacang, makanan khas Jawa Barat. Bapak sangat suka lotek. Saat Zahra kecil, Zahra iseng bertanya kepada Bapak kenapa mau menikahi Mama, jawabannya bukan karena Mama cantik tapi karena lotek buatan Mama itu enak. Bapak akhirnya jatuh cinta (pada lotek Mama) dan menikahi Mama. Menu kedua, ayam serundeng, makanan favorit Zahra. Zahra bahkan bisa menghabiskan lima potong ayam sekaligus. Menu terakhir yang dibuat Mama adalah sop ayam. Kakak Zahra, Melati, tergila-gila pada sop ayam, sarapan sop ayam, makan siang sop ayam, makan malam sop ayam. Menu selama seminggu, sop ayam.
“Wah.. wah.. ada apa ini? Banyak banget makanannya!!” ucap Zahra sambil duduk di kursi.
“Tau tuh Mama kamu, biasanya juga sarapan cuma pake telor sama nasi. Dapet arisan kali ya!” Bapak terkekeh dibalik korannya.
Mama yang sedang menyiduk nasi, menatap kesal ke Bapak. “Ya sudah, Bapak jangan makan loteknya ya!! Mama buatkan telor saja buat Bapak.”
Bapak langsung melipat korannya, menatap Mama memelas, tak rela harus sarapan telur dadar lagi. “Duh, jangan ngambek gitu dong Ma, Bapak kan cuma bercanda.”
Mama mendengus kesal, memberikan piring berisi nasi kepada Bapak dengan agak kasar. Bapak langsung menyendok lotek yang ada didepannya, takut kalau Mama mengambil loteknya. Zahra terkekeh melihat kelakuan Mama dan Bapaknya. Apalagi melihat wajah Mama yang kesal, wajahnya mengkerut-kerut, mulutnya dimonyongkan, Zahra selalu berfikir itu sangat lucu.
“Lagian hari ini kan hari spesial.” Mama duduk dan mengambil sop ayam untuk piringnya.
“Aku pergi cuma seminggu kok ma, no worries.” Zahra menimpali.
Zahra menatap Mamanya lalu tersenyum , Mama menundukkan kepalanya, mulai menangis. Bapak berdiri menghampiri Mama, bapak mengusap pundak Mama, berusaha menenangkan.
“Zahra mau menunaikan keinginan terakhir Kakaknya, Ma. Kalau Mama nangis gini, kan, kasian Zahra, masa harus ditunda. Zahra udah bikin rencana dari tahun lalu, loh.” Mama mengangguk sambil mengusap air matanya yang jatuh.
“Kamu sudah beres sarapannya kan? Cepat berangkat, nanti keburu macet. Bapak sama Mama gausah anter kamu kedepan ya? Nanti Mamamu nangisnya makin menjadi. Hati-hati dijalannya, sering-sering telfon ya!!”
Zahra mengangguk dan segera keluar. Dia menaiki mobil dan duduk dibangku supir. Biasanya Mang Yayan yang menyupirinya, tapi untuk perjalanan kali ini Zahra memutuskan membawa mobil sendiri. Zahra gugup dan khawatir, ini kali pertama dia menyetir setelah mendapat SIM. Zahra menyalakan mesin mobil, dia melihat rumahnya, Mamanya pasti sedang menangis. Zahra sedari kecil tidak pernah pergi jauh dari keluarganya, dia anak yang senang menghabiskan waktu di rumah, berbeda dengan kakaknya Melati, Melati lebih senang bertualang, menjelajahi seluruh tempat di Indonesia. Membuat khawatir Mama karena tidak memberi kabar selama seminggu, lalu pulang dengan tangan di gips karena jatuh ke jurang.
Mobil Zahra melaju dengan kecepatan sedang, terkadang melambat karena dihalangi becak yang sedang membawa penumpang. Zahra mengemudi sambil mendengarkan playlist dari boy band favoritnya.
Geuge doena jeokdanghi mameul juneun ge
Geuge doena jeokdanghi ppajyeoissneun ge
Nega geulyeodun big pigchyeo geu soge nan gadhyeo
Kkeuteul al su eobsneun naui drama dramarama
TIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIINNNNNNNNN…..
Zahra refleks menginjak rem , Zahra tidak melihat pengemudi sepeda motor itu berusaha menyalip mobilnya dari arah kiri. Pengemudi motor itu terjatuh, Zahra langsung keluar mobil. Pengemudi motor itu jatuh terduduk, dia meringis kesakitan.
“Kang, gapapa?” Zahra menghampiri pengemudi motor itu.
Pengemudi motor itu berusaha berdiri, melihat kearah Zahra. Dari balik helmnya itu, Zahra tau pengemudi motor itu sedang melotot ke arahnya. Zahra menelan ludah.
“Mau saya antar ke rumah sakit kang?”
Orang-orang mulai berkerumun.
“ Aduh, jang teu nanaon?” (trans: Bang tidak apa-apa?) Abang bakso yang mangkal diseberang bertanya khawatir.
Pengemudi motor itu mengangkat tangannya, tanda baik-baik saja. Dia lalu mengangkat motornya, dibantu seorang bapak. Setelah mengucapkan terima kasih, dia langsung pergi. Zahra bingung harus berbuat apa, dia hanya mematung melihat pengemudi motor itu pergi.
“Neng, ieuh, tong ngalamun. Itu tingali ngarantosan.” (trans : hei jangan bengong. Itu lihat pada nungguin.) Abang bakso menepuk pundak Zahra.
Zahra tersadar, di belakangnya mengantre mobil dan motor, mereka membunyikan klakson, jalannya terhalangi mobil Zahra. Zahra membungkukan badan, meminta maaf dan langsung mengendarai mobilnya. Setelah agak jauh, Zahra memutuskan berhenti di sebuah mini market. Zahra membeli minum dan meneguk setengah dari isi botolnya. Jantungnya masih berdebar-debar karena syok. Setelah merasa normal lagi, Zahra melanjutkan perjalanan.
Temannya Ranti menelfon. “Zahraaaaa……. Udah dimana beb?”
“Masih di jalan, tadi sempet mau nabrak orang dulu.”
“Hah? Kamu gapapa kan beb?”
“Iyaa.. Iam ok! Kamu masih di kampus? Mau jemput?”
“Noo.. gausah. Kita ketemuan di tempat aja. Aku masih ada keperluan soalnya.”
“Yaudah, see you there!”
“Oke beb! Kam uke tempat itu dulu kan beb?”
“Iya, ini udah nyampe.”
Zahra memutus sambungan telfon. Dia memarkirkan mobilnya tepat dibawah pohon kamboja. Tempat itu dikelilingi pagar beton, ada pintu gerbang yang terbuka. Zahra mematikan mesin dan keluar dari mobil. Di bawahnya banyak bunga kamboja bertebaran. Dadanya sesak setiap datang ke tempat ini. Sekuntum bunga kamboja jatuh, tepat di genggaman Zahra.