“Oke, ini adegan terakhir! Semuanya kerja yang benar! Jangan kacauin semuanya! Gue udah capek udah ngulang berapa kali pas take-take sebelumnya!” seru seorang mahasiswi berambut hitam kecokelatan bertepuk tangan pada seluruh anggota klub film fakultas.
Seluruh mahasiswa yang merupakan anggota klub film fakultas mulai bisa bernapas lega. Film pendek buatan mereka kali ini hampir mencapai akhir produksi. Mereka telah bekerja keras menghadapi arahan sang mahasiswi berambut hitam kecokelatan yang menjadi pemain utama sekaligus sang sutradara.
Syuting terakhir mereka kali ini mengambil halaman depan gedung fakultas. Tidak ada mobil yang terparkir sama sekali berhubung sedang akhir pekan. Seluruh anggota klub film bisa lebih leluasa untuk mengambil adegan tanpa harus mengganggu sekitar fakultas pada hari itu.
Pohon begitu rindang, langit kebiruan jernih, dan mentari tanpa terhalang awan kelabu mendukung proses syuting terakhir. Semuanya akan terbayar ketika mereka dapat menyelesaikan proses syuting film pendek mereka.
“Eh, Ryan. Kamu bilangnya bisa bebas, asal kena inti dari adegan terakhirnya,” bujuk sang gadis pada lawan main laki-laki berambut tipis tegak.
“Jadi terserah aja gitu? Enggak sesuai naskah enggak apa-apa nih, Margin?”
“Udah, mau ngikutin naskah atau kagak juga enggak apa-apa, yang penting dapat intinya!”
Salah satu gadis telah menghadapkan kamera video pada Margin dan Ryan yang telah berdiri saling berhadapan di depan gedung fakultas. Mengambil ancang-ancang untuk menekan tombol rekam, menunggu agar Margin dapat memberikan aba-aba.
“Lho, itu … mau penuh memorinya.” salah satu anggota pria mendatangi sang kameraman membujuknya.
“Lah, dia bilang udah langsung syuting aja,” tanggap sang gadis kameraman itu.
“Emang cukup gitu buat take adegan akhir?”
“Udah, enggak usah pakai lama lagi! Itu kameraman ngapain sih!” bentak Margin menghampiri sang gadis kameraman. “Lo pada ngapain sih! Michelle!”
Gadis berambut hitam lurus itu menjawab, “Udah gue bilang dari tadi, ini storage-nya udah mau penuh lah. Kalau kita syuting take ginian nanti takutnya enggak bakal cukup!”
“Heh!” jerit Margin menjambak kerah baju Michelle. “Lo mending enggak usah protes ginian! Pokoknya satu take aja cukup! Gue enggak mau syuting terakhir kita ketunda gara-gara lo! Gue udah nempatin kerja ginian lo enggak puas!”
“Ya, enggak gitu, Gin!”
“Enggak gitu apanya lo!”
“Woi, udah, Margin!” pemuda di sebelah Michelle melerai sebelum menjadi pertengkaran. “Michelle udah benar kok. Mending kita stop dulu, buang adegan yang enggak bakal kepakai, terus syuting, gampang, enggak repot.”
“Diam lo!” Margin mendorong keras pemuda itu. “Ini urusan gue sama Michelle! Lo dikasih ginian masih aja enggak mau ya?” Dia mengambil kamera video itu perlahan.
“Margin, udah,” ucap Ryan, “kita enggak mau kebuang waktu ginian, kan?”
“Lo enggak becus banget sih jadi kameraman!” Margin menggenggam erat tripod dan melemparnya keras menuju tubuh Michelle.
Michelle pun terentak jatuh menuju aspal dengan keras. Bukan hanya dirinya berada dalam posisi duduk secara paksa, sikutnya ikut mendarat menimbulkan rasa sakit. Empasan tripod pada tubuhnya juga menghasilkan lebam pada dalam hati.
“Margin!” jerit salah satu kru menghampirinya dan menahan kedua tangannya. “Udah!”
“Lepasin!” jerit Margin melepas paksa salah satu kru. “Gue udah kasih pekerjaan terbaik buat lo, Michelle! Jujur aja, lo enggak cocok jadi peran utama, apalagi peran pembantu, apalagi sekadar numpang di kamera! Lo enggak bakal becus jadi peran apapun kalau kerjaannya gini!”
“Oke!” Michelle membela diri ketika kembali bangkit. “Lo enggak kasih kesempatan sama gue! Tiap kali gue pengen berperan di hadapan kamera, lo selalu bilang gue enggak berbakat!”
“Emang! Buktinya lo enggak berbakat apapun!” Margin mendorong Michelle sekali lagi. “Lo emang paling enggak berbakat di sini! Lo enggak guna!”
“Oke! Gue enggak berbakat?” ulang Michelle sambil merebut paksa kamera video dari genggaman Margin. “Gue capek sama lo yang ngatur klub ini! Gue capek! Gue KELUAR! TITIK!”
Michelle akhirnya melampiaskan kemarahan dengan melempar kamera video itu tepat pada jalan begitu keras. Begitu keras lemparannya, kamera video itu langsung hancur berantakan. Lensa dan cangkang luar kamera pecah seketika.
“Heh! Lo tanggung jawab!” jerit Margin begitu Michelle telah berbalik mempercepat langkah.
“Margin, udah!” seru salah satu anggota klub pria menahannya.
Michelle tidak ingin mengacuhkan jeritan Margin. Dia mempercepat langkah menjadi lari, lari sangat kencang, meski tubuhnya masih menderita sakit mendalam akibat perlakuan keras Margin, apalagi perutnya terkena pukulan tripod. Hatinya telah hancur berkeping-keping akibat perlakuan dari Margin selama berada di klub film fakultas.
Saking hancur berantakan hatinya, tidak bisa diperbaiki lagi oleh hiburan sekalipun, Michelle meringis menahan jeritan. Air matanya meledak melucuti wajahnya, ingin menangis dan marah pada saat yang sama ketika meninggalkan halaman kampusnya.
Hancur. Hidupnya dalam masa kuliah sudah hancur berantakan menjadi kenangan terburuk selama hidupnya. Masa kuliahnya menjadi hari-hari terburuk baginya.