"Sepupu Helen sakit kali, ya?"
Sia memasukkan bukunya ke dalam tas, sementara di sampingnya ada Helen yang sedang kehabisan kata. Ya, jadi Sia sudah membicarakan perihal Raha kepada Helen, di dalam kelas yang kini tinggal mereka berdua.
Helen? Tentu saja dia tercengang. Sama seperti Sia kemarin, ia tak habis pikir. "Si, ini elo nggak lagi ngawur, kan?" Tanya Helen membuat Sia berdecak.
"Nah kan, nggak percayaan sama temen sendiri. Kemarin Sia telpon, ngechat Helen segala macam nggak diangkat. Sekalinya diceritain hari ini malah gitu dah responnya."
Mereka berjalan keluar kelas, bersisian di koridor menuju ke parkiran.
"Yaa, soalnya kemarin sibuk. Ini aja belum ngecek HP," sela Helen. "Bukannya gak percaya, tapi aneh aja gitu. Ganjal, tauk."
"Yaudah deh gimana kalau Helen tanya sendiri ke sepupunya nanti."
Hele pun merogoh sakunya lalu mengeluarkan ponsel dari dalam sana. "Sekarang aja deh."
"Yaudah silahkan." Sia memasukkan permen karetnya ke dalam mulut. Sementara Helen menghubungi Raha, Sia menggaruk-garuk pangkal hidungnya sesekali.
Kemudian Helen berdecak. "Nggak aktif."
"Oh."
"Sibuk, pasti." Imbuh Helen kemudian memandangi Sia lagi. "Kemaren dia ngomong apa aja?"
"Nanyain alamat rumah." Jawab Sia.
"Selain itu?"
Sia terdiam. Haruskah ia mengatakan pada Helen semua yang Raha katakan? Nyatanya Sia hanya mengendik. "Dia ngigo."
Dan Helen pun makin dibuatnya bingung. Melihat ekspresi ini buru-buru Sia menggeleng. Dan ya, Sia teringat akan Surat.
"Hel, surat yang kemarin... Mana?" Tanyanya lalu.
"Udah gue buang."
"Dibuang? Dibuang dimana?"
"Ya di tong sampah. Setelah gue pikir-pikir, suratnya gak guna."
"Kenapa Helen buang, sih?!"
"Emangnya kenapa? Dih, katanya lo nggak peduli?"
"Eh?" Sia terkesiap. Ia baru sadar kalau tak seharusnya ia bereaksi seperti tadi. "Nggak kok, nggak papa." Sia sadar, benar bahwa ia tak peduli pada surat itu. Apapun isinya, Sia tak peduli. Jangankan isinya, pada pengirimnya saja Sia tak peduli.
Atau lebih tepatnya, berusaha tak peduli. Karena nyatanya, Sia penasaran bagaimana surat Raha bisa sampai sejauh ini, menyelinap ke kolong mejanya. Tidak mungkin, kan, kalau Raha datang kemari pagi-pagi buta demi menaruh surat berisikan sebaris kalimat itu?
Sia jadi penasaran. Kemudian terbesit rencana di otaknya kini.
"Hel, Raha tinggal di mana?"
Helen yang sedari tadi masih bingung lantas menaikkan sebelah alisnya, "emangnya kenapa?"
Mereka pun tiba di parkiran.
"Yaa mau tau aja."
Helen lalu menyebutkan alamat apartement yang saat ini Raha tinggali. Dan sekarang Sia bingung. Haruskah ia datang ke sana, guna memperjelas semuanya?
Tapi, bukankah ia tidak mau ambil pusing?
****
Di sinilah Sia berada. Ia singgah di cafe dekat perempatan, menyesap teh sembari memainkan gadgetnya. Menengkan diri, katanya. Dan seperti yang ia duga, hari ini Raha tidak muncul seperti kemarin. Baguslah, barangkali benar kalau kemarin pria itu mabuk.
Sia memasang earphone-nya, menyetel lagu hingga volumenya mencapai limit normal, sementara mulutnya mengunyah waffelo coklat.
Gadis kekanakan itu terlihat tenang membaca time-line hari ini. Tapi ketenangan yang dimaksud tak berlangsung lama, lebih tepatnya rusak karena seorang pria bermata coklat sedang menghampirinya kini.
"Hei,"
Dia lagi?!
Batin Sia. Ia celingak-celinguk entah apa yang dicarinya. Raha yang kini sudah duduk di sebelahnya lantas mengibaskan tangan, "saya di sini." Raha meletakkan kopinya di meja yang sama.
"Eh? An-anu, saya..."
"Saya tidak mengikuti kamu, kok."
"Apa?" Kernyit Sia. Tidak mengikuti? Lalu, apa ini bisa dinamakan kebetulan? Kebetulan yang hakiki, begitu?
"Jadi, anda kenapa bisa di sini?" Picing Sia.
"Oh? Tidak boleh, ya?" Raha menyesap kopinya. "Padahal saya hanya ingin minum beberapa teguk moka."
Sia menghela napas. Bukan jawaban itu yang ia mau, tapi... Ah! Sudahlah. Sia tak peduli. Ia melanjutkan membaca apapun yang ponselnya tunjukkan, tapi sedetik kemudian ia merasa risih.
Bagaimana tidak? Raha kini sedang menatapnya intens. Tanpa sepatah katapun. Jadinya Sia kikuk sendiri. Sia menelan ludah, Raha membuatnya mati gaya.
"Maaf," Sia angkat suara setelah sekian lama ia menahan diri. "Kenapa anda melihat saya terus?"
"Tidak boleh?"
"Tentu. Saya risih." Sia mengangkat dagu congkak.
"Saya tidak hanya melihat kamu, kok." Balas Raha membuat Sia menaikkan satu alisnya.
Sia pun menoleh ke belakang, dan tidak melihat apapun kecuali tembok bergrafiti polkadot. "Lalu?"
"Saya tidak hanya melihat kamu." Ulang Raha. "Tapi saya juga melihat masa depan saya."
"Ukhuk," Sia terbatuk. Buru-buru ia meneguk teh-nya lalu menetralkan pipinya yang entah kenapa memanas. Sia pun memandangi Raha lebih intens untuk pertama kalinya. "Dengarkan saya."
"Tentu." Raha menatapnya sama.
Sia menghela napas sebentar. Sepertinya ia harus blak-blakan, tak baik memendam unek-unek di depan orangnya langsung. Yakan?
"Ekhm." Dehemnya singkat, menghela napas panjang sedetik kemudian. "Anda suka sama saya?"
Hening.
Beberapa pengunjung di situ bahkan menoleh mendengar kalimat Sia barusan. Namun Sia tak peduli, karena pedulinya habis tertuju pada pria yang kini malah tersenyum di depannya.
Kemudian Raha tertawa.
"Saya tidak sedang melucu." Sia berubah ketus.
"Haha. Soalnya kamu lucu." Raha berdehem-dehem kecil berusaha menghentikan tawanya sendiri. Ia pun kembali pada pembicaraan. Namun ia tertawa kembali.
"Menyebalkan." Lirih Sia.
"Maaf, maaf." Raha berusaha serius, meskipun tawa tadi menyisakan senyum. "Kamu rupanya percaya diri juga, ya."
"M-maaf?" Kernyit Sia.
"Iya, PD-nya kamu sampai-sampai berpemikiran seperti itu. Haha."
Sialan, kok malah ngebalikin Sia sih?
Batinnya menggerutu. Momok seorang Rahardi kini berubah menjadi menyebalkan di matanya.
"Begini, kemarin anda mendatangi saya sepulang sekolah," cecar Sia lagi."Anda mengantar saya pulang tanpa alasan, dilanjut bertemu saya di sini. Bahkan tadi menatap saya lama dan mengatakan kalau saya adalah masa depan yang sedang anda tatap." Ada jeda. "Jadi wajar kan, kalau saya merasa anda punya rasa terhadap saya? Lalu anda bilang saya kepedean. Pertanyaannya, anda sehat?"
Pun Raha seperti terkesiap dengan semua frasa yang Sia ungkapkan. Raha berusaha tenang sembari menjawab semua pertanyaan itu. "Giliran saya." Balasnya.
"Silahkan." Sia melipat tangannya.
"Pertama, sa-"
"Excuse me, sir."
Baik Sia dan Raha sama-sama tak tahu sejak kapan waitress cafe itu kemari. "Mr. Yahya has been waiting for y-"
"Nggak usah ngomong bahasa Inggris, mbak." Celetuk Sia tiba-tiba. "Dia ini bule KW."
Sang waitress menaikkan alis tak paham. Sedangkan Raha terkesiap sejenak sebelum ia berdehem mengembalikan suasana. "Di mana ruangan pak Yahya?"
"M-mari saya antar tuan." Kata waitress itu.
Raha pun bangkit dari duduknya, menyesap kopinya sebentar lalu mengekori sang waitress yang sudah berlalu.
Sia?
Ia kini plonga-plongo sendiri menyaksikan Raha yang melengos tanpa sepatah katapun, meninggalkan dirinya di sini. Pundak Sia jatuh, berkali-kali ia mengernyit tak percaya. Raha meninggalkan tanpa permisi? Astaga.
Tapi kemudian sadar, rupanya Raha ke kafe ini karena ada keperluan, bukan membuntutinya. Namun tetap saja, Raha tak bisa dipercaya. Sia menunduk memandangi lantai di bawah sembari memikirkan orang macam apa itu Raha. Lalu, matanya menangkap ada sepasang kaki yang mendekat.
Dan sebuah tangan kekar terulur di depannya.
Itu Raha. Dan sedang menunggu Sia menyambut uluran tangannya.
"Apa?" Tanya Sia heran.
"Ikut saya, saya akan meet-up pribadi dengan pemilik tempat ini."
"Lalu? Kenapa saya harus ikut?"
"Ikut saja, temani saya."
"Tidak mau!"
Raha menghela napas. "Apa perlu saya gendong?"
"Heh? Jangan sembarangan! Lagipula saya-"
"Ayo." Raha menarik tangannya pergi dari situ.