"Apaan tuh, artinya?" Tanya Sia menuntut Helen bicara. "Kok bunyinya mirip sama ich liebe Essen?"
Sedangkan yang ditanya malah menatapnya intens. Helen hanya heran, atau lebih tepatnya, tercengang. "Si, lo lagi deket sama cowok?"
"Lah? Dekat, maksudnya punya gebetan, begitu?"
Helen mengangguk.
"Nggak ada, nggak ada. Sia mana ada waktu ngurusin begituan? Emang artinya Ich liebe dich apa sih?" Jujur dan tanya Sia bersamaan.
"Artinya," jawab Helen. "Aku cinta kamu."
"HAH?!" Sia kelepasan. Untung suaranya tidak terlalu menggelegar. Ia pun menyabet kertas di tangan Helen dan menatapnya sembari menganga. "Ini kertas salah alamat, kali. Oh ya, ini bahasa Jerman kan?"
"Iya."
"Nah, ini pasti buat Helen! Ya kan? Soalnya satu sekolah tahu dong Helen orang Jerman. Waduh kenapa jadi ke Sia ya?"
Mendengar itu, lantas Helen menaikkan alis bingung. Apa yang dikatakan Sia ada benarnya juga,sih. Tapi... Siapa pengirimnya? Dan.. Helen tak merasa sedang dekat pada seseorang di sekolah ini. Tapi, Helen tersenyum. Bahkan mengambil amplop itu. "Buat gue, kan?"
"Pasti! Yakali pengirimnya pdkt ke Sia pake bahasa Jerman! Sarap ngapa yak?" Oceh Sia dan tepat setelahnya, bel masuk berbunyi menyisir setiap sudut sekolah.
***
"Pak, bentar." Helen meminta pak Ojan menghentikan laju mobil begitu melewati Sia yang terlihat baru saja keluar gerbang. "Si, yakin nggak mau ikut gue pulang?" Tawar Helen entah keberapa kalinya untuk hari ini. Namun Sia menggeleng seperti yang sudah-sudah.
"Nggak usah deh. Lagian udah lama Sia nggak naik angkot."
"Oke deh." Pasrah Helen tanpa merasa diacuhkan sama sekali. "Gue duluan ya."
"See you." Tangan Sia melambai pelan. Ia pun melanjutkan kembali langkahnya menuju ke jalan raya. Karena sudah dua hari ini motornya betah di bengkel, makanya Sia naik angkot dengan sedikit rasa mau tak mau.
Sama seperti kemarin, ia harus berdiri di pinggir jalan dan memalang angkot setelahnya. Namun bedanya hari ini dan kemarin, ada sebuah mobil hitam yang menepi persis di depannya. Alhasil Sia mengernyit bingung, namun ia bergeser mana tahu mobil itu ingin memutar arah.
Namun, tidak. Mobil itu justru mundur sedikit dan kembali mensejajarkan badannya dengan badan mungil milik Sia. Kali ini Sia tak berpindah, ia perlu menunggu si pemilik mobil setidaknya menurunkan kaca.
Barangkali mau tanya alamat, kan?
Pikirnya.
Dalam detik ke sepuluh, kaca mobil bergerak turun, menampakkan seorang pria di dalamnya. "Hai."
"A?" Sia menganga dengan mata membulat sempurna. "Mister?"
"Raha, nama saya Raha." Koreksi yang dipanggil mister tersebut. Raha tersenyum, memamerkan senyum termanis yang ia punya.
"I-iya. Tapi Helennya udah pulang. Dijemput pak Ojan." Ujar Sia tanpa ditanya. Mendengar itu justru Raha dibuatnya berdecih di dalam senyum.
"Saya tahu."
"Lah?" Sia lalu membekap mulutnya, menepuk pipinya sekilas ketika menyadari bahasa yang ia gunakan seharusnya bukan yang informal seperti ini. "Tapi anda kenapa di sini?" Lanjutnya kaku.
"Saya mau jemput kamu." Jawab Raha tanpa ragu. "Ayo masuk."
"Hah?" Tentu saja Sia terkejut. Dan ia tak bergerak sedikitpun meskipun Raha sudah menghidupkan mesin mobilnya.
Pria itu melihat Sia yang masih sama. "Ayo masuk."
"Ng-tidak usah. Saya berterimakasih atas tawarannya tapi-"
"Saya bisa saja membayar seluruh angkot yang lewat untuk tidak mengijinkan kamu menumpang di angkot mereka."
Sia melongo. Ia berbungkuk demi melihat wajah Raha dengan jelas. "Permisi?"
"Masuk, Sia. Jangan banyak tanya."
Sia pun masuk. Ia tak mau bertele-tele meski kenyataannya ia sendiri masih bingung. Setelah mobil melaju, hening menyelimuti mereka berdua.
"Di mana rumah kamu?"
Kemudian Sia menjawab. In all, hanya itu percakapan yang mereka bangun sampai mobil Raha berhenti di depan gerbang rumah bercat putih kediaman Sia Tadirana.
"Terimakasih," lirih Sia melepaskan seatbelt-nya. Ia pun turun dari mobil, mengitari mobil Raha demi bersisian dengan kursi kemudi yang letaknya di sebelah kanan. "Terimakasih sudah mengantar saya."
Raha tersenyum. Ah, senyum itu lagi. "Sama-sama."
Kemudian Sia mundur tanpa berbalik badan dengan mata yang masih memandangi Raha di dalam sana. Kaca mobil Raha bergerak naik, menutupi sosok Raha hingga tak bisa lagi dijamah oleh kedua mata Sia yang kini mulai mengantuk.
5 detik berlalu.
6 detik.
7.
10.
15, dan mobil hitam itu belum bergerak juga. Apa Raha tertidur? Sia rasa tidak. Dan yang Sia lakukan hanya celingukan sembari menerka-nerka apa yang dilakukan pria dibalik kaca berlapis riben itu.
"Lah? Itu bule lokal kenapa ya? Kok nggak pergi juga?" Sia masih mengelus lehernya, sesekali ia memicingkan mata.
"Saya di sini."
Sia terdiam mendengar kalimat yang terucap barusan. Itu suaranya Raha. Ekor mata Sia bergerak, detik selanjutnya ia berbalik badan lalu menemukan Raha berdiri tepat setelahnya. Sejak kapan Raha di sana?
"Anda? Bukannya anda di mobil?" Sia nyaris kehabisan kata.
"Sekarang saya senang." Balas Raha membuat kerutan di kening Sia tampak.
"Senang? Kenapa?"
"Karena sekarang saya tahu, rupanya saya berharga bagimu."
"Apa?" Sia bertambah bingung.
Dan yang ditanya pun tersenyum tanpa membiarkan sedikitpun iris matanya untuk berpaling dari Sia. "Kamu peduli pada saya, Sia."
"Maaf? Maksud anda?"
"Buktinya kamu mencari saya." Jawab Raha. "Bukankah sesuatu itu disebut berharga ketika ada yang memutuskan untuk mencarinya?"
Sia meringis dan menggaruk kepalanya yang tiba-tiba gatal. Awkward, itu yang menggambarkan situasi ini di mata Sia sekarang. Dan Raha malah tersenyum meski Sia tidak menyadari itu.
"Baiklah Sia, saya pulang dulu. Sampai jumpa."
"Ah? O-oke." Sia menaikkan jempolnya.
Lalu Raha pun masuk ke dalam mobilnya. Kaca mobil kembali turun menampakkan Raha yang rupanya masih menautkan matanya pada sosok perempuan bernamakan Sia itu.
Dan yang ditatap lantas memalingkan muka. Bingung harus bergaya apa. Air muka yang ia pasang perlahan berubah datar, ia bersikap seolah Raha tidak ada. Namun air muka itu tak bertahan lama, karena setelahnya Raha kembali bicara.
"Sia, surat yang saya berikan jangan di buang."
"Kalau kamu suka, simpan saja sebagai kenang-kenangan."
"Kalau tidak suka, simpan juga. Karena saya akan membuatmu menyukainya."
"Percayalah, saya akan berhasil. Sama seperti yang tadi,"
"berhasil memposisikan diri saya menjadi sesuatu yang berharga."
Bunyinya beruntun, kemudian pergi bersama mobilnya, meninggalkan Sia yang kini sangat butuh udara.
Sia tak habis pikir dengan pria bernama Rahardi, Raha Diano Gilbert atau si Raha-Raha itu! Yang pasti, Sia kehabisan frasa bahkan sampai sekarang, saat dirinya sudah berada di meja makan.
Sia memilih cuek, lebih baik ia fokus menghabiskan makan siang di depannya. Tapi nyatanya, nama Raha justru melanglang buana menggeluti pikirannya. Sia masih tak habis pikir.
"Apaan sih nggak jelas banget!" Sia menegak habis air di gelasnya dan kembali kepikiran.
Seketika sosok seorang Raha yang tadinya berwibawa, kini menjadi sosok yang tidak jelas apa maunya.
"Itu orang mabuk lem kali, ya?"