"Ada yang tahu nggak sih, gimana caranya makan banyak tapi nggak bisa kenyang sama nggak perlu BAB? "
Terlihat bahwa kantin SMA Dasawarsa cukup ramai hari ini. Utamanya kios baksonya bang Sohun, ramai betul. Dan di pojok kantin itu, seorang siswi berambut cepol sedang menunggu jawaban atas pertanyaannya tadi.
Namanya Sia. Si cewek berbadan mungil yang doyan sekali makan.
Lima detik berlalu dan tidak seorang pun yang menyahut. Tapi dapat Sia lihat kalau mereka menahan tawa.
Perasaan Sia nggak melawak, deh?
Di samping Sia, ada Helen si mata abu-abu berdarah setengah Jerman yang merupakan sahabatnya. Helen menarik tangan sahabatnya itu, menyuruhnya kembali duduk. "Si, jangan aneh-aneh, deh. Malu, diketawain adek kelas."
"Lah kan Sia penasaran." Sia menyeruput es jeruknya. "Lagian nggak usah malu, keleus! Ngapain malu sama adek kelas? Kita ini udah senior di sini, udah kelas 3! Kita yang berkuasa!"
Helen berdecih malas. "Sono lu ngomongin senioritas sama tembok." Dan dilihatnya Sia berdiri. "Mau ngapain lagi?"
Sia memperlihatkan mangkoknya yang sudah kosong. "Mau nambah."
"Lagi? Buset dah. Itu perut apa karet?"
"Nih bule cerewet banget ya? Eh, makanlah selagi makan tidak dilarang, dan makanlah selagi anda punya uang untuk bayar!" Sia melengos pergi.
Helen istighfar.
"Bang Sehun," Sia mendatangi bang Sohun--yang menjual bakso di situ.
"Neng, nama saya Sohun. Bukan Sehun." Protes bang Sohun bukan untuk pertama kalinya.
"Iya nih, ntar ada Exo-L yang denger, bisa diajak gelut lo." Timpal siswi lain yang sedang mengantri bakso juga.
Sia mengendik acuh seraya mengulurkan mangkoknya pada bang Sohun. "Sia mau nambah."
Bang Sohun yang sedang sibuk lantas meminta agar Sia mengisi sendiri, Sia pun menurut.Toh, pelanggan bang Sohun banyak sementara tangan bang Sohun cuma dua.
Sia pun kembali ke tempatnya semula setelah membayar. Saat duduk, ia melihat Helen sedang senyum-senyum nggak jelas.
"Kenapa nih, Helen kok cengengesan?" Sia menatap Helen penasaran.
"Nggak, gue senang aja."
"Ya iya tapi maksud Sia, seneng kenapa?"
"Sepupu gue ternyata udah pulang dari Jerman. Asli, gue nggak dikabarin. Udah seminggu dia di sini, parah kan?"
Sia menghentikan kunyahannya sebentar. "Nggak dikabarin gitu, kok malah seneng?"
"Ya kan gue maklum. Dia sibuk ngurusin karir."
"Oh. Sia baru tahu kalau Helen punya sepupu."
Helen memandangi Sia masih dengan air muka senangnya. "Hari ini dia baru sempat ngabarin keluarga gue, sekaligus memperkenalkan restorant Jerman yang ia dirikan di sini. Gue sekeluarga diundang nanti malam."
Mendengar kata restorant, Sia membulatkan mata. "Restoran? Makan makan, dong?"
Helen menepuk jidatnya. Ia kelepasan.
Sedangkan Sia tengah membayangkan makanan-makanan resto yang masuk ke mulutnya. Apalagi ia belum pernah memakan makanan Jerman secuilpun. "Sia ikut, ya?"
"T-tapi Sia, kan ini pertemuan keluarga." Tolak Helen secara halus. Bukannya ia sampai hati tidak ingin mengajak Sia ikut serta, tapi Helen tidak enak pada sepupunya itu. Tidak bisa Helen bayangkan betapa malunya ia nanti bila membawa Sia yang... Rakus itu...
"Nenek moyang kita sama-sama nabi Adam, sayang. Jadi secara nggak langsung kita ini keluarga, kan?"
Helen meringis mendengarnya. Helen harus mencari cara lain! "Lo nggak merasa ganjal gitu, sama orangtua gue? Kan, mereka juga ikut."
"Ah, auntie Dewi sama uncle Simpson pasti ngizinin kok."Alisnya Sia naik dua-dua.
Kalau sudah begini, Helen mulai pasrah. "Tapi kalo nggak dapat izin gimana?"
"Sia yakin, pasti bakal diizinkan ikut sama auntie Dewi."
Helen hampir saja lupa kalau ia punya sahabat yang super kepedean. Menyesal Helen sering membawa Sia ke rumahnya. Dengan air muka berubah lesu, Helen pun bangkit menuju ke kios bang Sohun.
"Helen tenang aja. Percaya sama Sia." Teriak Sia.
"Bang, kembaliannya simpan aja dulu." Helen menoleh ke arah Sia yang kini sudah berdiri di dekatnya. "Percaya tuh sama Tuhan. Bukan sama lo."
Sia menyengir, ia sudah tidak sabar menunggu nanti malam.
"Makanan, I'm cominggg!"
Itulah dia. Sia Tadirana. 12 IPA 3, seorang manusia yang isi di kepalanya hanya makan, makan, dan makan. Tapi anehnya, Sia tidak gemuk-gemuk. Itu anugerah apa kutukan, ya?