Loading...
Logo TinLit
Read Story - REASON
MENU
About Us  

Aku berdiri dari tempat duduk kebesaranku. Ku tutup map berisi rekam medis pasienku yang baru saja aku baca untuk menghilangkan pikiranku tentang perkataan Vania waktu itu. Aku memakai kembali snelli dan mengalungkan stetoskop ke leher. Aku berlari ke ruang UGD. Mataku tertarik pada seorang lelaki yang sedang berdiri di depan ruangan. Pipinya basah. Matanya berair.  Jika ku lihat dari samping. Sudah dipastikan kalau lelaki itu habis menangis. Ku tepuk pundaknya. Dia membalikkan tubuhnya. Sekarang, aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Rambut dan iris matanya berwarna coklat. Wajahnya terlihat dewasa dan tampan. Mukanya terlihat bukan seperti orang Amerika asli.

Take it easy, you submit it to God. I will do my best.

Save my mom,” ucapnya lirih. Aku hanya mengagguk dan tersenyum. Lalu berjalan masuk ke dalam ruangan di balik pintu itu.

Ku lakukan kewajibanku sebagai dokter jaga hari ini sebisaku dan ku aplikasikan semua ilmu yang sudah aku tempuh selama empat tahun. Aku melihat wajah teduh  dan bersinar wanita berkerudung yang terbaring dihadapanku. Bibirnya melengkungkan senyuman walaupun matanya terkatup. Bahkan, selama dia berjuang antara hidup dan mati, bibirnya tetap tersenyum. Seperti dia sudah mengikhlaskan semua yang ada di dunia. Alat elektrokardiogram yang semula bergerak membuat pola tak beraturan, kini kembali membuat pola yang teratur. Tekanan darahnya sudah normal kembali. Memang kuasa Tuhan itu ada.

Aku mempersilakan para perawat untuk menyiapkan ruang perawatan dan memindahkan ke ruang perawat. Aku membuka pintu itu. Pria yang semula berdiri di depan pintu UGD sudah tidak ada lagi. Kepalaku menengok ke arah kanan tepat di sudut ruangan tunggu ini. Lelaki itu masih ada. Duduk diatas lantai keramik yang dingin, Kakinya ditekuk dan dirapatkan ke dadanya. Bahunya bergetar. Mulutnya berkomat-kamit membaca doa.

“Ya Allah, selamatkan Ibuku. Hanya dia harta yang saya punya. Hanya dia yang menjadi alasan saya hidup.” Sudah dua kali aku melihat seorang lelaki menangis. Pertama temannya waktu kuliah dan yang kedua lelaki ini. Mereka menangis dengan alasan yang berbeda. Temannya waktu kuliah karena sangat mencintai istrinya dan lelaki itu sangat mencintai ibunya. Aku bisa lihat dari tatapannya tadi ketika memintaku untuk menolong ibunya. Tunggu, aku baru menyadari kalau dia berdoa bukan dengan bahasa asing, tapi menggunakan bahasa Indonesia.

Where do you come from?” Lelaki itu menengadahkan kepalanya.

“New York, Amerika.” Dia mengelap genangan air mata yang ada di pipinya menggunakan punggung tangannya dan berdiri dihadapanku.

“Tapi tadi saya dengar kamu berdoa menggunakan Bahasa Indonesia. Saya tidak salah dengar kan?” tanyaku menggunakan Bahasa Indonesia. Matanya membulat mendengar pertanyaanku. Mungkin dia kaget.

“Iya. Saya punya garis keturunan Indonesia. Ibu saya orang Jawa Indonesia dan ayah saya orang amerika. Kami memutuskan untuk  menetap di sini ketik saya lahir.” Aku menganggukkan kepalaku ‘Pantas saja dia bisa berbahasa Indonesia.’ “Bagaimana kondisi Ibu saya?” Aku tersenyum. Ku elus pundaknya dan ku tepuk bahunya pelan.

“Tuhan masih sayang dengan Ibumu.” Lelaki itu menangkupkan kedua tangannya di mukanya. Mengucapkan syukur sebanyak-banyaknya. Perlahan ku langkahkan kakiku meninggalkan pria itu yang sedang sibuk mengucapkan syukur. ‘Ah aku jadi rindu Mama di Indonesia. Bagaimana kabarnya?’ Ku ambil handphone ku dari saku snelli. Kuketikkan beberapa nomor yang sudah ku hafal di luar kepala.

“Assalamu’alaikum, Ma”

“Wa’alaikumsalam, Tari. Kenapa telepon?” tanyanya membuat hatiku seperti tertusuk jarum. Sebegitu jarangnya aku menelepon Indonesia dan hanya menelepon ketika ada apa-apa saja? Aku terdiam sejenak. “Tari?”

“Eh, ngga apa-apa, Ma. Tari cuma kangen aja.”

“Tumben bisa kangen. Biasanya aja ngga ingat orang rumah.” Aku tersenyum kecut. Mama menyindirku. Telingaku mendengar seseorang yang sedang terbatuk-batuk. Ucapannya terdengar sampai napasnya terdengar pendek hingga sebrang telepon.

“Ma, Obat Papa sama file kerjaan Papa di mana?”

“Di atas meja kerja Papa.”

“Papa sakit, Ma?” Ini yang tidak aku suka dari mereka. Mereka selalu menyembunyikan semua yang terjadi padaku agar membuatku tidak khawatir.

“Cuma kecapean aja. Ya udah ya, Mama mau bantu Papamu dulu.” Sambungan telepon itu terputus secara sepihak. Sebelum aku menjawabnya. ‘Aku mencintai kalian, Ma, Pa.’ Ucapan itu tak pernah sampai di telinga mereka. Entah aku yang terlalu gengsi atau aku yang tidak dapat mengungkapkannya dengan kata-kata pada mereka.

***

Sudah beberapa hari ini aku mengamati lelaki itu dari kejauhan. Lelaki itu yang menyadarkanku tentang mencintai orang tua. Aku sering melupakan itu. Padahal mereka yang berjuang untuk kita kan? Bahkan kadang aku suka lupa untuk mengabari mereka atau hanya sekedar saling sapa karena aku terlalu sibuk. Aku sering melihat lelaki itu datang malam-malam demi menemaninya Ibunya yang sakit. Padahal, kulihat wajahnya lelah, kuyu. Bajunya juga sudah kusut tak seperti pagi-pagi sekali ketika aku melihatnya dari kaca mobil dan dia keluar dari pintu rumah sakit. Dia tetap memberikan senyum terbaiknya ketika masuk ke dalam ruang rawat Ibunya. Aku melihatnya ketika aku dinas malam. Tiba-tiba aku teringat pada suatu  kejadian. Dulu sudah lama sekali ketika aku masih sibuk meraih gelar medical doctor ku di sini.

Aku teringat, sore itu di musim dingin yang sangat dingin di New York. Pohon-pohon yang sudah kehilangan daunnya. Hingga ranting-ranting itu tertempel salju-salju halus dan aku masih sibuk menyelesaikan tugas-tugas dan aktivitas organisasiku yang menggunung menjelang libur akhir tahun. Mama meneleponku sore itu.

“Apa ma? Aku lagi sibuk mau libur akhir tahun,” kataku waktu itu dengan nada yang sedikit meninggi. Tugas yang tak selesai-selesai, proposal kegiatan yang terus di revisi membuatku sedikit emosional. Mama tak langsung menjawab. Dia hanya terdiam. Hingga beberapa detik kemudian, dia menjawab.

“Ya sudah. Selesaikan tugasmu dulu. Mama tutup ya. Jangan lupa jaga kesehatan.” Aku langsung menutup telepon itu dengan sepihak. Dulu, aku sama sekali tak sadar kalau Mama mau mengabarkan sesuatu. Karena aku sama sekali tak peduli. Hingga Kakakku, Nirwasita Mahesa Kasyara mengirimiku pesan singkat keesokan harinya.

 

Dari : Mas Mahesa

Semalam papa msk RS. Darah tinggi.

 

Hanya secarik tulisan itu yang dikirimkan Kakakku. Aku sungguh bersalah. Kala Mama butuh penghiburan. Anak pertamanya masih pengantin baru dan tidak bisa di ganggu dan berharap anak bungsunya bisa jadi penghiburnya malah menolak mentah-mentah karena alasan sibuk mengerjakan tugas. Dia tak jadi bercerita dan lebih baik menyimpannya sendiri. Namun, Mama tetaplah Mama yang selalu mendengarkan cerita dari anak-anaknya tanpa pernah menolak. Semenjak itu, Mama jadi lebih tertutup dan lebih banyak menyembunyikan sesuatu agar tidak menjadi pikiran anak-anaknya. Aku menghembuskan napas dalam. Semua itu sudah menjadi masa lalu.

“Dokter,” Aku menolehkan kepalaku ketika aku mendengar ada seseorang yang memanggilku. Bibirku tertarik ke samping. “Ini buat dokter. Maaf kalau saya cuma bisa kasih ini. Terima kasih sudah menyelamatkan Ibu saya beberapa hari yang lalu.” Lelaki itu memberikan bungkusan kotak kecil berbalut kertas kado. Aku menghalau benda itu dengan telapak tanganku.

“Sudah kewajiban saya sebagai dokter. Saya hanya melakukan apa yang saya bisa dan semua itu terjadi karena campur tangan Allah. Saya tidak bisa menerima hadiah dari pasien saya. Kalau saya menerima, berarti saya tidak professional. Maaf.”

“Berarti kalau saya traktir makan malam di sekitar sini sepulang dinas tidak apa-apa? Kan sudah di luar jam kerja. Mumpung saya sekarang pulang sore.” Aku terdiam. Tidak menolak ataupun menerima. Namun, apa yang dikatakan oleh lelaki itu benar adanya. Kalau sudah selesai dinas, berarti sudah tidak ada aturan yang mengikat. “Diam saya artikan sebagai menerima ajakan saya. Nanti jam tujuh saya tunggu di lobby.” Lelaki itu pergi begitu saja dari hadapanku setelah memutuskan ajakannya secara sepihak.

***

Lelaki itu sudah duduk di lobby rumah sakit dengan pakaian yang sama seperti tadi sore ketika menemuiku. Tangannya masih menggenggam kadonya tadi sore. Dia berdiri ketika melihatku mendekat ke arahnya.

“Ini buat, Dokter.” Aku menerima hadiah kecilnya itu.

“Boleh jangan panggil aku dokter? Ini sudah bukan jam kerja dan aku sama kayak kamu. Manusia biasa dan supaya lebih ngga terlalu formal. Perkenalkan namaku....” Aku mengulurkan tanganku, “Gantari Hassya Kasyara” Lelaki itu membalas uluran tanganku.

“Andromega Justin Permana. Boleh aku panggil kamu Hassya?” Sekarang aku tahu siapa nama lelaki itu.

“Boleh. Boleh aku panggil kamu Mega?” Lelaki itu mengangguk.

“Hadiah tadi, baru boleh kamu buka kalau kamu sudah di rumah.” Aku memasukkan kado itu ke dalam tasku.

“Jadi, habis ini kita mau kemana?”

“Bagaimana kalau kita menyusuri jalanan kota New York malam ini untuk mencari pedagang makanan halal dengan jalan kaki?” Aku menyetujui usulan dari Mega. Sudah jarang sekali aku berjalan kaki di kota yang tidak pernah tidur ini.

“Kamu mau kebab daging domba?” tanyanya ketika Mega memesan kebab daging domba di pinggiran jalan kota New York. Kalau aku memakannya aku bisa langsung gatal-gatal dan sesak napas.

“Maaf, aku nggak makan daging domba. Alergi.”

“Oh, begitu ya. Kalau begitu kamu tunggu disini dulu. Aku mau beli roti dulu buat kamu. Ngga apa-apa kan?”

“Iya, ngga apa-apa kok yang penting bukan yang mengandung daging domba.” Mega meninggalkannya di samping penjual kebab daging domba. Untuk ke toko roti sebrang jalan. Tidak butuh waktu lama untuk dia membeli sepotong roti.

Kami menikmati jalan-jalan malam ini. Menghabiskan makanan sambil berjalan di pinggir jalan kota New York yang sedang tidak terlalu dingin. Sepanjang perjalanan ini, akku mengenal sosok Mega yang asyik di ajak berbicara. Kami saling bertukar pikiran tentang masalah saat ini sambil  berjalan. Ku akui wawasann yang dia miliki cukup luas.

“Sudah malam, aku harus menemani Ibuku. Aku khawatir kalau terlalu aku tinggal lama, “ ucapnya setelah melihat jam yang ada di pergelangan tangan kirinya. Aku kagum. Masih ada lelaki yang sangat mencintai ibunya melebihi mencintai dirinya sendiri. Aku jadi teringat aku pernah membaca sebuah buku atau artikel, aku lupa yang kata-katanya kurang lebih seperti ini. ‘Carilah lelaki yang mencintai Ibunya dan tidak pernah malu terhadap kondisi Ibunya karena lelaki itu akan mencintai wanita pendampingnya seperti dia mencintai Ibunya dan akan memperlakukannya seperti lelaki itu memperlakukan Ibunya’ Aku tersenyum. “Boleh aku minta nomor handphonemu Hassya?” Aku mengeluarkan sebuah kartu nama dari dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang untuk mengganti roti yang tadi dia makan.

“Ini kartu namaku dan ini uang untuk mengganti roti yang tadi kamu beli untukku.” Mega menerima kartu nama itu tapi tidak untuk uang yang diberikan olehku.

“Aku kan niatnya mentraktir jadi aku yang bayar. Uang itu lebih baik kamu simpan.”

“Tapi, kan aku yang makan jadi aku yang bayar.” Mega menggeleng. Dia tak mengindahkan perkataanku. Dia berlari menjauh dariku hingga dia sudah hilang dari jarak pandangku. Aku memasukkan beberapa lembar uang tadi ke dalam dompet kembali. Aku menyetop taksi dan meninggalkan mobilku di rumah sakit karena aku pikir, jika aku kembali ke rumah sakit sangat membuang-buang waktu.

***

Tubuhku terlentang di atas kasur. Tanganku terangkat tinggi-tinggi seraya memegang kotak  pemberian Mega. Aku memandanginya sejenak. Memutar-putarkannya. Lalu, merobek kertas kado yang membukus kotak itu. Hingga aku menemukan sesuatu di dalamnya yang membuat mataku membelalak. Isinnya sungguh luar biasa!

How do you feel about this chapter?

1 0 0 0 0 1
Submit A Comment
Comments (6)
  • dianakusuma

    @ShiYiCha terima kasih kritik sarannya

    Comment on chapter Independent Woman
  • dianakusuma

    @sherlygratia salken jugaa

    Comment on chapter Independent Woman
  • dianakusuma

    @Vanila_Loli sip

    Comment on chapter Independent Woman
  • ShiYiCha

    Dari sinopsisnya, sih udah eye-catching gitu, kayaknya seru. Cara penyampaian ceritanya juga unik. Semangat terusss, ya Kak. Btw, klo boleh kritik, nih????. Biasanya kalo bikin cerita dengan latar luar negeri gaya bahasanya seperti gaya novel terjemahan, jadi sesuai Ejaan Bahasa Indonesia gitu. Tapi, ya itu terserah penulisnya, sih. Cuman saran????

    Comment on chapter Independent Woman
  • sherlygratia

    Seruuu nih kak. Btw salam kenal kak

    Comment on chapter Independent Woman
  • Vanila_Loli

    Ntaps! Semangat terus ya nulisnyaaa :)))

    Comment on chapter Independent Woman
Similar Tags
My Secret Wedding
1413      633     2     
Romance
Pernikahan yang berakhir bahagia adalah impian semua orang. Tetapi kali ini berbeda dengan pernikahan Nanda dan Endi. Nanda, gadis berusia 18 tahun, baru saja menyelesaikan sekolah menengah atasnya. Sedangkan Endi, mahasiswa angkatan terakhir yang tak kunjung lulus karena jurusan yang ia tempuh tidak sesuai dengan nuraninya. Kedua nya sepakat memutuskan menikah sesuai perjodohan orang tua. Masin...
The World Between Us
2218      965     0     
Romance
Raka Nuraga cowok nakal yang hidupnya terganggu dengan kedatangan Sabrina seseorang wanita yang jauh berbeda dengannya. Ibarat mereka hidup di dua dunia yang berbeda. "Tapi ka, dunia kita beda gue takut lo gak bisa beradaptasi sama dunia gue" "gue bakal usaha adaptasi!, berubah! biar bisa masuk kedunia lo." "Emang lo bisa ?" "Kan lo bilang gaada yang gabis...
LELAKI DENGAN SAYAP PATAH
8343      2666     4     
Romance
Kisah tentang Adam, pemuda single yang sulit jatuh cinta, nyatanya mencintai seorang janda beranak 2 bernama Reina. Saat berhasil bersusah payah mengambil hati wanita itu, ternyata kedua orang tua Adam tidak setuju. Kisah cinta mereka terpaksa putus di tengah jalan. Patah hati, Adam kemudian mengasingkan diri dan menemukan seorang Anaya, gadis ceria dengan masa lalu kejam, yang bisa membuatnya...
If...Someone
1726      730     4     
Romance
Cinta selalu benar, Tempatnya saja yang salah.
The Last Mission
580      343     12     
Action
14 tahun yang silam, terjadi suatu insiden yang mengerikan. Suatu insiden ledakan bahan kimia berskala besar yang bersumber dari laboratorium penelitian. Ada dua korban jiwa yang tewas akibat dari insiden tersebut. Mereka adalah sepasang suami istri yang bekerja sebagai peneliti di lokasi kejadian. Mereka berdua meninggalkan seorang anak yang masih balita. Seorang balita laki-laki yang ditemuka...
Vandersil : Pembalasan Yang Tertunda
370      269     1     
Short Story
Ketika cinta telah membutakan seseorang hingga hatinya telah tertutup oleh kegelapan dan kebencian. Hanya karena ia tidak bisa mengikhlaskan seseorang yang amat ia sayangi, tetapi orang itu tidak membalas seperti yang diharapkannya, dan menganggapnya sebatas sahabat. Kehadiran orang baru di pertemanan mereka membuat dirinya berubah. Hingga mautlah yang memutuskan, akan seperti apa akhirnya. Ap...
TENTANG WAKTU
1999      854     6     
Romance
Elrama adalah bintang paling terang di jagat raya, yang selalu memancarkan sinarnya yang gemilang tanpa perlu susah payah berusaha. Elrama tidak pernah tahu betapa sulitnya bagi Rima untuk mengeluarkan cahayanya sendiri, untuk menjadi bintang yang sepadan dengan Elrama hingga bisa berpendar bersama-sama.
Cinta dalam Hayalan Bahagia
655      435     3     
Short Story
“Seikat bunga pada akhirnya akan kalah dengan sebuah janji suci”.
Crashing Dreams
241      205     1     
Short Story
Terdengar suara ranting patah di dekat mereka. Seseorang muncul dari balik pohon besar di seberang mereka. Sosok itu mengenakan kimono dan menyembunyikan wajahnya dengan topeng kitsune. Tiba-tiba sosok itu mengeluarkan tantou dari balik jubahnya. Tanpa pasangan itu sadari, sosok itu berlari kearah mereka dengan cepat. Dengan berani, laki-laki itu melindungi gadinya dibelakangnya. Namun sosok itu...
Let it go on
1115      791     1     
Short Story
Everything has changed. Relakan saja semuanya~