Loading...
Logo TinLit
Read Story - REASON
MENU
About Us  

Aku berdiri di depan tembok kaca di atas lantai yang cukup tinggi dan langsung menghadap ke arah jalanan kota New York yang tak pernah sepi sambil memegang secangkir kopi panas yang masih mengepulkan asapnya. Aku meniup isi cangkir itu kemudian meneguknya. Membiarkan tenggorokanku hangat karena tersiram oleh kopi yang baru saja ku teguk. Aku terlalu menikmati aroma wangi kopi yang ku pegang hingga aku tak sadar ada seseorang yang sudah berada di sampingku.

“New York itu nggak pernah sepi ya? Rumah sakit ini juga.” Aku menganggukkan kepalaku. Membenarkan apa yang dikatakan seseorang yang berada di sampingku.

“Ya, namanya juga salah satu kota terpadat di Amerika Serikat. Mana bisa sepi. Kayak bumi yang terus  berputar pada porosnya. Coba lo lihat jalanan di depan sana,” Aku menunjuk ke arah kendaraan yang sedang melintas di bawah sana. “jalan itu ada dua arah. bisa dipastikan kalau kendaraan yang kita lihat sekarang, nanti pasti akan lewat lagi entah kapan. Mereka punya perputaran hidupnya masing-masing. Bisa dia hidup di malam hari atau siang hari. Ya, kayak kita kalau kerja jadi dokter jaga. Kan pasti ada shift-shiftan nya kan?” Seseorang itu sepertinya menyetujui pendapatku karena dia mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Ngomong sama lo itu hal sepele bisa jadi berat ya. Jadi butuh tenaga ekstra buat dengerinnya.” Aku hanya terkekeh mendengar keluhan seseorang yang berada di sampingku. Seseorang itu adalah sahabatku sendiri yang telah menemaniku selama aku baru masuk kuliah. Vania Alexandra.

“Tapi, lo udah kebas kan kalau sama gue?”                                      

“Ya, lah kalau gue nggak tahan, gue pasti udah pensiun jadi sahabat lo. Ngomong-ngomong hari ini lo udah selese praktek kan?” Aku menganggukkan kepalaku sembari menghabiskan isi cangkir yang aku pegang. “Bisa kita dinner bareng? Gue pengen denger cerita dating lo selama beberapa hari sama cowok yang deketin lo waktu itu di sosial media yang ternyata dia juga kerja di daerah sini.”

“Oke. Lagi pula gue lagi males pulang cepet ke rumah. Gue mau beres-beres dulu. Nanti ketemu di lobby aja.”

***

Aku dan Vania mengambil tempat duduk di pojok restoran ini untuk menjaga privasi. Aku memesan kentang rebus dengan steak dengan level kematangan well done dan segelas jus jeruk. Vania memesan makanan yang sama denganku. Perbedaannya steaknya memiliki kematangan medium rare.

“Jadi gimana itu cowok? Kalau gue liat mah dia tipe cowok hot kan kalau dari foto yang gue liat.”

“Kalau lo ngga nyuruh gue buat beneran ketemuan sama dia secara langsung, gue juga ogah ketemuan.”

“Lo seharusnya emang banyak ketemuan sama cowok buat kenal lebih dekat gitu. Kadang gue kasian sama lo. As long as I become your friend, I never saw you dealing with man in a long time. Most of them just became friends and even then not close. Eh, wait. You said ‘ogah’,  it’s mean the man not in line with my expectations?” Aku hanya menganggukkan kepalaku. Mataku sibuk melihat pelayan yang sedang meletakkan makanan di atas meja. Setelah pelayan itu selesai dengan tugasnya, Aku menjawab pertanyaan Vania.

Yes, the man not in line with your expectations. Itu sebabnya gue males ketemuan sama orang yang belum pernah gue temuin sebelumnya. Lo juga tahu sendiri kan, setiap cowok yang lo kenalin ke gue juga ngga bakalan kuat sama gue.”

Can you tell me about the story of your dating with that man?” Nadanya penuh dengan rasa penasaran. Aku bisa menangkapnya.

“Bisa nggak kalau kita makan dulu? Kan tujuan kita disini dinner juga kan? Kalau makanannya dingin nanti ngga enak dan ujung-ujungnya makanan ini bakalan kebuang percuma.

“Oke”

Kami menikmati makan malam yang  tersaji di atas meja. Hanya terdengar suara garpu dan pisau yang beradu di atas piring. Kami berdua sama-sama bungkam. Aku memikirkan bagaimana aku merangkai kata-kata untuk ku ceritakan dan entah aku tidak tahu apa yang dipikirkan Vania atau karena dia begitu penasaran dengan ceritaku dan memilih untuk diam agar mempercepat makan malamnya.

“Sudah selesai kan? Ayo ceritakan!” Aku meletakkan garpu dan pisau di atas meja dan menengkurapkannya, lalu mengelap mulutku dengan tisu yang ada di meja.

“Jadi....”

Hari pertama

Aku duduk di sebuah restoran tempat di mana kami berdua berjanjian. Aku sudah menghabiskan separuh gelas berisi jus jeruk, tapi orang yang aku tunggu keberadaannya sama sekali belum menunjukkan batang hidungnya. Aku kembali melihat jam tangan yang bertengger di pergelangan tangan kiriku. Sudah lewat lima belas menit dari waktu yang sudah di janjikan.

“Kamu Gantari? Gantari Hassya Kasyara?” Aku menganggukkan kepalaku. Dia menarik kursi yang ada dihadapanku. “Maaf telat. Pak Bos rese tiba-tiba ngasih laporan dadakan dan harus selese saat itu juga. Padahal aku udah siap-siap buat ketemu kamu.”

“It’s no problem.”

“Bahagia lho kalau ketemu orang yang sama-sama orang Indo di sini. Kayak nemuin harta karun yang terkubur sangat dalam.” Aku hanya tersenyum tipis. “Jadi aku panggil kamu apa? Gantari? Tari? Hassya? atau Kasyara?”

“Just call me Tari.”

“Oke. Kamu bisa panggil aku Bram.” Dia mengulurkan tangannya dan mau tak mau aku harus membalas uluran tangan itu. “Kamu dokter di sini?”

“Iya.” Aku menyeruput jus jerukku lagi. Seorang pelayan datang mengantarkan minuman yang dipesan oleh Bram.

“Aku akuntan senior  yang mau dipromosikan jadi general manager.”

“Wah bagus dong. Duitnya bakal banyak, dollar lagi,” ucapku basa-basi.

“Ya iyalah. Aku kerja di sana kan udah lama. Kontribusiku buat perusahaan itu kan udah banyak. Pantas dong aku dapat promosi buat naik jabatan jadi general manager.” Aku hanya mengangguk-anggukkan kepalaku malas. Aku hanya mendengarkannya masuk dari telinga kanan keluar dari telinga kiri. “Gimana tinggal di New York?”

“Ya gitu-gitu aja. Aku di sini udah dari kuliah. New York udah jadi kayak rumah buatku. Aku pulang ke Indo aja jarang. dua tahun sekali baru pulang. Uangnya lebih murah buat jalan-jalan ke negara lain dari pada buat pulang ke Indo.”

“Wow. Kamu lebih lama ternyata dari aku. Hidup di negara orang susah ya. Mana mahal-mahal lagi. Kalau ngga perhitungan sama uang ya bakal boros.” Aku hanya tersenyum tipis. Dalam hati aku berkata, ‘Ini orang ngapain sih ngomong terus kerjaannya. Ngomongnya ngga bermutu lagi. Basa-basi doing isinya.’ Aku memilih untuk diam hingga dering telepon genggamku berdering ada panggilan masuk.

Aku melihat nomor yang tertera di layar telepon genggamku. Nomor dari rumah sakit. Aku mengangkatnya dan berjalan menjauh dari Bram. Setelah ini aku punya kesempatan untuk kabur dari pertemuan memuakkan ini.

“Sorry, aku dapet panggilan dari rumah sakit. Ada pasien darurat. Sebaiknya pertemuan ini kita akhiri saja. Aku pamit dulu, permisi.” Tanganku dicekal olehnya membuatku menghentikan langkahku.

“Aku antar?” tawarnya. Aku melepaskan cekalan itu dan menggeleng halus.

“Aku bawa mobil sendiri. Maaf aku harus segera ke rumah sakit.”

“Asli? Dia cowok yang kayak gitu? Sombong banget itu orang. Belagu. Mana cerewetnya minta ampun suka ngeluh lagi. Masa body sama tingkah lakunya beda gitu. Seharusnya kan dia cool, hot, berwibawa, dan ngga banyak omong. Eh, tapi bener kan dia orangnya hot kayak di fotonya?” Vania memotong ceritaku dengan nada yang berapi-api.

“Kalau soal body mah sama kok. Tapi ya itu sifatnya aja ngga singkron sama body nya. Untung aja di telepon rumah sakit kalau ngga ya gue bisa mati kebosanan dengerin dia cerita terus ngga berhenti-berhenti. Lo bakal kaget kalau denger cerita gue selanjutnya.”

“Ceritain aja.” Aku memulai ceritaku tentang Bram setelah pertama kali kami bertemu.

Hari kedua

Pagi itu aku keluar dari rumahku selama aku tinggal di New York untuk berangkat ke rumah sakit. Pemandangan yang pertama kulihat adalah Bram yang sudah berdiri di samping mobilnya yang terparkir di luar pagar. Dia melambaikan tangannya kepadaku dan menyembunyikan sebelah tangannya di belakang badan. ‘Dari mana dia tahu alamat rumahkku? Dasar penguntit’

“Ada apa, Bram? Dan dari mana kamu tahu alamat rumahku?” Dia mengeleluarkan sebelah tangannya dan aku sudah bisa menebak apa yang dia sembunyikan. Bunga. Ya, memang dia membawa sebuket bunga mawar berwarna merah.

“Ini buat kamu. Aku tahu alamat rumahmu karena sepulang dari rumah sakit aku mengikutimu. Untuk memastikan kamu sampai di rumah dengan selamat.” Aku menerima buket mawar merah itu hanya untuk menghargai pemberian dari Bram.

“Aku bukan anak kecil yang tidak bisa pulang malam untuk sampai ke rumah.”

“Pagi ini biar aku antar kamu ke rumah sakit.”

“Enggak usah, Bram. Hari ini urusanku nggak di rumah sakit aja. Aku harus pergi ke tempat lain dan arahnya berlawanan arah dengan arah rumah sakit.”

“Nggak masalah.”

“Sekali ngga tetep ngga, Bram. Aku udah biasa apa-apa sendiri. Bisa kan kamu memahami privasiku? Please.”

“Oke.”

Aku menghela napas lega. Aku melihat dia masuk ke dalam mobilnya dan memastikan dia benar-benar pergi dan menjauh dari hadapanku. Aku masuk kembali ke dalam pekarangan rumah dan mengeluarkan mobil. Aku tak berbohong pada Bram tentang aku akan pergi ke tempat lain sebelum ke rumah sakit. Aku harus bertemu dengan teman masa kuliahku yang ingin berkonsultasi tentang masalah kesehatannya. Sebelum dia benar-benar ke rumah sakit.

Aku meletakkan buket bunga dari Bram di jok belakang. Aku memacu mobilku menembus jalanan kota New York yang masih cukup lenggang karena masih pagi. Setengah jam aku mengendarai mobil aku sampai di sebuah taman yang masih tampak sepi. Aku melihat seorang pria yang duduk menghadap ayunan.

“Hello, how are you?” sapaku dan kemudian duduk di sebelahnya.

“Not bad. Langsung aja ke permasalahanku bagaimana?” tanyanya dengan logat bahasa inggris aksen Amerika dengan sangat lancar. Aku menganggukkan kepalaku. Aku mendengarkan ceritanya dengan saksama.

“Dari hasil pemeriksaankan kamu bisa. Walau itu hanya kemungkinan kecil. Tapi ngga ada salahnya kan kalau kamu terus berusaha? Tuhan akan memberikan mukjizat.” Aku melihat matanya mengeluarkan cairan bening. Sebegitu cintanya dia dengan istrinya? Baru pertama kali aku melihat lelaki yang menangis dihadapanku seperti ini.

“My wife wants a child from me. Their parents too.”

“Coba kamu diskusikan dulu dengan istrimu, dia berhak tau tentang operasi itu.Cuma satu penyelesaian masalah kalian yaitu berbicara dengan baik-baik” Tanganku terulur untuk menghapus air matanya.

Tiba-tiba kerah bajunya ditarik oleh seseorang hingga membuatnya berdiri. Perutnya di tonjok hingga dia jatuh tersungkur sampai di meringis menahan nyeri. Aku membantunya untuk duduk kembali di kursi taman. Aku melihat seseorang yang menonjok tadi. Mataku eterbelalak. Melihat dia adalah Bram.

“Your boyfriend?” tanya temanku lirih. Aku menggeleng tegas.

“He is not my boyfriend!” jelasku. Pandanganku beralih ke arah Bram kembali. “Kamu ngapain hah? Mukul orang ngga jelas tanpa alasan dan ngapain kamu ngikutin aku hah? Kamu mau jadi penguntit?” tanyaku dengan nada yang naik satu oktaf.

“Aku ngga suka kamu deket-deket sama cowok selain aku.”

“Gila. Kamu juga bakal cemburu kalau aku lagi berduaan dengan pasienku? Dia cuma temanku waktu kuliah. Dia sudah beristri. You are too jealous and possessive. I am not your girlfriend dan will not be your girlfriend. Tampang aja plus, tapi kelakuan minus. Aku ngga mau ketemu kamu lagi dan berurusan denganmu lagi!” bentakku. Aku berjalan ke arah mobilku dan mengambil buket mawar pemberian Bram tadi. Aku berdiri di depannya dan melemparkan bunga itu tepat di wajahnya.

“Aku menerimanya karena menghargai kamu, tapi karena kelakuanmu aku ngga lagi menghargai kamu.” Aku menarik tangan temanku dan pergi menjauh dari Bram dan kepingan kelopak bunga mawar yang berceceran di tanah.

“Cemburuan amat dia. Posesif lagi. Dia tipe yang nggak banget deh, tapi kalau gue jadi dia, gue bakal malu banget diusir di depan orang. Trus dia balik lagi ngga?” Aku menggelengkan kepalaku.

“Nggak. Kapok kali dia. Bayangkan aja ya. Gue bukan siapa-siapa dia. Seenaknya aja ngelarang ini itu. Suami bukan, pacar juga bukan. Cemburuan dan posesifnya itu lho overdosis. Gue udah biasa apa-apa sendiri, tiba-tiba diawasin terus. Ngga bisa dong ya!” jawabku menggebu-gebu.

“Tar, listen to me. Karena sifat lo itu yang terlalu independen buat banyak cowok ngga PD kalau bersanding sama lo. Cowok-cowok yang sempet gue kenalin ke lo itu pasti ujung-ujungnya bakalan ninggalin lo kan? Baik karena lo yang ngusir dia secara terang-terangan atau lo ngusir dia secara ngga sadar karena sifat lo. Mereka mungkin ngira lo itu kayak langit sama bumi. Lo terlalu tinggi buat dicapai.” Aku terdiam sejenak. “Kita itu makhluk sosial. Semandiri-mandirinya cewek, dia tetep aja jadi cewek yang perlu orang lain dan dia tetep cewek yang punya sisi manja dan pengen diperhatiin suatu saat nanti . Lo butuh cowok yang bisa dampingin lo waktu tua yang bisa jaga, manjain, dan merhatiin lo tiap hari. Jadi kapan lo bakal mengurangi sifat independen lo agar cowok ngga minder  lagi  dan ngejauh sama lo? Dan jadi kapan lo bakal nikah?” Aku terdiam mencerna kata-kata Vania barusan.

How do you feel about this chapter?

0 1 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (6)
  • dianakusuma

    @ShiYiCha terima kasih kritik sarannya

    Comment on chapter Independent Woman
  • dianakusuma

    @sherlygratia salken jugaa

    Comment on chapter Independent Woman
  • dianakusuma

    @Vanila_Loli sip

    Comment on chapter Independent Woman
  • ShiYiCha

    Dari sinopsisnya, sih udah eye-catching gitu, kayaknya seru. Cara penyampaian ceritanya juga unik. Semangat terusss, ya Kak. Btw, klo boleh kritik, nih????. Biasanya kalo bikin cerita dengan latar luar negeri gaya bahasanya seperti gaya novel terjemahan, jadi sesuai Ejaan Bahasa Indonesia gitu. Tapi, ya itu terserah penulisnya, sih. Cuman saran????

    Comment on chapter Independent Woman
  • sherlygratia

    Seruuu nih kak. Btw salam kenal kak

    Comment on chapter Independent Woman
  • Vanila_Loli

    Ntaps! Semangat terus ya nulisnyaaa :)))

    Comment on chapter Independent Woman
Similar Tags
100%-80%
9671      1585     4     
Romance
Naura merasa dirinya sebagai seorang gadis biasa -biasa saja dan tidak memiliki kelebihan tertentu bertemu dengan Tsubastian yang bisa dibilang mendekati sempurna sebagai seorang manusia. kesempurnaan Tsubastian hancur karena Naura, bagaimana Naura dan Tsubastian menghadapinya
déessertarian
6216      1911     4     
Romance
(SEDANG DIREVISI) Tidak semua kue itu rasanya manis. Ada beberapa yang memiliki rasa masam. Sama seperti kehidupan remaja. Tidak selamanya menjadi masa paling indah seperti yang disenandungkan banyak orang. Di mana masalah terbesar hanya berkisar antara ujian matematika atau jerawat besar yang muncul di dahi. Sama seperti kebanyakan orang dewasa, remaja juga mengalami dilema. Ada galau di ant...
BEST MISTAKE
13001      2260     3     
Romance
Tentang sebuah kisah cinta yang tak luput dari campur tangan Tuhan yang Maha Kuasa. Di mana Takdir sangat berperan besar dalam kisah mereka. "Bisakah kita terus berpura-pura? Setidaknya sampai aku yakin, kalau takdir memang tidak inginkan kita bersama." -K
Alvira ; Kaligrafi untuk Sabrina
14336      2597     1     
Romance
Sabrina Rinjani, perempuan priyayi yang keturunan dari trah Kyai di hadapkan pada dilema ketika biduk rumah tangga buatan orangtuanya di terjang tsunami poligami. Rumah tangga yang bak kapal Nuh oleng sedemikian rupa. Sabrina harus memilih. Sabrina mempertaruhkan dirinya sebagai perempuan shalehah yang harus ikhlas sebagai perempuan yang rela di madu atau sebaliknya melakukan pemberontakan ata...
LAST MEMORIES FOR YOU ARAY
586      430     5     
Short Story
Seorang cewe yang mencintai seorang cowo modus,php, dan banyak gebetannya. Sejak 2 tahun Dita menyukai Aray, tapi Aray hanya menganggapnya teman. Hingga suatu hari di hari ulang tahun Aray ia mengungkapkan perasaan yang selama ini bernama cinta, yang tak pernah ia sadari. Tapi semua sudah terlambat dihari ulang tahunnya juga hari dimana kepergian Dita untuk selama-lamanya.
Trying Other People's World
155      132     0     
Romance
Lara punya dendam kesumat sama kakak kelas yang melarangnya gabung OSIS. Ia iri dan ingin merasakan serunya pakai ID card, dapat dispensasi, dan sibuk di luar kelas. Demi membalas semuanya, ia mencoba berbagai hidup milik orang lain—pura-pura ikut ekskul jurnalistik, latihan teater, bahkan sampai gabung jam tambahan olimpiade MIPA. Kebiasan mencoba hidup-hidup orang lain mempertemukannya Ric...
Junet in Book
3333      1288     7     
Humor
Makhluk yang biasa akrab dipanggil Junet ini punya banyak kisah absurd yang sering terjadi. Hanyalah sesosok manusia yang punya impian dan cita-cita dengan kisah hidup yang suka sedikit menyeleweng tetapi pas sasaran. -Notifikasi grup kelas- Gue kaget karena melihat banyak anak kelas yang ngelus pundak gue, sambil berkata, "Sabar ya Jun." Gue cek grup, mata gue langsung auto terbel...
IDENTITAS
709      484     3     
Short Story
Sosoknya sangat kuat, positif dan merupakan tipeku. Tapi, aku tak bisa membiarkannya masuk dan mengambilku. Aku masih tidak rela menjangkaunya dan membiarkan dirinya mengendalikanku.
NWA
2363      945     1     
Humor
Kisah empat cewek penggemar boybend korea NCT yang menghabiskan tiap harinya untuk menggilai boybend ini
The War Galaxy
13179      2668     4     
Fan Fiction
Kisah sebuah Planet yang dikuasai oleh kerajaan Mozarky dengan penguasa yang bernama Czar Hedeon Karoleky. Penguasa kerajaan ini sungguh kejam, bahkan ia akan merencanakan untuk menguasai seluruh Galaxy tak terkecuali Bumi. Hanya para keturunan raja Lev dan klan Ksatrialah yang mampu menghentikannya, dari 12 Ksatria 3 diantaranya berkhianat dan 9 Ksatria telah mati bersama raja Lev. Siapakah y...