PROLOG
Pertemuanku dengan Yuki selalu jadi pertemuan pertama baginya. Bukan karena ia begitu mencintaiku. Ataupun karena ia punya perasaan yang membara setiap harinya. Tapi karena pacarku itu tidak bisa mengingat wajahku.
Dia bukan orang bodoh. Yuki bagiku dan orang-orang terdekatnya adalah sosok jenius. Ia bermain game mobile legend sepanjang masa kuliahnya dan tetap menjuarai kelas tanpa perlu berusaha keras.
Dia berpikir dengan caranya sendiri. Aku tahu dia orang yang unik. Dia tidak tolol. Yuki hanya tidak bisa menghubungkan memori yang dia punya dengan wajah orang-orang yang dilihatnya. Tapi itu bukanlah masalah. Selama aku dapat melihat wajahnya dan mengingat semua memori tentang kami… maka semuanya akan baik-baik saja. Aku bisa mengingatkannya setiap saat bahwa—
“Kau siapa?”
—aku adalah pacarnya.
“Namaku Jimy.”
Dan aku akan mengulurkan tangan untuk mengenalkan diriku yang ke sekian kalinya. Lalu dia akan memelukku sambil memohon maaf. Dia tahu benar siapa Jimy baginya, hanya saja dia tak bisa membedakan wajahku di antara berjuta wajah yang ia temui setiap hari. Baginya itu semua terlihat sama saja.
“Apa kau penasaran bagaimana rasanya punya kenangan dengan orang yang kau cintai tapi tak pernah mengingat bagaimana wajahnya?” Yuki bertanya padaku sore itu.
Aku hanya bisa menggeleng. Tanganku di tangannya.
“Rasanya seperti aku menyayangimu tapi aku tak tahu wajahmu seperti apa.”
Yuki membentuk segi panjang dengan sepasang telunjuk dan jempol, mengarahkannya kepadaku seperti kamera.
“Wajah membawa memori tentang seseorang. Tidak masalah bagiku melewatkan orang-orang. Hanya satu yang aku takutkan.” Matanya yang kecil menatapku tanpa berkedip. “Kalau aku melewatkan orang yang penting bagiku,” cicitnya, “melewatkan orang yang aku cintai.”
“Bagaimana kalau selama ini aku berjalan di keramaian. Berpapasan denganmu tapi aku tak tahu bahwa lelaki yang baru saja melewatiku adalah kekasihku. Dan aku akan berjalan melewatinya seperti tak pernah ada sesuatu di antara kita terjadi. Lalu aku akan pulang ke rumah berpikir apa yang salah? Mungkin kau berpikir aku ini orang jahat. Seperti mungkin baru kemarin aku menciummu lalu esoknya aku bertingkah seolah kau ini orang asing. Seolah kau ini tidak penting.”
Yuki menggelengkan kepalanya kuat-kuat, menyangkal perkataannya sendiri. “Tidak begitu, Jimy. Aku tidak pernah bermaksud begitu. Aku hanya tidak bisa mengingat wajahmu. Dan kenyataannya aku memang hidup dengan—” Ucapannya terhenti ketika sekilat lampu kamera bersinar di depan wajahnya. Ia memejam kesilauan.
“Aku tahu,” ucapku tersenyum. “Dan aku ke sini untuk memotretmu. Kita bisa membicarakan itu kapan-kapan. Oke?”
Akhir-akhir ini aku tertarik pada fotografi. Kemarin aku membeli kamera dari hasil menyisihkan uang saku. Dan hari ini aku janji bertemu Yuki di sisi pantai karena aku ingin memotretnya.
Aku tak pernah berkata bahwa ia telah berjalan melewatiku seperti orang asing sebanyak delapan puluh sembilan kali. Itu akan menyakitinya. Karena seperti yang kubilang… selama aku dapat mengingatnya… kami akan baik-baik saja.
Semoga.[]